Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

SOLUSIO PLASENTA

Dosen Pengampu:

Puspita Palupi, S. Kep., M. Kep., Ns. Sp.Kep. Mat

Disusun Oleh:

Dhanny Pratiwi

9204100018

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

DESEMBER / 2020
1. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi

b. Fisiologi
Plasenta berasal dari lapisan trofoblas pada ovum yang dibuahi, lalu
terhubung dengan sirkulasi ibu untuk melakukan fungsi-fungsi yang belum
dapat dilakukan oleh janin itu sendiri selama kehidupan intrauterin.
Keberhasilan janin untuk hidup tergantung atas keutuhan dan efisiensi
plasenta.
Plasenta terbentuk pada kira-kira minggu ke-8 kehamilan berasal dari
bagian konseptus yang menempel pada endometrium uteri dan tetap terikat
kuat pada endometrium sampai janin lahir. Fungsi plasenta sendiri sangat
banyak, yaitu sebagai tempat pertukaran zat dan pengambilan bahan nutrisi
untuk tumbuh kembangnya janin, sebagai alat respirasi, sebagai alat sekresi
hasil metabolisme, sebagai barrier, sebagai sumber hormonal kehamilan.
Plasenta juga bekerja sebagai penghalang guna menghindarkan
mikroorganisme penyakit mencapai fetus. Kebanyakan obat-obatan juga
dapat menembus plasenta seperti morfin, barbiturat dan anestesi umum yang
diberikan kepada seorang ibu sewaktu melahirkan, dapat menekan
pernafasan bayi yang baru lahir.
Plasenta merupakan salah satu sarana yang sangat penting bagi janin
karena merupakan alat pertukaran zat antara ibu dan anak dan sebaliknya,
berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15-20 cm dan tebal
lebih kurang 2,5 cm. Beratnya rata-rata 500 gram.
Letak plasenta umumnya di depan atau di belakang dinding uterus,
agak ke atas ke arah fundusuteri. Hal ini adalah fisiologis karena permukaan
bagian atas korpus uteri lebih luas sehingga lebih banyak tempat untuk
melakukan implantasi. Permukaan fetal ialah yang menghadap ke janin,
warnanya keputih-putihan dan licin karena tertutup oleh amnion, di bawah
nampak pembuluh-pembuluh darah. Permukaan maternal yang menghadap
dinding rahim, berwarna merah dan terbagi-bagi oleh celah-celah/sekat-
sekat yang berasal dari jaringan ibu. Oleh sekat ini, plasenta dibagi menjadi
16-20 kotiledon. Pada penampang sebuah plasenta,yang masih melekat pada
dinding rahim nampak bahwa plasenta terdiri dari dua bagian yaitu bagian
yang dibentuk oleh jaringan anak dan bagian yang dibentuk oleh jaringan
ibu.
Bagian yang terdiri dari jaringan anak disebut piring penutup
(membranachorii), yang dibentuk oleh amnion, pembuluh-pembuluh darah
janin, chorion dan villi. Bagian yang terbentuk dari jaringan ibu disebut
piring desidua atau piring basal yang terdiri dari desiduacompacta dan
sebagian dari desiduaspongiosa, yang kelak ikut lepas dengan plasenta.
Fungsi plasenta ialah mengusahakan janin tumbuh dengan baik. Salah
satu fungsi plasenta adalah untuk perfusi dan transfer nutrisi, yaitu sebagai
tempat pertukaran zat dan pengambilan bahan nutrisi untuk tumbuh dan
berkembangnya janin di dalam rahim, berupa penyaluran zat asam, asam
amino, vitamin dan mineral dari ibu ke janin, dan pembuangan
karbondioksida dan sampah metabolisme janin ke peredaran darah ibu.
Fungsi lain dari plasenta adalah:
a. Nutrisi: memberikan bahan makanan pada janin
b. Ekskresi: mengalirkan keluar sisa metabolisme janin
c. Respirasi: memberikan O2 dan mengeluarkan CO2 janin
d. Endokrin:menghasilkan hormon-hormon (hCG, HPL, estrogen,
progesteron, dan sebagainya)
e. Imunologi: menyalurkan berbagai komponen antibodi ke janin
f. Farmakologi: menyalurkan obat-obatan yang mungkin diperlukan janin,
yang diberikan melalui ibu
g. Proteksi: barrier terhadap infeksi bakteri dan virus, zat-zat toksik (tetapi
akhir2 ini diragukan, karena pada kenyataannya janin sangat mudah
terpapar infeksi / intoksikasi yang dialami ibunya) (Dutton, dkk. 2011)
2. Definisi Solusio Plasenta
Solusio Plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal
pada korpus uteri sebelum janin lahir (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Biasanya terjadi pada trimester 3 kehamilan, walaupun dapat pula terjadi
setiap saat dalam kehamilan. Plasenta dapat terlepas selurunya (solusio
plasenta totalis), sebagian (solusio plasenta parsialis) atau hanya sebagian
kecil pinggir plasenta (rupture sinus marginalis). Solusio plasenta adalah
terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada uterus,
sebelum janin dilahirkan. Solutio Plasenta adalah lepasnya plasenta
dengan implantasi normal sebelum waktunya pada kehamilan yang berusia
di atas 28 minggu.
Solutio Plasenta adalah suatu keadaan dalam kehamilan viable,
dimana plasenta yang tempat implantasinya normal (pada fundus atau
korpus uteri) terkelupas atau terlepas sebelum kala III. Solusio plasenta
adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum janin lahir
diberi beragam sebutan; abruption plasenta, accidental haemorage.
Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes
diantara selaput ketuban dan uterus dan kemudian lolos keluar
menyebabkan perdarahan eksternal. Yang lebih jarang, darah tidak keluar
dari tubuh tetapi tertahan diantara plasenta yang terlepas dari uterus serta
menyebabkan perdarahan yang tersembunyi.

Gambar Normal dan Solutio Plasent


3. Klasifikasi

Menurut (Norma, 2013) solusio plasenta di klasifikasikan menjadi


beberapa tipe :

a) Solusio plasenta parsialis : bila hanya sebagian saja plasenta


terlepas dari tempat perlengkatannya.
b) Solusio plasenta totalis (komplek) : bila seluruh plasenta sudah
terlepas dari tempat perlengketannya.
c) Prolapsus plasenta : kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan
dapat teraba pada pemeriksaan dalam.
1. Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan :
a) Kelas 0 : Asimptomatik. Diagnosa ditegakkan secara retrospektif dengan
menemukan hematoma atau daerah yang mengalami pendesakan pada plasenta.
Ruptur sinus marginal juga dimasukkan dalam kategori ini.
b) Kelas 1 : gejala klinis ringan dan terdapat pada hampir 48 % kasus. Gejala
meliputi tidak ada perdarahan pervaginam sampai perdarahan pervaginam ringan,
uterus sedikit tegang, tekanan darah dan denyut jantung maternal normal, tidak
ada koagulopati dan tidak ditemukan tanda – tanda fetal distress.
c) Kelas 2 : gejala klinik sedang dan terdapat ± 27 % kasus. Perdarahan
pervaginam bisa ada atau tidak ada, ketegangan uterus sedang sampai berat
dengan kemungkinan kontraksi tetanik, takikardi maternal dengan perubahan
ortostatik tekanan darah dan denyut jantung, terdapat fetal distress dan
hipofibrinogenemi ( 150 – 250 mg/dl).
d) Kelas 3 : gejala berat dan terdapat pada hampir 24 % kasus, perdarahan
pervaginam dari tidak ada sampai berat , uterus tetanik dan sangat nyeri, syok
maternal, hipofibrinogemi ( < 150 mg/dl ), koagulopati serta kematian janin.
2. Berdasarkan ada tidaknya perdarahan pervaginam :
a. Solusio plasenta yang nyata / tampak ( revealed )
Terjadinya perdarahan pervaginam, gejala klinis sesuai dengan
jumlah kehilangan darah, tidak terdapat ketegangan uterus, atau
ringan.
b. Solusio plasenta yang tersembunyi ( concealed)
Tidak terdapat perdarahan pervaginam, uterus tegang dan
hipertonus, sering terjadi fetal distres berat. Tipe ini sering
disebut retroplasental.
c. Solusio plasenta tipe campuran ( mixed )
Terjadi perdarahan baik retroplasental atau pervaginam, uterus
tetanik.
3. Berdasarakan jumlah perdarahan yang terjadi :
a. Solusio plasenta ringan : perdarahan pervaginam < 100 ml.
b. Solusio plasenta sedang : perdarahan pervaginam 100 – 500
ml, hipersensititas uterus atau peningkatan tonus, syok ringan,
dapat terjadi fetal distres.
c. Solusio plasenta berat : perdarahan pervaginam luas > 500 ml,
uterus tetanik, syok maternal sampai kematian janin dan
koagulopati.
4. Berdasarkan luasnya plasenta yang terlepas dari uterus :
a. Solusio plasenta ringan : kurang dari ¼ bagian plasenta
terlepas. Perdarahan kurang dari 250 ml.
b. Solusio plasenta sedang : plasenta yang terlepas ¼ - 2/3 bagian.
Perdarahan < 1000 ml, uterus tegang, terdapat fetal distress
akibat insufisiensi uteroplasenta.
c. Solusio plasenta berat : plasenta yang terlepas > 2/3 bagian,
perdarahan > 1000 ml, terdapat fetal distress sampai dengan
kematian janin, syok maternal koagulopati.
4. Etiologi

Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa faktor yang menjadi predisposisi (Jannah, 2011):

a. Faktor kardiorenovaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia
dan eklamsia. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat
hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari
wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik,
sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat
solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada
ibu

b. Akibat turunnya tekanan darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri
yang menuju ke ruangan interviler, maka terjadilah anoksemia dari jaringan
bagian distalnya. Sebelum ini menjadi nekrotis, spasme hilang dan darah kembali
mengalir ke dalam intervili, namun pembuluh darah distal tadi sudah demikian
rapuhnya serta mudah pecah, sehingga terjadi hematoma yang lambat laun
melepas plasenta dari rahim. Darah yang tekumpul dibelakang plasenta disebut
hematoma retroplasenter.

c. Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain:

1) Dekompresi uterus (pengecilan yang tiba-tiba) pada hidroamnion


dan gemeli.
2) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.
3) Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
c. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer
mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45
kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman
di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta
pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena
makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium.

d. Faktor usia ibu


Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa
terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan
meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua
umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.
e. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan
solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung
leiomioma.
f. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan
peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas
terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat
terlepasnyaplasenta . Namun, hipotesis ini belum terbukti secara
definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan
kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%.

g. Faktor kebiasaan merokok


Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio
plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu)
bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta
menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada
mikrosirkulasinya. Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa
resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun
ibu merokok sampai terjadinya kehamilan.

h. Riwayat solusio plasenta sebelumnya


Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat
solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada
kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil
lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.

i. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus


pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh
adanya kehamilan, dan lain-lain.
5. Manifestasi Klinis
a) Solusio Plasenta Ringan
Rupture sinus marginalis atau terlepasnya sebagian kecil plasenta yang
tidak berdarah banyak, sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu
dan janinnya. Apabila terjadi perdarahan per vagina, warnanya akan
kehitaman dengan jumlah yang sedikit. Perut mungkin terasa agak
sakit, atau agak tegang. Walaupun demikian bagian-bagian janin masih
mudah teraba. Uterus yang agak tegang ini harus diawasi terus menerus
apakah akan menjadi lebih tegang lagi karena perdarahan yang terus
menerus. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan akan
kemungkinan solusio plasenta ringan ialah perdarahan per vagina yang
berwarna kehitaman. Perdarahannya kurang dari 500 cc dengan
lepasnya plasenta kurang dari seperlima bagian. Perut ibu masih lemas
sehingga bagian janin mudah di raba. Tanda gawat janin belum tampak
dan terdapat perdarahan hitam per vagina. perdarahan kurang 100-200
cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup,
pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen
plasma lebih 150 mg%.

b) Solusio plasenta sedang

1. Plasenta terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum sampai dua


pertiga luas permukaannya. Tanda dan gejalanya dapat timbul
perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, atau mendadak
dengan gejala sakit perut terus-menerus, yang tidak lama kemudian
disusul dengan perdarahan per vagina. Walaupun perdarahan per
vagina tampak sedikit, seluruh perdarahannya mungkin telah
mencapai 1000ml. ibu jatuh dalam keadaan syok, demikian juga
keadaan janinnya yang gawat. Dinding uterus teraba tegang dan
nyeri tekan sehingga bagian-baian janin sulit diraba. Apabila janin
dalam keadaan hidup bunyi jantung sulit didengar dengan stetoskop
biasa harus dengan stetoskop ultrasonic. Lepasnya plasenta antara
seperempat sampai dua pertiga bagian dengan perdarahan sekitar
1000 cc. perut ibu mulai tegang dan bagian janin sulit di raba. Janin
sudah mengalami gawat janin berat sampai IUFD. Pemeriksaan
dalam menunjukkan ketuban tegang. Tanda persalinan telah ada dan
dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam. Perdarahan lebih 200 cc,
uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin
telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma 120-150 mg%.
c) Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua pertiga permukaannya. Terjadi
sangat tiba-tiba, biasanya ibu telah jatuh kedalam syok, dan janinnya
telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papandan sangat
nyeri. (Bambang Karsono,2002). Lepasnya plasenta sudah melebihi
dari dua pertiga bagian. Perut nyeri dan tegang dan bagian janin sulit
diraba, perut seperti papan. Janin sudah mengalami gawat janin berat
sampai IUFD. Pemeriksaan dalam ditemukan ketuban tampak tegang.
Darah dapat masuk otot rahim, uterus Couvelaire yang menyebabkan
Antonia uteri serta perdarahan pascapartus. Terdapat gangguan
pembekuan darah fibribnogen kurang dari 100-150 mg%. pada saat ini
gangguan ginjal mulai nampak. Uterus tegang dan berkontraksi tetanik,
terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi
lebih 2/3 bagian atau keseluruhan. (Nugroho, 2012)

6. Patofisiologi
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus
yang membentuk hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan
akhirnya terlepas. Apabila perdarahan sedikit, hematoma yang kecil itu
hanya akan mendesak jaringan plasenta, peredaran darah antara uterus dan
plasenta belum terganggu, dan tanda serta gejalanya pun tidak jelas.
Kejadiannya baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan
didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah
lama yang berwarna kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot
uterus yang telah meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih
berkontraksi menghentikan perdarahannya. Akibatnya, hematoma
retroplasenter akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya
seluruh plasenta terlepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan
menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina; atau
menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau
mengadakan ekstravasasi di antara serabut-serabut otot uterus.
Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat, seluruh permukaan
uterus akan berbercak biru atau ungu. Hal ini disebut uterus Couvelaire,
menurut orang yang pertama kali menemukannya. Uterus seperti itu akan
terasa sangat tegang dan nyeri. Akibat kerusakan jaringan miometrium dan
pembekuan retroplasenter, banyak tromboplastin akan masuk ke dalam
peredaran darah ibu, sehingga terjadi pembekuan intravaskuler di mana-
mana, yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen.
Akibatnya, terjadi hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan
pembekuan darah tidak hanya di uterus, akan tetapi juga pada alat-alat
tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan terganggu karana syok dan pembekuan
intravaskuler.
Oliguria dan proteinuria akan terjadi akibat nekrosis tubuli ginjal
mendadak yang masih dapat sembuh kembali, atau akibat nekrosis korteks
ginjal mendadak yang biasanya berakibat fatal. Nasib janin tergantung dari
luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus. Apabila sebagian besar
atau seluruhnya terlepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali, atau
mengakibatkan gawat janin. Waktu, sangat menentukan hebatnya
gangguan pembekuan darah, kelainan ginjal, dan nasib janin. Makin lama
sejak terjadinya Solutio plasenta sampai selesai, makin hebat umumnya
komplikasinya.
Solusio plasenta di awali perdarahan kedalam desidua basalis.
Desidua kemudian terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat
ke endometrium. Akibatnya, proses ini pada tahapnya yang paling awal
memperlihatkan pembentukan hematom desidua yang menyebabkan
pemisahan, penekanan, dan akhirnya destruksi plasenta yang ada di
dekatnya. Pada tahap awal mungkin belum ada gejala klinis. Pada
beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami rupture sehingga
menyebabkan hematom retroplasenta, yang sewaktu membesar semakin
banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Bagian plasenta yang
memisah dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena masih
teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat beronntraksi untuk
menjepit pembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat
implantasi plasenta. Darah yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban
dari dinding uterus dan akhirnya muncul sebagai perdarahan eksternal,
atau mungkin tetap tertahan dalam uterus. Pada solusio plasenta, darah
dari tempat pelepasan akan mencari jalan keluar antara selaput janin dan
dinding rahim hingga akhirnya keluar dari serviks hingga terjadilah
perdarahan keluar atau perdarahan terbuka. Terkadang darah tidak keluar,
tetapi berkumpul di belakang plasenta membentuk hematom retroplasenta.
Perdarahan semacam ini disebut perdarahan ke dalam atau perdarahan
tersembunyi. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi
menimbulkan tanda yang lebih khas karena seluruh perdarahan tertahan di
dalam dan menambah volume uterus. Umumnya lebih berbahaya karena
jumlah perdarahan yang keluar tidak sesuai dengan beratnya syok.
Perdarahan pada solusio plasenta terutama berasal dari ibu, namun dapat
juga berasal dari anak. (Nugroho, 2012)
Pathway Solusio Plasenta
7. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta
antara lain :

a. Anamnesis.
1) Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat
menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit.
2) Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-
konyong (non-recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-
bekuan darah yang berwarna kehitaman.
3) Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya
berhenti (anak tidak bergerak lagi).
4) Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-
kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah
yang keluar pervaginam.
5) Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
b. Inspeksi.
1) Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
2) Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
3) Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
c. Palpasi
1) Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
2) Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois
(wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.
3) Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
4) Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
d. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar
biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya
hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.

e. Pemeriksaan Dalam
1) Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
2) Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan
tegang, baik sewaktu his maupun di luar his.
3) Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya,
plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan,
disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta
previa.
e. Pemeriksaan Umum
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya
menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh
dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil dan filiformis.

f. Pemeriksaan Laboratorium
1) Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan
silinder dan leukosit.
2) Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match
test. Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan
pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula
COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen
(fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 15O
mg%).
g. Pemeriksaan Plasenta
Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan
cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat
koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang
plasenta yang disebut hematoma retroplacenter.

h. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)


Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain:

1) Terlihat daerah terlepasnya plasenta-Janin dan kandung kemih ibu.


2) Darah.
3) Tepian plasenta.
7. Penatalaksanaan Medis
a) Konservatif
Menunda pelahiran mungkin bermamfaat pada janin masih imatur serta
bila solusio plasenta hanya berderajat ringan. Tidak adanya deselerasi
tidak menjamin lingkungan intra uterine aman. Harus segera dilakukan
langkah-langkah untuk memperbaiki hipovolemia, anemia dan hipoksia
ibu sehingga fungsi plasenta yang masih berimplantasi dapat dipulihkan.
Tokolisis harus di anggap kontra indikasi pada solusio plasenta yang nyata
secara klinis
b) Aktif
Pelahiran janin secara cepat yang hidup hampir selalu berarti seksio
caesaria. Seksio sesaria kadang membahayakan ibu karena ia mengalami
hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif. Apabila terlepasnya
plasenta sedemikian parahnya sehingga menyebabkan janin meninggal
lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya
sedemikian deras sehingga tidak dapat di atasi bahkan dengan penggantian
darah secara agresif atau terdapat penyulit obstetric yang menghalangi
persalinan pervaginam. Seksiosesarea merupakan indikasi jika persalinan
diperkirakan akan berlangsung lama (lebih dari 6 jam), jika perdarahan
tidak memberi respons terhadap amniotomi dan pemberian oksitosin encer
secara hati-hati, dan jika terjadi gawat janin dini (tidak berkepanjangan)
dan janin mungkin hidup. Histerektomi jarang diperlukan. Uterus
Couvelaire sekalipun akan berkontraksi, dan perdarahan hampir akan
selalu berhenti jika defekkoagulasi sudah diperbaiki. Penanganan kasus-
kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala
klinis, yaitu:
Klasifikasi Penanganan Klinis
Solusio a) Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36
Plasenta minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan
Ringan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang,
janin hidup) dengan tirah baring dan observasi
ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
b) Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung
terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada
pemantauan dengan USG daerah solusio
plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus
segera diakhiri.
c) Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila
janin mati lakukan amniotomi disusul infus
oksitosin untuk mempercepat persalinan.
Solusio a) Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta
Plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit
Sedang Dan meliputi transfusi darah, amniotomi, infus
Berat oksitosin dan jika perlu seksio sesaria.
b) Apabila diagnosis solusio plasenta dapat
ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi
sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi
darah harus segera diberikan.
c) Amniotomi akan merangsang persalinan dan
mengurangi tekanan intrauterin.
d) Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi
perdarahan dari tempat implantasi dan
mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam
sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan
faktor-faktor pembekuan dari hematom
subkhorionik dan terjadinya pembekuan
intravaskuler dimanamana.
e) Persalinan juga dapat dipercepat dengan
memberikan infus oksitosin yang bertujuan
untuk memperbaiki kontraksi uterus yang
mungkin saja telah mengalami gangguan.
f) Gagal ginjal sering merupakan komplikasi
solusio plasenta. Biasanya yang terjadi adalah
nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya
masih dapat tertolong dengan penanganan yang
baik.
g) Bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal,
prognosisnya buruk sekali.
h) Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita
umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria
hanya dapat diketahui dengan pengukuran
pengeluaran urin yang teliti yang harus secara
rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta
sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi
menahun dan preeklamsia.
i) Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian
darah yang hilang, pemberantasan infeksi yang
mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia,
menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan
mengatasi kelainan pembekuan darah.
j) Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus
selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan
darah.
k) Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari
bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan
dengan fibrinogen hanya pada penderita yang
sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin.
Dengan melakukan persalinan secepatnya dan
transfusi darah dapat mencegah kelainan
pembekuan darah.
l) Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak
berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu
tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan
amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-
satunya cara melakukan persalinan adalah seksio
sesaria.
m) Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak
merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi,
jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah
dilakukan seksio sesaria maka tindakan
histerektomi perlu dilakukan.

8. Komplikasi

Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya
plasenta yang terlepas,usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta
berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :

a. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta
hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan
segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari
perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk
menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan
pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering
tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat. Tekanan darah tidak
merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat
perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan
bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi
keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah
pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan
sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan.

b. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan
hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis
tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan
penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan
pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat
nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena itu
oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang
harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal
ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan
infeksi, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan
mengatasi kelainan pembekuan darah.

c. Kelainan pembekuan darah


Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya
disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Wirjohadiwardojo di RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah
terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang ditelitinya.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan
ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen
plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan
darah. Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase,
yaitu:
 Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi
pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting.
Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu.
Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena
pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi
consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan
tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut.
Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan
jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan
ginjal yang dapat menyebabkan oliguria/anuria.
 Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk
membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini
dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah
berakibat lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi
perdarahan patologis. Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan
darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di
klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang
terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu
terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita
saat itu.
d. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot
rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum
latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan
warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus
couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung
pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan.
e. Komplikasi yang dapat terjadi pada janin
Fetal distress, kelainan susunan sistem saraf pusat, gangguan
pertumbuhan/perkembangan, hipoksia, anemia, Kematian. Asfiksia ringan
sampai berat dan kematian janin, karena perdarahan yang tertimbun di
belakang plasenta yang mengganggu sirkulasi dan nutrisi ke arah janin.
Rintangan kejadian asfiksia sampai kematian janin dalam rahim tegantung
pada seberapa bagian plasenta telah lepas dari implantasinya di fundu
suteri (Rukiyah&Yulianti, 2010: 202)

9. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian keperawatan
Bagi kondisi perdarahan pada kehamilan tua, beberapa pengkajian
keperawatan harus dilakukan segera dan yang lainnya dapat ditunda
sampai intervensi awal telah diambil untuk menstabilkan status
kardiovaskular dari ibu hamil. Prioritas pengkajian keperawatan
adalah sebagai berikut:
1. Jumlah dan sifat perdarahan (waktu serangan, perkiraan
kehilangan darah sebelum dating ke rumah sakit, dan keterangan
tentang jaringan yang terlepas). Wanita hamil harus diajarkan
untuk menyimpan linen jika berada di rumah sakit, sehingga darah
dapat dideteksi secara akurat.
2. Sakit
a. Jenisnya: menetap, intermiten, tajam, tumpul, keras.
b. Serangan: berangsur-angsur, mendadak.
c. Lokasinya: menyeluruh pada abdomen, local.
3. Uterus. Apakah uterus terasa lembut dengan palpasi yang lembut.
4. Tanda-tanda vital ibu hamil apakah dalam rentang normal atau
terjadi hipotensi, takikardi atau keduanya. Hipertensi mungkin
apat terjadi pada awal abruption plasenta. Pemantauan kondid
janin secara elektronik dapat menentukan denyut jantung janin,
adanya percepatan, dan respon janin terhadap aktivitas uterus.
5. Kontraksi uterus: penggunaan monitor eksterna dan menentukan
frekuensi dan lamanya kontraksi. Tekanan intrauterus dapat
mengidentifikasi kontraksi hipertonik dan menungkatkan
hubungan irama istirahat dengan obruptio plasenta. Palpasi dapat
mengidentifikasi apakah uterus mengalami relaksasi antara
kontraksinya atau tidak.
6. Riwayat kehamilan (gravid, para, riwayat aborsi, dan melahirkan
bayi premature).
7. Lamanya usia kehamilan (HTHP, tinggi fundus, hubungan tinggi
fundus dengan usia kehamilan) jika terjadi perdarahan kedalam
miometrium, fundus akan membesar sesuai dengan perdarahan.
Perawat mengonservasi dan melaporkan ukuran tinggi fundus
yang akan menunjukkan bahwa perdarahan kedalam otot uterus
sedang terjadi.
8. Data laboraturium (Hb, Ht, golongan darah, pembekuan darah).
Data laboraturium diperoleh untuk mempersiapkan tranfusi darah
yang diperlukan.

Disamping pengkajian fisik, respon emosi ibu hamil dan


pasangan juga harus diperhatikan. Mereka sering merasa cemas,
sedih, ragu, dan aktivitas yang berlebihan. Mereka mugkin
memiliki pengetahuan yang sedikit mengenai manajemen
kesehatan dan tidak menyadari bahwa janin akan segera lahir,
sehingga penjelasan prosedur operasi merupakan hal yang penting.
Mereka mungkin merasa takut dan khawatir tentang kehidupan ibu
dann janin.
b. Diagnosa dan intervensi keperawatan (yang mungkin pada kasus
solusio plasenta)

N Diagnosa SLKI SIKI


o Keperawata
n
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1.Manajemen nyeri
diharapkan klien mampu : Observasi
1.Tingkat nyeri - Identifikasi lokasi,
- Keluhan nyeri menurun durasi, karakteristik,
- Ekspresi meringis menurun frekuensi, kualitas,
- Kesulitan tidur menurun intensitas nyeri
- Nafsu makan membaik - Identifikasi skala
- Pola tidur membaik nyeri
2.Mobilitas fisik - Identifikasi respons
- Pergerakan ekstremitas meningkat nyeri non verbal
- Kekuatan otot meningkat - Identifikasi faktor
- Rentang gerak (ROM) meningkat yang memperberat
- Nyeri menurun dan memperingan
- Kecemasan menurun nyeri
- Kaku sendi menurun - Identifikasi
- Gerakan terbatas menurun pengetahuan dan
- Kelemahan fisik menurun keyakinan tentang
nyeri
- Identifikasi pengaruh
budaya terhadap
respon nyeri
- Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
- Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
- Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri
- Fasilitas istirahat dan
tidur
- Pertimbangan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
2.Edukasi manajemen
nyeri
Observasi
- Identifikasi kesiapan
dan kemampuan
menerima informasi
Terapeutik
- Sediakan materi dan
media pendidikan
kesehatan
- Jadwalkan pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan
- Berikan kesempatan
bertanya
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode dan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
2. Perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Perawatan
perifer tidak diharapkan klien mampu: sirkulasi
efektif
a. Perfusi perifer Observasi
- Denyut nadi perifer
a. Periksa sirkulasi
meningkat perifer
- Warna kulit pucat menurun b. Identifikasi faktor
- Edema perifer menurun resiko gangguan sirkulasi
- Pengisian kapiler membaik
Terapeutik
- Akral membaik
- Turgor kulit membaik a. Lakukan
- TTV membaik pencegahan
b. Tingkat perdarahan infeksi
- Kelembapan membran b. Lakukan
mukosa meningkat hidrasi
- Hemoptisis menurun 2. Manajemen syok
- Hematemesis menurun
- Hematuria menurun Observasi
- Perdarahan vagina menurun a. Monitor status
- Hemoglobin membaik kardiopulmonal
- TTV membaik b. Monitor status
- Hematokrit membaik oksigenasi
c. Monitor status
cairan
d. Monitor tingkat
kesadaran dan
respon pupil
Terapeutik
a. Pertahankan jalan
napas paten
b. Berikan oksigen
c. Pasang jalur IV
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
infus cairan kristaloid dan
kolaborasi pemberian
transfusi darah
3. Resiko syok Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Pencegahan syok
diharapkan klien:
Observasi
c. Tingkat syok
- Kekuatan nadi meningkat a. Monitor status
- Output urine meningkat kardiopulmonal
- Tingkat kesadaran b. Monitor status
meningkat oksigenasi
c. Monitor status
- Saturasi okseigen
cairan
meningkat
d. Monitor tingkat
- Akral dingin menurun
kesadaran dan
- Pucat menurun
respon pupil
- TTV normal
e. Periksa riwayat
alergi
Terapeutik
a. Berikan oksigen
b. Pasang jalur IV
Edukasi
a. Jelaskan penyebab
risiko syok
b. Jelaskan tanda
gejala awal syok
c. Anjurkan
memperbanyak
asupan oral
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian IV,
transfusi darah dan
antiinflamasi jika perlu
2. Manajemen
perdarahan
Observasi
a. Identifikasi
penyebab
perdarahan
b. Periksa ukuran dan
karakteristik
hematoma
c. Monitor terjadinya
perdarahan
d. Monitor nilai Hb
dan Ht
e. Monitor status
hemodinamik
f. Monitor intake dan
output cairan
g. Monitor koagulasi
darah
h. Monitor tanda
gejala perdarahan
masif
Terapeutik
a. Pertahankan askses
IV
Edukasi
a. Jelaskan tanda-
tanda perdarahan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
cairan dan transfusi darah
4. Resiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Pemantauan DJJ
Cedera pada diharapkan klien mampu: 2. Pengukuran
Janin gerakan janin
a. Tingkat cedera
- Kejadian cedera menurun Observasi
- Perdarahan menurun
- TTV normal a. Monitor gerak
janin
- Toleransi aktivitas
meningkat Terapeutik
a. Hitung dan catat
gerakan janin
b. Lakukan
pemeriksaan CTG
untuk mengetahui
frekuensi dan
keteraturan denyut
jantung janin dan
kontraksi rahim ibu
c. Berikan okseigen
jka gerakan janin
belum mencapai
10x dalam 12 jam
Edukasi
a. Jelaskan manfaat
menghitung
gerakan janin
b. Anjurkan ibu
memenuhi
kebutuhan nutrisi
c. Anjurkan posisi
miring saat
menghitung gerkan
janin
d. Anjurkan ibu
segera memberi
tahu perawat jika
gerakan janin tidak
mencapai 10x
dalam 12 jam
e. Ajarkan ibu cara
menghitung
gerakan janin
Kolaborasi
Kolaborasi dengan tim
medis jika ditemukan
gawat janin
3. Manajemen
perdarahan
pervaginam
Observasi
a. Identifikasi
keluhan ibu
b. Monitor keadaan
uterus dan
abdomen
c. Monitor kesadaran
tan TTV
d. Monitor
kehilangan darah
e. Monitor kadar Hb
Terapeutik
a. Posisikan supine
b. Pasang oksimetri
nadi
c. Berikan oksigen
d. Pasang IV line
dengan selang set
transfusi
e. Pasang kateter
untuk
mengosongkan
kandung kemih
f. Ambil darah untuk
pemeriksaan darah
lengkap
Kolaborasi
Kolaborsi pemberian
uterotonika dan
antikoagulan
DAFTAR PUSTAKA

1. Dutton, Lauren A, Jessica E.Densmore, Meredith B.Turner. 2011.


Rujukan Cepat Kebidanan.. EGC. Jakarta
2. Jannah, Nurul. 2011. Asuhan kebidanan Ibu nifas. Ar-ruzz Media.
Yogyakarta.
3. Norma Nita, Dwi Mustika. 2013. Asuhan Kebidanan Patologi.
Yogyakarta : Nuha Medika
4. Nugroho, Taufan. 2012. Obsgyn Obstetri dan Ginekologi. Nuha
Medika. Yogyakarta
5. Rukiyah, AiYeyeh, S.Si.T dan Yulianti, Lia, Am.Keb, MKM. 2010.
Asuhan Kebidanan 4 (Patologi). Jakarta: CV. Trans Info Media
6. Tim Pokja SDKI PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan
indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
7. Tim Pokja SIKI PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan
indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
8. Tim Pokja SLKI PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan
indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai