Karya : Yuditeha
Bapak sudah tua, sering sakit-sakitan. Saat sakitnya kambuh, bicara pabak sering
melantur. Kalau sudah begitu aku di suruh mendegarkannya bicara. sebelum beliau
puas bercerita, aku harus terus duduk disampingnya.
Pernah satu kali, saat bapak bercerita, aku tinggalkan begitu saja karena ada
urusan, bapak langsung marah-marah. Beliau marah sampai menagis, menganggapku
sebagai anak yang tidak menghormati orang tua. Dilain waktu, aku minta izin dulu
sebelum pergi tetap saja beliau marah-marah. Bahkan, beliau sempat mengatakan kalau
aku pemuda yang tidak mau menghargai sejarah. Memang terkadang cerita bapak ada
yang berbau sejarah, tapi berlebihan juga jika beliau sampai menyebutku begitu.
Akhirnya tidak ada jalan lain, selama bapak bercerita, aku harus selalu didekatnya
untuk mendegarkan.
Pada awalnya, aku memerhatikan cerita bapak secara sambil lalu tapi disuatu
kesempatan ada ceritanya yang menarik perhatianku. Terlebih saat bapak menyebut
desa asalnya, yang pada akhirnya bapak memintaku pergi ke desa itu untuk menemui
temannya yang bernama wajib, bisa di panggil ajib.
“Bapak merasa berdosa sama dia, karena saat pertemuan terakhir dengannya,
bapak lupa cerita kalau bapak sudah menikah dan punya anak kamu,” kata bapak saat
itu.
“Bapak iniloh. Masa tidak cerita begitu saja, sampai merasa berdosa.
Memangnya penting?” tanyaku kemudian.
“Ceritanya panjang, le.”
Entah kenapa, kalau cerita yang ini aku ingin mendegarnya secara lengkap.
“Bapak lupa persisnya kapan. Sebenarnya bapak pergi kesana hanya ingin
mengenang kisah lama, dan tidak menyangka saat itu ajib juga kesana. Kami bertemu
ditempat kenangan itu. Tempat diamana kami dulu pernah membuat cerita palsu
tentang pohon munggur berbendera.”
“Cerita palsu?” tanyaku.
“Kalau yang itu ceritanya nanti saja, sehabis kamu dari sana.” Kata bapak.
“Lalu?” tanyaku.
“Ini kisah nyatanya, kisah berbendera merah putih yang ada di pohon munggul
yang tumbuh di sebuah makam. Kisahnya romantis lho, le.” Kata bapak.
UNTUNG masi ada tempat duduk yang kosong di kereta. Aku dapat tempat
duduk persis didekat cemdela. Kulihat dari kejahuan banyak umbul-umbul berwarna-
warni yang masi menghiasi setiap sudut kota. Sisa kemeriahan perayaan hari
kemerdekaan masi terasa. Sepekan lalu bangsa Indonesia merayakan hari kelahirannya.
Akupun tak ketinggalan ikut mersasakan gembira. Perjalanan ini juga bisa kubilang
mengandung unsur patriotism. Ini semua karena bapak. Aku akan mengemban pesan
yang dititipkan kepadaku buat teman masa lalunya. Ini sebuah kisah persahabatan
sejati. Keretya api bergoyang, tubuhku ikut bergoyang seirama dengan lajunya,
menambah suasana makin melankolis saja.
“Door. Door!” teriak dua anak kecil yang saling berlarian di lorong gerbong,
dengan membawa pistol mainan. Kepalanya dibalut kain pita berwarna merah putih,
warna bendera Indonesia. Aku tersenyum. Bicara tentang bendera aku jadi ingat cerita
konyol bapak tentang masa lalunya.
“Saat itu, bapak dan teman bapak. Ajib sama-sama jonhgkok. Dan Tutik, pujaan
hati kami berdua naik ke pundak kami. Tutik meminta kami pelan-pelan berdiri untuk
mencapai dahan pohon munggur dan mengikat bendera merah putih di sana. Bendera
itu semula melingkar di lehernya. Tutik bilang, bendera itu bendera warga yang
dipasang di depan rumah. Tutik mengambilnya begitu saja. Kami sama-sama mbeling
waktu itu.
Geli juga saat membayangkan semua itu, apalagi bapak tidak sungkan ketika
mengatakan kepadaku kalau Tutik adalah gadis pujaan bapak, juga Ajib. Bahkan,
bapak juga menceritakan bagaimana mereka berdua sering dikerjai Tutik. Mereka
dipaksa berdandan ala wanita: dibedaki, bergincu, dan memakai kutang. Mereka
dipaksa mencari buah melon padahal saat itu tidak musim melon. Mereka disuruh
bertani, benar-benar terjun ke sawah , mencangkul dan memakai capil dikepalanya.
Benar-benar cerita konyol yang belum pernah kudengar sebelumnya. Bapak
mengatakan tutik adalah cinta pertama mereka. Meski begitu, rupanya bapak tidak
ingin menyinggung hati ibu. Itu hanya masa lalu. Ya bapak benar, itu hanya kenangan
masa lalu, apalagi kata bapak, tutik sudah lebih dulu meninggalkan mereka.
Kereta berhenti di stasiun yang kutuju. Aku turun. Biar cepat, lantas aku
memakai jasa ojek untuk menuju desa. Sampailah aku di rumah keluarga paklik, waris
bapak yang masih tinggal di desa ini. Baru sebentar saja akunkumpul dengan mereka,
aku bisa mengatakan mereka adalah orang-orang yang tulus dan bersahaja. Mereka
menyambutku dengan gembira. Aku meminta izin tinggal untuk beberapa hari. Tak
lupa aku sampaikan salam bapak kepada mereka. Malam harinya aku bercengkrama
dengan keluarga paklik dan para tetangga yang berkenan datang. Kami bercerita
banyak hal. Dari sekian cerita itu, ada satu cerita yang sangat menyita perhatianku.
Cerita tentang sebuah bendera yang ada di pohon munggur di salah satu makam di
desa ini.
Dari cerita mereka, warga di desa ini dan sekitarnya meyakini bahwa di area
pohon munggur itu pernah jadi markas para gerilyawan. Bahkan, mereka mengatakan
bahwa panglima besar Jenderal Soedirman sendiri yang memimpin mereka.
“Jenderal Soedirman sendiri yang memasang bendera di pohon manggur itu,”
kata salah satu dari mereka.
Mereka juga menceritakan bagaimana pasukan belanda kocar-kocar Karena
dijebak para pejuang. Hanya heranku, dalam cerita ini ada yang menyebut-nyebut
Musso, tokoh PKI itu. Bagaimana mungkin tokoh itu ada dimasa itu dan di desa ini?
“Ideologi boleh beda, tapi saat mengusir penjajah mereka turut serta,” katanya.
Cerita in semakin meleler kemana-mana, menceritakan Tan Malaka segala.
Katanya, Tan Malaka datang malam-malam dengan membawa sejumlah pasukan dan
senjata bahkan obat-obatan untuk membantu perang.
“Tan Malaka memang tokoh yang misterius di kancah perjuangan ini,” kata
orang yang raambutnya sudah putih semua.
Cerita liar mereka makin membuatku bingung, karena setelah itu nama-nama
berikutnya muncul, seperti Semaun, Alimin, dan Aidit. Sebenarnya aku ingin
mendengarkan cerita mereka yang seru tapi aku sudah mengantuk. Agar besok
badanku kembaki segar, juga tak tahan dengan kantukku, aku mohon diri untuk
beristirahat, sementara mereka masih melanjutkan ceritanya.
Sebelum terlelap, aku sempat berpikir mungkin hal itulah yang sempat
dikatakan bapak mengenai pertemuan dengan Ajib dan mengarang cerita-cerita palsu.
Esok harinya aku meminta izin Paklik untuk berkeliling desa. Saat itu juga kau
menyempatkan diri untuk mengunjungi pemakaman yang kata orang-orang
menyimpan banyak cerita. Sesampainya di pintu masuk pemakaman itu, aku
menyaksikan sendiri sebuah pohon munggur besar tumbuh di sana. Di salh sau
batangnya yang kira-kira sebesar paha orang dewasa itu terdapat sebuah kain rusuh
yang terlilit benalu. Benalu itu mengakar, menekan, menyusup secara sengaja mengikat
kuat ain itu hingga hampir tak tersisa. Mungkin itu bendera yang diceritakan bapak.
Tampak dari arah berseberangan ada segerombolan orang yang menuju ke arah
pohon munggur berbendera itu. Di antara orang itu ada yang membawa kamera dan
alat-alat lainnya. Apakah ini juga termasuk orang-orang yang kena kibul cerita bapak
dan Ajib? Saat aku mendekat ke arah pohon mungur itu tanpa sengaja aku menyenggol
seorang tua yang juga berjalan searah denganku. Orang tua itu hampir jatuh. Aku
meminta maaf padanya.
Aku berdiam diri dekat pohon munggur itu. Waktu aku mengamati pohn itu
aku tersenyum-senyum sendiri karena teringat tentang cerita bapak tentang cerita tutik
dan cerita warga desa semalam. Sejenak aku juga ingat pesan bapak tentang Ajib. Pesan
bapak, jika aku bertemu dengannya, aku diminta menyampaikan maafnya karena tidak
sempat bercerita kalau bapak sudah berkeluarga dan memiliki anak. Aku memikirkan
itu sembari melihat-lihat sekeliling mengamati keadaan sekitar. Di depanku, orang-
orang itu semakin dekat dengan pohon munggur. Aku putuskan sengaja menunggunya
datang, ingin tahu, mau apa , mereka. Aku melihat kebelakang dan kulihat orang tua
yang kusenggol dan hampir jatuh tadi. Saat mengamati orang tua itu lebih rinci, ciri-
cirinya begitu mirip dengan penggambaran sosok Ajib dalam cerita bapak.