Anda di halaman 1dari 102

DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………….………………………...…………………….… i

Daftar Isi…………………….……………………….....……………………... ii

BAB I Pendahuluan...............….......………….……………………… 1

A. Latar Belakang ……..........................…..……..………… 1

B. Tujuan Pemelajaran Umum……...…..………....…...…… 2

C. Tujuan Pemelajaran Khusus…….....………….....……… 2

D. Deskripsi Singkat Struktur Modul.................................... 3

E. Metodologi Pemelajaran................................................. 3

BAB II Keuangan Daerah…………….…………….………..…….…... 5

A. Pengertian Keuangan Daerah……….……..……….….... 5

B. Hubungan antara Keuangan Daerah dengan


Keuangan
Negara…....................................................................... 6
..
C. Pengelola Keuangan Daerah……….............…………… 8

D. Latihan……………………………….......…………….…… 17

BAB III Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )…… 19

A Pengertian………….………………………………...…... 19

B. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah. ……….....…………… 20

C. Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah…...……….…......…. 21

D. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah …. 23

E. Latihan ………..............………………………………....… 25
BAB IV Penyusunan APBD……….………......………………………. 27

A. Siklus Anggaran....................…..………………………… 27

B. Penyusunan Rancangan APBD………………….....…… 28

C. Latihan...……............……………………………………… 46

BAB V Penerimaan Daerah............................................................. 49

A. Pendapatan Asli Daerah................................................. 51

B. Dana Perimbangan......................................................... 77

C. Penerimaan Daerah Lainnya yang Sah......................... 88

D. Penerimaan Pembiayaan................................................ 89

E. Latihan............................................................................ 96

BAB VI Pengeluaran Daerah............................................................ 98

A. Belanja Daerah............................................................... 98

B. Pengeluaran Pembiayaan Daerah.................................. 107

C. Latihan............................................................................ 109

BAB VII Pelaksanaan, Penatausahaan, Pelaporan dan


Pertanggungjawaban APBD……………….….…..….…..….
111

A. Pelaksanaan APBD…………...…….………….…………. 111

B. Penatausahaan Keuangan Daerah……………….......… 118

C. Akuntansi Keuangan Daerah………….….…………….... 124

D. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan

APBD.............................................................................. 126

E. Latihan...........……........…………………………………… 130
BAB VIII Penggantian Kerugian Negara/Daerah.............................. 132

A. Umum............................................................................. 132
B. Dasar-Dasar Pengertian yang Digunakan.....……… 135
C. Tata Cara Penyelesaian Kerugian Keuangan Daerah......................................................139
D. Tuntutan Perbendaharaan...................................................................................140
E. Tuntutan Ganti Rugi (TGR)............................................................................................146
F. Daluwarsa TP/TGR.........................................................................................................151
G. Penghapusan...................................................................................................................152
H. Pembebasan....................................................................................................................153
I.
Penyetoran......................................................................................................................153
J.Pelaporan........................................................................................................................154
K. Lain-lain.......................................................................... 154
L. Majelis Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi
Keuangan dan Barang
Daerah............................................................................ 154
M. Teknis dan Prosedur Penyelesaian TP/TGR Keuangan dan Barang
Daerah Melalui Majelis Pertimbangan
156
TP/TGR (Misalnya untuk Tingkat Provinsi)....................
N. Latihan............................................................................................................................158
Daftar Pustaka...................................................................................................................................................... 160
Daftar Istilah/Singkatan........................................................................................................................................163

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Sesuai dengan keputusan Kepala BPKP Nomor: KEP-06.04.00-847/K/ 1998 tanggal 11 Nopember
1998 tentang Pola Pendidikan Dan Pelatihan Auditor Bagi Aparat Pengawasan Fungsional
Pemerintah, Modul Sistem Administrasi Keuangan Daerah II (disingkat SAKD II) merupakan salah
satu kurikulum/mata ajar dalam rangka diklat pembentukan auditor ahli.
Diklat pembentukan auditor ahli adalah diklat untuk menjaring calon auditor yang berlatar belakang
pendidikan minimal sarjana (S1 atau D-IV) dengan kualifikasi yang ditentukan oleh instansi pembina
atau yang sederajat yang status ijazahnya telah disamakan oleh Departemen Pendidikan Nasional
RI. Setelah lulus dari pendidikan dan pelatihan ini, diharapkan mereka mampu untuk melaksanakan
tugasnya sebagai anggota tim.
Mata ajar SAKD II merupakan kelompok mata ajar inti, dengan lama pelatihan (jamlat) sebesar 30
jamlat. Mata ajar sistem administrasi keuangan negara II (SAKN II) dipergunakan/diajarkan bagi
calon auditor pada unit pengawasan pusat, sedangkan SAKD II diajarkan bagi calon auditor pada
unit pengawasan daerah.
Untuk calon auditor BPKP dan Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri RI, kedua mata
ajaran tersebut (SAKN II dan SAKD II) diberikan, akan tetapi mata ajar SAKD II sebagai mata ajar
yang tidak diujikan.

B. TUJUAN PEMELAJARAN UMUM

Modul ini disusun untuk memenuhi materi pelajaran pada diklat pembentukan auditor ahli di
lingkungan aparat pengawasan Intern pemerintah (APIP). Seorang auditor ahli harus memahami
sistem administrasi keuangan yang diaudit.
Tujuan Pemelajaran Umum (TPU) modul ini adalah agar peserta diklat mampu memahami SAKD
dalam rangka pengawasan keuangan daerah. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah akan
terwujudnya akuntabilitas dan good governance di lingkungan instansi pemerintah. Instansi
pengawasan internal pemerintah mempunyai andil yang cukup besar demi terwujudnya kedua hal
tersebut.

C. TUJUAN PEMELAJARAN KHUSUS

Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diklat diharapkan mampu


1. menjelaskan pengertian keuangan daerah, hubungan keuangan daerah dengan ke uangan
pusat, serta pengurusan keuangan daerah;
2. menjelaskan pengertian APBD, fungsi dan prinsip anggaran daerah, struktur APBD, sumber-
sumber penerimaan daerah, belanja daerah, serta pembiayaan daerah;
3. memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan
rancangan hingga penetapan APBD;
4. memahami pengertian, unsur-unsur dan prosedur penerimaan daerah;
5. menjelaskan pengertian pengeluaran daerah, berupa belanja daerah dan pengeluaran
pembiayaan daerah;

6. memahami proses pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan per- tanggungjawaban


APBD; dan
7. menjelaskan pengertian penggantian kerugian negara/daerah.

Dengan pemahaman itu, maka setiap peserta pelatihan diharapkan mampu melakukan
pengawasan keuangan daerah.
D. DESKRIPSI SINGKAT MODUL
Diklat ini membekali peserta untuk memahami pengertian dan konsep tentang SAKD dengan
materi pembahasan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Keuangan Daerah

Bab III : Anggaran Pendapan dan Belanja Daerah (APBD) Bab IV :


Penyusunan APBD
Bab V : Penerimaan Daerah Bab VI
: Pengeluaran Daerah
Bab VII : Pelaksanaan, Penatausahaan, Pelaporan, dan
Pertanggungjawaban APBD
Bab VIII : Penggantian Kerugian Negara/Daerah

Pada masing-masing bab akan disajikan dasar teori, latihan soal dan kasus yang harus dijawab oleh
para peserta baik secara perseorangan maupun kelompok.

E. METODOLOGI PEMELAJARAN

Peserta diklat diharapkan mampu memahami secara optimal substansi yang terdapat dalam modul
ini, untuk itu diperlukan proses belajar mengajar dengan pendekatan andragogi.

Untuk mencapai tujuan pemelajaran di atas, maka metode pemelajaran yang akan digunakan
adalah ceramah, diskusi dan pemecahan kasus. Selain membahas soal latihan yang ada pada
modul ini, para widyaiswara
/instruktur diharapkan juga memberikan bahan-bahan pelatihan yang dapat menambah wawasan
para peserta. Penggunaan referensi tambahan juga diperlukan guna menambah wawasan para
peserta diklat.

BAB II
KEUANGAN DAERAH

Pada akhir pemelajaran ini peserta mampu menjelaskan pengertian keuangan


daerah, hubungan keuangan daerah dengan keuangan pusat, serta pengurusan
keuangan daerah dalam rangka mem bantu pelaksanaan tugasnya sebagai auditor.
A. PENGERTIAN KEUANGAN DAERAH
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :

“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan
segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Berdasarkan pengertian tersebut unsur pokok keuangan daerah terdiri atas:


- Hak Daerah yang dapat dinilai
- Kewajiban Daerah dengan uang

- Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.

Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam usaha pemerintah daerah mengisi
kas daerah.
Hak daerah tersebut meliputi antara lain :

1. Hak menarik pajak daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000).
2. Hak untuk menarik retribusi/iuran daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 tahun 2000).
3. Hak mengadakan pinjaman (UU No. 33 tahun 2004 ).

4. Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat (UU No. 33 tahun 2004).

Kewajiban daerah juga merupakan bagian pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan pusat sesuai
pembukaan UUD 1945 yaitu:

1. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

2. memajukan kesejahteraan umum,

3. mencerdaskan kehidupan bangsa,

4. ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan


perdamaian abadi dan keadilan sosial.

B. HUBUNGAN ANTARA KEUANGAN DAERAH DENGAN KEUANGAN NEGARA

Pasal 1 UUD 1945 menetapkan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.
Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menyatakan bahwa daerah
Indonesia terbagi dalan daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan


berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber- sumber daya nasional yang
memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga merupakan subsistem dari pemerintahan
negara sehingga antara keuangan daerah dengan keuangan negara akan mempunyai hubungan
yang erat dan saling mempengaruhi.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah
pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.

Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam
rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia dan
sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan
dan pelimpahan kewenangan tersebut. Sedangkan penugasan dari pemerintah pusat kepada
daerah dalam rangka tugas pembantuan disertai pengalokasian anggaran.

Dari ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut, hanya pelimpahan wewenang dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi saja yang merupakan sumber keuangan daerah melalui alokasi dana
perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan alokasi dana dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tidak merupakan sumber penerimaan APBD dan diadministrasikan serta dipertanggungjawabkan
secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan desentralisasi.

C. PENGELOLA KEUANGAN DAERAH

Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan pengelola keuangan


daerah. Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Kepala daerah perlu menetapkan pejabat-pejabat tertentu dan para bendahara untuk
melaksanakan pengelolaan keuangan daerah. Para pengelola keuangan daerah tersebut adalah:

1. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah (Koordinator PKD).

2. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).

3. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB)

4. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).

5. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

6. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.

Berikut ini adalah uraian tentang tugas-tugas para pejabat pengelola keuangan daerah tersebut.

1. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai kewenangan:

a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah


(APBD);

b. menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah;


c. menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang;

d. menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara


pengeluaran;

e. menetapkan pejabat yang bertugas memungut penerimaan


daerah;

f. menetapkan pejabat yang bertugas mengelola utang dan piutang daerah;

g. menetapkan pejabat yang bertugas mengelola barang milik


daerah; dan

h. menetapkan pejabat yang bertugas menguji tagihan dan


memerintahkan pembayaran.

Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah melimpahkan


sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada:

a. Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelola Keuangan


Daerah (KPKD)

b. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD).

c. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna


anggaran/pengguna barang.

Pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berdasarkan prinsip


pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau
mengeluarkan uang, yang merupakan unsur penting dalam sistem pengendalian intern.

2. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah

Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah membantu kepala


daerah menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan
daerah termasuk pengelolaan keuangan daerah. Sekretaris Daerah selaku koordinator
pengelolaan keuangan daerah mempunyai tugas koordinasi di bidang:

a. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan APBD;

b. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah;

c. penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;

d. penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD, perubahan APBD, dan


pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;

e. tugas-tugas pejabat perencana daerah, pejabat pengelola


keuangan daerah, dan pejabat pengawas keuangan daerah; dan

f. penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka


pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Selain mempunyai tugas koordinasi, sekretaris daerah mempunyai tugas:

a. memimpin TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah),

b. menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD,

c. menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah,

d. memberikan persetujuan pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran (DPA-


SKPD)/dokumen perubahan pelaksanaan anggaran (DPPA), dan

e. melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya


berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas


tersebut kepada kepala daerah.

3. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah

Kepala SKPKD selaku PPKD mempunyai tugas:

a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah,

b. menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD,

c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan


daerah,

d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah (BUD),

e. menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan


APBD, dan

f. melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku BUD berwenang:

a. menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;

b. mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;

c. melakukn pengendalian pelaksanaan APBD;

d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluar-an kas


daerah;

e. melaksanakan pemungutan pajak daerah;

f. menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);

g. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian pinjaman atas nama pemerintah


daerah;
h. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;

i. menyajikan informasi keuangan daerah; dan

j. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta


penghapusan barang milik daerah.

PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan daerah
selaku kuasa bendahara umum daerah (Kuasa BUD). PPKD mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

Penunjukan kuasa BUD oleh PPKD ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Kuasa
BUD mempunyai tugas:

a. menyiapkan anggaran kas;

b. menyiapkan SPD;

c. menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D);

d. menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;

e. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau


lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk;

f. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam


pelaksanaan APBD;

g. menyimpan uang daerah;

h. melaksanakan penempatan uang daerah dan


mengelola/menatausahakan investasi daerah;

i. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat


pengguna anggaran atas beban rekening kas umum daerah;

j. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah


daerah;

k. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan

l. melakukan penagihan piutang daerah.

Kuasa BUD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada BUD.

PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya dilingkungan SKPKD untuk


melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut:

a. menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;

b. mengendalikan pelaksanaan APBD;

c. memungut pajak daerah;


d. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah
daerah;

e. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;

f. menyajikan informasi keuangan daerah; dan

g. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta


penghapusan barang milik daerah.

4. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang

Kepala SKPD selaku Pejabat Pengguna Anggaran /Pengguna Barang (PPA/PB) mempunyai
tugas:

a. menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD);

b. menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD);

c. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja;

d. melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;

e. menguji tagihan dan memerintahkan pembayaran;

f. memungut penerimaan bukan pajak;

g. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang
telah ditetapkan;

h. menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM);

i. mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;

j. mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD
yang dipimpinnya;

k. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;

l. mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya; dan

m. melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya berdasarkan


kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan


tugasnya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

PPA/PB dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat melimpahkan sebagian kewenangannya


kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku KPA/KPB (Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Barang). Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut berdasarkan pertimbangan
tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi,
kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan
sebagian kewenangan tersebut ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD. Kuasa
pengguna anggaran/kuasa pengguna barang mempertanggung jawabkan pelaksanaan
tugas-tugasnya kepada pengguna anggaran/ pengguna barang.
5. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD

PPA/PB dan KPA/KPB dalam melaksanakan program dan kegiatan menunjuk pejabat pada
unit kerja SKPD selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Penunjukan pejabat
tersebut berdasarkan pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja,
lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.

PPTK bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna


barang atau kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang yang telah menunjuknya.
Tugas- tugas tersebut adalah:

a. mengendalikan pelaksanaan kegiatan;

b. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; dan

c. menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan, yang


mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait
dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.

6. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD

Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada
SKPD sebagai Pejabat Penatausaha Keuangan SKPD (PPK-SKPD) yang mempunyai tugas:

a. meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) pengadaan


barang dan jasa yang disampaikan oleh bendahara pengeluaran dan diketahui/ disetujui
oleh PPTK;

b. meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP), Surat


Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPP-GU), Surat Permintaan
Pembayaran Tambah Uang Persediaan (SPP-TU) dan SPP-LS gaji dan tunjangan PNS
serta penghasilan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
perundangundangan yang diajukan oleh bendahara pengeluaran;

c. melakukan verifikasi SPP;

d. menyiapkan SPM;

e. melakukan verifikasi harian atas penerimaan;

f. melaksanakan akuntansi SKPD; dan

g. menyiapkan laporan keuangan SKPD.

PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
penerimaan negara/daerah, bendahara, dan/atau PPTK.

7. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran

Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan bendahara penerimaan dan bendahara
pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran pada SKPD.

Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran tersebut adalah pejabat fungsional.


Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran baik secara langsung maupun tidak
langsung dilarang melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan
jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/ pekerjaan/penjualan, serta membuka
rekening/giro pos atau menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya
atas nama pribadi.

Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran dalam melaksanakan tugasnya dapat


dibantu oleh bendahara penerimaan pembantu dan/atau bendahara pengeluaran pembantu.

Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran secara fungsional ber-tanggung jawab


atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku BUD.

D. LATIHAN

1. Semua hak di bawah ini adalah hak yang dilakukan dalam rangka keuangan daerah kecuali :

a. Hak menarik pajak daerah.

b. Hak untuk mengadakan pinjaman daerah.

c. Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat.

d. Hak untuk memperoleh bagian laba dari perusahaan daerah.

2. Pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah adalah :

a. Gubernur/Bupati/Walikota

b. Sekretaris Daerah.

c. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah.

d. Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah

3. Persyaratan dan pembinaan karir bendahara diatur oleh :

a. Pengguna Anggaran/Pengguna barang.

b. Bendahara Umum Daerah.

c. Kepala Daerah .

d. Bendahara Umum Negara.

4. Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang berwenang antara lain :

a. Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran.


b. Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran.

c. Melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah.

d. Melaksanakan pemungutan pajak daerah.

5. Bendahara Umum Daerah berwenang antara lain:

a. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan.

b. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak,

c. Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah,

d. Menggunakan barang milik daerah.

BAB III

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)


Pada akhir pemelajaran ini peserta dapat menjelaskan pengertian APBD, fungsi
dan prinsip anggaran daerah, struktur APBD, sumber-sumber penerimaan
daerah, belanja daerah, serta pembiayaan daerah dalam rangka membantu
pelaksanaan tugasnya sebagai auditor.

A. PENGERTIAN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara).

Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD.
Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas
desentralisasi. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan
dekonsentrasi atau tugas pembantuan tidak dicatat dalam APBD.

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD
merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan
daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua
pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan
dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian,
pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.

Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir
tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan
pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.

APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya
pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan
melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang
dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh
melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan. Penganggaran pengeluaran harus
didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Setiap
pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak
tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut.

B. FUNGSI-FUNGSI ANGGARAN DAERAH

Berbagai fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat

(4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, yaitu :

1. Fungsi Otorisasi

APBD merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan


belanja pada tahun yang bersangkutan.

2. Fungsi Perencanaan

APBD merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan

APBD menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4. Fungsi Alokasi

APBD diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

5. Fungsi Distribusi

APBD harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan

6. Fungsi Stabilisasi

APBD harus mengandung arti atau harus menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian.

C. PRINSIP-PRINSIP ANGGARAN DAERAH

Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan APBD yang berlaku juga dalam
pengelolaan anggaran negara/daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara, yaitu:

1. Kesatuan

Azas ini menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara/daerah disajikan dalam
satu dokumen anggaran.

2. Universalitas

Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam
dokumen anggaran.

3. Tahunan

Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu.

4. Spesialitas

Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas
peruntukannya.

5. Akrual

Azas ini menghendaki anggaran suau tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang
seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya
diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas.

6. Kas

Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi
pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke kas daerah.
Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003,
dilaksanakan selambat- lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan
pengukuran berbasis kas.

D. STRUKTUR ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:

1. Pendapatan Daerah

2. Belanja Daerah

3. Pembiayaan

Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, tapi apabila
terjadi selisih kurang maka hal itu disebut defisit anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan
jumlah surplus atau jumlah defisit anggaran.

1. Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah,
yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun
anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah. Pendapatan daerah terdiri atas:

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD);

b. Dana perimbangan; dan

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2. Belanja Daerah

Komponen berikutnya dari APBD adalah belanja daerah. Belanja daerah meliputi semua
pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang
merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota
yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan
perundang-undangan.

3. Pembiayaan Daerah

Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan
maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah tersebut terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.

Penerimaan pembiayaan mencakup:

a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya;

b. pencairan dana cadangan;


c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;

d. penerimaan pinjaman; dan

e. penerimaan kembali pemberian pinjaman.

Pengeluaran pembiayaan mencakup:

a. pembentukan dana cadangan;

b. penyertaan modal pemerintah daerah;

c. pembayaran pokok utang; dan

d. pemberian pinjaman.

Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran


pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran.

E. LATIHAN

1. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari :

a. Pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan.

b. Pendapatan daerah, pengeluaran daerah dan pembiayaan.

c. Penerimaan daerah, pengeluaran daerah dan pembiayaan.

d. Penerimaan daerah, belanja daerah dan pembiayaan.

2. Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut :

a. Kelebihan anggaran.

b. Surplus anggaran.

c. Selisih lebih anggaran.

d. Pembiayaan anggaran.

3. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan


desentralisasi adalah seperti disebut di bawah ini, kecuali :

a. Pendapatan asli daerah.


b. Dana perimbangan.

c. Pinjaman daerah.

d. Penerimaan pajak dan retribusi daerah.

4. Belanja pegawai dan belanja barang dan jasa adalah belanja yang diklasifikasikan
berdasarkan :

a. Fungsi.

b. Jenis.

c. Urusan pemerintahan

d. Program dan kegiatan

5. Pembentukan dana cadangan termasuk dalam komponen :

a. Pendapatan

b. Belanja

c. Penerimaan pembiayaan

d. Pengeluaran pembiayaan

BAB IV

PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

Pada akhir pemelajaran ini peserta dapat memahami siklus anggaran, khususnya proses
penyusunan APBD, mulai dari penyusunan rancangan hingga penetapan APBD.
A. SIKLUS ANGGARAN

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran
terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD disusun sesuai
dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Dalam
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah melaksanakan kegiatan keuangan dalam siklus
pengelolaan anggaran yang secara garis besar terdiri dari:

1. Penyusunan dan Penetapan APBD;

2. Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD;

3. Pelaporan dan Pertanggungjawaban APBD.

Penyusunan APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah daerah dalam rangka
mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD, perubahan
APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan
daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Pendapatan, belanja dan pembiayaan
daerah yang dianggarkan dalam APBD harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-
undangan dan dianggarkan secara bruto dalam APBD.

B. PENYUSUNAN RANCANGAN APBD

Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan dana dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan kesesuaian antara
kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya. Pengaturan kesesuaian kewenangan
dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan
atas beban APBD.

2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di


daerah didanai dari dan atas beban APBN.

3. Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada


kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.

4. Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan


kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.

Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang, barang
dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD.
Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum penganggaran.
Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan daerah
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

1. Rencana Kerja Pemerintahan Daerah

Penyusunan APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah daerah. Karena itu
kegiatan pertama dalam penyusunan APBD adalah penyusunan rencana kerja pemerintah
daerah (RKPD). Pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan penjabaran dari
rencana pembangunan jangka menengah Dderah (RPJMD) dengan menggunakan bahan
dari renja SKPD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada rencana kerja
pemerintah pusat.

RKPD tersebut memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan
kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan
langsung oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat. Secara khusus, kewajiban daerah mempertimbangkan prestasi
capaian standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei sebelum tahun anggaran
berkenaan. RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

2. Kebijakan Umum APBD

Setelah rencana kerja pemerintah daerah ditetapkan, pemerintah daerah perlu menyusun
kebijakan umum APBD (KUA) serta prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) yang
menjadi acuan bagi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam menyusun rencana kerja
dan anggaran (RKA) SKPD.

Kepala daerah menyusun rancangan KUA berdasarkan RKPD dan pedoman penyusunan
APBD yang ditetapkan menteri dalam negeri setiap tahun. Pedoman penyusunan APBD yang
ditetapkan menteri dalam negeri tersebut memuat antara lain:

a. pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan


pemerintah dengan pemerintah daerah;

b. prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran


berkenaan;

c. teknis penyusunan APBD; dan

d. hal-hal khusus lainnya.

Rancangan KUA memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang
akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan daerah yang
disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya. Program-
program diselaraskan dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat. Sedangkan asumsi yang mendasari adalah pertimbangan atas perkembangan
ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat.

Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dibantu oleh tim anggaran pemerintah
daerah (TAPD) yang dipimpin oleh sekretaris daerah. Rancangan KUA yang telah disusun,
disampaikan oleh sekretaris daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah kepada
kepala daerah, paling lambat pada awal bulan Juni.

Rancangan KUA disampaikan kepala daerah kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan
Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun
anggaran berikutnya. Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama panitia anggaran DPRD.
Rancangan KUA yang telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi KUA paling lambat
minggu pertama bulan Juli tahun anggaran berjalan.

3. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara


Selanjutnya berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah daerah menyusun
rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS). Rancangan PPAS tersebut
disusun dengan tahapan sebagai berikut:

a. menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan;

b. menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan

c. menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.

Kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS yang telah disusun kepada DPRD untuk
dibahas paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan. Pembahasan
dilakukan oleh TAPD bersama panitia anggaran DPRD. Rancangan PPAS yang telah
dibahas selanjutnya disepakati menjadi PPA paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran
berjalan.

KUA serta PPA yang telah disepakati, masing-masing dituangkan ke dalam nota
kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD.
Dalam hal kepala daerah berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang
diberi wewenang untuk menandatangani nota kepakatan KUA dan PPA. Dalam hal kepala
daerah berhalangan tetap, penandatanganan nota kepakatan KUA dan PPA dilakukan oleh
penjabat yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.

4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD

Berdasarkan nota kesepakatan yang berisi KUA dan PPAS, TAPD menyiapkan rancangan
surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA SKPD sebagai acuan kepala
SKPD dalam menyusun RKA-SKPD. Rancangan surat edaran kepala daerah tentang
pedoman penyusunan RKA-SKPD mencakup:

a. PPA yang dialokasikan untuk setiap program SKPD berikut rencana pendapatan dan
pembiayaan;

b. sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD dengan kinerja SKPD berkenaan sesuai
dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan;

c. batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD;

d. hal-hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dari SKPD terkait dengan prinsip-
prinsip peningkatan efisiensi, efektifitas, tranparansi dan akuntabilitas penyusunan
anggaran dalam rangka pencapaian prestasi kerja; dan

e. dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA, kode rekening APBD, format RKASKPD,
analisis standar belanja dan standar satuan harga.

Surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKA- SKPD diterbitkan paling
lambat awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan. Berdasarkan pedoman tersebut, kepala
SKPD menyusun RKA-SKPD.

RKA-SKPD disusun melalui pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah,


penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja. Pendekatan kerangka
pengeluaran jangka menengah daerah dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju.
Prakiraan maju tersebut berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan
yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang
direncanakan.

Pendekatan penganggaran terpadu dilakukan dengan memadukan seluruh proses


perencanaan dan penganggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan di lingkungan SKPD
untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dan anggaran.

Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan


keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil serta
manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.

Untuk terlaksananya penyusunan RKA-SKPD berdasarkan pendekatan kerangka


pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran
berdasarkan prestasi kerja, dan terciptanya kesinambungan RKA-SKPD, kepala SKPD
mengevaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan 2 (dua) tahun anggaran sebelumnya
sampai dengan semester pertama tahun anggaran berjalan. Evaluasi tersebut bertujuan
menilai program dan kegiatan yang belum dapat dilaksanakan dan/atau belum diselesaikan
tahun-tahun sebelumnya untuk dilaksanakan dan/atau diselesaikan pada tahun yang
direncanakan atau 1 (satu) tahun berikutnya dari tahun yang direncanakan. Dalam hal suatu
program dan kegiatan merupakan tahun terakhir untuk pencapaian prestasi kerja yang
ditetapkan, kebutuhan dananya harus dianggarkan pada tahun yang direncanakan.

Penyusunan RKA-SKPD berdasarkan prestasi kerja memperhatikan:

a. Indikator Kinerja

Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program dan
kegiatan yang direncanakan.

b. Capaian Atau Target Kinerja

Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud
kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan
kegiatan.

c. Analisis Standar Belanja

Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya
yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.

d. Standar Satuan Harga

Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku
disuatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

e. Standar Pelayanan Minimal

Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan capaian
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.

RKA-SKPD memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing program


dan kegiatan, serta rencana pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirinci sampai
dengan rincian objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju untuk tahun
berikutnya. RKA-SKPD juga memuat informasi tentang urusan pemerintah daerah ,
organisasi, standar biaya, prestasi kerja yang akan dicapai dari program dan kegiatan.

RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih
lanjut oleh TAPD.

5. Penyiapan Raperda APBD


Selanjutnya, berdasarkan RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD dilakukan pembahasan
penyusunan Raperda oleh TAPD. Pembahasan oleh TAPD dilakukan untuk menelaah
kesesuaian antara RKA-SKPD dengan KUA, PPA, prakiraan maju yang telah disetujui tahun
anggaran sebelumnya, dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator
kinerja, kelompok sasaran kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar
pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD.

Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian, kepala SKPD melakukan
penyempurnaan. RKA-SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan
kepada PPKD sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan
rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

Rancangan peraturan daerah tentang APBD dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari:

a. ringkasan APBD;

b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;

c. rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja


dan pembiayaan;

d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program dan


kegiatan;

e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintahan


daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;

f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;

g. daftar piutang daerah;

h. daftar penyertaan modal (investasi) daerah;

i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;

j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;

k. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan


dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;

l. daftar dana cadangan daerah; dan

m. daftar pinjaman daerah.

Bersamaan dengan penyusunan rancangan perda APBD, disusun rancangan peraturan


kepala daerah tentang penjabaran APBD. Rancangan peraturan kepala daerah tersebut
dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari:

a. ringkasan penjabaran APBD;

b. penjabaran APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan,


kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan.

Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD wajib memuat penjelasan sebagai
berikut:

a. untuk pendapatan mencakup dasar hukum, target/volume yang direncana-kan, tarif


pungutan/harga;
b. untuk belanja mencakup dasar hukum, satuan volume/tolok ukur, harga satuan, lokasi
kegiatan dan sumber pendanaan kegiatan;

c. untuk pembiayaan mencakup dasar hukum, sasaran, sumber penerimaan pembiayaan


dan tujuan pengeluaran pembiayaan.

Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD disampaikan
kepada kepala daerah. Selanjutnya rancangan peraturan daerah tentang APBD sebelum
disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada masyarakat. Sosialisasi rancangan
peraturan daerah tentang APBD tersebut bersifat memberikan informasi mengenai hak dan
kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran
yang direncanakan.

Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilaksanakan oleh sekretaris


daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.

6. Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah


tentang APBD

Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD beserta


lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun
anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan
bersama. Pengambilan keputusan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap rancangan
peraturan daerah tentang APBD dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

Penyampaian rancangan peraturan daerah tersebut disertai dengan nota keuangan.


Penetapan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD untuk
mendapatkan persetujuan bersama, disesuaikan dengan tata tertib DPRD masing-masing
daerah. Pembahasan rancangan peraturan daerah tersebut berpedoman pada KUA, serta
PPA yang telah disepakati bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Dalam hal DPRD
memerlukan tambahan penjelasan terkait dengan pembahasan program dan kegiatan
tertentu, dapat meminta RKA-SKPD berkenaan kepada kepala daerah.

Apabila DPRD sampai batas waktu 1 bulan sebelum tahun anggaran berkenaan, tidak
menetapkan persetujuan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan
daerah tentang APBD, maka kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya
sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan.
Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan tersebut, diprioritaskan untuk
belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib. Belanja yang bersifat
mengikat merupakan belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus dialokasikan
oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam
tahun anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa.
Sedangkan belanja yang bersifat wajib adalah belanja untuk terjaminnya kelangsungan
pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan
dan/atau melaksanakan kewajiban kepada fihak ketiga.

Atas dasar persetujuan bersama, kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD tersebut dilengkapi dengan
lampiran yang terdiri dari :

a. ringkasan APBD;

b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;

c. rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan,


kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan;

d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program dan


kegiatan;

e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintahan


daerah dan fungsi pengelolaan keuangan negara;

f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;

g. daftar piutang daerah;

h. daftar penyertaan modal (investasi) daerah;

i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;

j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;

k. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan


dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;

l. daftar dana cadangan daerah; dan

m. daftar pinjaman daerah.

Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas
kepala daerah dan/atau selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani
persetujuan bersama.

Rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD dapat dilaksanakan setelah memperoleh
pengesahan dari mendagri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota. Sedangkan
pengesahan rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD ditetapkan dengan
keputusan mendagri bagi provinsi dan keputusan gubernur bagi kabupaten/kota.

Penyampaian rancangan peraturan kepala daerah untuk memperoleh pengesahan paling


lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak DPRD tidak menetapkan keputusan bersama
dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.

Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja mendagri/gubernur tidak mengesahkan
rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah menetapkan rancangan
peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah.

Khusus untuk pengeluaran, diatur bahwa pelampauan batas tertinggi dari jumlah
pengeluaran, hanya diperkenankan apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji
dan tunjangan PNS serta penyediaan dana pendamping atas program dan kegiatan yang
ditetapkan oleh pemerintah serta bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang
ditetapkan dalam undang-undang.
7. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan
Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD

Rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur
paling lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan terlebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri
untuk dievaluasi.

Penyampaian rancangan disertai dengan:

a. persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD


terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD;

b. KUA dan PPA yang disepakati antara kepala daerah dan pimpinan DPRD;

c. risalah sidang jalannya pembahasan terhadap rancangan


peraturan daerah tentang APBD; dan

d. nota keuangan dan pidato kepala daerah perihal penyampaian pengantar nota keuangan
pada sidang DPRD.

Evaluasi bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan
nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur serta untuk meneliti
sejauh mana APBD provinsi tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang
lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya yang ditetapkan oleh provinsi bersangkutan.
Untuk efektivitas pelaksanaan evaluasi, menteri dalam negeri dapat mengundang pejabat
pemerintah daerah provinsi yang terkait.

Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan menteri dalam negeri dan disampaikan kepada
gubernur paling lama 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan
dimaksud. Apabila menteri dalam negeri menyatakan hasil evaluasi atas rancangan
peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan gubemur tentang penjabaran
APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan
peraturan gubernur.

Dalam hal mendagri menyatakan bahwa hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang
APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubemur bersama
DPRD menyempurnakan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil
evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan gubernur
tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan
gubernur tentang penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan gubernur,
menteri dalam negeri membatalkan peraturan daerah dan peraturan gubernur dimaksud
sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

Pembatalan peraturan daerah dan peraturan gubernur serta pernyataan berlakunya pagu
APBD tahun sebelumnya ditetapkan dengan peraturan menteri dalam negeri.

Sementara itu, rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD yang telah
disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD
sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota paling lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada
gubernur untuk dievaluasi. Pelaksanaan dan ketentuan evaluasi adalah sebagaimana halnya
evaluasi oleh menteri dalam negeri untuk rancangan APBD provinsi.

Pembatalan peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota dan pernyataan berlakunya


pagu APBD tahun sebelumnya ditetapkan dengan peraturan gubernur. Paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setelah pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan peraturan
daerah dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut peraturan daerah
dimaksud. Pencabutan peraturan daerah tersebut dilakukan dengan peraturan daerah
tentang pencabutan peraturan daerah tentang APBD.

Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBD tahun sebelumnya, ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah. Penyempurnaan hasil evaluasi dilakukan kepala daerah bersama dengan
panitia anggaran DPRD. Hasil penyempurnaan ditetapkan oleh pimpinan DPRD. Keputusan
pimpinan DPRD dijadikan dasar penetapan peraturan daerah tentang APBD.

Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya.
Sidang paripurna berikutnya yakni setelah sidang paripurna pengambilan keputusan bersama
terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.

Keputusan pimpinan DPRD disampaikan kepada menteri dalam negeri bagi APBD provinsi
dan kepada gubernur bagi APBD kabupaten/kota paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
keputusan tersebut ditetapkan. Dalam hal pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat
yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku pimpinan sementara
DPRD yang menandatangani keputusan pimpinan DPRD.

Gubernur menyampaikan hasil evaluasi yang dilakukan atas rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran
APBD kepada menteri dalam negeri.

8. Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan
peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan
oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD. Penetapan rancangan peraturan daerah tentang
APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD tersebut dilakukan
paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.

Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas kepala daerah yang menetapkan
peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD kepada mendagri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

9. Perubahan APBD

Penyesuaian APBD sesuai dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan, dibahas


bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan
APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:

a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;

b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit


organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;

c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus digunakan
dalam tahun berjalan;
d. keadaan darurat; dan

e. keadaan luar biasa.

Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD,
dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Keadaan darurat tersebut sekurang-
kurangnya memenuhi kriteria berikut ini:

a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah dan tidak dapat
diprediksikan sebelumnya;

b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;

c. berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah; dan

d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang
disebabkan oleh keadaan darurat.

Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali
dalam keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa tersebut adalah keadaan yang menyebabkan
estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau
penurunan lebih besar dari 50%.

Pelaksanaan pengeluaran atas pendanaan keadaan darurat dan/atau keadaan luar biasa
ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Realisasi pengeluaran atas pendanaan keadaan
darurat dan/atau keadaan luar biasa tersebut dicantumkan dalam rancangan peraturan
daerah tentang pertanggung-jawaban pelaksanaan APBD.

Pemerintah daerah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD


tahun anggaran yang bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan berakhir. Persetujuan DPRD terhadap rancangan peraturan
daerah tersebut selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran.

Proses evaluasi dan penetapan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan
rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD menjadi peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan seperti halnya evaluasi dan
penetapan rancangan APBD. Apabila hasil evaluasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh kepala
daerah dan DPRD, dan kepala daerah tetap menetapkan rancangan peraturan daerah
tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
perubahan APBD, peraturan daerah dan peraturan kepala daerah dimaksud dibatalkan dan
sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun berjalan termasuk untuk pendanaan
keadaan darurat.

Pembatalan peraturan daerah tentang perubahan APBD provinsi dan peraturan gubernur
tentang penjabaran perubahan APBD dilakukan oleh menteri dalam negeri. Pembatalan
peraturan daerah tentang perubahan APBD kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota
tentang penjabaran perubahan APBD dilakukan oleh gubernur.

Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tentang pembatalan, Kepala daerah wajib
memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan selanjutnya
kepala daerah bersama DPRD mencabut peraturan daerah dimaksud. Pencabutan peraturan
daerah tersebut dilakukan dengan peraturan daerah tentang pencabutan peraturan daerah
tentang perubahan APBD.
C. LATIHAN

1. Jumlah pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah dianggarkan dalam APBD secara:

a. Insidentil

b. Periodik

c. Bruto

d. Netto

2. Selanjutnya berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah daerah menyusun


rancangan lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut:

a. RPJMD

b. PPAS

c. DPA-SKPD

d. RKPD

3. Penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu
kegiatan disebut:

a. Indikator Kinerja

b. Standar Pelayanan Minimal

c. standar satuan harga

d. analisis standar belanja

4. RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih
lanjut oleh:

a. Tim Anggaran Pemerintah Daerah

b. Sekretaris Daerah

c. Panitia Anggaran DPRD

d. Kepala Daerah
5. Pembatalan peraturan daerah tentang perubahan APBD provinsi dan peraturan gubernur
tentang penjabaran perubahan APBD dilakukan oleh:

a. DPRD Provinsi

b. Dirjen Otonomi Daerah

c. Menteri Dalam Negeri

d. Presiden

BAB V

PENERIMAAN DAERAH

Pada akhir pemelajaran ini peserta mampu memahami pengertian, unsur-unsur


dan prosedur penerimaan daerah dalam rangka membantu pelaksanaan tugasnya
sebagai auditor.
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang nomor 33 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menetapkan bahwa
penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah
ekuitas dana lancar dan merupakan hak pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu
dibayar kembali oleh daerah.

Pada hakekatnya pendapatan daerah secara langsung diperoleh dari mekanisme pajak dan retribusi
daerah atau pungutan lainnya yang dibebankan kepada masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam
perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran horisontal dan kewajaran vertikal. Prinsip kewajaran
horisontal mempersyaratkan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diperlakukan sama.
Sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak/retribusi untuk
membayar, artinya bagi masyarakat berkemampuan membayar tinggi akan dibebankan pajak/retribusi
yang tinggi pula. Sudah barang tentu untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah
dapat menerapkan kebijakan diskriminasi tarif yang rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan.
Selain itu dalam konteks belanja, pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil
dan merata agar secara relatif dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi,
khususnya dalam pengelolaan pelayanan umum. Sehubungan dengan hal itu, pendapatan daerah yang
dianggar-kan dalam APBD merupakan perkiraan terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap
sumber pendapatan. Pendapatan daerah bersumber dari:

A. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh dan dipungut oleh pemerintah
daerah berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan meliputi:

1. pajak daerah

2. retribusi daerah, termasuk hasil jasa pelayanan badan layanan umum daerah

3. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain bagian laba BUMN/BUMD,
hasil kerja sama dengan pihak ketiga

4. PAD lain-lain yang sah.

B. Dana perimbangan; bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan ke pemerintah daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksana-an desentralisasi:

1. dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak

2. dana alokasi umum

3. dana alokasi khusus.

C. Pendapatan daerah lainnya yang sah:

1. hibah

2. dana darurat

3. dana bagi hasil dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya

4. dana penyesuaian dan otonomi khusus

5. bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya.

D. Penerimaan pembiayaan daerah berasal dari:


1. sisa lebih perhitungan anggaran daerah tahun anggaran sebelumnya (SILPA)

2. pencairan dana cadangan

3. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan

4. penerimaan pinjaman daerah

5. penerimaan kembali pemberian pinjaman

6. penerimaan piutang daerah

7. penerimaan kembali penyertaan modal (investasi) daerah

A. Pendapatan Asli Daerah

1. Pajak dan Retribusi Daerah

Dewasa ini pajak dan retribusi daerah terdiri atas berbagai jenis yang berhubungan dengan
berbagai sendi kehidupan masyarakat. Masing- masing jenis pajak dan retribusi daerah pada
suatu provinsi/ kabupaten/kota memiliki subjek, objek, tarif dan berbagai ketentuan
pengenaan tersendiri yang mungkin berbeda dengan daerah lainnya. Hal itu ditopang oleh
semangat otonomi daerah yang memungkinkan setiap provinsi/kabupaten/kota meng-atur
daerahnya sendiri termasuk dalam mengelola pajak dan retribusi daerah.

Opini masyarakat menunjukkan pemungutan pajak daerah seringkali disamakan dengan


retribusi daerah, karena mereka beranggapan bahwa keduanya merupakan kewajiban
pembayaran kepada pemerintah daerah. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar,
karena terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara pajak dan retribusi daerah. Pajak
dan retribusi daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah merupakan penarikan sumber
daya ekonomi (umumnya dalam bentuk uang) kepada masyarakat guna membiayai tugas-
tugas pemerintahan dalam melayani kepentingan masyarakat. Penarikan pungutan oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat harus memenuhi syarat: harus ditetapkan dengan
peraturan daerah, dapat dipaksakan, mempunyai kepastian hukum dan ada jaminan
kejujuran/integritas para pengelolanya.

Setiap jenis penerimaan daerah yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan hukum
yang kuat guna menjamin kelancaran pengenaan dan pemungutannya. Dasar hukum
pemungutan tersebut antara lain:

- Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Dan Retribusi Daerah yang
berlaku sejak diundangkan tanggal 23 Mei 1997.

- Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18


tahun 1997 yang berlaku sejak diundangkan tanggal 20 Desember 2000.

- Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

- Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat


Dan Pemerintah Daerah

- Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1997 tentang Pajak Daerah yang berlaku sejak
diundangkan tanggal 4 Juli 1997.

- Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah yang berlaku sejak
diundangkan tanggal 13 September 2001.

- Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah yang berlaku sejak
diundangkan tanggal 13 september 2001.

- Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

- Keputusan presiden, keputusan menteri dalam negeri, keputusan menteri keuangan,


peraturan daerah provinsi/kabupaten/kota di bidang pajak dan retribusi daerah.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 yang diubah dengan
Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun 2007.

a. Pajak Daerah

1) Pengertian Pajak Daerah

Secara umum pajak adalah pemungutan dana dari masyarakat oleh pemerintah
berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dan terutang bagi wajib bayar
tanpa men-dapat prestasi langsung serta hasilnya dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan
ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak sebagai berikut:

a) Pajak dipungut oleh pemerintah baik pusat maupun daerah berdasarkan


peraturan perundang-undangan.

b) Penerimaan pajak merupakan pendapatan pemerintah yang harus dimasukkan


ke dalam kas negara/daerah.

c) Tidak terdapat hubungan langsung antara jumlah


pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu, akan tetapi kontra
prestasi secara umum dimanifestasikan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah.

d) Pajak dipungut/dikenakan karena suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan


sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

e) Pajak bersifat memaksa, artinya bagi mereka yang tidak memenuhi kewajiban
perpajakan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

2) Pemungutan Pajak Daerah

a) Jenis Pajak Daerah

Pembagian jenis pajak di Indonesia ditinjau dari lembaga pemungutnya


dibedakan ke dalam pajak pusat dan pajak daerah. Pajak daerah menurut UU
No. 34 tahun 2000 terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.

(1) Pajak Provinsi:

Jenis pajak provinsi beserta tarif setinggi-tingginya yang dapat


ditetapkan:
(a) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Kendaraan di atas
Air (PKA): 5%

(b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor/Kendaraan di atas Air


(BBN-KB/KA): 10%

(c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB- KB): 5%

(d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan (P3ABT/AP):20%.

Tarif pajak tersebut ditetapkan dan diberlakukan seragam di seluruh


Indonesia dan pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.
Hasil penerimaan pajak provinsi sebagian diperuntukkan bagi
kabupaten/kota di wilayah provinsi terkait dengan ketentuan
perimbangan sebagai berikut:

(a) PKB/KA dan BBN-KB/KA:

 maksimum 70%: bagian pemerintah provinsi

 minimum 30%: bagian pemerintah kab./kota

(b) PBB-KB dan P3ABT/AP:

 maksimum 30%: bagian pemerintah provinsi

 minimum 70%: bagian pemerintah kab./kota.

(2) Pajak Kabupaten/Kota

Jenis pajak kabupaten/kota beserta tarif setinggi- tingginya yang dapat


ditetapkan:

(a) Pajak Hotel (PH): 10%

(b) Pajak Restoran (PR): 10%

(c) Pajak Hiburan (PHi): 35%

(d) Pajak Reklame (PRek): 25%

(e) Pajak Penerangan Jalan (PPJ): 10%

(f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C: 20%

(g) Pajak Parkir: 20%.

Hasil penerimaan pajak kabupaten/kota sebagian


diperuntukkan bagi seluruh desa/kelurahan di wilayah kab/kota paling
sedikit 10% (sepuluh persen) yang ditetapkan dengan peraturan daerah
setelah memperhatikan aspek dan potensi antar desa.

Pemerintah provinsi dapat memberikan salah satu atau beberapa jenis


pajak yang menjadi wewenangnya kepada pemerintah kab/kota yang
potensi pendapatan asli daerahnya kurang memadai. Khusus pemerintah
provinsi yang tidak terbagi ke dalam daerah kabupten/kota seperti DKI
Jakarta, jenis pajak daerah yang dipungut merupakan gabungan pajak
provinsi dan pajak kabupaten/kota.

UU No. 34 tahun 2000 memberi peluang kepada pemerintah kab/kota


untuk memungut pajak daerah selain ketujuh jenis pajak daerah yang
telah ditetapkan. Penetapan jenis pajak lainnya tersebut harus benar-
benar bersifat spesifik dan memiliki potensi yang cukup besar di daerah
yang bersangkutan. Hal itu dimaksudkan untuk memberi keleluasaan
kepada pemerintah kab/kota dalam mengantisipasi kemungkinan
perkembangan perekonomian daerah di masa depan, asal tetap
memperhatikan kesederhanaan jenis pajak, aspirasi masyarakat, dan
memenuhi kriteria sebagai berikut:

(a) Bersifat pajak, bukan retribusi

(b) Objek pajak terletak di wilayah kabupaten/kota yang ber-


sangkutan, memiliki mobilitas cukup rendah, dan hanya me-layani
masyarakat kabupaten/kota tersebut

(c) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan ke-
pentingan umum dan memperhatikan aspek ketenteraman,
kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan

(d) Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan pusat

(e) Potensi pajak memadai, artinya diperkirakan sejalan dengan laju


pertumbuhan ekonomi daerah

(f) Tidak memberi dampak ekonomi yang negatif

(g) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat

(h) Menjaga kelestarian lingkungan.

b) Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah

Pelaksanaan pajak daerah diatur berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

(1) Pajak ditetapkan dengan peraturan daerah (perda).

(2) Peraturan daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut.

(3) Peraturan daerah tentang pajak sekurang-kurangnya mengatur


ketentuan mengenai:

(a) nama, objek, dan subjek pajak;

(b) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

(c) wilayah pemungutan;

(d) masa pajak;

(e) penetapan;
(f) tata cara pembayaran dan penagihan;

(g) sanksi administrasi; dan

(h) tanggal mulai berlakunya.

(4) Peraturan daerah tentang pajak dapat mengatur ketentuan mengenai:

(a) pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam


hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksi-nya;

(b) tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa; dan

(c) asas timbal balik.

c) Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah

(1) Pungutan pajak daerah tidak dapat diborongkan dan seluruh proses
kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga.

(2) Pajak dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah atau dibayar


sendiri oleh wajib pajak (self assessment).

(3) Wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak yang dipungut dengan
menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen
lain yang dipersamakan.

(4) Wajib pajak memenuhi kewajiban pajak yang dibayar sendiri dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dan atau Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT).

(5) Terhadap wajib pajak yang kurang dipungut atau kurang bayar dapat
diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD), Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding sebagai
dasar pemungutan dan penyetoran pajak.

(6) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah terutangnya pajak,

(a) Kepala daerah dapat menerbitkan: (a.1)


SKPDKB apabila

- berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain


pajak terutang tidak atau kurang dibayar;

- SPTPD tidak disampaikan kepada kepala daerah


dalam jangka waktu tertentu dan setelah wajib pajak
ditegur secara tertulis;

- wajib pajak tidak memiliki SPTPD, maka pajak


terutang dihitung secara jabatan.

(a.2) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan


(SKPDKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data
yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan jumlah pajak yang terutang.
(a.3) Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN) apabila jumlah
pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit
pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.

(b) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat


Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan dihitung dari pajak
yang kurang atau sanksi administrasi berupa biaya ini dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar paling lama 24 bulan.

(c) Sanksi administrasi di atas dihitung sejak saat terutang-nya pajak


sampai dengan terbitnya SKPDKB.

(d) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB yang


disebabkan wajib pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya,
dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak 25% dari
pokok pajak terutang ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

(7) Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) diterbitkan kepala daerah dalam hal
terjadi:

(a) Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar

(b) Berdasarkan penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayar-an


akibat salah tulis atau salah hitung

(c) Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau
denda. Jatuh tempo pembayaran kekurangan pajak berdasarkan
STPD ditambah sanksi administrasi berupa bunga paling lama 15
bulan sejak saat ter-utangnya pajak

(d) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% sebulan
dan ditagih melalui STPD

d) Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

(1) Kepala daerah menetapkan tanggal jatuh tempo pembayaran dan


penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 hari setelah saat
terutangnya pajak

(2) SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat


Keputusan Keberatan dan Keputusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka
waktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterbitkan.

(3) Kepala daerah atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi


persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada
wajib pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dengan
dikenakan bunga sebesar 2 % sebulan.
(4) Tata cara pembayaran/penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan
penundaan pajak diatur dengan keputusan kepala daerah.

(5) Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD,


surat keputusan pembetulan, surat keberatan dan putusan banding yang
tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak pada waktunya dapat ditagih
dengan paksa.

e) Pengajuan Keberatan dan Banding

(1) Pengajuan Keberatan

(a) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada gubernur/


bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:

(a. 1) SKPD;

(a. 2) SKPDKB;

(a. 3) SKPDKBT;

(a. 4) SKPDLB;

(a. 5) SKPDN; dan

(a. 6) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga


berdasarkan peraturan perundang- undangan pajak
daerah yang berlaku.

(b) Keberatan diajukan secara tertulis disertai alasan-alasan yang


jelas. Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas
ketetapan pajak secara jabatan, maka wajib pajak harus dapat
membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.

(c) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama tiga
bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan, atau tanggal
pemungutan, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bukti
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.

(d) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak


dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

(e) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan
atas keberatan yang diajukan. Apabila dalam batas waktu tersebut
di atas telah lewat dan kepala daerah tidak memberi keputusan,
maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

(f) Keputusan kepala daerah atas keberatan dapat berupa menerima


seluruhnya, menerima sebagian, menolak, atau menambah
besarnya pajak terutang.

(2) Pengajuan Banding

(a) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya


kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap
keberatannya. Keputusan mengenai diterima atau tidaknya
keberatan ditetapkan oleh kepala daerah.

(b) Permohonan banding diajukan secara tertulis disertai alasan-


alasan yang jelas dalam jangka waktu tiga bulan sejak keputusan
diterima dan dilampiri dengan salinan dari surat keputusan
tersebut.

(c) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban


membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(d) Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding


dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.
Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya surat ketetapan pajak daerah lebih bayar
(SKPDLB).

f) Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan, Ketetapan, dan Penghapusan atau


Pengurangan Sanksi Administrasi

(1) Kepala daerah karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat
membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau
kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah

(2) Keputusan kepala daerah dapat berupa:

(a) pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga,


denda, dan kenaikan pajak yang terutang dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena
kesalahannya,

(b) pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang keliru.

(3) Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan


pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak diatur dengan keputusan
kepala daerah.

b. Retribusi Daerah

1) Pengertian Retribusi

Retribusi adalah pembayaran wajib oleh rakyat atas jasa tertentu yang diberikan
oleh pemerintah daerah kepada penduduknya secara perorangan. Jasa adalah
upaya pelayanan oleh pemerintah daerah yang menyebabkan barang, fasilitas, atau
kemanfaatan lainnya dan dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jasa
tersebut bersifat langsung, artinya hanya mereka yang membayar retribusi yang
dapat menikmati balas jasa (kontra prestasi) dari pemerintah daerah. Sebagai
contoh, setiap orang yang ingin memperoleh jasa pelayanan kesehatan di rumah
sakit umum daerah (RSUD) atau puskesmas harus membayar retribusi sesuai
dengan perda. Meskipun demikian tidak ada paksaan secara yuridis kepada setiap
orang untuk membayar retribusi, karena mereka bebas untuk memilih jasa
pelayanan kesehatan yang diinginkannya. Pada retribusi pelayanan kesehatan yang
ada hanyalah paksaan secara ekonomis, yaitu hanya pasien yang membayar
retribusi yang berhak mendapat jasa pelayanan kesehatan dari RSUD atau
puskesmas.

Dewasa ini yang berwenang untuk memungut retribusi hanyalah pemerintah daerah.
Beberapa ciri yang melekat pada retribusi daerah:

a) Retribusi merupakan pungutan berdasarkan undang- undang dan perda

b) Hasil penerimaan retribusi harus masuk ke kas daerah

c) Setiap orang yang membayar retribusi memperoleh kontra prestasi langsung


dari pemerintah daerah berupa jasa pelayanan

d) Utang retribusi timbul apabila jasa pelayanan pemerintah daerah dinikmati oleh
orang pribadi atau badan

e) Sanksi ekonomis, yaitu apabila orang pribadi atau badan tidak membayar
retribusi, maka mereka tidak akan memperoleh jasa layanan yang disediakan
oleh pemerintah daerah.

2) Jenis Retribusi

Retribusi daerah menurut UU nomor 34 tahun 2000 dan PP nomor 66 tahun 2001
dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a) Retribusi jasa umum, yaitu retribusi atas jasa pelayanan yang disediakan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Adapun jenis-jenis retribusi jasa umum
terdiri atas retribusi:

(1) pelayanan kesehatan

(2) pelayanan sampah/kebersihan

(3) penggantian biaya cetak KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan akte catatan
sipil

(4) pelayanan pemakaman/pengabuan mayat

(5) pelayanan parkir di tepi jalan umum

(6) pelayanan pasar

(7) pengujian kendaraan bermotor

(8) pemeriksaan alat pemadam kebakaran

(9) penggantia biaya cetak peta

(10) pengujian kapal perikanan.

b) Retribusi jasa usaha, yaitu retribusi yang dikenakan atas jasa pelayanan yang
disediakan oleh pemerintah daerah dengan meng-anut prinsip komersial,
artinya retribusi semacam ini dapat disediakan oleh pihak swasta. Retribusi jasa
usaha terdiri atas retribusi:

(1) pemakaian kekayaan daerah

(2) pasar grosir atau pertokoan

(3) tempat pelelangan

(4) terminal

(5) tempat khusus parki

(6) tempat penginapan/pesanggrahan/vila

(7) penyedotan kakus

(8) rumah potong hewan (RPH)

(9) pelayanan pelabuhan kapal

(10) tempat rekreasi dan olah raga

(11) penyeberangan di atas air

(12) pengolahan limbah cair

(13) penjualan produk usaha daerah.

c) Retribusi perizinan tertentu, yaitu retribusi yang dikenakan atas pemberian izin
dari pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang melakukan
aktivitas tertentu. Pemberian izin tersebut dimaksudkan untuk pembinaan,
pengaturan, pemanfaatan ruang publik, penggunaan sumber daya alam,
barang, sarana dan pra-sarana, atau fasilitas tertentu yang dapat melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi
perizinan tertentu antara lain meliputi retribusi:

(1) Izin mendirikan bangunan (IMB)

(2) Izin tempat penjualan minuman beralkohol

(3) Izin tempat penjualan obat (toko obat)

(4) Izin gangguan (HO = Hoereg Ordonantie)

(5) Izin usaha perdagangan (SIUP)

(6) Izin tempat usaha (SITU)

(7) Izin trayek.


3) Pemungutan Retribusi Daerah

a) Prinsip dan Sasaran Dalam Penetapan Tarif

(1) Untuk retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan


kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa
terkait, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan.

(2) Untuk retribusi jasa usaha ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang layak.

(3) Untuk retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasar- kan pada tujuan
untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian
izin tersebut.

b) Peraturan Daerah Tentang Retribusi

Pelaksanaan retribusi daerah diatur didasarkan pada


ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

(1) Retribusi ditetapkan dengan peraturan daerah.

(2) Peraturan daerah tentang retribusi tidak dapat berlaku surut.

(3) Peraturan daerah tentang retribusi sekurang-kurangnya mengatur


ketentuan mengenai:

(a) nama, objek, dan subjek retribusi;

(b) golongan retribusi;

(c) cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;

(d) prinsip yang dianut dalam penetapan struktur


dan besarnya tarif retribusi;

(e) struktur dan besarnya tarif retribusi;

(f) wilayah pemungutan;

(g) tata cara pemungutan;

(h) sanksi administrasi;

(i) tata cara penagihan; dan

(j) tanggal mulai berlakunya.

(4) Peraturan daerah tentang retribusi mencakup ketentuan mengenai:

(a) masa retribusi;


(b) pemberian keringanan, pengurangan, dan pem- bebasan dalam hal-
hal tertentu atas pokok retribusi dan/atau sanksinya;

(c) tata cara penghapusan piutang retribusi yang kadaluwarsa.

(5) Peraturan daerah untuk jenis-jenis retribusi tertentu harus terlebih


disosialisasikan kepada masyarakat sebelum ditetapkan.

(6) Dalam rangka pengawasan, peraturan daerah yang dibuat disampaikan


kepada pemerintah paling lama lima belas hari setelah ditetapkan.

(7) Dalam hal peraturan daerah yang dibuat bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan per- undang-undangan yang lebih tinggi,
pemerintah dapat membatalkan peraturan daerah tersebut.

(8) Pembatalan peraturan daerah dilakukan paling lama satu bulan sejak
diterimanya peraturan daerah dimaksud

c) Tarif Retribusi

Besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan:

(1) Tingkat Penggunaan Jasa

Tingkat penggunaan jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas


penggunaan jasa yang digunakan sebagai dasar alokasi beban biaya
yang dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan,
misalnya : berapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa jam
parkir kendaraan dan sebagainya.

Dalam hal lain, tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir


berdasarkan rumus. Dalam hal izin bangunan misalnya, tingkat
penggunaan jasa dapat ditaksir dengan rumus yang didasarkan atas luas
tanah, luas lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan dan rencana
penggunaan bangunan.

(2) Besarnya Tarif Retribusi

Tarif retribusi ditetapkan berdasarkan nilai rupiah atau persentase


tertentu sehingga dapat diketahui berapa besarnya retribusi yang
terutang.

Tarif dapat ditetapkan seragam atau dapat diadakan perbedaan dalam


golongan tarifnya sesuai dengan prinsip dan sasaran tarif tertentu,
misalnya pembedaan retribusi mengunjungi tempat rekreasi antara
golongan anak-anak dengan orang dewasa, retribusi parkir antara
sepeda motor dan mobil, retribusi sampah antara industri dan rumah
tangga, dan sebagainya. Besarnya tarif dapat dinyatakan dalam rupiah
per unit tingkat penggunaan jasa.

d) Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah

(1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan seluruhnya atau proses


kegiatan pemungutan retribusi tidak dapat diserahkan kepada pihak
ketiga

(2) Dalam hal wajib retribusi tertentu tidak membayar tepat waktu atau
kurang membayar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.

e) Pengajuan Keberatan

(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada kepala


daerah atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang
dipermasalahkan.

(2) Keberatan harus diajukan secara tertulis disertai alasan-alasan yang


jelas.

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan
sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali apabila wajib retribusi dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaannya.

(4) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan


pelaksanaan penagihan retribusi.

(5) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama enam bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila dalam batas waktu tersebut telah
dilewati dan kepala daerah tidak memberi suatu keputusan, maka
keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

(6) Keputusan kepala daerah atas keberatan dapat berupa menerima


seluruhnya, menerima sebagian, menolak, atau menambah besarnya
retribusi yang terutang.

f) Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Apabila terjadi kelebihan pembayaran pajak daerah dan retribusi daerah, maka:

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak daerah atau retribusi daerah, wajib
pajak dan wajib retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian
kepada kepala daerah.

(2) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak
diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak harus
memberikan keputusan.

(3) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama enam bulan sejak
diterimanya permohonan kelebihan pembayaran retribusi harus sudah
dapat memberikan keputusan mengenai hal tersebut.

(4) Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan kepala daerah tidak
memberikan suatu keputusan, maka permohonan pengembalian
pembayaran pajak atau retribusi dianggap dikabulkan dan
SKPDLB/SKRDLB harus diterbit-kan dalam jangka waktu paling lama
satu bulan.

(5) Apabila wajib pajak atau wajib retribusi mempunyai utang pajak atau
utang retribusi lainnya, maka atas kelebihan pembayaran pajak atau
retribusi, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang
pajak atau utang retribusi tersebut.

(6) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dilakukan


dalam jangka waktu paling lama dua bulan sejak diterbitkan SKPDLB
atau SKRDLB.

(7) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi


dilakukan setelah lewat jangka waktu dua bulan, maka kepala daerah
memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
kelebihan pembayaran kelebihan pembayaran pajak atau retribusi.

(8) Tata cara pengembalian pembayaran pajak atau retribusi diatur dengan
peraturan daerah.

g) Daluwarsa Penagihan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak dan retribusi daerah daluwarsa
setelah melampaui jangka waktu lima tahun sejak saat terutang pajak
dan retribusi, kecuali bila wajib pajak/retribusi melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan/retribusi daerah.

(2) Daluwarsa penagihan tersebut di atas tertangguhkan, apabila


diterbitkan surat teguran dan surat paksa atau ada pengakuan utang
pajak/retribusi dari wajib pajak/retribusi baik langsung maupun tidak
langsung. Pedoman tata cara penghapusan piutang pajak dan retribusi
daerah yang daluwarsa diatur dengan peraturan pemerintah.

2. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

Salah satu sumber pendapatan asli daerah adalah hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan yang terdiri atas bagian laba BUMD dan hasil kerja sama dengan pihak ketiga.
Jumlah rencana PAD yang dianggarkan dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
harus mencerminkan rasionalitas dibandingkan dengan nilai kekayaan daerah yang
dipisahkan dan ditetapkan sebagai penyertaan modal (investasi).

Upaya peningkatan penerimaan laba/dividen atas penyertaan modal atau investasi daerah
lainnya yang dapat ditempuh melalui inventarisasi, penataan, dan evaluasi nilai kekayaan
daerah yang dipisahkan baik dalam bentuk uang maupun barang sebagai penyertaan modal
(investasi). Selain itu pendayagunaan kekayaan daerah yang belum dipisahkan dan belum
dimanfaatkan untuk dikelola atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga sehingga
menghasilkan pendapatan daerah.

Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:

a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD

b. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN

c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.

3. PAD Lain-lain yang Sah

PAD bertujuan memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menandai


pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi. Isi ayat (1) huruf d pasal 6 UU No. 33 tahun 2004 tentang PAD lain-lain yang
sah antara lain meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan

b. jasa giro

c. pendapatan bunga

d. penerimaan atas tuntutan kerugian daerah

e. penerimaan komisi, rabat, potongan atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar
menukar, hibah, asuransi dan pengadaan barang/jasa oleh daerah

f. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing

g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan

h. pendapatan denda pajak

i. pendapatan denda retribusi

j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan

k. pendapatan dari pengembalian

l. fasilitas sosial dan fasilitas umum

m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan

n. pendapatan dari BLUD.

B. Dana Perimbangan

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN, yang terdiri atas:

1. dana bagi hasil (DBH) pajak dan bukan pajak;

2. dana alokasi umum (DAU); dan

3. dana alokasi khusus (DAK).

Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya,
juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan
daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Ketiga
komponen dana perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari pemerintah serta merupakan
satu kesatuan yang utuh.

1. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan
kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan penyelarasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Peng-hasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat peng-aturan
mengenai bagi hasil penerimaan pajak penghasilan (PPh) pasal 25/29 wajib pajak orang
pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21, serta sektor pertambangan panas bumi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK dialihkan menjadi DBH.

Bagi hasil pajak dan bukan pajak meliputi: bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan
bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.

a. Bagian Daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Penerimaan negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk
pemerintah pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk daerah. Bagian daerah dari
PBB selanjutnya dibagi dengan rincian sebagai berikut:

1) 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan
dan disalurkan ke rekening kas daerah provinsi.

2) 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk daerah kabupaten/kota
yang bersangkutan dan disetor ke rekening Kas daerah kabupaten/kota.

3) 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.

4) 10% (sepuluh persen) bagian pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada
seluruh daerah kabupaten/kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB
tahun berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:

a) 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh
kabupaten/kota.

b) 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada


kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB tahun sebelumnya
mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

b. Bagian Daerah dari Pajak Penghasilan

1) Bagian daerah dari penerimaan PPh pasal 25/29 dan PPh Pasal 21 adalah sebesar
20%

2) Bagian daerah dari dana bagi hasil dari penerimaan PPh pasal 25 dan pasal 29 di
atas, dibagi dengan imbangan 60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi.

3) Penyaluran dana bagi hasil sebagaimana maksud di atas, dilaksanakan secara


triwulan.

c. Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

1) Penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah.

2) Bagian daerah dari BPHTB dibagi dengan rincian sebagai berikut:

a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas
daerah provinsi.

b) 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil dan disalurkan ke rekening kas


daerah kabupaten/kota.

c) 20% bagian pemerintah pusat dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi
yang sama besar untuk kabupaten/kota di seluruh Indonesia berdasarkan
realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber Daya Alam

1) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan
umum, dan sektor perikanan dibagi: 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk
daerah.

2) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan:

a) penerimaan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH);

b) penerimaan provisi sumber daya hutan (PSDH).

3) Bagian daerah dari penerimaan negara IHPH dibagi:

a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan.

b) 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil.

4) Bagian daerah dari penerimaan negara PSDH dibagi:

a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan.

b) 32% untuk daerah kabupaten/kota penghasil.

c) 32% untuk daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

5) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan umum, terdiri dari

a) Penerimaan iuran tetap (land rent), yaitu seluruh pe- nerimaan iuran yang
diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum,
eksplorasi atau eksploitasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan.

b) Penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) yaitu iuran produksi
yang diterima negara dalam hal pemegang kuasa pertambangan eksplorasi
mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi
yang diberikan kepadanya serta hasil yang

diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi (royalty) satu atau lebih bahan
galian.

6) Bagian daerah dari penerimaan negara iuran tetap (land rent) dibagi dengan rincian:

a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan;

b) 32% untuk daerah kabupaten/kota penghasil;


c) 32% untuk daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan
yang dibagi dengan porsi yang sama.

7) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor perikanan:

a) penerimaan pungutan pengusahaan perikanan; dan

b) penerimaan pungutan hasil perikanan.

8) Bagian daerah dari penerimaan negara di sektor perikanan dibagikan dengan porsi
yang sama besar kepada kabupaten/ kota di seluruh Indonesia.

9) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor per- tambangan minyak dan gas
alam yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam
sektor pertambangan dan gas alam dari wilayah daerah terkait setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya.

10) Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi dan gas alam terdiri atas:

a) Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi dengan imbangan 84,5%


untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk pemerintah daerah

b) Penerimaan negara dari pertambangan gas alam dibagi dengan imbangan


69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk pemerintah daerah.

11) Bagian daerah dari pertambangan minyak bumi dibagi dengan rincian sebagai
berikut:

a) 3% untuk provinsi yang bersangkutan

b) 6% untuk kabupaen/kota penghasil; dan

c) 6% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang ber- sangkutan yang


dibagikan dengan porsi yang sama besar.

12) Bagian daerah dari pertambangan gas alam dibagi dengan rincian sebagai berikut:

a) 6% untuk provinsi yang bersangkutan;

b) 12% untuk kabupaten/kota penghasil; dan

c) 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang ber- sangkutan yang
dibagikan dengan porsi yang sama besar.

13) Dana bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi sebesar 0,5% (setengah
persen) digunakan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, yaitu:

a) 0,1% dibagi ke provinsi yang bersangkutan;

b) 0.2% dibagi ke kabupaten/kota penghasil; dan

c) 0,2% dibagi ke seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut.

2. Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan untuk daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota. Tujuan dari pemberian dana alokasi umum adalah
pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah
penduduk, dan tingkat pendapatan. Termasuk dalam pengertian tersebut adalah jaminan
kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka penyediaan
pelayanan dasar kepada masyarakat.

Besarnya DAU untuk setiap tahun anggaran ditetapkan sebesar 26% dari penerimaan dalam
negeri yang berasal dari pajak dan bukan pajak pada APBN setelah dikurangi dengan
penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Selanjutnya DAU dialokasikan ke
daerah dengan imbangan provinsi sebesar 10% (sepuluh persen) dan kabupaten/kota 90%
(sembilan puluh persen).

Sebagai contoh, besarnya DAU untuk tahun anggaran tertentu ditetapkan sebesar 26% (dua
puluh enam persen) setelah dikurangi alokasi bagi hasil.

Misalnya:

Jumlah penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak dalam APBN sebesar Rp 260 trilyun
dan jumlah alokasi bagi hasil adalah Rp 30 trilyun maka:

- Jumlah DAU untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota adalah: 26% x (Rp 260
trilyun – Rp 30 trilyun) = Rp 59,8 trilyun

- Jumlah DAU untuk seluruh provinsi adalah: 10% x Rp 59,8


trilyun = Rp 5,98 trilyun

- Jumlah DAU untuk seluruh kabupaten/kota adalah: 90% x Rp 59,8


trilyun = Rp 53,82 trilyun

Sesuai dengan PP nomor 84 Tahun 2001, dana alokasi umum baik untuk daerah provinsi
maupun untuk daerah kabupaten /kota dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:

DAU untuk suatu


Jumlah dana Bobot daerah ybs
=
X

daerah tertentu alokasi umum untuk


daerah Jumlah bobot dari
seluruh daerah

Bobot daerah yang bersangkutan ditetapkan berdasarkan dua faktor:

 kebutuhan wilayah otonomi daerah (kebutuhan fiskal daerah)

 potensi ekonomi daerah (kapasitas fiskal daerah)

Rumusan kebutuhan wilayah otonomi daerah adalah:

Kebutuha n Wilayah Otonomi


Daerah
α1 Indeks Penduduk +

Pengeluaran

= X α2 Indeks Luas Wilayah +


Daerah
Rata-rata

α3 Indeks Kemiskinan Relatif +

α4 Indeks Harga

Bobot α1, α2, α3, α4 ditentukan melalui perhitungan ekonometri (regresi sederhana) atau
secara proporsional. Rincian lebih lanjut akan dijelaskan di bawah ini.

Rumusan pengeluaran daerah rata-rata adalah sebagai berikut:

Pengeluaran daerah = Jumlah pengeluaran seluruh daerah rata-rata Jumlah


daerah
Rumusan beberapa indeks adalah sebagai berikut:

Indeks Penduduk (α1) = Populasi daerah i

Rata-rata populasi daerah secara nasional

Indeks Luas Daerah (α2) = Luas daerah i

Rata-rata luas daerah nasional

Indeks Kemiskinan Relatif (α3) = Jumlah penduduk miskin daerah i

Rata-rata jumlah penduduk miskin daerah

Indeks Harga (α4) = Indeks konstruksi daerah i

Rata-rata indeks konstruksi daerah

Potensi Ekonomi Daerah dihitung berdasarkan rumus:

Potensi Ekonomi Daerah = PAD + PBB + BPHTB + BHSDA + PPh PAD :


Pendapatan Asli Daerah

PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BHSDA :


Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam

PPh : Pajak Penghasilan


Tata cara penyaluran DAU adalah seperti di bawah ini:

Setiap awal tahun anggaran, Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan menebitkan
daftar alokasi DAU (DA–DAU) yang berlaku sebagai SKO. Direktur Jenderal Anggaran
menyampaikan dokumen tersebut kepada gubernur/bupati /walikota serta KPKN.

Selanjutnya masing-masing kepala daerah mengajukan SPM kepada KPKN setempat dalam
waktu enam hari kerja sebelum tanggal satu bulan berikutnya sebesar 1/12 (satu per dua
belas) dari pagu DAU dengan dilampiri bukti penerimaan.

Atas dasar SPM yang diajukan, KPKN menerbitkan SP2D-LS atas nama
gubernur/bupati/walikota pada rekening kas umum daerah.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana alokasi khusus berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu
membiayai kebutuhan khusus/tertentu yaitu

 kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus
alokasi khusus,

 kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas potensi nasional.

Dana tersebut dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan dari daerah. Untuk
membiayai kebutuhan khusus yang bersumber dari DAK diperlukan dana pendamping yang
bersumber dari APBD dengan jumlah sekurang-kurangnya 10%.

Untuk pembiayaan program/kegiatan reboisasi, tidak dipersyaratkan adanya dana


pendamping. Terhadap penerimaan negara yang berasal dari dana reboisasi, disisihkan
sebesar 40% (empat puluh persen) dan diberikan kepada “daerah penghasil” sebagai bagian
dari DAK untuk membiayai kegiatan reboisasi/penghijauan di daerah penghasil.

Sektor/program/kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK adalah: biaya-biaya administrasi,
penyiapan proyek fisik, penelitian, pelatihan, perjalanan dinas, dan lain-lain biaya umum
sejenis. Sesuai pasal 42 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, ketentuan lebih lanjut
mengenai DAK akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Secara ringkas rincian pembagian antara pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat Dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebagai berikut:

No. Sumber Penerimaan Pusat Daerah

1. Pajak Bumi dan Bangunan 10% 90%

2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 20% 80%


3. Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan, Sektor 20% 80%
Pertambangan Umum dan Sektor Perikanan

4. Pertambangan Minyak Bumi yang berasal dari 84,5% 15,5%


Wilayah Daerah setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya

5. Pertambangan dan Gas Bumi yang berasal dari 69,5% 30,5%


Wilayah Daerah setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya.

6. Dana Alokasi Umum. - provinsi 10%

kab/kota 90%

7. Dana Alokasi Khusus (yang berasal dari dana 60% 40%


reboisasi)

4. Bagi Hasil dari Provinsi

Bagi hasil dari pemerintah daerah provinsi untuk kabupaten/kota di wilayahnya, pada
dasarnya merupakan hasil pajak provinsi, yang sebagian dibagikan ke kabupaten/kota
menurut aturan dalam perda provinsi yang bersangkutan, berupa:

a. pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air;

b. bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air;

c. pajak bahan bakar kendaraan bermotor; dan

d. pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

C. Pendapatan Daerah Lainnya yang Sah

1. Dana darurat yang diterima dari pemerintah dan bantuan uang dan barang dari
badan/lembaga tertentu untuk menanggulangi bencana alam yang disalurkan melalui
pemerintah daerah.

2. Hibah yang diterima baik berupa uang, barang dan/atau jasa yang dianggarkan dalam APBD
harus berdasarkan naskah perjanjian hibah daerah dan mendapat persetujuan DPRD.

3. Sumbangan yang diterima dari organisasi/lembaga tertentu perorangan atau pihak ketiga,
yang tidak berkonsekuensi pengeluaran maupun pengurangan kewajiban pihak
ketiga/pemberi sumbangan diatur dalam peraturan daerah.

4. Pendapatan lain-lain yang ditetapkan pemerintah pusat termasuk dana penyesuaian dan
dana otonomi khusus.

D. Penerimaan Pembiayaan

Pembiayaan (financing) menurut PSAP (Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah) Nomor 2,


adalah “seluruh transaksi keuangan pemerintah, baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu
dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan
untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran.”

Penerimaan pembiayaan antara lain berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Sementara
pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembiayaan kembali pokok pinjaman,
pemberian pinjaman kepada entitas lain, serta penyertaan modal oleh pemerintah daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, mengklasifikasikan


pinjaman daerah dalam bentuk:

a. pinjaman jangka pendek

b. pinjaman jangka menengah; dan

c. pinjaman jangka panjang.

Pinjaman jangka pendek merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama
dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang
bersangkutan. Pinjaman ini hanya dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas pada tahun
anggaran yang bersangkutan.

Pinjaman jangka menengah merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun
anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga dan
biaya lain harus dalam jangka waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang
bersangkutan. Pinjaman ini dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak
menghasilkan penerimaan.

Pinjaman jangka panjang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun
anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga dan
biaya lain harus pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian
pinjaman tersebut. Pinjaman ini dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan
penerimaan.

Penerimaan pembiayaan menurut ketentuan dalam PP No. 58 Tahun 2005, terdiri atas:

- sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya;

- pencairan dana cadangan;

- hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;

- penerimaan pinjaman daerah;

- penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan


- Penerimaan piutang daerah.

1. Sisa lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SILPA)

SILPA mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana


perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan
penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban pihak III yang sampai dengan
akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.

2. Pencairan Dana Cadangan

Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan dari
rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dalam tahun anggaran berkenaan.

3. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan

Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, digunakan antara lain untuk
menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD dan penjualan aset milik
pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak III, atau hasil divestasi penyertaan
modal pemerintah daerah.

4. Penerimaan Pinjaman Daerah

a. Sumber Pinjaman Daerah

Pinjaman dapat berasal dari dalam negeri atau luar negeri. Pinjaman dalam negeri dapat
diperoleh dari pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan
bank, masyarakat dan sumber lainnya. Sedangkan pinjaman dari luar negeri dapat
berupa pinjaman bilateral atau pinjaman multilateral. Pinjaman daerah dapat dibedakan
menjadi pinjaman jangka panjang dan pinjaman jangka pendek. Pinjaman jangka
panjang hanya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang
merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran
kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Pinjaman
jangka panjang tidak dapat digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum serta
belanja operasional dan pemeliharaan. Selain itu daerah dapat melakukan pinjaman
jangka panjang guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.

b. Persyaratan Pinjaman Daerah

1) Untuk pinjaman jangka panjang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi
75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya.

b) Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah tahunan selama


jangka waktu pinjaman, debt service coverage ratio (DSCR) paling sedikit 2,5
.

c) Jumlah maksimum pinjaman jangka panjang adalah 1/6 (satu per enam) dari
jumlah belanja APBD tahun anggaran yang berjalan.

2) Untuk pinjaman jangka pendek harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Pinjaman jangka pendek dilakukan dengan memper- timbangkan kecukupan


penerimaan daerah untuk mem- bayar kembali pinjaman tersebut pada
waktunya.

b) Pelunasan pinjaman jangka pendek wajib diselesaikan dalam tahun anggaran


yang berjalan.

3) Berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional, menteri keuangan dapat


menetapkan pengendalian lebih lanjut atas pinjaman daerah.

c. Batas Maksimum Jangka Waktu Pinjaman Daerah

1) Batas maksimum jangka waktu pinjaman jangka panjang disesuaikan dengan


umur ekonomis aset yang dibiayai dari pinjaman tersebut.

2) Batas maksimum masa tenggang disesuaikan dengan masa konstruksi proyek.

3) Jangka waktu pinjaman jangka panjang sudah termasuk masa tenggang.

4) Jangka waktu pinjaman dan masa tenggang untuk pinjaman jangka panjang yang
bersumber dari dalam negeri ditetapkan daerah dengan persetujuan DPRD,
sedang yang bersumber dari luar negeri disesuaikan dengan persyaratan
pinjaman luar negeri yang bersangkutan.

d. Larangan Penjaminan

1) Daerah dilarang membuat perjanjian yang menjamin pinjaman pihak lain dan
mengakibatkan beban atas keuangan daerah.

2) Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak
dapat dijadikan jaminan dalam mem-peroleh pinjaman daerah.

e. Prosedur Pinjaman Daerah

1) Setiap pinjaman daerah dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari DPRD.

2) Berdasarkan persetujuan DPRD, daerah mengajukan pinjaman kepada calon


pemberi pinjaman.

3) Setiap pinjaman daerah dituangkan dalam surat perjanjian pinjaman antara


daerah yang bersangkutan dengan pemberi pinjaman. Surat perjanjian tersebut
ditandatangani oleh kepala daerah (atas nama daerah) dan pemberi pinjaman,
selanjutnya diumumkan dalam lembaran daerah.

4) Pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah
pusat.

5) Untuk memperoleh pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri, daerah
mengajukan usulan pinjaman kepada pemerintah pusat disertai surat persetujuan
DPRD, studi kelayakan, dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan. Selanjutnya
pemerintah pusat melakukan evaluasi dari berbagai aspek untuk menilai dapat
tidaknya usulan tersebut disetujui.

6) Apabila pemerintah pusat menyetujui, selanjutnya pemerintah daerah


mengadakan perundingan dengan calon pemberi pinjaman yang hasilnya
dilaporkan untuk mendapatkan per- setujuan pemerintah pusat.

7) Untuk memperoleh pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat, daerah


mengajukan usul kepada menteri keuangan didukung surat persetujuan DPRD,
studi kelayakan, dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk dievaluasi.
Perjanjian pinjaman ini ditandatangani oleh menteri keuangan dan kepala daerah.

f. Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah


1) Semua pembayaran yang menjadi kewajiban daerah atas pinjaman daerah yang
jatuh tempo merupakan prioritas dan dianggarkan dalam pengeluaran APBD.

2) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas pinjaman daerah
dari pemerintah pusat, maka pemerintah pusat memperhitungkan kewajiban
tersebut dengan DAU kepada daerah yang bersangkutan.

3) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas pinjaman daerah
yang bersumber dari luar negeri, maka kewajiban tersebut diselesaikan sesuai
perjanjian pinjaman.

g. Pembukuan dan Pelaporan

1) Semua penerimaan dan kewajiban dalam rangka pinjaman daerah dicantumkan


dalam APBD dan dibukukan sesuai dengan standar akuntansi keuangan pemerintah
daerah.

2) Keterangan tentang semua pinjaman jangka panjang dituang- kan dalam lampiran
dokumen APBD.

3) Kepala daerah melaporkan kepada DPRD secara berkala dengan tembusan kepada
menteri keuangan tentang per- kembangan jumlah pinjaman daerah dan tentang
pelaksanaan pemenuhan kewajiban pinjaman yang telah jatuh tempo.

5. Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman

Penerimaan kembali pemberian pinjaman digunakan untuk meng- anggarkan posisi


penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah
daerah lainnya.

6. Penerimaan Piutang Daerah

Penerimaan piutang digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber dari


pelunasan piutang pihak ketiga, seperti penerimaan piutang daerah dari pendapatan daerah,
pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan
bank, dan penerimaan piutang lainnya.

7. Penerimaan Kembali Penyertaan Modal (Investasi) Daerah

Penerimaan kembali penyertaan modal (investasi) daerah digunakan untuk menganggarkan


penerimaan yang bersumber dari penyertaan modal yang bersumber dari penyertaan modal
yang diterima kembali.

E. LATIHAN
1. Pajak provinsi yang tari tertingginya 10% adalah

a. PKB

b. BBN-KB/KA

c. PBB-KB

d. P3ABT/AP

2. SPTPD tidak disampaikan oleh WPD kepada kepala daerah dalam jangka waktu tertentu
dan setelah WPD ditegur secara tertulis, maka kepala daerah akan menerbitkan:

a. SKPDKB

b. SKPDN

c. SKPD

d. SKPDKBT

3. Salah satu penerimaan daerah adalah dana bagi hasil pajak dari BPHTB dengan
komposisi :

a. Pemerintah pusat 25%; pemerintah daerah 75%

b. Pemerintah pusat 10%; pemerintah daerah 9%; biaya pungut 9%

c. Pemerintah pusat 20%; pemerintah provinsi 32%; pemerintah kab./kota 48%

d. Pemerintah provinsi 16%; pemerintah kab./kopta 84%

4. Pinjaman daerah yanghanya dipergunakan untuk menutup


kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang bersangkutan:

a. Pinjaman jangka panjang

b. Pinjaman jangka menengah

c. Pinjaman jangka pendek

d. Pinjaman pihak ketiga

5. Jumlah penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak dalam APBN tahun 2008 sebesar Rp
550 trilyun dan jumlah alokasi bagi hasil adalah Rp 50 trilyun, maka jumlah DAU seluruh
kabupaten/kota di Indonesia:

e. Rp 13 trilyun

a. Rp 117 trilyun

b. Rp 130 trilyun

c. Rp 260 trilyun

BAB VI
PENGELUARAN DAERAH

Setelah mempelajari bab ini diharapkan peserta diklat mampu menjelaskan pengertian
pengeluaran daerah, berupa belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah.

Ketentuan dalam pasal 18 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, menyebutkan:

(1) Pengeluaran daerah terdiri dari belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah.

(2) Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan
merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya
dalam pemberian pelayanan umum.

(3) Pengeluaran pembiayaan adalah semua pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan, maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran/belanja daerah, harus didukung dengan adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.

A. BELANJA DAERAH

Berdasarkan Pasal 24 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, belanja daerah dapat dirinci menurut

- urusan pemerintahan daerah;

- organisasi;

- program dan kegiatan;

- kelompok;

- jenis; dan

- objek dan rincian objek belanja

1. Urusan Pemerintahan Daerah

Belanja daerah yang dipergunakan untuk mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota, terdiri dari:

- urusan wajib;

- urusan pilihan; dan

- urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan
bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.

Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan


kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan
dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam


pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Klasifikasi belanja menurut urusan wajib, mencakup:

a. pendidikan;

b. kesehatan

c. pekerjaan umum;

d. perumahan rakyat;

e. penataan ruang;

f. perencanaan pembangunan;

g. perhubungan;

h. lingkungan hidup;

i. pertanahan;

j. kependudukan dan catatan sipil;

k. pemberdayaan perempuan;

l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m. sosial;

n. tenaga kerja;

o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;

p. penanaman modal;

q. kebudayaan;

r. pemuda dan olah raga;

s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,


perangkat daerah, kepegawaian dan persandian;

u. ketahanan pangan;

v. pemberdayaan masyarakat dan desa;

w. statistik;

x. kearsipan;

y. komunikasi dan informatika; dan

z. Perpustakaan

Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan, terdiri atas:


a. pertanian;

b. kehutanan;

c. energi dan sumber daya mineral;

d. pariwisata;

e. kelautan dan perikanan;

f. perdagangan;

g. perindustrian; dan

h. transmigrasi.

Belanja menurut urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang
tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau
antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan,
dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan yang diklasifikasikan menurut urusan wajib
dan urusan pilihan.

2. Organisasi

Klasifikasi belanja menurut organisasi, disesuaikan dengan susunan organisasi pada masing-
masing pemerintah daerah. Contoh klasifikasi ini dapat dilihat pada gambar 3.2 pada Bab III.

3. Klasifikasi Program dan Kegiatan

Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan, disesuaikan dengan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah (Lihat Lampiran A.VII Permendagri 13/2006).

4. Klasifikasi Kelompok

Klasifikasi belanja menurut kelompok dirinci dalam kelompok belanja langsung dan kelompok
belanja tidak langsung.

a. Belanja Langsung

Belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh adanya
program dan kegiatan yang direncanakan. Jenis belanja langsung dapat berupa belanja
pegawai/personalia, barang/jasa, pemeliharaan, dan perjalanan dinas.

Keberadaan belanja tersebut merupakan konsekuensi karena adanya program dan


kegiatan dan mempunyai karakter bahwa masukan (alokasi belanja) dapat diukur dan
diperbandingkan dengan keluarannya.

Belanja langsung dibagi menurut jenis belanja, yaitu:

1) belanja pegawai;

2) belanja barang & jasa; dan

3) belanja modal.

b. Belanja Tidak Langsung


Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung terhadap
adanya program/kegiatan. Belanja ini meliputi belanja pegawai, barang/jasa,
pemeliharaan, dan perjalanan dinas. Keberadaan anggaran belanja ini bukan merupakan
konsekuensi ada atau tidaknya program/kegiatan. Belanja ini digunakan secara periodik
(umumnya bulanan) dalam rangka koordinasi penye- lenggaraan tugas pemerintahan
yang bersifat umum, dan digunakan secara bersama-sama dalam pelaksanaan program/
kegiatan.

Dalam perhitungan ASB (Analisa Standar Belanja), belanja tidak langsung harus
dialokasikan pada setiap program/kegiatan tahun anggaran yang bersangkutan.
Program/kegiatan yang memperoleh alokasi belanja tidak langsung adalah program atau
kegiatan non investasi.

ASB merupakan hasil penjumlahan belanja langsung setiap program/kegiatan dengan


belanja tidak langsung yang dialokasikan pada program/kegiatan tersebut, yang
selanjutnya digunakan sebagai standar untuk menilai program/kegiatan unit kerja.

Belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja terdiri atas:

1) belanja pegawai;

2) bunga;

3) subsidi;

4) hibah;

5) bantuan sosial;

6) belanja bagi hasil;

7) bantuan keuangan; dan

8) belanja tidak terduga.

5. Klasifikasi Jenis Belanja

Pada lampiran IV PP 24 tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), belanja
diklasifikasikan menurut ekonomi (jenis belanja, organisasi, dan fungsi).

Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk
melaksanakan suatu aktivitas.

Klasifikasi ekonomi pemerintah pusat terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, belanja
modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Sedangkan klasifikasi ekonomi untuk pemerintah daerah, terdiri dari ; belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja tak
terduga.

Contoh klasifikasi belanja menurut jenis belanja adalah sebagai berikut:

Belanja Operasi

- Belanja Pegawai XXX


- Belanja Barang XXX

- Bunga XXX

- Subsidi XXX

- Hibah XXX

- Bantuan Sosial XXX

Belanja Modal

- Belanja Aset Tetap XXX

- Belanja Aset Lainnya XXX

Belanja Lain-lain/Tak Terduga XXX

a. Belanja Operasi

Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah


pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek.

Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja barang & jasa non
investasi, belanja pemeliharaan, pembayaran bunga hutang, belanja subsidi, dan belanja
bantuan sosial.

b. Belanja Modal

Sesuai definisi dalam pernyataan SAP Nomor 2, yang dimaksud dengan Belanja Modal
adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.

Belanja Modal meliputi antara lain; belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan, dan aset tidak berwujud.

c. Belanja Tidak Tersangka

Sesuai definisi dalam pernyataan SAP Nomor 2, yang dimaksud dengan belanja tidak
tersangka adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan
tidak diharapkan berulang.

Yang termasuk belanja tidak tersangka antara lain: penang- gulangan bencana alam,
bencana sosial, atau pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka
penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah.

Yang dimaksud dengan pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan adalah:

1) Pengeluaran yang sangat dibutuhkan bagi penyediaan sarana dan prasarana yang
langsung berkaitan dengan pelayanan masyarakat, yang anggarannya tidak tersedia
dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
2) Pengembalian atas kelebihan penerimaan yang terjadi dalam tahun-tahun anggaran
yang lalu (yang telah ditutup) dengan didukung bukti-bukti yang sah.

Klasifikasi belanja menurut fungsi adalah klasifikasi yang didasarkan pada sebelas fungsi
utama pemerintah pusat/daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Klasifikasi ini digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan
keuangan negara/daerah, yang terdiri dari:

01 pelayanan umum ; XXX

02 pertahanan; XXX

03 ketertiban dan ketenteraman; XXX

04 ekonomi; XXX

05 lingkungan hidup; XXX

06 perumahan dan fasilitas umum; XXX

07 kesehatan; XXX

08 keluarga berencana; XXX

09 pariwisata dan budaya; XXX

10 pendidikan; dan XXX

11 perlindungan sosial. XXX

(Sumber : Lampiran A.VI Permendagri 13/ 2006)

B. PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH

Pengeluaran pembiayaan daerah terdiri dari pembentukan dana cadangan, penyertaan modal
(investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah.

1. Pembentukan Dana Cadangan

Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang
penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam tahun anggaran.
Pembentukan dana cadangan tersebut ditetapkan dengan peraturan daerah.

Rancangan perda tentang pembentukan dana cadangan, dibahas bersama dengan


pembahasan rancangan perda APBD. Dana cadangan dapat bersumber dari penyisihan atas
penerimaan daerah, kecuali dari dana alokasi khusus, pinjaman daerah dan penerimaan lain
yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu berdasarkan peraturan perundang-
undangan.

Dana cadangan ditempatkan pada rekening tersendiri. Penerimaan hasil bunga/dividen


rekening dana cadangan dan penempatan dalam portofolio dicantumkan sebagai
penambahan dana cadangan berkenaan dalam daftar dana cadangan pada lampiran raperda
tentang APBD.

2. Investasi Pemerintah Daerah


Investasi/penyertaan modal pemerintah daerah digunakan untuk menganggarkan kekayaan
pemerintah daerah yang diinvestasikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera diperjualbelikan/dicairkan,


yang ditujukan dalam rangka manajemen kas dan berisiko rendah serta dimiliki selama
kurang dari duabelas bulan. Investasi ini mencakup: deposito berjangka antara tiga sampai
dengan dua belas bulan, pembelian surat utang negara (SUN), sertifikat bank indonesia
(SBI), dan surat perbendaharaan negara (SPN).

Sedangkan yang dimaksudkan dengan investasi jangka panjang, adalah investasi yang
dimiliki lebih dari duabelas bulan. Investasi jangka panjang dikelompokan dalam investasi
permanen dan investasi non permanen.

Investasi permanen adalah investasi jangka panjang dengan tujuan untuk dimiliki secara
berkelanjutan tanpa ada niat untuk diperjual- belikan atau ditarik kembali. Misalnya:
kerjasama daerah dengan pihak ketiga dalam bentuk penggunausahaan/pemanfaatan aset
daerah, penyertaan modal daerah pada BUMD dan/atau badan usaha lainnya.

Investasi non permanen adalah investasi jangka panjang yang bertujuan untuk dimiliki secara
tidak berkelanjutan atau ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik kembali. Misalnya:
pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang, dana bantuan bergulir dari pemerintah
daerah kepada kelompok masyarakat, pemberian fasilitas pendanaan kepada usaha mikro
dan menengah.

Investasi pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah yang akan disertakan dalam
tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan
modal dengan berpedoman pada peraturan menteri dalam negeri.

3. Pembayaran Pokok Utang

Pembayaran pokok utang digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban atas


pokok utang yang dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.

4. Pemberian Pinjaman Daerah

Pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang diberikan kepada


pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya

C. LATIHAN

1. Karakteristik belanja daerah yang dialokasikan dalam APBD khususnya terkait dengan
pelayanan umum harus mengedepankan:

a. adil, merata, dan tidak diskriminatif

b. proporsional, efisien, dan efektif

c. ekonomis, efisien, dan efektif

d. cukup, proporsional, dan merata.


2. Sesuai dengan ketentuan permendagri No. 13 tahun 2006 yang direvisi dengan permendagri
No. 59 tahun 2007, belanja tidak langsung meliputi:

a. belanja barang/jasa

b. belanja pegawai

c. belanja pegawai, dan belanja pemeliharaan

d. belanja pegawai, dan belanja perjalanan dinas

3. Pembelian SUN, SBI dan SPN oleh pemerintah daerah termasuk investasi:

a. jangka pendek

b. jangka menengah

c. permanen

d. non permanen

4. Pembangunan kembali 5 unit gedung baru SD di Kec. Sibolangit bernilai Rp. 950 juta tidak
tersedia dalam APBD TA 2008, sebagai ganti 5 unit gedung SD yang roboh karena bencana
tanah longsor dikategorikan dalam:

a. Belanja modal

b. Belanja barang/jasa

c. Belanja investasi

d. Belanja tidak tersangka

5. Penyisihan dana cadangan oleh pemerintah daerah dapat bersumber pada:

a. DAK

b. pinjaman daerah

c. hasil penjualan SUD

d. bagian laba BUMD

BAB VII

PELAKSANAAN, PENATAUSAHAAN,

PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN APBD


Pada akhir pemelajaran ini peserta mampu memahami proses pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban APBD.

A. PELAKSANAAN APBD

Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. Pelaksanaan APBD meliputi pelaksanaan anggaran
pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Penjelasan berikut ini didasarkan pada Peraturan
Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan ini telah disusun
pedoman pelaksanaannya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Kriteria
keadaan darurat ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan anggaran oleh kepala SKPD dilaksanakan setelah dokumen pelaksanaan anggaran
SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh PPKD dengan persetujuan sekretaris daerah. Proses
penetapan DPA-SKPD adalah sebagai berikut:

1. PPKD paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah peraturan daerah tentang APBD ditetapkan,
memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun rancangan DPA-SKPD.

2. Rancangan DPA-SKPD merinci sasaran yang hendak dicapai, program, kegiatan, anggaran
yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap
SKPD serta pendapatan yang diperkirakan.

3. Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD kepada PPKD paling lama 6 (enam) hari
kerja setelah pemberitahuan.

4. TAPD melakukan verifikasi rancangan DPA-SKPD bersama-sama dengan kepala SKPD


paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkannya peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD.

5. Berdasarkan hasil verifikasi, PPKD mengesahkan rancangan DPA- SKPD dengan


persetujuan sekretaris daerah.

6. DPA-SKPD yang telah disahkan disampaikan kepada kepala SKPD, satuan kerja
pengawasan daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal disahkan.

Setelah DPA-SKPD ditetapkan, kepala SKPD melaksanakan kegiatan- kegiatan SKPD berdasarkan
dokumen tersebut.

1. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Daerah

Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah
wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD dilarang digunakan
langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum
daerah paling lama 1 (satu) hari kerja oleh bendahara penerimaan dengan didukung oleh
bukti yang lengkap.

Semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum daerah. SKPD dilarang
melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah. SKPD yang
mempunyai tugas memungut dan/atau menerima dan/atau kegiatannya berdampak pada
penerimaan daerah wajib mengintensifkan pemungutan dan penerimaan tersebut.

Komisi, rabat, potongan atau penerimaan lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung sebagai akibat dari penjualan, tukar-
menukar, hibah, asuransi dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan bunga,
jasa giro atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan dana anggaran pada bank serta
penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atas kegiatan lainnya merupakan
pendapatan daerah.

Semua penerimaan daerah apabila berbentuk uang harus segera disetor ke kas umum
daerah dan berbentuk barang menjadi milik/aset daerah yang dicatat sebagai inventaris
daerah.

Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian tuntutan ganti rugi dan
sejenisnya dilakukan dengan membebankan pada rekening penerimaan yang bersangkutan
untuk pengembalian penerimaan yang terjadi dalam tahun yang sama. Untuk pengembalian
kelebihan penerimaan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada rekening
belanja tidak terduga.

2. Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah

Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap
pengeluaran belanja. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk
pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD. Setiap SKPD
dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang
telah ditetapkan dalam APBD. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat,
tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang
diperoleh oleh pihak yang menagih. Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak
dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan
ditempatkan dalam lembaran daerah. Pengeluaran kas tersebut tidak termasuk belanja yang
bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.

Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan surat penyediaan dana (SPD),
atau dokumen pelaksanaan anggaran SKPD (DPA-SKPD), atau dokumen lain yang
dipersamakan dengan SPD.

Khusus untuk biaya pegawai diatur bahwa gaji pegawai negeri sipil daerah dibebankan dalam
APBD. Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri
sipil daerah berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan
keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.

Dalam pelaksanaan pembayaran yang terhutang pajak, bendahara pengeluaran sebagai


wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak

lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke
rekening kas negara pada bank pemerintah atau bank lain yang ditetapkan menteri keuangan
sebagai bank persepsi atau pos giro dalam jangka waktu sesuai ketentuan perundang-
undangan.

Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPM yang diterbitkan
oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran. Selanjutnya pembayaran dilakukan
dengan penerbitan SP2D oleh kuasa BUD. Karena itu, kuasa BUD berkewajiban untuk:

a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran;

b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam
perintah pembayaran;

c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;

d. memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran daerah; dan

e. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna
anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Perlu menjadi perhatian bahwa penerbitan SPM tidak boleh dilakukan sebelum barang
dan/atau jasa diterima kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. Setelah
tahun anggaran berakhir, kepala SKPD selaku pengguna anggaran dilarang menerbitkan
SPM yang membebani tahun anggaran berkenaan.

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas SKPD, kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna


anggaran dapat diberikan uang persediaan yang dikelola oleh bendahara pengeluaran.
Bendahara pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolanya
setelah:

a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna


anggaran/kuasa pengguna anggaran;

b. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah pembayaran;


dan

c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.

Bendahara pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari pengguna anggaran/kuasa


pengguna anggaran apabila kelengkapan dokumen, kebenaran perhitungan dan
ketersediaan dana tidak terpenuhi. Bendahara pengeluaran wajib melakukan hal tersebut
karena dia bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya.

Kepala daerah dapat memberikan izin pembukaan rekening untuk keperluan pelaksanaan
pengeluaran di lingkungan SKPD.

3. Pelaksanaan Anggaran Pembiayaan Daerah

Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan


daerah (PPKD). Semua penerimaan dan pengeluaraan pembiayaan daerah dilakukan melalui
rekening kas umum daerah.

Untuk pencairan dana cadangan, pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke rekening
kas umum daerah dilakukan berdasarkan rencana pelaksanaan kegiatan, setelah jumlah
dana cadangan yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang pembentukan dana
cadangan yang berkenaan mencukupi. Pemindahbukuan tersebut paling tinggi sejumlah
pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam
tahun anggaran berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah tentang
pembentukan dana cadangan. Pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke rekening
kas umum daerah tersebut dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa
BUD atas persetujuan PPKD.

Penjualan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Pencatatan penerimaan atas penjualan kekayaan daerah didasarkan
pada bukti penerimaan yang sah.

Penerimaan pinjaman daerah didasarkan pada jumlah pinjaman yang akan diterima dalam
tahun anggaran yang bersangkutan sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian
pinjaman berkenaan. Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan dalam
nilai rupiah. Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah didasarkan pada perjanjian
pemberian pinjaman daerah sebelumnya, untuk kesesuaian pengembalian pokok pinjaman
dan kewajiban lainnya yang menjadi tanggungan pihak peminjam.

Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan mencakup pelaksanaan pembentukan dana


cadangan, penyertaan modal, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah.

Jumlah pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana cadangan dalam tahun
anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam peraturan daerah.
Pemindahbukuan jumlah pendapatan daerah yang disisihkan yang ditransfer dari rekening
kas umum daerah ke rekening dana cadangan dilakukan dengan surat perintah
pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

Penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan
disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah
tentang penyertaan modal daerah berkenaan.

Pembayaran pokok utang didasarkan pada jumlah yang harus dibayarkan sesuai dengan
perjanjian pinjaman dan pelaksanaannya merupakan prioritas utama dari seluruh kewajiban
pemerintah daerah yang harus diselesaikan dalam tahun anggaran yang berkenaan.

Pemberian pinjaman daerah kepada pihak lain berdasarkan keputusan kepala daerah atas
persetujuan DPRD.

Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran


pokok utang dan pemberian pinjaman daerah tersebut dilakukan berdasarkan SPM yang
diterbitkan oleh PPKD.

Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran pembiayaan, kuasa BUD berkewajiban untuk:

a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran/pemindah bukuan


yang diterbitkan oleh PPKD;

b. menguji kebenaran perhitungan pengeluaran pembiayaan yang tercantum dalam


perintah pembayaran;

c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan; dan

d. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran atas pengeluaran pembiayaan


tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

B. PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH

Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan, bendahara pengeluaran


dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah wajib
menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pejabat yang
menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi
dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggung jawab terhadap
kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

1. Penatausahaan Penerimaan

Penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah yang
ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD menerima nota kredit. Penerimaan daerah
yang disetor tersebut dilakukan dengan cara:

a. disetor langsung ke bank oleh pihak ketiga;

b. disetor melalui bank lain, badan, lembaga keuangan dan/atau kantor pos oleh pihak
ketiga; dan disetor melalui bendahara penerimaan oleh pihak ketiga.

Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh


penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya. Bendahara
penerimaan pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan secara administratif atas
pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penerimaan kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Disamping
pertanggungjawaban secara administratif, bendahara penerimaan pada SKPD wajib
mempertanggung jawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi
tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan
kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Selanjutnya PPKD
selaku BUD melakukan verifikasi, evaluasi dan analisis atas laporan pertanggungjawaban
bendahara penerimaan pada SKPD.

2. Penatausahaan Pengeluaran

Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun rancangan anggaran kas


SKPD. Rancangan anggaran kas SKPD tersebut disampaikan kepada PPKD selaku BUD
bersamaan dengan rancangan DPA-SKPD. Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD
dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan DPA-SKPD.

Setelah DPA-SKPD ditetapkan, PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah
daerah guna mengatur ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai pengeluaran-
pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana yang tercantum dalam DPA-SKPD yang
telah disahkan. Anggaran kas tersebut memuat perkiraan arus kas masuk yang bersumber
dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode.

a. Penyediaan Dana

Setelah penetapan anggaran kas, PPKD dalam rangka manajemen kas menerbitkan
surat penyediaan dana (SPD). SPD atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD
merupakan dasar pengeluaran kas atas beban APBD. Permintaan pembayaran hanya
dapat dilaksanakan, jika SPD telah diterbitkan.

b. Permintaan Pembayaran

Berdasarkan SPD, bendahara pengeluaran mengajukan surat permintaan pembayaran


(SPP) kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui pejabat pengelola
keuangan SKPD (PPK-SKPD). Ada 4 jenis SPP yaitu:

1) Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP).


2) Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPP- GU).

3) Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan (SPP TU).

4) Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS).

Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-UP dilakukan oleh bendahara pengeluaran


untuk memperoleh persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
melalui PPK- SKPD dalam rangka pengisian uang persediaan. Penerbitan dan
pengajuan dokumen SPP-GU dilakukan untuk memperoleh persetujuan dari pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD dalam rangka mengganti uang
persediaan. Sedangkan penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-TU dilakukan oleh
bendahara pengeluaran untuk memperoleh persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran melalui PPK-SKPD dalam rangka tambahan uang persediaan.
Pengajuan dokumen SPP-UP, SPP-GU dan SPP-TU tersebut digunakan dalam rangka
pelaksanaan pengeluaran SKPD yang harus dipertanggungjawabkan.

Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-LS untuk pembayaran gaji dan tunjangan serta
penghasilan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh
bendahara pengeluaran guna memperoleh persetujuan pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran melalui PPK-SKPD. Prosedur pengajuan dan penerbitan SPM-LS
dimulai dengan penyiapan dokumen SPP-LS untuk pengadaan barang dan jasa oleh
pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) untuk disampaikan kepada bendahara
pengeluaran dalam rangka pengajuan permintaan pembayaran. Selanjutnya, Bendahara
pengeluaran mengajukan SPP-LS kepada pengguna anggaran setelah ditandatangani
oleh PPTK guna memperoleh persetujuan pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran melalui PPK- SKPD.

Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran meneliti kelengkapan dokumen SPP-


UP, SPP-GU, SPP-TU, dan SPP-LS yang diajukan oleh bendahara pengeluaran
sebelum menerbitkan surat perintah pembayaran (SPP).

c. Perintah Membayar

Setelah meneliti SPP, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran harus


menyatakan apakan dokumen SPP telah lengkap dan sah. Dalam hal dokumen SPP
dinyatakan lengkap dan sah, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
menerbitkan surat perintah membayar (SPM). Penerbitan SPM paling lama 2 (dua) hari
kerja terhitung sejak diterimanya dokumen SPP. Jika dokumen SPP dinyatakan tidak
lengkap dan/atau tidak sah, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran menolak
menerbitkan SPM. Penolakan penerbitan SPM paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung
sejak diterimanya pengajuan SPP.

SPM yang telah diterbitkan diajukan kepada kuasa BUD untuk penerbitan SP2D.

Setelah tahun anggaran berakhir, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran


dilarang menerbitkan SPM yang membebani tahun anggaran berkenaan.

d. Pencairan Dana

Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan oleh pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran agar pengeluaran yang diajukan tidak melampaui
pagu dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.
Jika dokumen SPM dinyatakan lengkap, kuasa BUD menerbitkan surat perintah
pencairan dana (SP2D). Penerbitan SP2D paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak
diterimanya pengajuan SPM. Jika dokumen SPM dinyatakan tidak lengkap, kuasa BUD
menolak menerbitkan SP2D. Penolakan penerbitan SP2D paling lama 1 (satu) hari kerja
terhitung sejak diterimanya pengajuan SPM.
Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan untuk keperluan uang persediaan/ganti
uang persediaan/tambahan uang persediaan kepada pengguna anggaran/kuasa
penggguna anggaran. Sedangkan untuk pembayaran langsung, Kuasa BUD
menyerahkan SP2D yang diterbitkan kepada pihak ketiga.

e. Pertanggungjawaban Penggunaan Dana

Bendahara pengeluaran secara administratif wajib mempertanggung jawabkan


penggunaan uang persediaan/ganti uang persediaan/tambah uang persediaan kepada
kepala SKPD melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Hal ini
dilaksanakan dengan menutup Buku Kas Umum setiap bulan dengan sepengetahuan
dan persetujuan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran. Selanjutnya bendahara
pengeluaran menyusun laporan pertanggungjawaban penggunaan uang persediaan.

Dalam hal laporan pertanggungjawaban telah sesuai, pengguna anggaran menerbitkan


surat pengesahan laporan pertanggungjawaban. Untuk tertib laporan
pertanggungjawaban pada akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban pengeluaran
dana bulan Desember disampaikan paling lambat tanggal 31 Desember.

Selain pertanggungjawaban secara administratif, bendahara pengeluaran pada SKPD


juga wajib mempertanggungjawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang
menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban
pengeluaran kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Penyampaian pertanggungjawaban tersebut dilaksanakan setelah diterbitkan surat
pengesahan pertanggungjawaban pengeluaran oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran.

C. AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH

Untuk melakukan penyusunan laporan keuangan, pemerintah daerah menyusun sistem akuntansi
pemerintah daerah yang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi
pemerintah daerah dilaksanakan oleh satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD) sebagai
entitas pelaporan dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebagai entitas akuntansi.

Sistem akuntansi pemerintahan daerah meliputi serangkaian prosedur mulai dari proses
pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan
aplikasi komputer. Proses tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku jurnal dan buku besar,
dan apabila diperlukan ditambah dengan buku besar pembantu.

Sistem akuntansi pemerintahan daerah sekurang-kurangnya meliputi:

1. prosedur akuntansi penerimaan kas;

2. prosedur akuntansi pengeluaran kas;

3. prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah; dan

4. prosedur akuntansi selain kas.

Sistem akuntansi pemerintahan daerah disusun dengan berpedoman pada prinsip pengendalian
intern sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian internal dan
peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintahan
daerah dilaksanakan oleh PPKD. Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh PPK- SKPD. PPK-
SKPD mengkoordinasikan pelaksanaan sistem dan prosedur penatausahaan bendahara
penerimaan dan bendahara pengeluaran.

Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas pelaporan menyusun laporan


keuangan yang meliputi:

1. laporan realisasi anggaran;

2. neraca;

3. laporan arus kas; dan

4. catatan atas laporan keuangan.

Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas akuntansi menyusun laporan


keuangan yang meliputi:

1. laporan realisasi anggaran;

2. neraca; dan

3. catatan atas laporan keuangan.

D. PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN APBD

1. Laporan Realisasi Semester Pertama Anggaran Pendapatan dan Belanja

Kepala SKPD menyusun laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan
belanja SKPD sebagai hasil pelaksanaan anggaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Laporan tersebut disertai dengan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

Laporan disiapkan oleh PPK-SKPD dan disampaikan kepada pejabat pengguna anggaran
untuk ditetapkan sebagai laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan
belanja SKPD serta prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya paling lama 7 (tujuh) hari
kerja setelah semester pertama tahun anggaran berkenaan berakhir.

Pejabat pengguna anggaran menyampaikan laporan tersebut kepada PPKD sebagai dasar
penyusunan laporan realisasi semester pertama APBD paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah semester pertama tahun anggaran berkenaan berakhir. Selanjutnya PPKD menyusun
laporan realisasi semester pertama APBD dengan cara menggabungkan seluruh laporan
realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD paling lambat minggu
kedua bulan Juli dan disampaikan kepada sekretaris daerah.

Laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya
disampaikan kepada kepala daerah paling lambat minggu ketiga bulan Juli tahun anggaran
berkenaan untuk ditetapkan sebagai laporan realisasi semester pertama APBD dan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya. Selanjutnya laporan realisasi semester pertama
APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya disampaikan kepada DPRD paling
lambat akhir bulan.

2. Laporan Tahunan
PPK-SKPD menyiapkan laporan keuangan SKPD tahun anggaran berkenaan dan
disampaikan kepada kepala SKPD untuk ditetapkan sebagai laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran SKPD. Laporan keuangan tersebut disampaikan kepada PPKD
sebagai dasar penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah. Laporan keuangan SKPD
disampaikan kepada kepala daerah melalui PPKD paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun
anggaran berakhir. Laporan keuangan tersebut disusun oleh pejabat pengguna anggaran
sebagai hasil pelaksanaan anggaran yang berada di SKPD yang menjadi tanggung
jawabnya. Laporan keuangan SKPD tersebut terdiri dari: laporan realisasi anggaran; neraca;
dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan SKPD dilampiri dengan surat
pernyataan kepala SKPD bahwa pengelolaan APBD yang menjadi tanggung jawabnya telah
diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan standar
akuntansi pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

PPKD menyusun laporan keuangan pemerintah daerah dengan cara menggabungkan


laporan-laporan keuangan SKPD paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran berkenaan. Laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan kepada kepala
daerah melalui sekretaris daerah dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD. Laporan keuangan tersebut terdiri dari: laporan realisasi anggaran; neraca; laporan
arus kas; dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan pemerintah daerah
dilampiri dengan surat pernyataan kepala daerah yang menyatakan pengelolaan APBD yang
menjadi tanggung jawabnya telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern
yang memadai, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Laporan keuangan disampaikan oleh kepala daerah kepada BPK untuk diaudit paling lambat
3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Setelah disampaikan laporan hasil audit,
kepala daerah memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap laporan
keuangan pemerintah daerah berdasarkan hasil pemeriksaan BPK.

3. Penetapan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban


pelaksanaan APBD kepada DPRD paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir. Rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
memuat laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus
kas, catatan atas laporan keuangan, serta dilampiri dengan laporan kinerja yang telah
diperiksa BPK dan ikhtisar laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah.

Persetujuan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban


pelaksanaan APBD oleh DPRD paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak rancangan
peraturan daerah diterima.

4. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD


dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

Rancangan peraturan daerah provinsi tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang


telah disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lama 3
(tiga) hari kerja disampaikan terlebih dahulu kepada menteri dalam negeri untuk dievaluasi.
Hasil evaluasi disampaikan oleh menteri dalam negeri kepada gubernur paling lama

15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.


Apabila menteri dalam negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang
penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sudah sesuai dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubernur menetapkan
rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan gubernur menjadi peraturan daerah
dan peraturan gubernur.

Rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang pertanggungjawaban pelaksanaan


APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang
penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebelum ditetapkan oleh
bupati/walikota paling lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada gubernur untuk dievaluasi.
Hasil evaluasi disampaikan oleh gubernur kepada bupati/walikota paling lama 15 (lima belas)
hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan daerah kabupaten/kota dan
rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.

Apabila gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang


pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang
penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sudah sesuai dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bupati/walikota menetapkan
rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota.

E. LATIHAN

1. Pelaksanaan anggaran oleh kepala SKPD dilaksanakan setelah dokumen pelaksanaan


anggaran SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh PPKD dengan persetujuan:

a. Sekretaris Daerah.

b. Kepala Daerah.

c. Tim Anggaran Pemerintah Daerah.

d. DPRD.

2. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah oleh
bendahara penerimaan paling lama:

a. 1 (satu) hari kerja.

b. 3 (tiga) hari kerja.

c. 5 (lima) hari kerja.

d. 7 (tujuh) hari kerja.

3. Jumlah anggaran belanja daerah merupakan:

a. Prakiraan realisasi belanja.


b. Plafon realisasi belanja.

c. Rencana nilai fisik kegiatan.

d. Rencana nilai kontrak pengadaan barang/jasa.

4. Penerbitan SPM atas SPP yang telah lengkap dan sah dilakukan oleh:

a. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan.

b. Bendahara Pengeluaran

c. Kuasa Pengguna Anggaran.

d. Kuasa Bendahara Umum Daerah.

5. Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas


akuntansi menyusun laporan keuangan yang meliputi :

a. Laporan Semesteran dan Tahunan Pelaksanaan APBD.

b. Laporan Perhitungan Anggaran dan Nota Keuangan.

c. Neraca, LRA, LAK dan Catatan atas Laporan Keuangan.

d. Neraca, LRA, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

BAB VIII

PENGGANTIAN KERUGIAN
NEGARA/DAERAH

Setelah mempelajari bab ini diharapkan peserta diklat mampu menjelaskan


pengertian penggantian kerugian negara/daerah.

A. UMUM

Ketentuan mengenai penyelesaian maupun pengenaan ganti kerugian negara/daerah diatur dalam
Bab IX Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Bab XI Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta dalam Bab V Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

1. Penyelesaian Kerugian Daerah

Penyelesaian kerugian daerah adalah sebagai berikut:

a. Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau
kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.

b. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya
secara langsung merugikan negara, wajib menggantikan kerugian tersebut.

c. Setiap pimpinan kementrian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah


(SKPD) dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam
kementrian negara/lembaga/SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan
dari pihak manapun.

d. Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau oleh kepala SKPD
kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.

e. Segera setelah kerugian daerah diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, atau pejabat lain yang nyata- nyata melanggar hukum dapat segera
dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian
tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah
dimaksud.

f. Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM) tidak mungkin diperoleh atau
tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, maka gubernur/bupati/walikota
yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian
kerugian sementara kepada yang bersangkutan.

g. Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK. Apabila
dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsur pidana, maka BPK
menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

h. Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara,


atau pejabat lain ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.
Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
i. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang telah ditetapkan
untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau
sanksi pidana. Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

2. Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah

Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara adalah sebagai berikut :

a. BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban


bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada
kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan daerah,

b. Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK dalam waktu
14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan tersebut di atas.

c. Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan ditolak, BPK


menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian daerah kepada
bendahara yang bersangkutan,

d. Gubernur/bupati/walikota melaporkan penyelesaian kerugian daerah kepada BPK


selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahuinya kerugian daerah
dimaksud.

Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun pengenaan ganti kerugian


negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain diatur dengan
peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketiga paket undang-undang di
atas. Ketentuan tersebut diharapkan dapat digunakan oleh pihak- pihak yang terkait dalam
menangani dan menyelesaikan kerugian negara/daerah yang semakin hari semakin
bertambah besar, sehingga dapat diantisipasi terjadinya kerugian daerah, dicegah
penyelesaian kerugian daerah yang berlarut-larut, serta dipercepat proses pemulihan
kerugian daerah maupun diperkecil terjadinya kerugian daerah.

BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian daerah terhadap pegawai negeri
bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah.

Perlu dikemukakan di sini, sambil menunggu terbitnya peraturan pemerintah sebagai


petunjuk pelaksanaan ketiga ketentuan di atas, dalam modul ini (subbab C sampai dengan
subbab M) masih digunakan ketentuan lama yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No.

5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Ganti Rugi dan Tuntutan Perbendaharaan Keuangan dan
Barang Daerah.

B. DASAR-DASAR PENGERTIAN YANG DIGUNAKAN

1. Pengertian Merugikan

Merugikan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
yang harus dilaksanakan dalam pergaulan masyarakat dan bernegara, terhadap pribadi atau
badan dan harta benda orang lain.

2. Pengertian Kerugian Daerah


Pengertian kerugian negara/daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah berkurangnya kekayaan
negara/daerah yang disebabkan oleh suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan
wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau
kedudukan, kelalaian seseorang dan atau disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan
manusia (force majeure).

3. Sifat dan Bentuk Kerugian Daerah

a. Ditinjau dari pelakunya

1) Bendahara, yang melakukan perbuatan :

a) Tidak melakukan pencatatan dan penyetoran atas


penerimaan uang/barang,

b) Tidak melakukan pencatatan atas penerimaan/


pengeluaran uang/barang,

c) Membayar/memberi/mengeluarkan uang/barang kepada pihak yang tidak


berhak dan/atau secara tidak sah,

d) Tidak membuat pertanggungjawaban keuangan/


pengurusan barang,

e) Menerima dan menyimpan uang palsu,

f) Korupsi, penyelewengan, penggelapan,

g) Kecurian, penodongan, perampokan dan/atau kolusi,

h) Pertanggungjawaban atau laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan,

i) Penyalahgunaan wewenang/jabatan

j) Tidak melakukan tugas yang menjadi tanggung jawabnya (wajib pungut


pajak),

2) Pegawai negeri bukan bendahara yang melakukan perbuatan:

a) Korupsi, penyelewengan, penggelapan.

b) Penyalahgunaan wewenang dan jabatan.

c) Pencurian dan penipuan

d) Merusak, menghilangkan barang inventaris milik daerah.

e) Menaikkan harga, merubah kualitas/mutu.

f) Meninggalkan tugas dan atau pekerjaan setelah selesai melaksanakan tugas


belajar.

g) Meninggalkan tugas belajar sebelum selesai batas waktu yang telah


ditentukan.

3) Pihak ketiga, karena melakukan perbuatan :


a) Tidak menepati janji/kontrak (wanprestasi).

b) Pengiriman barang yang mengalami kerusakan karena kesalahannya.

c) Penipuan, penggelapan dan perbuatan lainnya yang secara langsung atau


tidak langsung menimbulkan kerugian bagi daerah.

b. Ditinjau dari sebabnya

1) Perbuatan manusia yang disebabkan karena :

a) Kesengajaan.

b) Kelalaian, kealpaan, kesalahan.

c) Di luar kemampuan si pelaku.

2) Karena kejadian alam :

a) Bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir dan kebakaran.

b) Proses alamiah seperti membusuk, mencair, menyusut, menguap, menguraikan


dan dimakan rayap.

c. Ditinjau dari waktu terjadinya kerugian daerah

Tinjauan dari waktu di sini dimaksudkan untuk memastikan apakah suatu peristiwa
kerugian negara/daerah masih dapat dilakukan penuntutannya atau tidak, baik terhadap
bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pihak ketiga.

Dalam hal tuntutan ganti rugi, perlu diperhatikan ketentuan daluwarsa sebagai berikut :

1) 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut, atau

2) 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi
terhadap yang bersangkutan.

3) Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang
dikenai tuntutan ganti rugi daerah berada dalam pengampuan, melarikan diri atau
meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada
pengampu/yang memperoleh hak/ahli warisnya. Tanggung jawab pengampu/ahli
warisnya untuk membayar ganti rugi daerah menjadi hapus, apabila dalam waktu 3
(tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan, atau yang
memperoleh hak/ahli waris tidak diberitahu oleh pejabat yang berwenang mengenai
adanya kerugian daerah.

Setelah lewat batas-batas waktu daluwarsa tersebut di atas, tidak dapat lagi dilakukan
tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu mengingat batas waktu daluwarsa yang relatif
singkat, maka setiap ada kerugian negara/daerah wajib segera dilakukan pemrosesan
tuntutan ganti rugi.

C. TATA CARA PENYELESAIAN KERUGIAN KEUANGAN DAERAH


1. Melalui Upaya Damai

Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui upaya damai dilakukan apabila penggantian
kerugian keuangan daerah dilakukan secara tunai sekaligus dan angsuran dalam jangka
waktu selambat- lambatnya 2 (dua) tahun dengan menandatangani surat keterangan
tanggung jawab mutlak (SKTJM).

2. Melalui Tuntutan Perbendaharaan

Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses tuntutan perbendaharaan dilakukan


apabila upaya damai yang dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil.

Proses penuntutannya merupakan kewenangan kepala daerah melalui majelis pertimbangan


tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi keuangan dan barang daerah (Majelis
Pertimbangan).

Apabila pembebanan perbendaharaan telah diterbitkan, kepala daerah melakukan eksekusi


keputusan dimaksud dan membantu proses pelaksanaan penyelesaiannya.

3. Melalui Tuntutan Ganti Rugi

Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses tuntutan ganti rugi dilakukan apabila
upaya damai yang dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil. Proses
penuntutannya menjadi wewenang kepala daerah melalui majelis pertimbangan.

Tuntutan ganti rugi baru dapat dilakukan apabila :

a. Adanya perbuatan melanggar hukum, kesalahan atau kelalaian pegawai negeri


termasuk melalaikan kewajibannya yang berhubungan dengan pelaksanaan
fungsi atau status dalam jabatannya,

b. Pegawai negeri yang bersangkutan dalam melakukan perbuatan melanggar


hukum/kesalahan itu tidak berkedudukan sebagai bendahara,

c. Pemerintah daerah baik secara langsung maupun tidak langsung telah dirugikan oleh
perbuatan melanggar hukum/kelalaian itu.

Apabila pembebanan ganti rugi telah diterbitkan, kepala daerah melakukan eksekusi
keputusan dimaksud dan membantu proses pelaksanaan penyelesaiannya.

4. Melalui Cara Lain

Apabila pelaku kerugian daerah ternyata ingkar janji (wanprestasi), maka daerah dapat
melakukan dengan cara tagihan secara paksa melalui badan/instansi penagih yang
berwenang setelah diputuskan kepala daerah bahwa tagihan akan/telah macet.

D. TUNTUTAN PERBENDAHARAAN (TP)

Tuntutan perbendaharaan adalah suatu tata cara perhitungan terhadap bendahara, jika dalam
pengurusannya terdapat kekurangan perbendaharaan dan kepada bendahara yang bersangkutan
diharuskan mengganti kerugian.

Tuntutan ini berlaku untuk bendahara yang dalam hal ini adalah seseorang yang ditugaskan untuk
menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang daerah, surat-surat berharga dan
barang milik daerah, serta bertanggung-jawab kepada kepala daerah. Yang merupakan objek dari
penuntutan ini adalah adanya kekurangan perbendaharaan yang pada dasarnya merupakan selisih
kurang antara saldo buku kas dengan saldo fisik kas.

1. Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan

Dalam hal ini dapat diselesaikan melalui 4 (empat) cara, yaitu: upaya damai, tuntutan
perbendaharaan biasa, tuntutan perbendaharaan khusus, dan pencatatan.

a. Upaya Damai

1) Penyelesaian tuntutan perbendaharaan sedapat mungkin dilakukan dengan upaya


damai oleh bendahara/ahli waris/pengampu, baik melalui pembayaran sekaligus
(tunai) atau angsuran. Pelaksanaan upaya damai ini dilakukan oleh badan
pengawas daerah (Bawasda). Dalam hal penyelesaian kerugian daerah
dilaksanakan melalui cara mengangsur, maka terlebih dahulu harus dibuat surat
keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM).

2) Apabila pembayaran dilakukan secara angsuran, maka dapat dilakukan selambat-


lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak ditanda tanganinya SKTJM dan
harus disertai jaminan barang yang nilainya cukup.

3) Pembayaran angsuran yang dilakukan melalui pemotongan gaji/penghasilan harus


dilengkapi dengan surat kuasa pemotongan, jaminan barang beserta surat kuasa
pemilikan yang sah, dan surat kuasa untuk menjual.

4) Apabila bendahara tidak dapat melaksanakan pembayaran angsuran dalam waktu


yang ditetapkan dalam SKTJM, maka barang jaminan pembayaran angsuran dapat
dijual sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5) Apabila terdapat kekurangan dari hasil penjualan barang jaminan seperti yang
dimaksud di atas, maka kekurangan tersebut tetap menjadi kewajiban bendahara
yang bersangkutan. Sebaliknya apabila terdapat kelebihan dari hasil penjualan
barang jaminan, maka akan dikembalikan kepada bendahara yang bersangkutan.

6) Pelaksanaan keputusan tuntutan perbendaharaan (eksekusi) dilakukan oleh majelis


pertimbangan.

b. Tuntutan Perbendaharaan Biasa

1) Dilakukan atas dasar perhitungan yang diberikan oleh Bendahara yang


bersangkutan kepada kepala daerah.

2) Bendahara bertanggung jawab atas kekurangan perbendaharaan yang terjadi dalam


pengurusannya, kecuali apabila ia dapat memberikan pembuktian bahwa ia bebas
dari kesalahan atau kelalaian atas kekurangan perbendaharaan tersebut.

3) Apabila dalam pemeriksaan oleh bawasda terhadap bendahara terbukti bahwa


kekurangan perbendaharaan tersebut dilakukan oleh beberapa pegawai atau atasan
langsung, maka kepada yang bersangkutan dikenakan tanggung jawab renteng
sesuai dengan bobot keterlibatan dan tanggung jawabnya, urutan inisiatif dan
kelalaian atau kesalahannya.

4) Proses tuntutan perbendaharaan dimulai dengan suatu pemberitahuan tertulis dari


kepala daerah kepada pihak yang akan dituntut, dengan menyebutkan :

a) Identitas pelaku.

b) Jumlah kekurangan perbendaharaan yang diderita oleh daerah yang harus


diganti.
c) Sebab-sebab serta alasan penuntutan dilakukan.

d) Tenggang waktu 14 (empat belas) hari yang diberikan untuk mengajukan


keberatan/pembelaan diri.

5) Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan/pembelaan diri sampai dengan


batas waktu yang ditetapkan atau telah mengajukan pembelaan diri tetapi tidak
dapat membuktikan bahwa ia bebas sama sekali dari kesalahan/kelalaian, maka
kepala daerah menetapkan surat keputusan pembebanan.

6) Berdasarkan surat keputusan pembebanan kepala daerah, bagi bendahara yang


telah mengajukan keberatan tertulis akan tetapi kepala daerah tetap berpendapat
bahwa yang bersangkutan salah/lalai dan dengan demikian tetap membebankan
penggantian kekurangan perbendaharaan kepadanya, dapat mengajukan
permohonan banding kepada pejabat yang berwenang selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah diterima surat keputusan pembebanan oleh yang bersangkutan.

7) Keputusan kepala daerah mengenai pembebanan kekurangan perbendaharaan


mempunyai kekuatan hukum yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara
pemotongan gaji dan penghasilan lainnya. Pelaksanaan pemotongan gaji dan
penghasilan lainnya dapat dilakukan dengan cara mengangsur dan dilunasi
selambat-lambatnya dalam 2 (dua) tahun.

8) Keputusan pembebanan tetap dilaksanakan, meskipun yang bersangkutan naik


banding.

9) Keputusan tingkat banding dari pejabat yang berwenang dapat berupa memperkuat
atau membatalkan surat keputusan pembebanan atau merubah besarnya jumlah
kerugian yang harus dibayar oleh bendahara.

c. Tuntutan Perbendaharaan Khusus

1) Apabila seorang bendahara meninggal dunia, melarikan diri atau berada di bawah
pengampuan dan lalai membuat perhitungan setelah ditegur 3 (tiga) kali berturut-
turut, maka pada kesempatan pertama atasan langsung atas nama kepala daerah
melakukan tindakan pengamanan untuk menjamin kepentingan daerah berupa :

a) Buku kas dan semua buku bendahara diberi garis penutup

b) Semua uang, surat dan barang berharga, surat-surat bukti maupun buku-buku
disimpan/dimasukkan ke dalam lemari besi dan disegel. Tindakan-tindakan di
atas harus dituangkan dalam berita acara penyegelan dan disaksikan oleh ahli
waris (bagi yang meninggal dunia), keluarga dekat (bagi yang melarikan diri)
atau pengampu/kurator (dalam hal bendahara berada di bawah pengampuan).

2) Atas dasar laporan atasan langsung, kepala daerah menunjuk pegawai (atas saran
majelis pertimbangan) yang ditugaskan untuk membuat perhitungan ex-officio. Biaya
pembuatan perhitungan ex-officio dibebankan kepada bendahara yang
bersangkutan, ahli waris atau pengampunya. Besarnya biaya pembuatan
perhitungan ex-officio ditetapkan oleh kepala daerah.

3) Hasil perhitungan ex-officio satu eksemplar diberikan kepada pengampu atau ahli
waris atau bendahara yang tidak membuat perhitungan dan dalam batas waktu 14
(empat belas) hari diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan.

4) Tata cara tuntutan perbendaharaan khusus yang dipertanggungawabkan terhadap


ahli waris (bagi bendahara yang meninggal dunia), keluarga terdekat (bagi
bendahara yang melarikan diri), pengampu (bagi bendahara yang di bawah
perwalian), atau bendahara yang tidak membuat perhitungan, apabila terjadi
kekurangan perbendaharaan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagaimana yang
berlaku pada tuntutan perbendaharaan biasa.

d. Pencatatan

1) Kepala daerah menerbitkan surat keputusan pencatatan jika proses tuntutan


perbendaharaan belum dapat dilaksanakan karena:

a) bendaharawan meninggal dunia tanpa ada ahli waris yang diketahui

b) ada ahli waris tetapi tidak dapat dimintakan


pertanggungjawabannya

c) bendaharawan melarikan diri dan tidak diketahui alamatnya

2) Dengan diterbitkannya surat keputusan pencatatan, kasus yang bersangkutan


dikeluarkan dari administrasi pembukuan.

3) Pencatatan yang telah dilakukan sewaktu-waktu dapat ditagih apabila :

a) yang bersangkutan diketahui alamatnya

b) ahli waris dapat dimintakan pertanggungjawabannya

c) upaya penyetoran ke kas daerah berhasil ditarik dari kas negara

E. TUNTUTAN GANTI RUGI (TGR)

Tuntutan ganti rugi adalah suatu proses tuntutan terhadap pegawai dalam kedudukannya bukan
sebagai bendahara, dengan tujuan menuntut penggantian kerugian disebabkan oleh perbuatannya
melanggar hukum dan/atau melalaikan kewajibannya atau tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana mestinya sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung daerah menderita
kerugian.

Yang termasuk dalam klasifikasi pegawai disini adalah :

1. Pegawai daerah

2. Pegawai negeri/pegawai daerah yang diperbantukan/dipekerjakan

3. Pegawai perusahaan daerah

4. Pekerja daerah

5. ABRI/purnawirawan ABRI yang dikaryakan/dipekerjakan pada daerah

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan TGR ini adalah sebagai berikut :

1. Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi

Dalam hal ini dapat diselesaikan melalui 3 (tiga) cara, yaitu upaya damai, tuntutan ganti rugi
biasa, dan pencatatan.

a. Upaya Damai

1) Penyelesaian kerugian daerah sedapat mungkin dilakukan dengan upaya damai


oleh pegawai/ahli waris baik dengan pembayaran sekaligus (tunai) atau angsuran.
Pelaksanaan upaya damai ini dilakukan oleh badan pengawas daerah.

2) Dalam keadaan terpaksa yang bersangkutan dapat melakukan dengan cara


angsuran selambat-lambatnya selama 2 (dua) tahun sejak ditandatanganinya surat
keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM) dan harus disertai jaminan barang
yang nilainya cukup.

3) Pembayaran angsuran yang dilakukan melalui pemotongan gaji/penghasilan harus


dilengkapi dengan surat kuasa pemotongan, jaminan barang beserta surat kuasa
pemilikan yang sah, dan surat kuasa untuk menjual

4) Apabila pegawai tidak dapat melaksanakan pembayaran angsuran dalam waktu


yang ditetapkan dalam SKTJM, maka barang jaminan pembayaran angsuran dapat
dijual sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5) Apabila terdapat kekurangan dari hasil penjualan barang jaminan seperti yang
dimaksud di atas, maka kekurangan tersebut tetap menjadi kewajiban pegawai yang
bersangkutan. Sebaliknya apabila terdapat kelebihan dari hasil penjualan barang
jaminan, maka akan dikembalikan kepada pegawai yang bersangkutan.

6) Pelaksanaan keputusan tuntutan ganti rugi (eksekusi) dilakukan oleh majelis


pertimbangan.

b. Tuntutan Ganti Rugi Biasa

1) Kerugian daerah yang dituntut dengan TGR adalah diakibatkan oleh perbuatan
melanggar hukum atau perbuatan melalaikan kewajiban atau tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana mestinya yang dipersalahkan kepadanya, serta ada
hubungannya dengan pelaksanaan fungsi ataupun dengan status jabatannya baik
langsung maupun tidak langsung.

2) TGR dilakukan atas dasar pada kenyataan yang sebenarnya dari hasil pengumpulan
bahan-bahan bukti dan penelitian bawasda terhadap pegawai yang bersangkutan.

3) Semua pegawai daerah bukan bendahara atau ahli warisnya, apabila merugikan
daerah wajib dikenakan TGR.

4) Pelaksanaan TGR sebagai akibat perbuatan melanggar hukum atau melalaikan


kewajiban yang dipersalahkan kepadanya dan/atau tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana mestinya diserahkan penyelesaiannya melalui tim majelis
pertimbangan.

5) Proses tuntutan ganti rugi dimulai dengan suatu pemberitahuan tertulis dari kepala
daerah kepada pegawai negeri yang bersangkutan, dengan menyebutkan :

a) Identitas pelaku

b) Jumlah kerugian yang diderita daerah yang harus diganti

c) Sebab-sebab serta alasan penuntutan dilakukan

d) Tenggang waktu yang diberikan untuk mengajukan pembelaan diri selama 14


(empat belas) hari, terhitung sejak diterimanya pemberitahuan oleh pegawai
yang bersangkutan.

6) Apabila pegawai yang diharuskan mengganti kerugian dalam waktu 14 (empat


belas) hari tidak mengajukan keberatan/pembelaan diri atau atau telah mengajukan
pembelaan diri tetapi tidak dapat membebaskannya sama sekali dari
kesalahan/kelalaian, kepala daerah menetapkan surat keputusan pembebanan.

7) Berdasarkan surat keputusan pembebanan, kepala daerah melaksanakan


penagihan atas pembayaran ganti rugi kepada yang bersangkutan.

8) Keputusan pembebanan ganti rugi tersebut pelaksanaannya dapat dilakukan


dengan cara memotong gaji dan penghasilan lainnya yang bersangkutan, memberi
izin untuk mengangsur dan melunasinya selambat-lambatnya selama 2 (dua) tahun,
dan apabila dianggap perlu dapat meminta bantuan kepada yang berwajib untuk
dilakukan penagihan dengan paksa.

9) Permohonan banding kepada pejabat yang berwenang dapat diajukan selambat-


lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterima surat keputusan pembebanan oleh
yang bersangkutan.

10) Keputusan tingkat banding dari pejabat yang berwenang dapat berupa memperkuat
atau membatalkan surat keputusan pembebanan, atau menambah/mengurangi
besarnya jumlah kerugian yang harus dibayar oleh yang bersangkutan.

11) Apabila permohonan banding diterima, kepala daerah menerbitkan surat keputusan
tentang peninjauan kembali.

c. Pencatatan

1) Pegawai negeri yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau melarikan diri tidak
diketahui alamatnya, dalam pencatatan wajib dikenakan TGR berdasarkan
keputusan kepala daerah tentang pencatatan TGR setelah mendapat pertimbangan
majelis.

2) Bagi pegawai yang melarikan diri, TGR tetap dilakukan terhadap ahli warisnya
dengan memperhatikan harta peninggalan yang dihasilkan dari perbuatan yang
menyebabkan kerugian daerah tersebut.

3) Dengan diterbitkannya surat keputusan pencatatan, kasus yang bersangkutan


dikeluarkan dari administrasi pembukuan.

4) Pencatatan yang telah dilakukan sewaktu-waktu dapat ditagih apabila yang


bersangkutan diketahui alamatnya.

d. Penyelesaian Kerugian Barang Daerah

1) Pegawai yang bertanggung jawab atas terjadinya kehilangan barang daerah


(bergerak/tidak bergerak) dapat melakukan penggantian dalam bentuk uang atau
barang yang sesuai dengan cara penggantian kerugian yang telah ditetapkan sesuai
ketentuan yang berlaku.

2) Penggantian kerugian dalam bentuk barang dilakukan khusus terhadap barang


bergerak berupa kendaraan bermotor roda 4 (empat) dan roda 2 (dua) yang umur
pembeliannya 1 sampai 3 tahun.
3) Penggantian kerugian dalam bentuk uang dapat dilakukan terhadap barang tidak
bergerak atau yang bergerak selain yang dimaksudkan di atas dengan cara tunai
atau angsuran selama 2 (dua) tahun.

4) Nilai taksiran jumlah harga benda yang akan diganti rugi dalam bentuk uang
maupun barang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

F. DALUWARSA TP/TGR

1. Tuntutan Perbendaharaan (TP)

a. TP Biasa dinyatakan daluwarsa (lewat waktu) apabila baru diketahui setelah lewat 30
(tiga puluh) tahun sejak kekurangan kas/barang tersebut diketahui, dalam kasus
dimaksud tidak dilakukan upaya-upaya damai.

b. TP khusus terhadap ahli waris atau yang berhak lainnya dinyatakan daluwarsa (lewat
waktu) apabila jangka waktu 3 (tiga) tahun telah berakhir setelah :

1) Meninggalnya bendahara tanpa adanya pemberitahuan.

2) Jangka waktu untuk mengajukan keberatan berakhir, sedangkan surat keputusan


pembebanan tidak pernah ditetapkan.

2. Tuntutan Ganti Rugi Biasa

TGR dinyatakan daluwarsa setelah lewat 5 (lima) tahun sejak akhir tahun kerugian daerah
diketahui atau setelah 8 (delapan) tahun sejak akhir tahun dimana kerugian tersebut
terjadi/perbuatan tersebut dilakukan.

Contoh :

a. Apabila perbuatan/kelalaian dilakukan dalam tahun 1990 dan diketahui dalam tahun
1991, maka kerugian keuangan daerah tersebut mengalami daluwarsa 5 tahun sesudah
tahun 1991 atau akhir tahun anggaran 1996/1997. Tetapi apabila baru diketahui dalam
tahun 1994 maka kerugian daerah tersebut mengalami daluwarsa 8 tahun sesudah
tahun 1990 atau akhir tahun anggaran 1998/1999 dan bukan 5 tahun sesudah tahun
anggaran 1994/1995 atau akhir tahun anggaran 1999/2000. Selanjutnya apabila
kerugian daerah akibat dari perbuatan/kelalaian berturut-turut, waktu 8 tahun tersebut
dimulai pada akhir tahun perbuatan/kelalaian yang terakhir dilakukan. Dalam
menentukan besarnya kerugian daerah dihitung kerugian daerah yang terjadi 8 (delapan)
tahun sebelum tahun penggantian kerugian daerah dibebankan.

b. Apabila perbuatan/kelalaian dilakukan berturut-turut sejak tahun 1985 sampai dengan


tahun 1995, maka kerugian daerah tersebut akan daluwarsa 8 tahun sesudah 1995 atau
tahun 2003. Apabila pembebanan ganti rugi dilakukan dalam tahun 1998 maka jumlah
ganti rugi hanya terbatas sampai jumlah kerugian yang timbul sejak tahun 1990 saja,
sedangkan kerugian tahun 1985 sampai dengan 1989 tidak diperhitungkan.

G. PENGHAPUSAN
Apabila bendahara/pegawai ataupun ahli waris/keluarga terdekat/ pengampu yang berdasarkan
keputusan kepala daerah diwajibkan mengganti kerugian tidak mampu membayar ganti rugi, maka
yang bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala daerah untuk
penghapusan atas kewajibannya. Berdasarkan permohonan tersebut kepala daerah
memerintahkan majelis pertimbangan untuk melakukan penelitian. Apabila ternyata yang
bersangkutan memang tidak mampu, maka setelah mendapatkan persetujuan dari DPRD
selanjutnya kepala daerah dengan surat keputusan dapat menghapuskan TP/TGR baik sebagian
ataupun seluruhnya.

Penghapusan yang telah dilakukan dapat ditagih kembali apabila dikemudian hari terbukti bahwa
bendahara/pegawai/ahli waris yang bersangkutan ternyata mampu. Surat keputusan penghapusan
baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari menteri dalam negeri.

Berdasarkan pertimbangan efisiensi, maka kerugian daerah yang bernilai sampai dengan Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dapat diproses penghapusannya bersamaan dengan penetapan
peraturan daerah tentang Perhitungan APBD tahun anggaran yang berkenaan.

H. PEMBEBASAN

Dalam hal bendahara atau pegawai bukan bendahara meninggal dunia tanpa ahli waris atau tidak
layak untuk ditagih, yang berdasarkan surat keputusan kepala daerah diwajibkan mengganti
kerugian daerah, maka majelis pertimbangan memohon secara tertulis kepada kepala daerah yang
bersangkutan untuk membebaskan sebagian/seluruh kewajiban yang harus dipenuhi, dengan
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPRD dan menteri dalam negeri.

I. PENYETORAN

Penyetoran/pengembalian secara tunai/sekaligus atau melalui angsuran atas kekurangan


perbendaharaan/kerugian daerah atau hasil penjualan barang jaminan/kebendaan harus melalui kas
daerah atau dinas/lembaga/satuan kerja daerah yang ditunjuk oleh pemerintah daerah.

Dalam kasus kerugian daerah dimana penyelesaiannya diserahkan melalui pengadilan, kepala
daerah berupaya agar putusan pengadilan menyatakan bahwa barang yang dirampas diserahkan
kepada daerah dan selanjutnya hasil penjualannya disetorkan ke kas daerah.

Khusus penyetoran kerugian daerah yang berasal dari badan usaha milik daerah (BUMD), setelah
diterima kas daerah segera dipindahbukukan ke rekening BUMD yang bersangkutan.

J. PELAPORAN

Bupati/walikota wajib melaporkan perkembangan pelaksanaan penyelesaian kerugian daerah


kepada gubernur setiap semester. Selanjutnya gubernur wajib melaporkan perkembangan
pelaksanaan penyelesaian kerugian daerah untuk tingkat provinsi/kabupaten/kota yang berada di
wilayahnya setiap semester kepada menteri dalam negeri cq. direktur jenderal pemerintahan umum
dan otonomi daerah untuk dijadikan bahan pemantauan.

K. LAIN-LAIN

Apabila bendahara atau pegawai bukan bendahara berdasarkan laporan dan pemeriksaan terbukti
telah merugikan daerah, maka kepala daerah dapat melakukan hukuman disiplin berupa
pembebasan yang bersangkutan dari jabatannya dan segera menunjuk pejabat sementara untuk
melakukan kegiatannya.

Kerugian daerah yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah dapat diserahkan
penyelesaiannya melalui badan peradilan dengan mengajukan gugatan perdata. Apabila proses
melalui badan peradilan ini tidak terselesaikan, maka permasalahan ini dikembalikan kepada daerah
dan penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara pencatatan atau penghentian/penghapusan.
Keputusan pengadilan untuk menghukum atau membebaskan yang bersangkutan dari tindak
pidana, tidak menggugurkan hak daerah untuk tetap melaksanakan TP/TGR.

L. MAJELIS PERTIMBANGAN TUNTUTAN PERBENDAHARAAN DAN


TUNTUTAN GANTI RUGI KEUANGAN DAN BARANG DAERAH

Untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penyimpangan pengelolaan keuangan


daerah maka dibentuklah majelis pertimbangan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi keuangan
dan barang daerah. Majelis pertimbangan ini pada dasarnya adalah para pejabat yang ex-officio
ditunjuk dan ditetapkan oleh kepala daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam
penyelesaian kerugian daerah.

Adapun susunan majelis pertimbangan adalah sebagai berikut :

1. Tingkat Provinsi

Ketua : Sekwilda

Wakil Ketua I : Kepala Bawasda Provinsi

Wakil Ketua II : Asisten Administrasi dan Umum


Sekretaris : Kepala Biro Keuangan

Anggota : a. Kepala Biro Perlengkapan

b. Kepala Biro Hukum

c. Kepala Biro Kepegawaian

2. Tingkat Kabupaten/Kota

Ketua : Sekwilda

Wakil Ketua I : Kepala Bawasda Kabupaten/Kota

Wakil Ketua II Asisten Sekwilda Bidang Keuangan, Barang dan


Kepegawaian

Sekretaris : Kepala Bagian Keuangan

Anggota : a. Kepala Bagian Perlengkapan

b. Kepala Bagian Hukum

c. Kepala Bagian Kepegawaian


Tugas pokok dari majelis pertimbangan yang ditetapkan adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan, menatausahakan, menganalisis dan mengevaluasi kasus TP/TGR yang


diterima.

2. Memproses dan melaksanakan eksekusi TP/TGR.

3. Memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada kepala daerah pada setiap kasus
yang menyangkut TP/TGR termasuk pembebanan, banding, pencatatan, pembebasan,
penghapusan, hukuman disiplin, penyerahan melalui badan peradilan. Penyelesaian kerugian
daerah apabila terjadi hambatan dan penagihan melalui instansi terkait.

4. Menyiapkan laporan kepala daerah mengenai perkembangan penyelesaian kasus kerugian


daerah secara periodik kepada menteri dalam negeri cq. direktur jenderal PUOD, tembusan
kepada BPK, sekretariat jenderal dan inspektorat jenderal departemen dalam negeri.

M. TEKNIS DAN PROSEDUR PENYELESAIAN TP/TGR KEUANGAN DAN BARANG DAERAH


MELALUI MAJELIS PERTIMBANGAN TP/TGR (MISALNYA UNTUK TINGKAT PROVINSI)

1. Laporan kasus kerugian daerah dilaporkan oleh kepala unit/satuan kerja yang bersangkutan
kepada majelis melalui kepala sekretariat.

2. Anggota sekretariat majelis melakukan :

a. Penelitian kelengkapan berkas laporan dan pencatatan serta penomoran berkas laporan
oleh staf administrasi.

b. Pembahasan laporan oleh tim pembahas yang dipimpin oleh ketua tim pembahas yang
ditunjuk oleh kepala sekretariat.

3. Kepala sekretariat menyampaikan laporan kepada sekretaris majelis.

4. Sekretaris majelis meneliti/menganalisis berkas laporan hasil pembahasan dan selanjutnya


menyampaikan berkas laporan kepada majelis.

5. Majelis melaksanakan pemeriksaan berkas perkara dan pengambilan keputusan dalam


proses tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi yang dipimpin oleh ketua majelis :

a. Keputusan majelis ditandatangani oleh ketua, wakil ketua, sekretaris dan seluruh
anggota majelis.

b. Keputusan majelis disertai konsep surat keputusan gubernur kepala daerah disampaikan
oleh majelis kepada gubernur kepala daerah.

6. Gubernur/kepala daerah menganalisis keputusan majelis dan menandatangani surat


keputusan untuk selanjutnya diserahkan kepada majelis.

7. Majelis menyampaikan surat keputusan gubernur/kepala daerah kepada bendahara/pegawai


yang bersangkutan melalui kepala sekretariat.

8. Kepala sekretariat menyampaikan (setelah terlebih dahulu dicatat dalam (buku register) surat
keputusan gubernur/kepala daerah kepada bendahara/pegawai yang bersangkutan melalui
kepala unit/satuan kerja.
N. LATIHAN

1. Apabila terjadi kerugian terhadap aset daerah, langkah pertamanya adalah:

a. Tuntutan ganti rugi.

b. Tuntutan perbendaharaan.

c. Upaya damai.

d. Tuntutan ganti rugi khusus.

2. Apabila seorang kasir melarikan diri, maka dilakukan proses :

a. Tuntutan perbendaharaan khusus.

b. Tuntutan hukuman jabatan.

c. Tuntutan ganti rugi.

d. Tuntutan khusus.

3. Apabila TGR tidak dapat dijalankan dan diberikan “pembebasan”, hal tersebut terlebih dahulu
disetujui oleh :

a. presiden.

b. gubernur dan bupati/walikota.

c. DPRD dan mendagri.

d. gubernur dan mendagri.

4. Apabila ternyata pegawai daerah terbukti bersalah dan merugikan keuangan daerah, maka
kepala daerah dapat melakukan :

a. Hukuman percobaan.

b. Hukuman disiplin.

c. Hukuman kurungan.

d. Hukuman denda.

5. Dalam hal daerah telah menetapkan “penghapusan” terhadap


penggantian kerugian maka daerah :
a. Masih dapat menagih kembali.

b. Tidak dapat menagih kembali.

c. Dapat menagih lagi sebesar 50% dari nilai kerugian daerah.

d. Dapat menagih kembali berdasarkan persetujuan DPRD.


DAFTAR PUSTAKA

1. Gade, Muhammad. 1998. Akuntansi Pemerintahan. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

2. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1997.

3. Kansil CST, Prof. Drs., S.H.dan Kansil Christine S.T., S.H., M.H. 2001, Kitab Undang-Undang
Otonomi Daerah 1999 – 2001; Kitab 2. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

4. Modul-Modul Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

5. Modul Sistem Administrasi Keuangan Daerah II , Edisi Keempat, 2004.

6. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau
Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

7. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

8. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah.

9. Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

10. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum.

11. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

12. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.

13. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

14. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.

15. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah kepada Daerah.

16. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggung Jawaban
Keuangan Daerah.

17. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

18. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif APBN dan
APBD.

19. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

20. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

21. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.

23. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Ganti Rugi dan Tuntutan
Perbendaharaan Keuangan dan Barang Daerah.

24. Soediyono, Prof. DR. MBA. 1989. Ekonomi Makro, Pengantar Analisis Pendapatan Nasional. Edisi
ke-5. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

25. Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

26. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara.

27. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional.

28. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

29. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.

30. Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

31. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997.

32. Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian


Sengketa Pajak.

33. Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

34. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan/atau walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4. Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

6. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,


pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan
daerah.

7. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,
dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

8. Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala
daerah, termasuk Qanun yang berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan peraturan
daerah provinsi (perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua.

9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau
walikota bagi daerah kota.

10. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena
jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan
daerah.

11. PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan
daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara
umum daerah.

12. BUD (Bendahara Umum Daerah) adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas sebagai
bendahara umum daerah.

13. Kuasa BUD adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan tugas bendahara umum daerah.

14. SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku
pengguna anggaran/barang.

15. Unit Kerja adalah bagian SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa program.

16. PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang
melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.

17. PPK-SKPD (Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD) adalah pejabat yang melaksanakan fungsi
tata usaha keuangan pada SKPD.

18. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran untuk
melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya.

19. Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian
kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD.

20. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik daerah.

21. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh kepala daerah
untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.

22. Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan
oleh kepala daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh
pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.

23. Bendahara Penerimaan adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam
rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.

24. Bendahara Pengeluaran adalah pejabat fungsional yang ditunjuk menerima, menyimpan,
membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggung jawabkan uang untuk keperluan belanja
daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.

25. Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi, yang
menurut ketentuan peraturan perundang- undangan wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.

26. Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/ pengguna barang dan oleh
karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan
pada entitas pelaporan.

27. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.

28. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.

29. Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih.

30. Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih.

31. Surplus Anggaran Daerah adalah selisih lebih antara pendapatan daerah dan belanja daerah.

32. Defisit Anggaran Daerah adalah selisih kurang antara pendapatan daerah dan belanja daerah.

33. Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-
tahun anggaran berikutnya.

34. SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan
pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.

35. SiKPA (Sisa Kurang Perhitungan Anggaran) adalah selisih kurang realisasi penerimaan dan
pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.

36. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang
atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah dibebani kewajiban
untuk membayar kembali.

37. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan


kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif
lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang
bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

38. Prakiraan Maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran
berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan
yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.

39. Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan
dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.

40. Penganggaran Terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang
dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan
pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.

41. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu yang dilaksanakan dalam
rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

42. Program adalah penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau lebih
kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur
sesuai dengan misi SKPD.

43. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD
sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan
tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personal (sumber daya manusia), barang
modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis
sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk
barang/jasa.

44. Sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang diharapkan
dari suatu kegiatan.

45. Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk
mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.

46. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-
kegiatan dalam satu program.

47. RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) adalah dokumen perencanaan
untuk periode lima tahun.

48. RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode
satu tahun.

49. TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) adalah tim yang dibentuk dengan keputusan kepala
daerah dan dipimpin oleh sekretaris daerah yang mempunyai tugas menyiapkan serta
melaksanakan kebijakan kepala daerah dalam rangka penyusunan APBD yang anggotanya terdiri
pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat lainnya sesuai dengan kebutuhan.

50. RKA-SKPD (Rencana Kerja dan Anggaran SKPD) adalah dokumen perencanaan dan
penganggaran yang berisi program dan kegiatan SKPD serta anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakannya.

51. KUA (Kebijakan Umum APBD) adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang
pendapatan,belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu)
tahun.

52. PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) merupakan program prioritas dan patokan
batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam
penyusunan RKA- SKPD.

53. DPA-SKPD (Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD) merupakan dokumen yang memuat
pendapatan dan belanja setiap SKPD yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna
anggaran.

54. SPP (Surat Permintaan Pembayaran) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan/ bendahara pengeluaran untuk mengajukan
permintaan pembayaran.

55. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan
dana yang diterbitkan oleh BUD berdasarkan SPM.

56. Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang digunakan/ diterbitkan oleh pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD.

57. SPM-LS (Surat Perintah Membayar Langsung) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD
kepada pihak ketiga.

58. UP (Uang Persediaan) adalah sejumlah uang tunai yang disediakan untuk satuan kerja dalam
melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari.

59. SPM-UP (Surat Perintah Membayar Uang Persediaan) adalah dokumen yang diterbitkan oleh
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran
DPA-SKPD yang dipergunakan sebagai uang persediaan untuk mendanai kegiatan operasional
kantor sehari-hari.

60. SPM-GU (Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan) adalah dokumen yang diterbitkan
oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban
pengeluaran DPA-SKPD yang dananya dipergunakan untuk mengganti uang persediaan yang telah
dibelanjakan.

61. SPM-TU (Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan) adalah dokumen yang
diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban
pengeluaran DPA- SKPD, karena kebutuhan dananya melebihi dari jumlah batas pagu uang
persediaan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan.

62. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah daerah dan/atau hak
pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.

63. Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah.

64. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah daerah dan/atau kewajiban
pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan,
perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

65. Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan
dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.

66. Sistem Pengendalian Intern Keuangan Daerah merupakan suatu proses yang berkesinambungan
yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan
pengendalian melalui audit dan evaluasi, untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan pengelolaan
keuangan daerah sesuai dengan rencana dan peraturan perundang- undangan.

67. Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

68. BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) adalah SKPD/unit kerja pada SKPD di lingkungan
pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

69. SPD (Surat Penyediaan Dana) adalah dokumen yang menyatakan tersedianya dana untuk
melaksanakan kegiatan sebagai dasar penerbitan SPP.

70. Investasi adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomis seperti bunga, dividen,
royalti, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan
pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.

71. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak,
dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Daerah.

72. SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya
jumlah pokok pajak.

73. SKPDN (Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak
ada kredit pajak.

74. SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.

75. SKPDLB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.

76. SSPD (Surat Setoran Pajak Daerah) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas daerah atau ke tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh kepala daerah.

77. SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

78. STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda.

79. SKRD (Surat Ketetapan Retribusi Daerah) adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan
besarnya pokok retribusi.

80. SKRDLB (Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar) adalah surat ketetapan retribusi yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar
daripada retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang.

Anda mungkin juga menyukai