Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/348252020

KEBUDAYAAN ISLAM BERCORAK JAWA (Adaptasi Islam dalam Kebudayaan


Jawa)

Article  in  DINIKA Academic Journal of Islamic Studies · January 2021

CITATIONS READS

5 179

1 author:

Syamsul Bakri
State Institute For Islamic Studies, Surakarta
16 PUBLICATIONS   9 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

AKHLAQ TASAWUF Dimensi Spiritual dalam Kesejarahan Islam View project

All content following this page was uploaded by Syamsul Bakri on 06 January 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KEBUDAYAAN ISLAM BERCORAK JAWA
(Adaptasi Islam dalam Kebudayaan Jawa)
Oleh: Syamsul Bakri*

Abstract: Javanese Islam is not a religious sect in Islam, but only a product from adaptation process
of Islam in the Java community culture. This is possible because the values of Islam it’s self is
universal, so inclusive to be adapted in various people cultures. The characteristic of Islam in Java
are Sufism. It’s mutual fusion between Islam and Javanese culture. The emergence Javanese Islam
has enriched interpretation of Islam, specially in Islamic cultural development.

Keywords: Islam Jawa, universalitas, kultur lokal, adaptasi

A. Pendahuluan
Agama Islam diturunkan guna menjadi petunjuk bagi manusia dan sebagai rahmat bagi seru
sekalian alam. Fungsi tersebut mengandaikan pentingnya misi penyebarluasan Islam sehingga umat
Islam memiliki kewajiban menyebarluaskan misi di masyaraikat untuk mencapai kebaikan univer-
sal, dan terciptanya tatanan hidup masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Artinya bagaimana
nilai-nilai luhur agama itu termanifestasi dalam realitas kehidupan.
Apa yang menjadi persoalan adalah bagaimana ajaran agama dapat bergumul dengan budaya
lokal dan ditafsirkannya sesuai bahasa dan tradisi local. Dalam perspektif anthropologi budaya,
setiap manusia dan masyarakat tidak dapat menghindarkan diri dari upaya menafsirkan obyek
yang disandarkan pada kondisi histories yang mempengaruhinya.1 Hal ini berarti bahwa manusia
dan masyarakat memiliki kemampuan memahami dan menginterpretasikan suatu obyek (termasuk
agama) dengan berbekal pada kondisi histories dan tradisi yang melingkupinya. Apalagi penafsiran
obyek itu terkait dengan ajaran Islam yang diakui sebagai ajaran universal yaitu ajaran yang
kontekstual baik dari sisi waktu maupun tempat.
Dalam kesejarahan Islam, agama ini menyebar dengan mendapat banyak tantangan-
tantangan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lainnya disebabkan perpedaan
kulturr-kultur masyaraakat yang berbeda. Tantangan-tantangan tidak harus ditanggapi secara
konfrontatif tetapi dapat mengambil jalan adaptif-kompromis. Di Jawa, tantangan-tantangan muncul
dari tradisi mistik Jawa dan budaya Jawa-Hindu. Namun demikian, atas kepekaan intelektual dan
kultural para wali, Islam dihadirkan di Jawa dengan wajah yang santun , adaptif dan tidak

*
Penulis adalah Dosen Sejarah Kebudayaan Islam IAIN Surakarta
1
Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, terjemahan Agung Prihantoro (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. ‘138.

Kebudayaan Islam ... 33


konfrontatif dengan budaya kejawen asli maupun Jawa-Hindu. Islam dimunculkan dengan metode
adaptasi kultural sehinggga secara sosiologis akan lebih muidaah diterima masyarakt Jawa. Dengan
menunjuk fakta historis demikian, maka dakwah Wali dalam pribumisasi Islam dianggab berhasil
karena Islam berkembang pesat di Jawa secara alamiah dan melalui proses kultural yang kompromis.
Begitu juga dalam menyampaikan ajaran Islam, para da’i awal juga menggunakan logika dan tradisi
yang sudah berkembang di jawa, sehingga Islam lebih mudah diterima. Hal ini juga didukung
kultur Jawa yang inklusif dan mampu menerima berbagai tradisi dari luar. Pergumulan Islam dengan
kebudayaan Jawa merupakan pergumulan mutualistik.

B. Kecakapan Kultural Masyarakat Jawa


Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat toleran dengan busaya asing yang
masuk ke wilayah kebudayaan jawa. “Wong Jowo” memiliki kecakapan kultural dalam beradaptasi
dengan berbagai bentuk busaya asing, termasuk salah satunya adalah Islam. Hal ini terjadi karena
sikap mental masyarakat Jawa berbasis pada moralitas harmonisasi kehidupan.
Kharakter masyarakat Jawa yang adaptif dan kompromis terhadap berbagai bentuk busaya
ini juga diperankan ketika menganggapi masuknya Islam dalam masyarakat jawa. Apalagi para
da’I awal di pulau Jawa memiliki sikap yang tidak konfrontatif, sehingga akulturasi Islam dalam
kebudayaan Jawa semakin memperoleh tempat yang luas. Hasil dari proses adaptasi ini kemudian
memunculkan sikap-sikap yang mutualistik, dan bahkan sinkretik. Relasi hubungan mutualistik
antara Islam dan kebudayaan Jawa ini berlangsung hingga dewasa ini. Walaupun akhir-akhir ini
muncul gerakan neo puritan yang ingin melakukan purifikasi Islam di berbagai jantung kebudayaan
Jawa, akan tetapi formasi kebudayaan Islam Jawa yang sudah terbentuk masih tetap eksis. Bahkan
tradisi-tradisi Islam Jawa menjadi identitas khas yang semakin berkembang. Hal ini ditunjukkan
dalam upacara-upacara slametan khas Jawa yang sudah dimasuki unsur-unsur Islam, seperti upacara
kehamilan (mitoni), kematian, khitanan, slametan padi dan berbagai bentuk ritual khas Jawa yang
lain.
Apa yang terjadi di Jawa ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Aceh. Sebelumnya
Aceh adalah bagian dari pengaruh kerajaan Sri Wijaya yang beraagama budha. Ketika Aceh
menganut agama Budha maka masyarakat Aceh menerima Budha sepenuhnya seolah-olah tidak
ada tradisi Aceh (local) yang bersinergi dengan budaya Budha. Kedatangan Islam di Aceh, kemudian
menghapus konsistensi sejarah sebelumnya sehingga sisa-sisa kebudayaan Aceh dan Budha
menghilang tanpa bekas. Artinya, di Aceh tidak terjadi sinkretisme dan relasi yang mutualistik
antara kebudayaan local dengan kebudayaan asing yang datang. Hal ini berbeda dengan realitas
yang terjadi di Jawa, khususnya terkait relasi budaya local dan agama “asing”.

34 DINIKA, Volume 12. Number 2, Juli - Des 2014


C. Proses Adaptasi
Islam Jawa secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari budaya di
tanah Jawa. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena di pulau Jawa
terdapat budaya-budaya yang bukan termasuk dalam sub budaya Jawa, seperti budaya Sunda
dengan bahasa Sunda (Jawa Barat), budaya Betawi dengan bahasa Melayu Betawi (Jakarta) dan
budaya Madura dengan bahasa Madura (Jawa Timur bagian utara dan timur). 2 Adapaun masyarakat
Jawa yang dimaksud di sini adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang
berbahasa Jawa. Masyarakat Jawa (Wong Jowo) merupakan masyarakat yang melahirkan dan
menopang kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa sendiri dalam pengertian yang lebih luas meliputi
sub-sub kultur yang ada di tanah Jawa.
Secara garis besar kebudayaan Jawa dapat dipilahkan dalam tiga kategori identitas yaitu
kebudayaan Pesisiran (di sepanjang Pantura), kebudayaan Banyumasan (Kedu, Magelang dan
Banyumas atau Dulangmas) dan kebudayaan Nagari Agung (kebudayaan Kraton) yang meliputi
eks Karesidenan Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri dan Malang. Kebudayaan Nagari Agung
inilah yang sering disebut sebagai Kejawen. 3 Dengan demikian budaya Kejawen sebenarnya sub
kultur dari kebudayaan masyarakat Jawa (Wong Jowo) di tanah Jawa. Istilah Kejawen dipakai oleh
masyarakat untuk menyebut budaya dan tradisi di eks kerajaan Mataram Islam baik yang berada
di Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) maupun Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran)
dan daerah-daerah di sekitarnya seperti daerah-daerah di eks.karesidenan Surakarta, Malang,
Madiun hingga Kediri.
Dari kedua wilayah (kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) inilah maka kemudian
tradisi Kejawen berkembang. Istilah Islam dipakai dalam tradisi Kejawen sebagai bentuk perpaduan
sinkretik-mutualistik sekaligus menjadi identitas tersendiri yang berbeda dengan identitas Islam
puritan maupun identitas Jawa. Islam Kejawen adalah agama Islam yang telah beradaptasi dengan
kultur dan tradisi Nagari Agung yang kemudian dapat menciptakan sebuah identitas penggabungan
antara budaya jawa dan islam menjadi religiusitas Islam dengan warna Jawa. Budaya Islam Kejawen
merupakan bentuk sinkretisme firman suci dengan kultur lokal sehingga Islam Kejawen merupakan
salah satu bentuk fenomena keberagamaan yang sarat dengan muatan muatan tradisi religius yang
bercorak sufistik-mistis. Islam Kejawen terlahir dari dialektika kesejarahan antara ajaran Islam
yang universal dengan kebudayaan Jawa yang inklusif menerima tradisi dan kebudayaan asing.
Hasil dialektika adalah peleburan dan munculnya identitas dwi tunggal.
Warna mistik Islam dalam kultur Islam Kejawen begitu kental dalam fenomena keberagamaan
masyarakat Jawa. Ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para wali (Walisongo) era Demak dan
sesudahnya dalam menyebarkan dakwah Islam secara kultural.4 Dalam berdakwah, Walisongo
secara konseptual menerapkan metode mauidhoh hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan. 5 Metode
yang diambil dari ayat al-qur’an tersebut mereka pergunakan dalam rangka menghadapi
tokoh-tokoh, para pemimpin dan orang terpandang, seperti luarah, bupati, adipati, raja ataupun
para bangsawan yang lain. Tantangan yang dihadapi Walisongo adalah sistem hirarkis dalam

2
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)
hlm.11
3
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa ( Semarang : Dahara Prize, 1992), hlm.29
4
Dalam berdakwah para Wali mengutamakan pola-pola bijaksana, adaptif dan kompromis sehingga tidak memunculkan konfrontasi
dengan tradisi dan kultur masyarakat local. Lihat Ridin Sofwan, Islamisasi Di Jawa ( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 15. Lihat juga
Simuh, Sufisme Jawa ( Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 131.
5
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, telaah Atasa Metode Walisongo (Bandung:Mizan, 1995), hlm. 273.

Kebudayaan Islam ... 35


pranata sosial kemasyarakatan dan budaya mistik kejawen. Untuk menghadapi tantangan terse-but
tepatlah jika Walisongo menggunakan metode ini. Dampaknya, masyarakat Jawa tidak merasa
kaget karena para wali menghargai budaya yang berkembang dan melakukan dakwah dengan
cara yang sangat halus. Oleh karena itu maka terjadilah sinkretisme pemikiran sehingga menjadi
cara keberagamaan yang unik dan kompromis.
Berdirinya Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa merupkan realitas politik dimana
politik Jawa Islam telah dapat menggeser kekuatan politik Jawa-Hindu Majapahit. Islamisasi di
tanah jawa yang dilakukan oleh sembilan Wali (Walisongo) secara simbolis ditandai dengan
berdirinya kerajaan Islam di Demak.6 Kerajaan Islam Demak merupakan simbol berdirinya kekuatan
sosial-politik Islam perrtama di Jawa yng menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa
Hindu ke masa Kewalen (Kewalian). Demak diakui mampu menyebarkan Islam secara kultural yang
ditandai dengan kemampuan para wali dlm mengadaptasikan agama dengan budaya lokal (Jawa).
Kendati umur kerajaan Demak tidak berumur panjang yang kemudian pusat kekuasaan
berpindah ke Pajang (Kartasura), namun fondasi dakwah kultural yang telah ditanamkan oleh para
wali dan da’i era Demak tidak pernah berhenti. Pasca kekuasnn Demak, dakwah kultural dilanjutkan
oleh para pimpinan dan ulama di kerajaan Pajang. Begitu juga pada era Mataram Islam perpaduan
dan adaptasi kultural Islam dengan budaya lokal semakin kental sehingga corak kultur
keberagamaaan ini lebih dikenal dengan sebutan Islam Kejawen.
Pada masa kasultanan Mataram Islam, telah muncul buku-buku keagamaan bernaskah Jawa,
baik yang merupakan gubahan dari tulisan-tulisan para Shufi dari tanah sumatra seperti Hamzah
Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf Sinkel maupun buku-buku (kitab)
dan karya-karya kreatif para Wali di Jawa. Prestasi yang cukup gemilang dalam proses pribumisasi
Islam Jawa adalah kemampuan para da’I dan spiritualis Islam dalam mengkombinasikan bukan
saja agama dengan budaya lokal tetapi juga antara corak tasawuf falsafi dari Sumatra dengan corak
tasawuf ‘amali dari para Wali. Dari kombinasi dan akulturasi beberapoa kultur inilah maka kemudian
apenyebaran Islam di Jawa lebih diwarnai dengan nuansa akhlaq-tasawuf dengan simbol-simbol
Jawa.
Warna budaya Jawa makin mengental ketika kasultanan Mataram terpecah menjadi dua yaitu
kerajaan Yogjakarta dan kerajaan Surakarta. Pasca desentralisasi kekuasaan politik Jawa-Islam inilah
maka para pimpinan dan penasehat kerajaan dapat lebih menfokuskan perhatian pada aspek budaya.
Era antusiasme politik yang dimulai pada masa kerajaan Islam Demak sebagai proses identifikasi
diri dalam membedakannya dengan budaya Jawa-Hindu (Majapahit) telah mengalami pergeseran
yang begitu berarti pada era desentralisasi politik islam Mataram. Diakui bahwa kedua kerajaan
eks Mataram Islam yaitu kerajaan di Yogjakarta dan Surakarta yang dikenal dengan Nagari Agung
memiliki andil yang cukup besar dalam mengembangkan Islam dalam kerangka budaya Jawa.
Setelah kerajaan eks Mataram di Yogjakarta pecah menjadi dua yaitu Kasultanan dan
Pakualaman dan kerajaan di Surakarta pecah menjadi Kasunana dan Mangkunegaran pada era
inilah antusiasme politik telah bergeser ke antusiame kultural. Kewiabawaan Nagari yang

6
R. Tanojo, Riwayat Walisongo ( Surabaya: Trimurti, 1982), hlm. 20.

36 DINIKA, Volume 12. Number 2, Juli - Des 2014


sebelumnya sarat dengan muatan simbol-simbol politik sudah bergeser ke persoalan pengembangan
budaya. Proses identifikasi kultural sangat mencolok pada era ini. Bahkan perhatian utama sudah
dipusatkan pada pengembangan kerohanian Islam Jawa (mistisisme Islam Jawa) baik secara
intelektual maupun secara kultural.

D. Nuansa Tasawuf
Sejak saat inilah budaya Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan mistisisme Islam Jawa yang
sarat dengan muatan sufistik mulai berkembang pesat. Buku-buku (Serat) Jawa Kuno dengan bahasa
Kawi dan Sansekerta, kitab-kitab berbahasa Melayu dengan tulisan Arab (Arab Melayu) serta kitab-
kitab tasawuf dalam bahasa Arab dari Timur tengah mulai digubah dalam bahasa Jawa dengan
diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa kehilangan substansinya. Perpaduan
dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya
khazanah sekaligus pengembang budaya Islam kejawen. Serat Centini ayang ditulis oleh Yosodipuro
II, Ronggo Sutrasno dan R. Ng. Ronggowarsito sangat mewarnai kesusastraan Islam Kejawen,
tentunya juga kitab-kitab dan sastra-sastra karya para Wali. Begitu juga Serat Wirid Hidayat jati
karya R. Ng. Ronggowarsito, Serat Wulangreh karya Pakoebuwono IV dan Serta Wedhatama karya
KGPAA Mangkoenegoro IV menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam khazanah pemikitran dan
kultur Islam Kejaween.
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang religius dan penuh symbol. Religiusitas tampak
dalam perilaku dan adapt istiadat yang ada pada masyarakat Jawa. Berbagai ajaran dan pesan
moral sering dinyatakan dalam bentuk symbol-simbol7. Setelah masuknya Islam, tradisi Jawa pun
masih eksis karena para da’I awal menjaga eksistensi tradisi Jawa dan symbol-simbol yang dimilikinya
sebagai media sekaligus metodologi dalam penyampaian pesan moral Islam. Maka tidak heran
kalau pesan moral Islam awal juga menggunakan bahasa simbolik seperti tembang, seni dan berbagai
tradisi local (upacara adat).
Budaya Jawa yang pada mulanya bercorak animistik dan hinduistik mulai berubah warna
sejak zaman kewalen (kewalian, zaman wali). Kendati terjadi perubahan corak dan muatan namun
substansi mistisisme dan etika Jawa tetap eksis pada zaman kewalen , bahkan para Wali tidak bersikap
konfrontatif terhadap budaya lokal yang ada. Sikap adaptif dan kompromis para wali dan da’I di
era kasultanan Demak ini merupakan cikal bakal yang sekaligus menjadi corak khas Islam Jawa.
Fondasi paradigma dakwah kultural era kerajaan Demak ini dilanjutkan kerajaan Pajang, kemudian
Mataram, dan kemudian puncak eksistensi kulturalnya tampak pada zaman kekuasaan politik di
Surakarta dan Yogjakarta. Corak utama yang dikembangkan dalam mistisisme Islam jawa adalah
tashawuf-akhlaqiyah dan laku-laku mistisisme.
Unsur tasawuf falsafi dapat diketemukan dalam serat wirid hidayat Jati terutama yang
menyangkut “Martabat Tujuh” dalam proses emanasi (ta’ayun). Sedangkan laku-laku mistik dan
jenjang perjalanan spiritualitas dapat diketemukan dalam serat Centini. Ini adalah sekedar contoh
kecil dari adanya hibryd of culture (pencangkokan budaya) dari berbagai tradisi yang kemudian

7
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, (Yogyakarta, Gelombang Pasang, 2006), hlm.89.

Kebudayaan Islam ... 37


memunculkan karyaaaa-karya intelektual dan sastra yang menakjubkan dalam khazanah pemikiran
mistisisme Islam Jawa.
Dalam kitab Wedhatama, juga terdapat ajaran-ajaran sufisme yang telah dikombinasikan dengan
ruang lingkup budaya Jawa. Diantara indikasi itu adalah inti ajaran yang ditekankan dalam serat ini
yaitu ajaran penyembahan (ritual) empat tingkat (sembah catur) . Istilah sembah catur ini pada dasarnya
berasal dari ajaran tasawuf Islam klasik era kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dimana penekanan
terhadap tingkatan ilmu yaitu syari’at,(ritual badani-lahiriah, fikih) thariqat (ritual bathiniyah,
perjalanan mistis), hakikat (intisari kosmos, realitas hakiki, kenyataan tentang kebenaran) dan Ma’rifat
(pengenalan langsung tanpa perantara) begitu penting bagi para penempuh laku spiritual. Nampak
bahwa Mangkoenagoro IV membungkus tashawuf dalam konteks kultur Jawa.
Sebelumnya, pada era Demak para Wali telah memulai melakukan penggubahan-penggubahan.
Gubahan-gubahan dan pengganatian simbol-simbol dan nama Hindu ke dalam simbol Islam khas
Jawa sangat mewarnai corak fundamen Islam Kejawen yang sampai saat ini dapat dilihat dalam
realitas kehidupan. Budaya pewayangan adalah salah satu induikasi sekaligus kehebatan para wali
dalam melakukan adaptasi kultural Islam dalam konteks Jawa.
Istilah Jimat kalimasada yang menjadi jimat Puntadewa, Sang Tetua Pandawa yang sekaligus
Raja Amarta adalah merupakan karya kreatif Wali dalam adaptasi kultural. Kalimasdada adalah
logat Jawa yang berunsur Arab yaitu dari istilah kalimah syahadah. Nama Hindu Arjuna digubah
dengan nama Arab-Jawa menjadi Janaka yang berasal dari sebutan jannah (surga). Nama Bima
digubah menjadi Warkudara yang berasal dari istilah tasawuf wara’ (kehati-hatian). Begitu juga
punakwan yang tidak dapat dipisahkan dari tokoh Janaka mengandung filosofi yang tinggi, sebagai
sebuah petuah. Fatruk Ma Bagho. Fastamirr Nalal khoir, Dakholal Jannah. (Tinggalkan kezaliman,
Teruskan dalam cenderung kepada kebaikan, maka kamu akan masuk surge). Kata fatruk menjadi
Petruk, Bagha menjadi Bagong, fastamirr menjadi Semar, Nalal Khoir menjadi Nala Gareng, dan jannah
menjadi Janaka. Nama-nama ini tidak diketemukan dalam kitab babon Bharatayudha.
Begitu juga para Wali juga mampu menciptakan karya-karya kreatif dan estetik seperti lagu
Ilir-Ilir (karya Sunan Kalijaga) sebagai lagu khas dalam berdakwah sekaligus menghibur. Sabda
Pandita Ratu yang sekarang banyak mengilhami cerita legendaris nasional adalah ajaran dalam
kehidupan sosial-politik karya Sunan Bonang. Masih banyak laagi simbol-simbol yang diciptakan
para Wali dalam penyebaran Islam deengan jalan menjadikan adat istiadat, tradisi dan kultur Jawa
sebagai sesuatu yang tidak perlu dikonfrontir.
Sebagaimana mistisme Islam pada umumnya, Islam Kejawen yang bercorak etis-mistis ini
menjadikan metode intuisionisme yaitu mencapai kebenaran dan melihat realitas dengan intuisi
(dzauq, wijdan,hati, perasaan terdalam). 8. Dalam Islam Kejawen, laku-laku spiritual dan etika sosial
diperoleh melalui perenungan dan uzlah (pertapaan) sehingga cahaya ke-Tuhan-an dapat menyinari
hati sehingga dapat melihat dan menemukan hakikat kehidupan dan persoalan yang melingkupinya
secara jernih. Dengan intuisi pula seseorang akan dapat melakukan pendekatan diri pada yang
Maha Kuasa dengan mengkaji keilmuan metafisik tentang sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan
penciptaan) untuk mencapai kawruh sejati (pengetahuan hakiki). 9 Mistisisme Islam Kejawen

8
Pandangan kosmologi Jawa ini sebenarnya merupakan pandangan filsafat manusia yang diakui oleh seluruh aliran pemikiran, kecuali
pemikiran materialistic-atomistik. Dalam kosmologi ini dipahami bahwa manusia bukan sekedar entitas fisik ruhani (empiris) tetapi
merupakan mono-dualisme fisik-spirit, Unsur spirit (metafisik) manusia adalah hakikatnya (substansi) sedangkan fisik manusia adalah
aksiden. Maka pengetahuan tentang metafisika menjadi pengetahuan dasar bagi manusia. Baca Regis Jolivet, Man and Metaphysics, (New
York: Hawthom, 1961), hlm.12.
9
Franz Magnis Suseno,Etika Jawa., hlm.117.

38 DINIKA, Volume 12. Number 2, Juli - Des 2014


merupakan budaya mistik yang mampu menciptakan konsepsi dan ajaran ontologi dan metafisika
umum baik yang terkait dengan persoalan ke-Tuhan-an (teologi), kemanusiaan (antropologi
metafisika) maupun alam (kosmologi). Begitu juga penciptaan metode thariqat (jalan mistik) diperoleh
dari intuisi yang tentunya tidak lepas dari ruh Al-qur’an dan nada-nada Nubuwwah.
Kultur mistisisme Islam Kejawen kendati mendapat tantangan dari adanya modernitas dan
globalisasi ternyata memiliki sikap tangguh yang dibuktikan eksistensinya hingga dewasa ini. Ritual-
ritual Jawa -meminjam istilah Clifford Greetz- slametan 10 yang sudah dikombinasi dengan unsur
Islam sampai sekarang masih tetap eksis dalam bventuk-bentuk yang beragam seperti upacara
kelahiran anak yang diisi dengan bacaan al-Barzanji, upacara mitoni dengan pembacaan surat pitu
(tujuh surat dari Al-Qur’an), istighotsah,mujahadah, ratib, manaqiban dan sebaginya adalah indikasi
bahwa pribumisasi Islam dalam konteks kultur lokal masih eksis. Ini bukan hanya terjadi di
masyarakat Kraton dan pedesaan saja tetapi juga di masyarakat perkotaan.
Dengan demikian, baik kalangan santri, priyayi dan abangan di Jawa masih memiliki
pandangan kosmologi yang sama walaupun gelombang keberagamaan puritan juga menjadi
fenomena tersendiri dalam keragaman kultural Islam di Jawa dewasa ini. Di dalam Islam, terdapat
ajaran universal yang mutlak dan nilai-nilai religius yang adaptif yang dapat dikonpromikan dengan
budaya lokal dan kondisi sosio-historis masyarakat tanpa harus kehilangan substansi keislamannya.
Proses Islamisasi masyarakat yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di Jawa tidak perlu
meminggirkan pribumisasi islam yang dilakukan sebagian muslim Jawa. Islam kejawen adalah salah
satu bentuk dari proses panjang pribumisasi Islam. Keberadaan islam Kejawen, dalam kerangka
sosiologis, tidak perlu dipertentangkan karena merupakan budaya religius Jawa-Islam. Begitu juga
dalam perspektif teologis, Islam Kejawen harus dihargai keberadaannya karena merupakan hasil
olah rasa dan olah fikir (ijtihad) para ulama dan teolog Jawa dalam memahami dan mengaktualisasikan
nilai-nilai religi dalam kultur lokal.
Penjelasan di atas memebrikan pemahaman bahwa kebudayaan Islam Jawa merupakan sub-
varian kebudayaan Islam. Walaupun terdapat pengaruh yang besar dari kebudayaan Melayu, namun
identitas khas Jawa masih dapat dikenali, sekaligus pembeda dengan kebudayaan Melayu.
Kebudayaan Melayu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan Islam, sebagaimana kebidayaan
Arab, Persia, Turki, dan Afrika Hitam.

E. Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam Kejawen bukanlah aliran keagamaan
dalam Islam, namun hanya merupakan produk adaptasi Islam dalam kultur masyarakat Jawa. Hal
ini memungkinkan karena nilai-nilai Islam sendiri bersifat universal sehingga inklusif untuk
diadaptasikan dalam berbagai kultur masyarakat.
Corak keberaragamaan yang sufistik dalam Islam Jawa merupakan perpaduan mutualistik
antara Islam dengan kebudayaan Jawa yang fondasi epistemologis dan axiologisnya sudah
diletakkan oleh para da’i yang melakukan Islamisasi awal di tanah Jawa.

10
Baca Adam Kuper,Culture: The Antropologist Account (Cambridge: Harvard University Press, 1999), hlm. 43

Kebudayaan Islam ... 39


DAFTAR PUSTAKA

Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Kuper, Adam, Culture: The Antropologist Account (Canbridge: Harvard University Press, 1999)
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, (Yogyakarta :Gelombang Pasang, 2006).
R. Tanojo, Riwayat Walisongo ( Surabaya: Trimurti, 1982)
Regis Jolivet, Man and Metaphysics (New York: Hawthom, 1961)
Ridin Sofwan, Islamisasi Di Jawa ( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme, terjemahan Agung Prihantoro (Yogyakarta:
Qalam, 2001).
Simuh, Sufisme Jawa ( Yogyakarta: Bentang, 1996).
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa ( Semarang : Dahara Prize, 1992).
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, telaah Atas Metode Walisongo (Bandung: Mizan, 1995).

40 DINIKA, Volume 12. Number 2, Juli - Des 2014

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai