Anda di halaman 1dari 157

xi

ii
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
(Sumber Elektronis)

Rofikah,
Ambar Budhi Sulistyawati,
Wida Astuti,
dkk

iii
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
(Sumber Elektronis)
Penulis : Rofikah, S.H., M.H.,
Ambar Budhi Sulistyawati, S.H., M.H.,
Wida Astuti, S.H., M.H.,
Sri Lestari Rahayu, S.H., M.H.,
Maria Madalina, S.H., M.H.,
Subekti, S.H., M.H.,
Dr. Soehartono, S.H., M.H.,
Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.,
Dr. Anjar Sri Cipto Rukmi Nugraheni, S.H., M.H.,
Purwono Sungkowo Raharjo, S.H., M.Hum.
Desain Cover : Jaka Susila
Layout isi : Aprilia Saraswati
Preliminary : i-x
Halaman Isi : 147 halaman
Ukuran Buku : 17,5 x 25 cm

Edisi Revisi, September 2020


ISBN : 978-623-7565-26-0

Hak Cipta © pada penulis.


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014. Dilarang memperbanyak/memperluas dalam
bentuk apapun tanpa izin dari penulis dan penerbit.

Diterbitkan:
CV. INDOTAMA SOLO
Penerbit & Supplier Bookstore
Jl. Pelangi Selatan, Kepuhsari, Perum PDAM
Mojosongo, Jebres, Surakarta 57127
Telp. 085102820157, 08121547055, 081542834155
E-mail: hanifpustaka@gmail.com, pustakahanif@yahoo.com
Anggota IKAPI No. 165/JTE/2018

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Buku Pengantar


Hukum Indonesia (PHI) edisi Revisi ini dapat terbit dalam edisi
e-book. Buku ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa baru
Fakultas Hukum yang mengikuti mata kuliah Pengantar Hukum
Indonesia agar lebih mudah memahami karena disajikan dalam
bentuk garis-garis besar untuk semua materi dasar-dasar Hukum
Indonesia yang sangat luas.
Buku ini berisikan materi pokok untuk berupa dasar-dasar
Hukum Indonesia yang harus dikuasai mahasiswa Semester I
Fakultas Hukum dengan bobot 4 (empat) SKS. Materi yang sajikan
meliputi dasar-dasar hukum materiil dan hukum formil dengan
mengacu capaian pembelajaran yang ditetapkan oleh Program
Studi Sarjana (S1) Ilmu Hukum.
Buku ini disusun sangat ringkas dan sederhana sesuai dengan
tujuan agar dapat menjadi menjadi referensi dan guideline bagi
mahasiswa untuk mendalami bahan pustaka atau materi lanjutan,
sehingga proses pembelajaran akan lebih efektif dan efisien,
terutama dalam situasi pandemi Covid-19 dimana pembelajaran
dilakukan secara online atau daring.
Atas terbitnya buku ini disampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada kepada semua pihak yang membantu
proses penyusunan dan revisi materi yang disajikan.
Tak lupa diharapkan adanya masukan dan kritik dari semua
pihak terhadap buku ini sebagai bahan untuk perbaikan di masa
datang. Semoga buku ini bermanfaat dan dapat digunakan sebaik-
baiknya bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Surakarta, September 2020


Tim Penyusun

v
vi
DAFTAR ISI

Halaman Sampul............................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................. v
Daftar Isi............................................................................................. vii

BAB I Tata Hukum Indonesia.................................................. 1


A. Pengertian Tata Hukum............................................ 1
B. Tata Hukum Indonesia.............................................. 4
C. Hukum Indonesia Beragam...................................... 5

BAB II Dasar-dasar Hukum Tata Negara................................. 11


A. Pengertian Hukum Tata Negara.............................. 11
B. Sumber-sumber Hukum Tata Negara..................... 12
C. Asas Hukum Tata Negara......................................... 12
D. Lembaga-lembaga dalam Sistem Ketatanegaraan
Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945............................................................................... 13
E. Sistem Hukum Ketatanegaan Republik Indonesia... 14
F. Sistem Pemerintahan Negara................................... 15

BAB III Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara, Hukum


Pajak, Hukum Agraria.................................................... 17
A. Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara............ 17
B. Dasar-dasar Hukum Pajak........................................ 22
C. Dasar-dasar Hukum Agraria.................................... 28

BAB IV Dasar-dasar Hukum Perdata Material......................... 35


A. Pengertian Hukum Perdata...................................... 35
B. Sejarah Hukum Perdata di Indonesia..................... 36
C. Sistematika Pembagian Hukum Perdata................ 38

vii
BAB V Dasar-dasar Hukum Dagang......................................... 57
A. Hubungan Hukum Dagang dengan Hukum
Perdata......................................................................... 57
B. Istilah dan Pengertian Hukum Dagang.................. 58
C. Sejarah Hukum Dagang............................................ 60
D. Sumber Hukum Dagang........................................... 61
E. Ruang Lingkup Hukum Dagang............................. 63

BAB VI Dasar-dasar Hukum Pidana.......................................... 69


A. Pengertian Hukum Pidana....................................... 69
B. Fungsi Hukum Pidana............................................... 70
C. Sumber Hukum Pidana............................................. 70
D. Pembagian Hukum Pidana....................................... 71
E. Sifat Hukum Pidana................................................... 73
F. Sanksi Pidana.............................................................. 74
G. Tujuan Pemidanaan................................................... 74
H. Tindak Pidana, Jenis-jenis Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana.................................... 75
I. Asas-asas Hukum Pidana......................................... 78

BAB VII Dasar-dasar Hukum Islam............................................. 81


A. Pengertian Hukum Islam.......................................... 81
B. Ruang Lingkup Hukum Islam................................. 82
C. Ciri-ciri Hukum Islam............................................... 84
D. Karakteristik Hukum Islam ..................................... 84
E. Sumber Hukum Islam............................................... 86
F. Hukum Waris Islam................................................... 91

BAB VIII Dasar-dasar Hukum Adat.................................................. 95


A. Pengertian Hukum Adat........................................... 95
B. Bentuk dan Corak Hukum Adat.............................. 97
C. Kekuatan Berlakunya Hukum Adat........................ 101

viii
D. Nilai-nilai Universal Hukum Adat.......................... 102
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Hukum Adat............................................................... 102
F. Lingkaran Hukum Adat di Indonesia..................... 103
G. Hukum Waris Adat.................................................... 105

BAB IX Dasar-dasar Hukum Internasional.............................. 109


A. Definisi Hukum Internasional.................................. 109
B. Daya Ikat Hukum Internasional.............................. 110
C. Sumber-sumber Hukum Internasional .................. 112
D. Subyek-subyek Hukum Internasional.................... 117
E. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum
Nasional....................................................................... 121

BAB X Dasar-dasar Hukum Acara............................................ 123


A. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia....................... 123

BAB XI Dasar-dasar Hukum Acara Perdata.............................. 127


A. Pengertian Hukum Acara Perdata........................... 127
B. Sumber Hukum Acara Perdata................................ 129
C. Asas-asas Hukum Acara Perdata............................. 130
D. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata...................... 132

BAB XII Dasar-dasar Hukum Acara Pidana............................... 137


A. Pengertian Hukum Acara Pidana............................ 137
B. Sumber Hukum Acara Pidana................................. 137
C. Asas-asas Hukum Acara Pidana.............................. 140
D. Proses Pemeriksaan Perkara Pidana....................... 140

Daftar Pustaka................................................................................... 146

ix
x
BAB I

TATA HUKUM INDONESIA

A. Pengertian Tata Hukum


Kehidupan manusia selalu dibatasi oleh hukum. Tujuannya
yaitu agar kehidupan dalam masyarakat tercapai ketertiban.
Namun hukum sendiri untuk dapat mendekati pada tujuannya,
tidak terlepas bagitu saja antara aturan hukum yang satu
dengan lainnya, dimana aturan-aturan hukum tersebut saling
kait mengkait secara tertib, teratur dan juga merupakan tatanan.
Aturan hukum yang mempunyai kedudukan lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
Oleh sebab itu aturan-aturan yang begitu banyak, saling terkait
satu dengan yang lain, merupakan tata hukum.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal
7 Ayat (1) huruf b, Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-
undangan, adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang;

Pengantar Hukum Indonesia 1


d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tata hukum yang dibahas disini adalah Tata Hukum
Indonesia, yaitu keseluruhan hukum yang berlaku di Indonesia,
yang merupakan obyek ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
pengetahuan hukum positif atau sering disebut lus constitutum,
yang dipasangkankan dengan lus constituendum yaitu hukum
yang dicita-citakan.
Berlakunya hukum di suatu negara sangat ditentukan oleh
“Politik Hukum” yang dianut oleh negara itu sendiri. Adapun
politik hukum disini hendak kita artikan sebagai pernyataan
kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku
di wilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak
dikembanagkan (Tengku Mohammad Radhie, 1975).
Politik hukum yang dianut oleh suatu negara dapat dicari
dalam Undang Undang Dasarnya. Apabila dalam Undang
Undang Dasar tidak ada, maka dapat dicari dalam dalam
peraturan-perundangan lain di luar Undang Undang Dasar
(tidak semua negara memiliki Undang Undang Dasar)
Di dalam Undang Undang Dasar 1945 kita tidak menjumpai
satu pasalpun yang menyebutkan masalah politik hukum
Indonesia. Lain halnya pada masa berlakunya Undang Undang
Dasar 1950, kita dapat menjumpai satu pasal yang memuat
politik hukum Negara Indonesia yaitu pada Pasal 102, yang
berbunyi :
“Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana
Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara.
Perdata dan Hukum Acara Pidana, Susunan dan
kekuasaan pengadilan, diatur dengan undang-undang

2 Pengantar Hukum Indonesia


dalam kitab-kitab Hukum, kecuali jika pengundang-
undang menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal
dalam undang-undang tersendiri”
Dari Pasal 102 Undang Undang Dasar 1950 kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa Negara Indonesia pada waktu
itu menghendaki dikodifikasikannya lapangan-lapangan Hukum
tersebut, sehingga Pasal 102 ini dikenal dengan sebutan “pasal
kodifikasi”
Setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan
kita kembali kepada Undang Undang Dasar 1945 dan Undang
Undang Dasar 1950 menjadi tidak berlaku, berarti Pasal 102
menjadi tidak berlaku. Setelah merdeka selama lebih seperampat
abad lamanya, Negara Indonesia belum mempunyai rumusan
suatu Politik Hukum Nasional. Baru pada tahun 1973 dengan
terbentuknya MPR hasil pemilihan umum, lembaga tersebut
berhasil membuat ketetapan Nomor IV/MPR/73 tentang “Garis
Garis Besar Haluan Negara”, yang di dalamnya secara resmi
dan tegas digariskan “Politik Hukum Pemerintah Republik
Indonesia” Dalam hal ini politik hukum kita selalu diperbarui
setiap lima tahun sekali, terakhir tercantum di dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No: IV/
MPR/1999 tentang Garis Garis Besar Haluan Negara 1999-2004
(A. Siti Soetami, 2001 : 3).
Dengan perubahan kedudukan dan kewenangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat pasca amandemen Undang Undang
Dasar 1945, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi
mempunyai kewenangan memilih Presiden/Wakil Presiden
maka Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menetapkan
Garis Garis Besar Haluan Negara. Pada pasca amandemen
Undang Undang Dasar 1945, politik hukum Indonesia menjadi
kewenangan Presiden untuk mengaturnya yaitu dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005

Pengantar Hukum Indonesia 3


tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
tahun 2004-2009 (RPJMN) dalam bagian III Bab 9. Sekarang ini
Politik Hukum Indonesia tercantum dalam lampiran UU No.
17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025. Adapun arah Politik Hukum
Indonesia adalah Hukum Ekonomi.

B. Tata Hukum Indonesia


Dengan diproklamasikannya kemerdekaan pada tanggal
tanggal 17 Agustus 1945, merupakan puncak perjuangan bangsa
Indonesia dalam perlawanannya terhadap penjajah. Secara
lengkap teks Proklamasi, adalah sebagai berikut:

PROKLAMASI
“Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan
dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Jakarta, 17 Agustus 1945


Atas Nama Bangsa Indonesia

Soekarno – Hatta

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan kebangsaan


Indonesia berarti Bangsa Indonesia :
1. Secara formal, merupakan pernyataan kepada bangsa-
bangsa di dunia bahwa, sejak saat itu Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka, bebas dari cengkeraman penjajah
serta mulai mengambil tanggungjawab sendiri atas nasib
bangsa dan tanah airnya.

4 Pengantar Hukum Indonesia


2. Di bidang Kenegaraan, Proklamasi Indonesia mempunyai
makna bahwa Bangsa Indonesia akan menentukan
hukumnya sendiri serta akan melaksanakan hukum yang
dibuatnya. Jadi pada saat berdirinya Negara bersamaan
dengan berdirinya Negara dan Tata Hukum Indonesia.
3. Proklamasi merupakan “norma pertama” dalam Tata
Hukum Indonesia. Ada beberapa istilah lain untuk menyebut
norma pertama yaitu “norma dasar”, “aturan dasar“, atau
“sumber dari segala aturan hukum”. Norma pertama,
mengandung makna bahwa norma tadi berlakunya tidak
dapat dicari dasar hukumnya dalam tata hukum. Selama
suatu norma masih dapat dicari dasar hukumnya maka itu
bukanlah norma pertama. Hukum positif menerima norma
pertama tadi atas dasar kenyataan
Sebagaimana dikatakan di atas Tata Hukum Indonesia
pada masa-masa sesudah Proklamasi sangat sederhana, dan
kesederhanaan ini kemudian akan segera dilengkapi aturan-
aturan hukum yang lain. Hal ini untuk menjaga agar jangan
sampai terjadi kekosongan hukum.

C. Hukum Indonesia Beragam


Tata hukum Indonesia pada masa-masa sesudah Proklamasi
masih sangat sederhana. Pada tanggal 17 Agustus 1945 hanya
Proklamasi yang merupakan tata hukum. Selanjutnya keadaan
yang sederhana menjadi semakin lengkap dengan disahkannya
Undang Undang Dasar Negara pada tanggal 18 agustus 1945,
yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Dasar 1945.
Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang
Undang Dasar/Konstitusi yang pernah berlaku adalah UUD
1945 (18 Agustus 1945 – 18 September 1949, Konstitusi RIS (29
Desember 1949 – 17 Desember 1950), UUDS 1950 (17 Desember

Pengantar Hukum Indonesia 5


1950 – 5 Juli 1959), UUD 1945 (5 Juli 1959 – 18 Agustus 1999),
UUD NRI 1945 (19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 Nopember
2001, 10 Agustus 2002/amandemen)
Sudah menjadi kelaziman bahwa setiap pergantian aturan
hukum baru selalu dilengkapi dengan aturan peralihan.
Tujuannya supaya jangan ada kekosongan dalam kehidupan
hukum. Bagaimana halnya dengan adanya pengertian berbagai
Undang Undang Dasar di atas? Hal ini dapat diterangkan
sebagai berikut;
Pada waktu berlakunya kembali Undang Undang Dasar 1945
tanggal 5 Juli 1959 maka Undang Undang Dasar Sementara 1950
dinyatakan tidak berlaku di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia. Demi kelanjutan Kehidupan Hukum, dalam Pasal II
Aturan Peralihan ditentukan bahwa, “segala badan negara dan
peraturan yang ada masih berlangsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini
Dari ketentuan Pasal II Aturan Peralihan dapat diketahui
bahwa hukum yang berlaku pada waktu itu adalah peraturan
hukum yang dinyatakan berlaku atas dasar Aturan Peralihan
Undang Undang Dasar Sementara, ditambah dengan peraturan
hukum yang dibuat atas dasar ketentuan Undang Undang
Dasar Sementara. Undang Undang Dasar Sementara pada
waktu dinyatakan berlaku tanggal 17 agustus 1950 Pasal 142
yang merupakan aturan peralihan menyatakan bahwa;
“peraturan-peraturan perundang-undangan dan keten-
tuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal
17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
Republik Indonesia, ditambah, diubah oleh undang-
undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa
Undang Undang Dasar ini’

6 Pengantar Hukum Indonesia


Peraturan hukum apa yang berlaku sampai tanggal 17
Agustus 1950?
Sebelum tanggal 17 Agustus 1950 di seluruh wilayah
Indonesia bekas Hindia Belanda, berlaku Konstitusi RIS
(Republik Indonesia Serikat). Kostitusi ini merupakan hasil dari
konferensi Meja Bundar. Bentuk negara bukan Negara Kesatuan,
melainkan Negara Serikat. Negara Kesatuan Republik Indonesia
hasil Proklamasi menjadi negara bagian dan beribukota di
Yogyakarta. Oleh sebab itu, hukum yang berlaku di seluruh
bekas jajahan Belanda berbeda dengan yang berlaku di Negara
Republik Indonesia. Peraturan-peraturan hukum yang dibuat
oleh pemerintah Republik Indonesia. (sebelum berlakunya
Konstitusi RIS) berlakunya diciutkan terbatas pada Negara
Bagian Republik Indonesia yang wilayahnya sesuai dengan
hasil perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1848.
Hal tersebut hanya berlaku sampai 17 Agustus 1950, tetapi
sebelum bentuk negara berubah menjadi kesatuan maka
atas perjanjian antara pemerintah Negara Bagian Republik
Indonesia yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara
Sumatera Timur dengan pihak Pemerintah Federal, hukum
yang diberlakukan sedapat mungkin hukum Negara Bagian
Republik Indonesia.
Selanjutnya semasa berlakunya Konstitusi Republik
Indoneisa Serikat, Aturan Peralihan yang memungkinkan
berlakunya peraturan hukum masa sebelumya, adalah Pasal 192
ayat (1). Isi pasal tersebut dalam banyak hal sama dengan Pasal
142 Undang Undang Dasar Sementara 1950. Bunyi selengkapnya
Pasal 192 ayat (1) adalah :
“peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-
ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat
Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak

Pengantar Hukum Indonesia 7


berubah sebagai peraturan-peraturan dan Ketentuan-
ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama
dan sekedar peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini”
Kalau kita kembali pada masa Proklamasi 17 Agustus
1945 dan berlakunya Undang Undang Dasar 1945 pada hari
berikutnya, dapat kita pikirkan bahwa Proklamasi tersebut dan
Undang Undang Dasar 1945 berlaku untuk seluruh Indonesia,
tetapi kenyataannya adalah lain, sebab beberapa minggu
setelah Proklamasi sudah terjadi pertempuran-pertempuran
dengan pihak Belnda yang secara historis merasa masih
“memiliki Hindia-Belanda”, sedangkan Bangsa Indonesia
telah memproklamasikan kemerdekaannya. Wilayah Republik
Indonesia menciut sesuai dengan perundingan-perundingan
Linggar Jati dan Renville, sampai akhirnya terbentuklah Negara
Republik Indonesia Serikat, dan Republik Indonesia Proklamasi
hanya merupakan negara bagian saja.
Aturan Peralihan Pasal I Undang Undang Dasar 1945,
menampung peraturan-peraturan lama yang masih ada selama
belum diadakan yang baru, sedangkan peraturan-peraturan yang
lama antara lain adalah peraturan-peraturan masa pendudukan
Jepang ditambah dengan peraturan-peraturan Hindia-Belanda
sebelum menyerah kepada Jepang pada bulan Maret 1942, yang
menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-
undangan Hindia-Belanda yang tidak bertentangan dengan
kekuasaan militer Jepang.
Akhirnya kita sampai kepada peraturan perundang-
undangan pokok yang masih berlaku pada waktu Jepang
menduduki Hindia-Belanda, peraturan pokok itu adalah
“Indische Staatsregeling” yang lazim disingkat dengan I.S. artinya

8 Pengantar Hukum Indonesia


adalah: “Peraturan Ketatanegaraan Hindia-Belanda” yang
merupakan Undang Undang Dasar untuk Hindia-Belanda pada
waktu itu. Di sinilah pangkal mulanya maka tata hukum di
Indonesia beragam, terjadi dualisme, bahkan pluralisme hukum
dalam berbagai bidang, walaupun telah ada pula bidang hukum
yang telah diunifikasikan. Tidak perlu diuraikan lebih lanjut
sejarah hukum sebelumnya yang mengakibatkan munculnya
Indische Staatsregeling yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926,
dan termuat dalam Staasblad (Lembaga Negara) Tahun 1925
Nomor 415.
Keadaan tata hukum pada waktu itu yang kemudian melalui
aturan peralihan dalam Undang Undang Dasar/Konstitusi
antara lain adalah sebagai berikut :
1. Dalam bidang Hukum Pidana telah terjadi unifikasi,
artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 1918, berlaku untuk semua golongan
penduduk di Hindia-Belanda.
2. Dalam bidang Hukum Acara Pidana, yang semula masih
terdapat dualisme (telah diunifikasikan melalui Undang
Undang Nomor: 1/Drt/1951. Dalam kurun waktu
berlakunya Undang Undang Dasar Sementara 1950, artinya
dalam bidang Hukum Acara Pidana dengan susunan
pengadilannya telah berlaku untuk semua golongan
penduduk di Indonesia.
3. Dalam bidang hukum acara perdata, masih terdapat
dualisme,
4. Dalam bidang Hukum Privat (perdata/dagang) masih
terdapat dualisme, bahkan pluralisme, artinya bagi golongan
penduduk tertentu, berlaku hukum privat yang berbeda.

Pengantar Hukum Indonesia 9


Pasal 163 I.S membagi golongan penduduk Hindia-Belanda
menjadi:
a. Golongan Pribumi (Indonesia Asli)
b. Golongan Eropa
c. Golongan Timur Asing
Selanjutnya Pasal 131 Ayat (2) I.S. mengatur hukum privat
mana yang berlaku bagi masing-masing golongan. Pada asasnya
untuk golongan Eropa berlaku Hukum Barat yang isinya sama
dengan hukum di Negara Belanda (asas konkordansi), Bagi
golongan Timur Asing, berlaku hukum adat mereka dalam bidang
tertentu, tetapi ada bidang-bidang khusus yang memberlakukan
Hukum Barat bagi golongan ini.
Dari uraian tersebut di atas dapat dibayangkan betapa
“sulitnya” mempelajari hukum positif di Indoneisa, karena tata
hukumnya yang bermacam-ragam dan berasal dari pemerintah
yang silih berganti (Hindia-Belanda-Jepang-Republik Indonesia)
Kadang-kadang kita harus mengusut dasar-dasar berlakunya
suatu ketentuan dari sejarah terbentuknya ketentuan tersebut.

10 Pengantar Hukum Indonesia


BAB II

DASAR-DASAR HUKUM TATA NEGARA

A. Pengertian Hukum Tata Negara


Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur tentang
bentuk dan susunan negara, serta alat-alat perlengkapan negara
beserta tugasnya masing-masing. Hukum Tata Negara mengatur
antara lain Negara yang dapat berupa Kesatuan atau Serikat,
pemerintah Kerajaan atau Republik, pembagian daerah dengan
susunan sentralisasi atau desentralisasi, luas kekuasaan negara
dan alat-alat perlengkapannya yang bertugas menjalankan
kekuasaaan tersebut.
Hukum Tata Negara menurut pendapat J. Logemann adalah
hukum yang mengatur organisasi negara. Selanjutnya jabatan
merupakan pengertian yuridis dari fungsi, sedangkan fungsi
adalah pengertian bersifat sosiologis. Oleh karena negara
merupakan organisasi yang terdiri dari jabatan-jabatan fungsi-
fungsi, dimana secara keseluruhan dalam arti yuridis, negara
merupakan organisasi dari jabatan-jabatan.

Pengantar Hukum Indonesia 11


B. Sumber-sumber Hukum Tata Negara
Menurut Logemann negara adalah suatu organisasi kema-
syarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur
serta menyelenggarakan suatu masyarakat. Sedangkan
menurut J.K.P Bellefroid, negara diartikan sebagai suatu
masyarakat hukum yang menetap terus-menerus pada suatu
daerah tertentu dan mempunyai kekuasaan tertinggi untuk
menyelenggarakan kesejahteraan bersama. Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu negara mempunyai
beberapa unsur, yaitu: Wilayah, Rakyat dan Penguasa tertinggi.
Di samping ketiga unsur tersebut ditambahkan lagi satu unsur
yaitu unsur pengakuan.
Sumber-sumber Hukum Tata Negara
1. Tertulis dan tidak tertulis
2. Materiil dan formil
Menurut Sri Soemantri sumber Hukum Tata Negara yang
utama di dalam arti formil adalah Konstitusi atau Undang
Undang Dasar

C. Asas Hukum Tata Negara


1. Asas Pancasila
2. Asas Negara Hukum
3. Asas Kedaulatan Rakyat & Demokrasi
4. Asas Negara Kesatuan
5. Asas Pemisahan Kekuasaan & check and Balance (Sistem
Perimbangan Kekuasaan)

12 Pengantar Hukum Indonesia


D. Lembaga-Lembaga dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut
UUD Negara Republik
D. Lembaga Indonesia
– Lembaga Dalam SistemTahun 1945
Ketatanegaraan
Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UUD 1945
194NRI194
5 1945
PRESIDEN 1945
BPK DPR MPR DPD MA / MK
Kementerian
Negara
Badan-badan lain yang
Dewan
KPU BANK
Pertimbangan
fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan
SENTRAL
TNI / POLRI kehakiman KY

Perwakilan Pemerintahan Lingkungan


BPK Provinsi Daerah Provinsi peradilan umum

GUBER DPRD Lingkungan


NUR peradilan agama
Lingkungan
peradilan militer
PEMERINTAH
DASRAH KAB/KOTA Lingkungan
peradilan TUN
Bup/Wali DPRD
kkota

Dari segi kelembagaan maka menurut ketentuan UUD


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan
keempat (2002) dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia
terdapat 8 (delapan) buah organ negara yang mempunyai
kedudukan sederajat yang secara langsung menerima
kewenangan konstitusional dari UUD.
Kedelapan organ tersebut adalah:
1. Dewan Perwakilan Rakyat ;
2. Dewan Perwakilan Daerah ;
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat ;
4. Badan Pemeriksa Keuangan ;
5. Presiden dan Wakil Presiden ;
6. Mahkamah Agung ;

Pengantar Hukum Indonesia 13


7. Mahkamah Konstitusi;
8. Komisi Yudisial.
Di samping kedelapan lembaga tersebut, terdapat pula
beberapa lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya
dalam UUD, yaitu:
1. Tentara Nasional Indonesia;
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Pemerintah Daerah;
4. Partai Politik.

E. Sistem Hukum Ketatanegaan Republik Indonesia


Pembagian Kekuasaan Negara
Berbicara tentang kekuasaan Negara dan pembagiannya
maka beberapa nama yang tidak boleh dilupakan adalah John
Locke dan Montesque membagi kekuasaan Negara menjadi 3
(tiga) kekuasaan masing-masing adalah kekuasaan legislatif,
eksekutif dan federatif.
Pendapat John Locke dikembangkan oleh Montesque
yang terkenal dengan teori “Trias Politika” dimana kekuasaan
negara dibagi menjadi 3 (tiga) kekuasaan dan masing-masing
kekuasaan dipegang oleh satu badan kenegaraan yang terpisah
antara satu dengan yang lainnya. Ketiga kekuasaan tersebut
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Teori Montesque ini juga
terkenal dengan teori pemisahan kekuasaan.
Indonesia menurut ketentuan UUD NRI 1945 tidak
menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian
kekuasaan yang terdiri atas:
1. DPR (legislatif)
2. Presiden (eksekutif)
3. MA, MK, (yudikatif)

14 Pengantar Hukum Indonesia


Berdasar Pasal 20 (1) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 : DPR memegang kekuasaan membentuk undang-
undang. Sementara itu, Presiden berdasar Pasal 4 (1) UUD
Negara Republik Indonesia yahun 1945, memegang kekuasaan
pemerintahan.
Pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah
Mahkamah Agung/MA dan Mahkamah Konstitusi/MK. Pasal
24 ayat (1); kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.

F. Sistem Pemerintahan Negara


Sistem pemerintahan negara dalam UUD 1945 sebelum
amandemen dikemukakan dalam penjelasan UUD 1945. Ada
tujuh sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 sebelum
amandemen :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (maachstaat).
2. Sistem konstitusional. Pemerintah berdasarkan sistem
konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolute (kekuasaan
yang tidak terbatas)
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan MPR
4. Pemerintah adalah penyelenggara pemerintahan negara
yang tertinggal di bawah Majelis
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden. Menteri Negara
tidak bertanggungjawab kepada DPR
7. Kekuasaan Negara tidak tak terbatas
Setelah Undang Undang Dasar Negara 1945 diamandemen
menjadi Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945,

Pengantar Hukum Indonesia 15


maka sistem pemerintahan di Indonesia ada yang berubah
sehingga menjadi :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (maachstaat)/Pasal 1Ayat (3)
2. Sistem konstitusional, Pemerintah berdasarkan sistem
konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolute (kekuasaan
yang tidak terbatas)
3. Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang Undang Dasar.
4. Presiden penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR
6. Menteri Negara ialah pembantu presiden, Menteri Negara
tidak bertanggungjawab kepada DPR
7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas (semakin
dibatasi)

16 Pengantar Hukum Indonesia


BAB III

DASAR-DASAR HUKUM ADMINISTRASI NEGARA,


HUKUM PAJAK, HUKUM AGRARIA

A. Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara


1. Peristilahan Hukum Administrasi Negara
Dalam ilmu hukum sering kita jumpai berbagai istilah
untuk menyebutkan suatu cabang ilmu hukum, demikian
juga dengan Hukum Administrasi Negara. Ada yang
menyebutkan dengan istilah hukum tata usaha, hukum tata
usaha negara, hukum tata usaha pemerintah. Istilah-istilah
tersebut dapat dipertahankan dengan alasan dan dasar yang
kuat dan bahwa masing-masing mempunyai kelemahan serta
kelebihan sendiri-sendiri. Keragaman istilah membuktikan
masih mudanya Hukum Administrasi Negara khususnya
di Indonesia sebagai suatu ilmu pengetahuan hukum yang
mandiri.
Di Negara Belanda dikenal adanya 2 (dua) macam istilah
yaitu: administratifrecht dan bestuurecht, sedang Negara lain
yaitu Jerman dengan istilah Verwaltungsrecht, Perancis
dengan istilah Droit Admnistratif, dan Inggris dengan
Administratif Law.

Pengantar Hukum Indonesia 17


2. Administratif Negara dan Lapangan Pekerjaannya
Hukum Tata Pemerintahan (HTP) disebut juga sebagai
Hukum Administrasi Negara (HAN). Oleh sebab itu yang
menjadi obyek penyelidikan ilmu ini adalah pemerintahan
(Administrasi Negara) dengan segala kegiatan pemerintahan.
Siapakah yang dimaksud dengan Administrasi Negara dan
apa yang tergolong dengan kegiatan pemerintahan ?
Administrasi Negara dengan berpangkal pada Trias
Politica dari Montesquieu, adalah gabungan dari jabatan
aparat administrasi yang berada di bawah pimpinan
Presiden, melakukan sebagian pekerjaan pemerintahan
fungsi administrasi yang tidak ditugaskan kepada badan-
badan pengadilan, badan legislatif dan bahan-bahan
pemerintahan dari persekutuan hukum yang lebih rendah
dari pada Negara yang masing-masing diberi wewenang
untuk memerintah sendiri daerahnya.
Keberatan definisi tersebut, yaitu dengan cara
menetapkan “sisa” yang dinamakan residu (teori sisa).
Definisi yang diikuti Utrecht tadi hanya menyebutkan
Administrasi Negara yang ada di tingkat pusat, selain itu
masih ada pula aparat administrasi yang ada di daerah.
Kesulitan juga timbul untuk mendefinisikan pemerintah.
Untuk menghindari kesulitan tersebut pemerintahan dapat
didefinisikan secara negatif dan masih saja berpangkal Trias
Politica. Berpijak pada teori tersebut, pemerintahan dapat
diartikan sebagai “sebagian penyelenggaraan tugas-tugas
Negara yang tidak tergolong dalam tugas legislatif maupun
yudikatif”
Montesquieu memberi fungsi eksekutif untuk
melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh legislatf.
Badan legislatif dalam membuat undang-undang ataupun
peraturan bersifat umum, artinya perturan itu terlepas dari
kasus tertentu, waktu tertentu, orang tertentu. Oleh karena

18 Pengantar Hukum Indonesia


itu, dalam pelaksanaannya pada peristiwa kongkrit tertentu
diserahkan kepada eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar
tindakan yang perlu diambil dapat tepat karena organ itulah
yang dianggap paling mengetahui situasi serta kondisi
kongkrit. Biasanya keadaan kongkrit ini sulit diketahui oleh
badan legislatif. Tindakan eksekutif untuk menyelesaikan
suatu peristiwa konkrit tertentu dinamakan “ketetapan”
Beberapa sarjana telah membuat definisi tentang
ketetapan yang agak berlainan satu dengan yang lain:
a. Menurut Prins : Inleiding in het administrative recht van
Indonesia (1950:14) beschikking adalah suatu tindakan
hukum sepihak di bidang pemerintahan, dilakukan
oleh penguasa berdasarkan kewenangan di bidang
pemerintah, dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan
kewenangan khusus.
b. E. Utrecht : Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia hal 68, menyatakan beschikking atau ketetapan
adalah suatu perbuatan berdasarkan hukum publik
yang bersegi satu, ialah yang dilakukan oleh pemerintah
berdasarkan sesuatu kekuasaan istimewa.
Dalam pembuatan ketetapan, pemerintah (eksekutif)
harus memperhatikan syarat-syarat tertentu, yang mana
apabila syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan dapat
mengakibatkan suatu ketetapan mengandung kekurangan,
sehingga kekurangan dalam suatu ketatapan dapat
menjadikan tidak sahnya ketatapan. Syarat-syarat tersebut
meliputi syarat materiil dan syarat formil.
Syarat-syarat materiil :
a. Alat pemerintah yang membuat ketetapan harus
berwenang (berhak)
b. Dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat
ketetapan tidak boleh ada kekurangan yuridis

Pengantar Hukum Indonesia 19


c. Keputusan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam
peraturan yang menjadi dasarnya dan pembutannya
harus juga memperhatikan prosedur membuat
ketetapan, bilamana prosedur itu ditetapkan dengan
tegas dalam peraturan itu.
d. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan
tujuan yang hendak dicapai.
Syarat-syarat formil meliputi :
a. Syarat-syarat yang ditentukan sehubungan dengan
persiapan dibuatnya ketetapan dan sehubungan dengan
cara ketetapan harus dipenuhi.
b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan.
c. Syarat-syarat sehubungan dengan pelaksanaan ketetap-
an itu terpenuhi
d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-
hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya
ketetapan.
Contoh ketetapan, yaitu:
a. Ketetapan sepihak, yaitu ketetapan yang waktu mene-
tapkannya, tanpa perlu dihubungi maupun melibatkan
warga yang dikenainya.
b. Ketetapan sepihak bersyarat, yaitu ketetapan yang
sebelum menetapkannya disyaratkan keterlibatan warga
yang dikenai, baik sebelum diambil ketetapan ataupun
sesudahnya.
c. Ketetapan yang menguntungkan, yaitu ketetapan yang
memberi hak, kemudahan atau keuntungan tertentu.
d. Ketetapan yang membebani kewajiban yang telah ada
atau menimbulkan kewajban baru.

20 Pengantar Hukum Indonesia


3. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Supaya alat perlengkapan Negara, dalam hal ini
administrasi Negara dapat menjalankan tugasnya secara
baik, maka administrasi negara memerlukan kemerdekaan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam
menyelesaikan masalah-masalah penting yang timbul,
dimana peraturan penyelesaian belum ada, atau belum
dibuat oleh badan legislatif. Kemerdekaan tersebut disebut
Freis Ermessen. Tentu saja kemerdekaan ini tidaklah boleh
dijalankan sedemikian rupa sehingga merugikan individu/
warga, tanpa alasan yang patut. Apabila suatu alat
perlengkapan negara yang diberi kewenangan tertentu,
tidak mempergunakan kewenangannya sesuai dengan
tujuan yang telah diberikan oleh peraturan yang menjadi
dasarnya dapat dikatakan bahwa alat perlengkapan itu telah
melakukan “Detournement de pouvoir” (penyalahgunaan
wewenang).
Supaya freis ermessen tidak disalahgunakan maka
dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintah harus
memperhatikan antara lain asas-asas umum pemerintah
yang baik. Dalam praktek hukum di Belanda ada beberapa
asas yang telah mendapat tempat yang jelas yaitu :
a. Asas persamaan, hal yang sama diperlakukan sama
b. Asas kepercayaan, harapan-harapan yang ditimbulkan
harus dipenuhi.
c. Asas kepastian hukum.
d. Asas kecermatan, suatu keputusan harus dipersiapkan
dan diambil dengan cermat
e. Asas pemberian alasan, suatu keputusan harus di
dukung oleh alasan yang dijadikan dasarnya
f. Asas larangan : “Detournement de pouvoir”

Pengantar Hukum Indonesia 21


Di Indonesia sendiri asas-asas umum pemerintahan
yang baik belum diatur secara khusus dalam suatu undang-
undang tetapi tersirat dalam beberapa undang-undang,
misalnya dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang
Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN), yaitu :
a. Asas kepastian hukum
Setiap kebijakan penyelnggraan Negara harus berlan-
daskan hukum.
b. Asas tertib penyelenggaraan Negara
Penyelenggaraan Negara didasarkan pada keteraturan,
keserasian dan keseimbangan
c. Asas kepentingan umum
Mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif dan selektif.
d. Asas keterbukaan
Membuka diri terhadap hak msyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaran Negara, dengan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
manusia dan rahasia Negara.
e. Asas Proporsionalitas
Mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
f. Asas profesionalitas: menggunakan keahlian

B. Dasar-dasar Hukum Pajak


1. Pengertian Pajak
Untuk menjaga kelangsungan hidup suatu Negara dan
untuk mencapai tujuannya, maka Negara memerlukan
sumber daya, baik berupa sumber daya manusia yang
berkualitas, sumber daya alam, maupun dana yang dapat

22 Pengantar Hukum Indonesia


dihimpun oleh Negara yang berasal dari masyarakat.
Sumber daya yang berwujud uang, dapat dilakukan
pemungutannya oleh negara/pemerintah daerah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Salah satu usaha mewujudkan kemandirian suatu bangsa
atau Negara, yaitu menggali sumber dana yang berasal dari
dalam negeri, berupa pajak. Apabila membahas pengertian
pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak,
antara lain :
a. PJA.Adriani, yang telah diterjemahkan oleh R.Santoso
Brotodiharjo, dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum
Pajak” sebagai berikut :
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat
dipaksakan), yang terutang oleh wajib pajak menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya untuk membayar pengeluaran-pengeluaran
umum, berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan”
b. Rochmad Sumitro, dalam bukunya “Dasar-Dasar
Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”, sebagai berikut :
“pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara,
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan),
dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan, dan yang dipergunakan
untuk membayar pengeluaran umum.

2. Ciri-ciri Pajak
Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah :

Pengantar Hukum Indonesia 23


a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan
adanya kontraprestasi individual dari pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh Negara, baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah
d. Pajak dipergunakan bagi pengeluaran pemerintah,
dan apabila pemasukkannya masih terdapat surplus,
dipergunakan untuk membiayai “public investment”
e. Pajak dapat mempunyai tujuan mengatur dan tujuan
budjeter

3. Fungsi Pajak
Pajak dapat berfungsi sebagai :
a. Fungsi budjeter
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan
bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Contoh: dimasukkannya penerimaan dari sektor pajak
dalam APBN, sebagai penerimaan dalam negeri.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.
Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi
terhadap minuman keras, sehingga konsumsi minuman
keras dapat ditekan

4. Pengertian Hukum Pajak


Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-
peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah
sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar
pajak. Dalam hukum pajak diatur mengenai :

24 Pengantar Hukum Indonesia


a. Siapa-siapa yang menjadi subyek pajak dan wajib pajak
b. Obyek-obyek apa saja yang menjadi obyek pajak
c. Kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah
d. Timbul dan hapusnya utang pajak
e. Cara penagihan pajak
f. Cara mengajukan keberatan dan banding

5. Pengelompokan Pajak
Dalam Hukum Pajak terdapat pembagian yang
didasarkan atas ciri tertentu pada setiap pajak, sehingga
terjadi pembagian pajak, sebagai berikut :
1. Menurut lembaga pemungutannya
a. Pajak Negara atau Pajak Pusat
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui
Direktorat Jendral Pajak
Yang termasuk pajak pusat adalah :
1) Pajak Penghasilan (PPh)
2) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas barang mewah (PPN dan
PPnBM)
3) Bea Materai (BM)
4) PBB untuk perkebunan, perhutanan, pertambangan
b. Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
Tingkat I maupun daerah tingkat II (Kota/
Kabupaten) sesuai Undang-Undang Nomor 28 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jenis-jenis pajaknnya sebagai berikut :
1) Jenis pajak daerah untuk Pemerintah Propinsi,
terdiri :

Pengantar Hukum Indonesia 25


a) Pajak kendaraan bermotor
b) Bea balik nama kendaraan bermotor
c) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
d) Pajak pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah
e) Pajak Rokok
2) Jenis-jenis pajak daerah untuk pemerintahan
Kota/Kabupaten, terdiri :
a) Pajak hotel
b) Pajak restoran
c) Pajak hiburan
d) Pajak reklame
e) Pajak penerangan jalan
f) pajak mineral bukan logam dan batuan
g) pajak parkir
h) pajak air tanah
i) pajak sarang burung wallet
j) pajak bumi dan bangunan, pedesaan dan
perkotaan
k) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
2. Menurut Golongannya
Pembagian penggolongan pajak, ditinjau dari sudut
beban pajak dan administrasi pemungutan pajak.
a. Pajak Langsung
Pajak yang ditinjau dari segi admnistratif,
berkohir dan dikenakan secara berulang-ulang pada
waku tertentu/periodik (misalnya setiap tahun),
dari segi ekonomis, pajak harus dipukul sendiri oleh

26 Pengantar Hukum Indonesia


wajib pajak, dan tidak dapat dilimpahkan kepada
orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak yang ditinjau dari segi administrative,
tidak berkohir dan tidak dikenakan secara periodik/
berulang-ulang, tetapi dikenakan hanya apabila
terjadi hal-hal/peristiwa-peristiwa yang dikenakan
pajak. Secara ekonomi pajak dapat dilimpahkan
kepada orang lain.
Contoh : pajak pertambahan nilai.
3. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subyektif
Pajak yang pertama-tama memperhatikan
keadaan pribadi wajib pajak, untuk menetapkan
pajaknya harus ditentukan alasan-alasan obyektif,
yang berhubungan dengan keadaan meterilnya,
yaitu yang disebut daya pikulnya.
Contoh: Pajak Penghasilan, obyeknya adalah
penghasilan (dikaitkan dengan PTKP untuk wajib
pajak pribadi)
b. Pajak Obyektif
Pajak yang pertama-tama melihat obyeknya
yang selain dari benda, dapat pula berupa keadaan,
perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan tim-
bulnya kewajiban membayar, kemudian dicari sub-
yeknya (orang pribadi atau badan hukum) yang ber-
sangkutan langsung, dengan tidak mempersoalkan
apakah subyek ini berkedudukan atau berkediaman
di Indonesia atau tidak. Subyek yang mempunyai

Pengantar Hukum Indonesia 27


hubungan hukum yang tertentu dengan obyek itu-
lah yang ditunjuk sebagai subyek hukum membayar
pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai Wajib Pajak Luar
Negeri

6. Sistem Pemungutan Pajak


Tiap-tiap Negara mempunyai sistem pemungutan
pajak yang berbeda, sesuai dengan kondisi negara yang
bersangkutan. Di dalam hukum pajak dikenal beberapa
sistem pemungutan pajak, sebagai berikut :
1. Self Assesment System
2. Offical Assesment System
3. Withholding System

C. Dasar-dasar Hukum Agraria


1. Pengertian Hukum Agraria
Hukum Agraria ialah keseluruhan kaidah-kaidah
hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur agraria.
Pengertian “agraria” meliputi bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, bahkan dalam
batas-batas yang ditentukan juga ruang angkasa. (bumi:
permukaan bumi (tanah) beserta apa yang ada dalam tubuh
bumi; air; perairan pedalaman/laut wilayah, ruang angkasa:
ruang di atas bumi dan air)
2. Riwayat Hukum Agraria
a. Hukum Agraria sebelum berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria
Sebelum UUPA berlaku (sebelum tanggal 24
September 1960), hukum agraria di Indonesia bersifat

28 Pengantar Hukum Indonesia


dualistis, karena hukum agraria pada saat itu bersumber
pada hukum adat dan hukum perdata barat. Hukum
agraria yang berdasarkan pada hukum perdata
barat yang berlaku sebelum tanggal 24 September
1960 tersusun dari sumber-sumber yang berasal dari
pemerintah jajahan, sehingga tidak mustahil bahwa di
dalamnya terselubung tujuan pemerintah jajahan yang
hanya menguntungkan pihaknnya. Keadaan semacam
ini berakibat bahwa beberapa ketentuan hukum agraria
yang berlaku pada waktu itu menjadi bertentangan
dengan kepentingan rakyat Indonesia. Hukum perdata
barat yang menyangkut agraria dibedakan bagi orang-
orang yang termasuk ke dalam Golongan Eropa dan
GolonganTimur Asing, sedangkan tanah-tanah yang
dikuasi oleh kedua golongan penduduk tersebut
dinamakan “tanah dengan hak barat”. Sebagai lawannya
adalah “tanah dengan hak adat” yang termasuk dalam
hukum adat tanah dan khusus berlaku bagi golongan
penduduk Bumi Putera (pribumi). Corak hukum
agraria yang dualistis ini berlaku sampai dengan tahun
1959 dan pada waktu itu Pemerintah berusaha agar
dalam waktu dekat melahirkan hukum agraria baru
yang bersifat Nasional. Pada tanggal 24 September
Tahun 1960 di undangkanlah Undang Undang No 5
Tahun 1960 melalui Lembaran Negara 1960 Nomor 104,
yaitu undang-undang yang mengatur tentang Agraria.
Undang Undang tersebut diberi nama Undang Undang
Pokok Agraria (UUPA). Pemberlakuan undang-undang
ini di seluruh wilayah Indonesia, dilakukan secara
bertahap, tidak serentak.

Pengantar Hukum Indonesia 29


b. Hukum Agraria Berdasar Undang-Undang Pokok Agraria
Dengan berlakunya UUPA sejak tanggal 24
September 1960, hilanglah dualisme hukum agraria
dan terciptalah unifikasi hukum dalam bidang hukum
agraria di Indonesia. Hukum agraria baru (UUPA)
disusun dengan dasar hukum adat, oleh karenanya
hukum agraria adat mempunyai peran penting dalam
sejarah lahirnya UUPA. Dengan berlakunya UUPA,
tidak berarti bahwa hak ulayat tidak diakui lagi. Hak
ulayat tersebut masih diakui sejauh tidak menganggu
atau menghambat pembangunan nasional untuk
kepentingan umum. Lebih jelas lagi dikatakan bahwa
hukum agraria yang mengatur bumi,air,ruang angksa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
adalah hukum adat sejauh tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara (Pasal 5 UUPA).
Semua hak atas tanah dinyatakan berfungsi sosial (Pasal
6 UUPA)

3. Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)


a. Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria
nasional, yang merupakan sarana untuk mewujudkan
kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi rakyat dan
negara, terutama rakyat tani dalam rangka menuju
kemasyarakat adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

4. Asas-asas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)


Asas-asas hukum agraria terdapat dalam BAB 1 UUPA
yang memuat tentang asas-asas dan ketentuan-ketentuan
pokok

30 Pengantar Hukum Indonesia


a. Asas Kesatuan
b. Asas Kepentingan Nasional
c. Asas Nasionalisme
d. Asas Manfaat

5. Hak-Hak Atas Tanah yang Diatur dalam UUPA


a. Tanah Negara
Menurut UUPA istilah “Tanah Negara” ialah :
1) Tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan
2) Tanah yang dikuasai tidak langsung oleh negara.
Dalam pengertian “tanah yang dikuasai langsung
oleh negara” ialah tanah-tanah yang belum ada
sesuatu hak di atas tanah tersebut, misalnya saja
yang sering dikenal sengan sebutan “tanah negara
bebas”. Sedang yang disebut “tanah yang dikuasai
tidak langsung oleh negara” ialah tanah yang sudah
ada sesuatu hak di atasnya, misalnya sudah ada Hak
Miliknya, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
sebagainya. Dalam UUPA yang berlaku sekarang
ini tidak lagi berlaku atau mengenal “asas domein”
sebab tidak tepat bila negara bertindak sebagai
pemilik tanah. Negara dalam UUPA dinyatakan
sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
dan bertindak selaku badan penguasa.
b. Hak-hak Atas Tanah
Hak-hak atas tanah menurut pasal 16 UUPA ada
bermacam-macam, yaitu:
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan

Pengantar Hukum Indonesia 31


4) Hak Gadai
5) Hak Pakai
6) Hak Sewa
7) Hak membuka tanah
8) Hak memungut hasil hutan
9) Hak-hak lain yang bersifat sementara, ialah hak atas
tanah sebagaimana disebut Pasal 53, misalnya
- Hak Gadai
- Hak Usaha Bagi Hasil
- Hak Menumpang
- Hak Sewa Tanah Pertanian
Selain hak-hak atas tanah, UUPA mengena pula
hak-hak atas air dan ruang angkasa. Menurut Pasal
16 Ayat(2) UUPA, hak-hak tersebut adalah :
1. Hak guna air
2. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
3. Hak guna ruang angkasa

c. Tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria


Bagi Negara Republik Imdonesia, di mana stuktur
kehidupan masyarakatnya, termasuk perekonomiannya
sebagian besar bergerak dalam bidang agraris, maka
fungsi bumi (tanah), air dan ruang angkasa serta semua
yang terkandung di dalamnya amatlah penting sebagai
sarana pokok dalam pembangunan menuju masyarakat
adil dan makmur.
Oleh karena itu di dalam UUPA Pasal 1 Ayat (1)
dinyatakan : seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia.

32 Pengantar Hukum Indonesia


Sedangkan dalam ayat (2) nya dinyatakan seluruh
bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi,air,
dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional.
Dalam Pasal 4 Ayat (1) dijelaskan bahwa atas dasar
hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah
yang dapat diberikan dan di punyai oleh orang-orang,
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan hukum.
Dalam pengertian tersebut jelas antara pengertian
bumi di satu pihak dan tanah di lain pihak, ada
perbedaan.
Hak menguasai atas tanah oleh negara dapat
diartikan memberi wewenang pada negara untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan tanah
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang dan tanah
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum
mengenai tanah (periksa Pasal 2 Ayat (1) )
Segala sesuatu tersebut di atas dirujukkan untuk
mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya
dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur.
Jadi hak menguasai tanah oleh negara meliputi baik
tanah-tanah yang sudah dihaki oleh seseorang atau
badan hukum maupun atas tanah-tanah yang belum
atau tidak dihaki. Perbedaannya, atas tanah-tanah yang

Pengantar Hukum Indonesia 33


sudah dihaki, hak menguasai oleh Negara atas tersebut.
Sedang pada tanah yang ada di atasnya tidak terdapat
hak-hak, sifat penguasannya oleh Negara lebih luas dan
lebih penuh.
Dalam pengertian tersebut di atas tidaklah berarti
bahwa hak-hak perseorangan atau badan hukum atas
tanah tidak dimungkinkan lagi. Dalam UUPA masih
dikenal atau diakui adanya hak-hak yang dapat dipunyai
perorangan atau badan hukum. Tetapi dalam hal ini
hanya mengenai permukaan bumi saja, yaitu tanah yang
dapat di haki oleh seseorang seperti Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan sebagainya.

34 Pengantar Hukum Indonesia


BAB IV

DASAR-DASAR HUKUM PERDATA MATERIAL

A. Pengertian Hukum Perdata


Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia ini
tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Setiap orang
harus mempunyai hubungan dengan orang lain atau dengan
masyarakat untuk memenuhi segala kebutuhannya. Ada
hubungan yang tidak mempunyai akibat hukum dan ada yang
mempunyai akibat hukum. Hubungan ini disebut hubungan
hukum, yaitu hubungan yang dapat menimbulkan hak dan
kewajiban. Hukum yang mengatur hubungan antara seseorang
dengan orang lain disebut hukum perdata.
Jadi hukum perdata ialah serangkaian peraturan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan yang
lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan
(Kansil, 2000:1999)
Hukum perdata dapat dibagi dua yaitu :
1. Hukum perdata materiil, yaitu hukum perdata yang berisi
peraturan hukum yang mengatur hubungan antara hukum
seseorang dengan orang lain.
Misalnya : peraturan tentang sewa menyewa, utang piutang
dan sebagainya

Pengantar Hukum Indonesia 35


2. Hukum perdata formil, yaitu hukum perdata yang mengatur
bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum
perdata materiil.
Misalnya : peraturan tentang cara menyusun surat gugat,
mengajukan banding dan sebagainya.

B. Sejarah Hukum Perdata di Indonesia


Untuk membahas berlakunya hukum perdata materiil
di Indonesia, perlu kita tengok kembali jaman penjajahan
Hindia Belanda. Menurut Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S),
penduduk di Hindia Belanda dibagi menjadi 3 (tiga) golongan ;
1. Golongan Eropa
Golongan yang tunduk pada ketentuan bagi golongan
Eropa, yaitu orang-orang Belanda, Jepang dan mereka yang
dianggap tunduk pada hukum keluarga, yang azazsnya
sama dengan hukum keluarga Belanda (asas monogami)
2. Golongan Timur Asing
Golongan yang tunduk bagi ketentuan bagi golongan
Timur Asing yaitu mereka yang tidak termasuk dalam
golongan Eropa atau golongan Bumiputera
Misal : Orang-orang Tionghoa
3. Golongan Bumiptera
Golongan yang yang tunduk bagi golongan Bumiputera
yaitu orang Indonesia asli yang tidak beralih ke golongan
lain, dan orang-orang dari golongan lain yang terlebur atau
mencampurkan diri dalam golongan Indonesia asli.
Adnya penggolongan penduduk pada zaman Hindia
Belanda tersebut, maka menurut Pasal 131 I.S, hukum perdata
yang berlaku juga terbagi dalam beberapa golongan, yaitu :

36 Pengantar Hukum Indonesia


1. Bagi golongan Eropa, berlaku hukum perdata yang
ketentuannya terdapat didalam Burgerlijk Wetboek/B.W.
(Kitab undang-undang Hukum Perdata), Wetboek Van
Koophandel/W.v.k (Kitab undang-undang Hukum Dagang)
dang Faillisementverordering (Peraturan Kepailitan)
2. Bagi golongan Timur Asing, mula-mula berlaku hukum
adatnya masing-masing, kemudian Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang
dinyatakan berlaku bagi mereka.
3. Bagi Golongan Bumiputera, pada pokoknya berlaku hukum
adatnya masing-masing.
Disamping itu ada ketentuan bagi golongan Bumiputera dan
Timur Asing untuk menundukkan diri secara sukarela kepada
hukum perdta yang berlaku bagi golongan Eropa, baik sebagian
maupun seluruhnya.
Penundukan diri tersebut dapat terbagi menjadi :
1. Penundukan diri untuk seluruh hukum perdata Eropa
2. Penundukan diri untuk sebagian hukum perdata Eropa
3. Penundukan diri untuk suatu perbuatan tertentu
4. Penundukan diri tidak sengaja untuk suatu perbuatan
tertentu, disebutjuga penundukan diri anggapan (secara
diam-diam)
Berdasarkan aturan-aturan peralihan, peraturan perundang-
undangan tersebut masih berlaku, oleh karena itu sekarang ini
di Indonesia masih berlaku bermacam-macam hukum perdata,
yaitu :
1. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Republik Indonesia, misalnya Undang-undang
Perkawinan, Undang-undang Pokok Agraria dan lain
sebagainya.

Pengantar Hukum Indonesia 37


2. Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek/Kitab undang-
undang Hukum Perdata), yang merupakan warisan
dari Pemerintah Hindia Belanda yang karena belum ada
penggantinya. Melallui Pasal II aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 masih berlaku, termasuk Wetboek Van
Koophandel/Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD)
3. Hukum Perdata Adat yang baiasa disebut Hukum Adat
4. Hukum Perdata Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Isalam.
Menurut Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum
Perdata meninjau kedudukan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van
Koophandel di Indonesia sekarang ini adalah sebagai berikut :
“Karena Undang-undang Dasar kita tidak mengenal
adanya pembagian penduduk menjadi golongan-
golongan (tetapi hanya mengenal warga negara dan
bukan warga negara), maka kita sekarang berusaha untuk
membentuk hukum perdata nasional.
Sementara belum terbentuk maka B.W. dan W.v.K masih
berlaku jika tidak bertentangan dengan jaman kemerdekaan
kita sekarang. Beliau menyatakan bahwa B.W dan W.v.K. tidak
lagi merupakan Wetboek tetap suatu Rechtsboek.

C. Sistematika Pembagian Hukum Perdata


1. Pembagian menurut isinya, Hukum Perdata dibagi menjadi
dua :
a. Hukum Perdata dalam arti luas, yaitu hukum perdata,
termasuk di dalamnya selain peraturan yang tercantum
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata, juga
peraturan-peraturan dalam Kitab Undang Undang
Hukum Dagang.

38 Pengantar Hukum Indonesia


b. Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu hukum perdata
yang terdiri dari ketentuan-ketentuan yang hanya diatur
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata saja.

2. Empat (4) bidang Hukum Perdata


1) Menurut Ilmu pengetahuan Hukum
a. Hukum Perorangan
Berisi :
1) Peraturan tentang manusia sebagai subyek
hukum
2) Peraturan-peraturan tentang kecakapan memiliki
hak-hak serta untuk bertindak melaksanakan
hak-hak tersebut
Domisili
b. Hukum Keluarga
Berisi :
1) Peraturan-peraturan tentang hubungan orang
tua dengan anak
2) Peraturan tentang perwalian
3) Peraturan tentang pengampunan
Peraturan tentang Perkawinan
c. Hukum Harta Kekayaan
Memuat peraturan-peraturan hukum yang menga-
tur hubungan hukum orang dalam lapngan harta
kekayaan, berisi/terbagi
1) Hukum benda
2) Hukum perikatan
d. Hukum waris, yaitu peraturan yang mengatur
tentang benda atau kekayaan seorang, jika orang
tersebut meninggal dunia.

Pengantar Hukum Indonesia 39


2) Menurut KUH Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibagi
menjadi 4 (empat) buku, yaitu ;
a. Buku kesatu, mengatur tentang orang, memuat
ketentuan mengenai
1) Hukum Perorangan
2) Hukum Keluarga
b. Buku Kedua, mengatur tentang benda, memuat
ketentuan mengenai :
1) Hukum benda
2) Hukum waris
c. Buku ketiga, mengatur tentang perikatan, memuat
ketentuan mengenai Hukum Harta Kekayaan.
d. Buku keempat, mengatur tentang pembuktian dan
daluwarsa memuat ketentuan mengenai :
1) Alat bukti
2) Akibat daluwarsa

Hukum Perorangan (Personenrecht)


a. Subyek Hukum
Di dalam hukum perdata istilah “orang” atau “persoon”
menunjuk pada pengertian subyek hukum, yang artinya
pembawa hak dan kewajiban.
Subyek hukum terdiri dari ;
1) Manusia (natuurlijk persoon)
2) Badan hukum (rechtspersoon)
Manusia sebagai pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak ia
lahir dan berakhir setelah ia meninggal dunia. Namun demikian,
apabila perlu demi kepentingannya sejak ia masih berada dalam

40 Pengantar Hukum Indonesia


kandungan ibunya, asalkan ia lahir hidup, ia dianggap sudah
sebagai subyek hukum (Pasal 2 Ayat (1) BW, akan tetapi apabila
ia lahir dalam keadaan meninggal, ia dianggap tidak pernah
ada (Pasal 2 Ayat (2) BW) Ketentuan yang termuat dalam Pasal
2 BW tersebut dinamakan rechtsfictie. Ketentuan ini sangat
penting dalam hal warisan.
Sebagai negara hukum, Negara Republik Indonesia
mengakui setiap orang sebagai manusia, artinya bahwa setiap
orang diakui sebagai subyek. Undang-Undang Dasar NRI 1945
Pasal 27 menetapkan bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Badan hukum yang berstatus sebagai pembawa hak dan
kewajiban (sebagai subyek hukum) misalnya Negara, Propinsi,
Kabupaten, Perseroan Terbatas, Yayasan, Wakaf, Gereja, dan
lainnya. Suatu perkumpulan dapat pula dijadikan badan hukum
asal saja memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum.
Persyaratan badan hukum sebagaimana diminta oleh
perundang-undangan, yurisprudensi maupun kebiasaan
yang ditemui, tidak secara tegas disebutkan, tetapi dengan
menganalisa sedemikian rupa badan itu adalah badan hukum.
Misalnya Perseroan Terbatas (PT) dengan menganalis Pasal 7
Ayat (6), Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995.

b. Kewenangan Berhak dan Kecakapan Berbuat


1) Kewenangan Berhak
Hukum perdata mengatur tentang hak keperdataan.
Dalam hukum perdata setiap manusia pribadi mempunyai
hak yang sama, setiap manusia pribadi wenang untuk
berhak. Tetapi tidak setiap manusia pribadi wenang berbuat.
Adapun ratio bahwa setiap orang wenang berhak, karena

Pengantar Hukum Indonesia 41


dalam hukum sanksi berlaku dan ditetapkan pada kewajiban
bukan hak. Kewenangan berbuat pada hakekatnya adalah
melaksanakan kewajiban. Orang yang melalaikan kewajiban
dapat dikenakan sanksi, sedangkan orang yang melalaikan
haknya tidak apa-apa.
Manusia pribadi mempunyai kewenangan berhak sejak
dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan ibunya, asal ia
lahir hidup apabila kepentingannya menghendaki (Pasal 2
KUHPdt). Kewenangan berhak berlangsung terus hingga
akhir hayat.
Kewenangan berhak setiap manusia pribadi tidak dapat
dihilangkan/ditiadakan oleh suatu hukum apapun. Hal ini
ditentukan dalam Pasal 3 KUHPdt yang menyatakan bahwa
tidak ada suatu hukum apapun yang dapat mengakibatkan
kematian perdata atau kehilangan hak-hak perdata
seseorang.
Hak perdata merupakan hak asasi yang melekat pada diri
pribadi setiap orang Hak perdata adalah identitas manusia
pribadi yang tidak dapat hilang atau lenyap. Identitas
ini baru hilang atau lenyap apabila yang bersangkutan
meninggal dunia. Contoh hak perdata ialah hak hidup,
hak memiliki, hak untuk kawin, hak untuk beranak (bagi
wanita), hak waris, hak atas nama, hak atas tempat tinggal.
2) Kecakapan Berbuat
Setiap orang cakap membuat perikatan-perikatan, jika ia
oleh Undang Undang dinyatakan tak cakap. Orang-orang
yang dinyatakan tak cakap membuat perikatan tercantum
dalam Pasal 1330 KUHPdt, yaitu (1) Orang-orang yang belum
dewasa, (2) mereka yang ditaruh di bawah pengampunan,
(3) orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh Undang Undang (untuk ini setelah berlakunya Undang

42 Pengantar Hukum Indonesia


Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan) Hal tersebut
sudah dicabut dan pada umumnya semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-
persetujuan/perikatan-perikatan tertentu (misalnya, orang
yang dinyatakan pailit.
3) Domilisili
Setiap orang menurut hukum harus mempunyai tempat
tinggal atau domisili, begitu pula bagi bagi badan hukum,
arti pentingnya domisili bagi orang atau badan hukum
ialah untuk menentukan tempat dimana subyek hukum
yang diminta pertanggung-jawabannya dalam melakukan
perbuatan hukum, untuk urusan-urusan tertentu misalnya :
a) Di Wilayah hukum mana perkawinan harus dilakukan
apabila seseorang hendak menikah.
b) Dimana seseorang atau badan hukum itu harus dipanggil
oleh pengadilan.
c) Pengadilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan
perkara yang melibatkan orang atau badan hukum
d) Tempat dilaksanakan pembagian warisan yang
ditinggalkan oleh orang bersangkutan di mana ia tinggal
sampai meninggal dunia.
Domisili seseorang biasanya di tempat tinggal
pokoknya, badan hukum biasanya di kantor pusat badan
hukum memilih tempat tertentu sebagai domisilinya
untuk memudahkan urusan atau menghubunginya apabila
diperlukan, domisili yang dipilih, misalnya : di kantor notaris
atau di kantor Kepaniteran Pengadilan Negri tertentu.
Di samping domisili, juga ada “rumah kematian” yang
merupakan adalah domisili terakhir. Arti penting rumah
kematian atau domisili kematian adalah untuk menentukan
hukum mana yang berlaku untuk mengatur warisan orang

Pengantar Hukum Indonesia 43


yang meninggal, hakim mana yang berwenang mengadili
perkara tentang warisan itu, dan untuk menentukan
peraturan yang memperkenankan orang-orang yang
berpiutang untuk menggugat ahli waris yang bertempat
tinggal di rumah kamatian itu dalam waktu 6 (enam) bulan
setelah meninggalnya orang tersebut.

Hukum Keluarga
Hukum keluarga adalah peraturan hukum timbul untuk
mengatur pergaulan hidup kekeluargaan.
Hukum Keluarga meliputi:
1. Kekuasaan orang tua (Outderlijke Macht)
Semua anak yang masih di bawah umur (belum berumur
21 tahun atau belum kawin sebelumnya) berada di bawah
kekuasaan orang tua. Artinya bahwa selama si anak itu belum
dewasa orang tua mempunyai kewajiban alimentasi yaitu
kewajiban untuk memelihara, mendidik, memberi nafkah
hingga anak-anak itu dewasa atau sudah kawin. Sebaliknya si
anak juga wajib patuh terhadap orang tua dan apabila anak itu
telah berkeluarga wajib membantu perekanomian orang tua
yang tidak mampu menurut garis lurus keatas.
Dalam melakukan kekuasaan orang tua, bapak atau ibu
mempunyai hak kekayaan anaknya dan berhak menikmati hasil
dari kekayaan itu.
Kekayaan orang tua berakhir apabila :
a. Anak telah dewasa atau sudah kawin
b. Perkawinan orang tua putus (BW). Undang-Undang
Perkawinan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak demikian.

44 Pengantar Hukum Indonesia


c. Kekuasaan orang tua dicabut oleh hakim karena alasan
tertentu (misalnya pemborosan, pendidikannya tidak baik)
d. Anak dibebaskan dari kekuasaan orang tua karena terlalu
nakal sehingga orang tua tidak mampu menguasai dan
mendidik.

2. Perwalian (voogdij)
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah
umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya,
serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur
oleh undang-undang.
Pada dasarnya anak yatim piatu atau anak di bawah umur
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua memerlukan
bimbingan dan pemeliharaan, karena itu perlu ditunjuk wali
atau yayasan yang mengurus keperluan dan kepentingan
hukum anak-anak tersebut.
Hakim biasanya menetapkan seorang wali yang masih
ada hubungan darah terdekat dengan si anak, atau ayah dari
anak itu yang oleh sesuatu hal perkawinannya dengan ibu si
anak tersebut telah putus, dapat juga saudara-saudaranya yang
dianggap cakap untuk itu. Namun demikian, hakim juga dapat
menetapkan seseorang atau perkumpulan, misalnya yayasan
sebagai wali.
Perwalian dapat terjadi karena :
a. Perkawinan orang tua putus baik karena kematian atau
percerian (BW), Undang Undang Perkawinan tidak
demikian.
b. Kekuasaan orang tua dicabut atau dibebaskan
Dalam keadaan yang tersebut terakhir ini hakum
mengangkat seorang wali yang disebut sebagai wali
pengawas. Wali pengawas di Indonesia dijalankan oleh
Balai Harta Peninggalan.

Pengantar Hukum Indonesia 45


3. Pengampuan (Curatele)
Pengampunan adalah kecakapan bertindak dari seseorang
yang telah dewasa yang diserahkan kepada orang lain
berhubung sifat-sifat pribadinya tidak cakap untuk bertindak.
Orang yang perlu ditaruh di bawah pengampunan atau
pengawasan (curatele) adalah orang-orang yang sudah dewasa
tetapi tidak dapat mengurus kepentingan sendiri dengan baik,
misalnya :
a. Orang yang sakit ingatan
b. Orang yang pemboros
c. Orang-orang yang tidak mampu menggurus kepentingannya
sendiri dengan baik, misalnya orang yang mengganggu
keamanan atau kelakuannya buruk sekali.
Orang ditaruh di bawah pengampunan dapat dimohonkan
oleh suami atau isteri, keluarga sedarah, atau Kejaksaan.
Dalam Hal orang yang lemah daya yang dibenarkan meminta
pengawasan adalah orang yang bersangkutan, curator, atau
pengampunan ditetapkan oleh hakim dengan mengangkat
suami atau isteri atau orang lain di luar keluarga atau
perkumpulan, dan disertai pengampunan pengawas yaitu Balai
Harta Peninggalan. Pengampuan terhadap orang (curandus)
berakhir apabila alasan-alasan untuk dimasukkannya seseorang
di bawah curatele sudah tidak ada.

4. Perkawinan
Perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diatur dalam Titel Buku IV dari Pasal 26 dan seterusnya.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor : 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya
(Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975), perkawinan yang
diatur dalam Buku I Kitab Undang Undang Hukum Perdata
sebagian besar tidak berlaku lagi. Hal ini diatur Pasal 66

46 Pengantar Hukum Indonesia


Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam Kitab Undang
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordanansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie/Cristen
Indonesirs St.1933 Nomor 74), Perkawinan campuran (Regeling
op de Gemengde Huwelijken St.1898 Nomor 158), dan peraturan-
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur di dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pertimbangan dikeluarkannya Undang Undang Perkawinan :
Sebelum Undang Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disahkan di Indonesia berlaku bermacam-macam
hukum perkawinan yang berbeda-beda untuk masing-masing
golongan di dalam masyarakat sebagai berikut :
a. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku
hukum agama yang telah diresipir dalam hukum adat.
b. Bagi orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat
c. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku
Huwelijks Ordonantie Cristen Indonesirs (St.1933 Nomor 74),
d. Bagi orang Timur Asing China dan warga Negara Indonesia
Keturunan China berlaku ketentuan-ketentuan Kitab
Undang Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
e. Bagi orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara
Indonesia keturunan Timur Asing lainnya berlaku hukum
adat mereka.
f. Bagi orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan
Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab
Undang Undang Hukum Perdata.
Peraturan yang beragam itu perlu diunifikasikan bagi Warga
Negara Indonesia
Pengerian perkawinan antara Kitab Undang Undang
Hukum Perdata dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pengantar Hukum Indonesia 47


Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhan an Yang Maha
Esa.
Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-Undang
memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan
(Pasal 26 Burgerlijk Wetboek)
Pengertian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata lebih bersifat materialistis individualis sebab
lebih dititikberatkan pada perbuatan hukum yang diakibatkan
oleh suatu perkawinan dan hubungan perdatanya saja,
sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
perkawinan lebih dilihat sebagai suatu yang bersifat religius
dan tidak materialistis.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,
terdapat asas-asas dari hukum perkawinan, antara lain :
a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang harus
didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, yang
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal atas dasar ke Tuhan an Yang Maha Esa
b. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama
dan kepercayaan masing-masing.
c. Setiap perkawinan harus dicatat
d. Suami dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbnagn,
baik di dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan hidup bersama di masyarakat.
e. Seorang pria dan seorang wanita masing-masing hanya boleh
mempunyai seorang isteri dan seorang suami (monogami),

48 Pengantar Hukum Indonesia


walaupun seorang pria atas dasar alasan dan syarat-syarat
tertentu boleh beristeri lebih dari seorang (poligami)
f. Batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi
pria dan 16 tahun bagi wanita. Izin orang tua masih tetap
diberlakukan apabila yang bersangkutan belum mencapai
usia 21 tahun.
g. Di dalam hubungan-hubungan dan keadaan terentu dilarang
orang melangsungkan perkawinan, dan di dalam hal-hal
tertentu pula perkawinan dapat dicegah dan dibatalkan.
h. Perceraian hanya dapat dilangsungkan atas dasar alasan-
alasan yang telah ditentukan dan setelah perceraian
kewajiban orang tua terhadap anak masih ada.
i. Perjanijan dapat diadakan sebelum atau pada waktu
perkawinan dilangsungkan.
j. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama dari suami isteri, kecuali apabila
ditentukan lain menurut perjanjian perkawinan.
k. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang
Warga Negara Indonesia dengan seorang warga negara
asing, perkawinan mana dapat dilangsungkan di luar negeri.

Hukum Harta Kekayaan


Hukum harta kekayaan adalah hukum yang mengatur hubungan
hukum yang dapat dinilai dengan uang, terbagi menjadi :
1. Hukum benda, yaitu peraturan hukum yang mengatur hak-hak
kebendaan yang bersifat mutlak, artinya hak terhadap benda
yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati.
2. Hukum Perikatan, ialah peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih
dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi (pemenuhan

Pengantar Hukum Indonesia 49


sesuatu) dan pihak lain wajib memenuhi sesuatu prestasi (Kansil
CST, 2000: 241)

Hukum benda
1. Pengerian Benda
Menurut Pasal 499 KUHPdt, pengertian benda atau “zaak”
adalah,“ segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik”.
Yang menjadi objek hak milik dapat berupa barang dapat pula
berupa hak, seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain.
2. Macam-macam Benda
Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur
dalam BW benda dapat dibedakan atas:
a. Benda tidak bergerak dan benda bergerak
b. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada
c. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat
diganti
d. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi
e. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak
diperdagangkan
3. Pengertian Hak kebendaan
Hak kebendaan, ialah hak mutlak atas suatu benda dimana
hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan
dapat dipertahnkan terhadap siapa pun juga. Hak kebendaan
yang diatur dalam Buku II BW dapat dibedakan atas dua
macam, yaitu :
a. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan, yaitu:
hak milik, bezit, hak memunggut hasil, hak pakai, dan hak
mendiami.
b. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan, yaitu: gadai,
fiduisa, hak tanggungan, hipotek.

50 Pengantar Hukum Indonesia


Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960,
tentang Pokok Pokok Agraria, maka hak-hak atas tanah yang
diatur didalam Buku II Kitab Undang Undang Hukum Perdata
sudah tidak berlaku lagi, sepanjang yang mengatur mengenai
bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung didalamnya,
kecuali ketentuan tentang hipotik. Oleh undang-undang
tersebut diciptakan hak-hak atas tanah sebagai berikut
a. Hak milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan
mengingat bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
b. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu
paling lama 25 tahun, waktu mana dapat diperpanjang
c. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya
sendiri dengan jangka waktu 30 tahun, waktu mana dapat
diperpanjang.
d. Hak Pakai, yaitu hak menggunakan tanah milik orang lain
oleh seseorang atau suatu badan hukum untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah
uang sebagai sewa.

Hukum Perikatan
1. Istilah dan Pengertian Perikatan
Buku III BW berjudul Van Verbintenissen. Istilah Verbintenis
dalam BW merupakan salinan istilah Obligation dalam Code
Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang
terkenal dengan istilah obligation.
Istilah Verbintenis dalam BW ternyata diterjemahkan berbeda-
beda dalam kepustakaan dengan perjanjian, dan ada pula yang
menerjemahkan dengan perikatan. Penggunaan istilah periktan

Pengantar Hukum Indonesia 51


untuk Verbintenis tampaknya lebih umum dipergunakan dalam
kepustakaan hukum Indonesia.
Definisi tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,
tetapi dirumuskan sedeimikian rupa dalam ilmu pengetahuan
hukum.
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak
di dalam lapngan harta kekayaan, dimana pihak yang satu
(kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur)
berkewajiban memenuhi prestasi itu.
2. Sumber Perikatan
Menurut Pasal 1233 KUHPdt, perikatan lahir karena
perjanjian dan undang-undang.
3. Obyek Perikatan
Obyek Perikatan ialah prestasi. Apa yang dimaksud
prestasi? Prestasi ialah isi perjanjian, atau dengan perkataan
lain kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap
perikatan/perjanjian. Jika pihak debitur tidak melaksanakan
kewajibannya, maka ia dikatakan dalam keadaan wanprestasi.
Menurut pasal 1234 KUPdt, ada tiga hal macam prestasi, yaitu
1) Memberikan sesuatu
2) Berbuat sesuatu
3) Tidak berbuat sesuatu
4. Hapusnya Perikatan
Hapusnya perikatan ditentukan dalam Pasal 1381 KUHPdt,
sebagai berikut:
1) Karena pembayaran
2) Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan
3) Karena pembaharuan hutang

52 Pengantar Hukum Indonesia


4) Karena perjuangan utang atau kompensasi
5) Karena pencampuran utang
6) Karena pembebasan utang
7) Karena musnahnya barang yang terutang
8) Karena kebatalan atau pembatalan
9) Karena berlakunya syarat batal
10) Karena lewat waktu

Hukum Waris
Hukum waris ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur nasib
kekayaan orang setelah pemiliknya meninggal dunia.
Selama hidupnya setiap manusia memiliki kekayaan, dan
kekayaan tersebut tidak akan dibawa setelah dirinya meninggal
dunia. Kekayaan itu akan dibagikan kepada yang berhak menerima
yaitu keturunan terdekat dari yang meninggal dunia dan atau orang
yang ditunjuk untuk menerima. Oleh orang yang meninggal dunia/
pewaris sedangkan yang berhak menerima harta peninggalan
dinamakan”ahli waris”. Hukum Waris mengenal adanya 2 (dua)
macam hukum waris, yaitu hukum waris tanpa wasiat atau hukum
waris ob intestoto dan hukum waris wasiat (testamen)
Hukum waris ab intestato mengatur tentang penerimaan
warisan dari seseorang yang meninggal dunia tidak mengadakan
ketentuan-ketentuan mengenai kekayaan. Menurut Pasal 832 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa “yang berhak
untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah baik sah
maupun luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama”.
Kalau keluarga sedarah atau suami atau isteri yang terlama tidak
ada, maka segala harta peninggalan milik negara dengan melunasi
segala hutang sekedar harta peinggalan menjadi mencukupi untuk
itu”. Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dari suami atau
isteri yang hidup terlama sebagai ahli waris ada 4 (empat) golongan,
yaitu :

Pengantar Hukum Indonesia 53


Golongan I : Meliputi keturunan yang meninggal dunia yaitu
anak, suami atau isteri yang hidup terlama dan cucu
sebagai ahli waris pengganti (plaatsvervulling)
Golongan II : Meliputi orang tua, saudara-saudara sekandung dan
dari keturunannya yang meninggal dunia
Golongan III : Meliputi orang tua, saudara-saudara sekandung dan
dari keturunannya yang meninggal dunia.
Golongan III : Meliputi leluhur dari yang meninggal dunia baik
dari pihak suami maupun pihak isteri
Golongan IV : Meliputi keluarga sedarah sampai derajat keenam
Hak waris dari golongan-golongan ini tergantung dari tidak
adanya golongan sebelumnya.
Sedang yang dimaksud “harta peninggalan milik Negara’”
yaitu kalau dari golongan IV tidak ada atau dari yang meninggal
dunia tidak mempunyai sanak keluarga sedarah derajat keenam.
Dan dalam keadaan ini, negara memperhitungkan segala utang
piutang yang ditinggalkan sesuai harta peninggalannya. Negara
membayar utang yang meninggal sesuai harta peninggalannya.
Negara membayar utang yang meninggal dunia dan menagih
piutangnya. Kalau utangnya lebih besar dari piutangnya lebih
besar dari piutangnya, maka pembayaran utang itu diselesaikan,
jadi negara dalam hal ini tidak menambah untuk melunasinya.
Tetapi kalau piutangnya lebih besar, maka sisa harta peninggalan
itu diserahkan kepada Dinas Sosial.
Hukum Waris wasiat mengatur bagaimana cara membuat
wasiat bagi seseorang sebelum meninggal dunia dan akibat-akibat
hukum dari perbuatan wasiat itu. Ada 4 (empat) jenis wasiat ialah :
1. Wasiat Umum ialah surat wasiat yang dibuat di hadapan seorang
notaris dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Wasiat umum ini
sifatnya otentik dan sejak selesainya dibuat sampai pembuat
meninggal dunia wasiat itu disimpan di kantor Notaris.

54 Pengantar Hukum Indonesia


2. Wasiat Olographie ialah surat wasiat yang ditulis sendiri
kemudian disimpan di kantor Notaris samapi pembuatnya
meninggal dunia
3. Wasiat rahasia ialah surat wasiat yang dibuat sendiri atau orang
lain dan disegel kemudian disimpan di kantor Noratis sampai
pembuatnya meninggal dunia.
4. Codisil ialah suatu akte di bawah tangan yang isinya kurang
penting dan merupakan pesan seseorang setelah meninggal
dunia.
Isi surat wasiat umum, wasiat olographie dan wasiat rahasia
menentukan pembagian waris bagi keturunannya sebagai
kehendak pembuat dan dapat juga menetapkan seseorang sebagai
ahli waris walaupun bukan keturunannya, sedangkan dalam
condisli hanya berisikan pesan, misalnya mengenai permintaan
tentang penguburan. Dalam hukum warisan testamenter, sebelum
harta peninggalan itu dibagikan para ahli waris keturunan terlebih
dahulu mendapat legitiemeportie yaitu suatu bagian tertentu dari
harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan.

Pengantar Hukum Indonesia 55


56 Pengantar Hukum Indonesia
BAB V

DASAR-DASAR HUKUM DAGANG

A. Hubungan Hukum Dagang dengan Hukum Perdata


Sebagaimana yang sudah disebutkan dalam Bab IV tentang
Hukum Perdata, maka menurut isinya, hukum perdata
dibedakan menjadi :
1. Hukum Perdata dalam arti luas, yaitu hukum perdata yang
didalamnya mencakup ketentuan-ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
2. Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu hukum perdata
yang hanya terdiri atas ketentuan-ketentuan dalam KUH
Perdata saja.
Hubungan antara KUH Perdata dan KUHD dapat ditemukan
dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 jo Pasal 15 KUHD. Pasal 1
KUHD menyatakan “Selama dalam Kitab Undang-undang
ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak
diadakan penyimpangan khusus, maka Kitab Undang-undang
Hukum Perdata berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan
dalam Kitab Undang undang ini”. Sementara Pasal 15 KUHD
menyatakan, segala perseroan tersebut dalam bab ini dikuasai

Pengantar Hukum Indonesia 57


oleh persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan oleh kitab ini
(KUHD) dan oleh hukum perdata
Berdasar kedua pasal di atas, maka hubungan KUHD dan
KUH Perdata adalah Lex Specialist Derogat Legi Generali yang
berarti hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum.
Di sini yang dimaksud hukum yang khusus adalah KUHD,
sementara hukum yang umum adalah KUH Perdata. Makna
dari prinsip ini, apabila dalam suatu kasus atau masalah hukum,
ditemukan ketentuan dalam KUHD yang bersifat menyimpang
dari ketentuan dalam KUH Perdata maka yang berlaku adalah
ketentuan dalam KUHD.

B. Istilah dan Pengertian Hukum Dagang


Istilah hukum dagang berasal dari terjemahan Bahasa
Belanda yaitu handelsrecht, atau Bahasa Inggris yaitu trade law.
Istilah hukum dagang juga sering disamakan dengan hukum
perniagaan yaitu sebagai terjemahan commercial law dari Bahasa
Inggris.
Istilah hukum dagang dan hukum bisnis yang berasal dari
Bahasa inggris yaitu sebagai terjemahan bussines law, juga sering
diperdebatkan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kedua
istilah tersebut sama namun tidak sedikit juga yang menyatakan,
kedua istilah tersebut mengandung arti dan ruang lingkup
yang berbeda yaitu hukum bisnis lebih menekankan pada hal-
hal yang modern dan mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas dari hukum dagang. Terlepas dari perbedaan pendapat
tersebut, maka di sini yang dibahas adalah hukum dagang pada
umumnya.
Pengertian hukum dagang tidak ada dalam dokumen
resmi sehingga banyak pakar mencoba memberikan pengertian
hukum dagang. Fockema Andreae menyatakan bahwa Hukum

58 Pengantar Hukum Indonesia


Dagang adalah keseluruhan dari aturan hukum mengenai
perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauh mana
diatur dalam KUHD dan beberapa undang-undang tambahan
Sementara HMN Purwosutjipto menyatakan hukum dagang
adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan
perusahaan. Menurut Achmad Ichsan, hukum dagang adalah
hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yaitu soal-soal
yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disarikan bahwa
hukum dagang adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur
hubungan hukum antara subyek hukum dalam lapangan
perniagaan atau perusahaan.
Mengingat bahwa hubungan antara hukum perdata dan
hukum dagang sangat erat maka sering timbul pertanyaan,
kapan hukum dagang berlaku? Untuk menjawab pertanyaan
ini, pernah muncul prinsip “hukum dagang untuk pedagang”.
Berdasar prinsip ini, maka hanya jika kedua pihak yang
berhubungan hukum adalah pedagang, maka berlakulah hukum
dagang. Dalam perkembangannya, prinsip hukum dagang
untuk pedagang, tidak berlaku lagi karena semakin luasnya
obyek hukum dagang dan tidak semua yang terlibat dalam
perniagaan adalah pedagang. Dengan perkembangan ini maka
yang berlaku sekarang adalah bahwa hukum dagang berlaku
kalau perbuatan yang dipersengketakan itu bagi kedua belah
pihak merupakan perbuatan perniagaan, yang pada umumnya
dapat ditandai dengan 2 (dua) ciri yaitu yang pertama adalah
hubungan hukum yang salah satu atau kedua pihaknya adalah
pengusaha yaitu orang atau badan hukum yang menjalankan
perusahaan dan yang kedua adalah bahwa obyek hubungan
hukum biasanya untuk dijual kembali.

Pengantar Hukum Indonesia 59


C. Sejarah Hukum Dagang
Pada abad 10-15 Masehi, di Eropa berkembang kota-kota
dagang. Hukum yang berlaku saat itu yaitu hukum Romawi
(Corpus Juris Civilis) tidak dapat menyelesaikan masalah-
masalah dagang di kota tersebut. Akhirnya pada abad 16-17,
di samping hukum romawi yang ada, dibuatlah hukum baru
yaitu hukum pedagang (koopmansrecht) yang khusus mengatur
perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan).
Bertambah pesatnya hubungan dagang memunculkan
kebutuhan hukum dagang kodifikasi. Akhirnya pada tahun
1673, Menteri Keuangan dari Raja Louis XI. Yaitu Corbert
membuat peraturan Ordonnance Du Commerce. Pada tahun
1681, keluar lagi peraturan yang mengatur tentang hukum
perdagangan laut, yaitu Ordonnance De La Marine.
Pada tahun 1807, Perancis mengkodifikasi Code Civil Des
Francais menjadi Code Civil dan juga mengkodifikasi Ordonnance
Du Commerce dan Ordonnance De La Marine menjadi Code De
Commerce. Kedua kodifikasi ini (Code Civil dan Code De Commerce)
berdasar asas konkordansi juga berlaku di Nederland.
Kondisi ini bertahan sampai tahun 1838 yaitu berakhir saat
disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Dagang Nederland
sendiri yang disebut dengan Wetboek van Koophandels,
disingkat W,v,K, yang terdiri atas 3 (tiga) buku. Berdasar asas
konkordansi, W.v.K. juga berlaku di Indonesia mulai tahun
1848.
Pada tahun 1896, pemerintah Belanda telah mengeluarkan
buku III menjadi ketentuan tersendiri yaitu Peraturan tentang
Kepailitan (Faillesement Ver Ordening). Hal ini juga berlaku di
Indonesia pada tahun 1906. Dengan demikian KUHD saat ini
hanya terdiri atas 2 (dua) buku, yaitu:
1. Buku I tentang Dagang Pada Umumnya, yang terdiri atas 10
Bab dan 308 pasal (Pasal 1-308)

60 Pengantar Hukum Indonesia


2. Buku II tentang Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban yang
Timbul dari Pelayaran, terdiri atas 13 Bab dan 446 pasal
(Pasal 309-754).
Pada tahun 1938 dengan dikeluarkannya Staatblad 1938-276
maka Pasal 2 sampai Pasal 5 KUHD dicabut.

D. Sumber Hukum Dagang


Saat ini perkembangan hukum dagang, sangat pesat. Sangat
banyak sumber hukum yang dapat diklasifikasikan sebagai
sumber hukum dagang, namun pada umumnya dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) sumber yaitu hukum tertulis yang sudah
dikodifikasikan, hukum tertulis yang belum dikodifikasikan
dan hukum kebiasaan.
1. Hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan adalah KUHD
dan KUH Perdata
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, antara lain:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal
b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1997 tentang Dokumen Perusahaan
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997
tentang Perdagangan Berjangka Komoditi
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang

Pengantar Hukum Indonesia 61


Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas
g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
i. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
j. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian
k. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2014 tentang Perdagangan
l. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta
m. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian
3. Hukum kebiasaan. Hal ini berdasar pada Pasal 1339 KUH
Perdata dan Pasal 1347 KUH Perdata

62 Pengantar Hukum Indonesia


Masing-masing dari undang-undang di atas, diatur lagi
dalam peraturan organiknya seperti Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Menteri, Peratuarn Daerah, dll. Contohnya:
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Investasi Pemerintah, Peraturan Daerah Kota Semarang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penyertaan Modal Pemerintah
Kota Semarang Kepada Badan Usaha Milik Daerah Kota
Semarang dan PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah
Tahun 2015-2017.
Selain sumber hukum di atas, juga harus memperhatikan
hukum internasional di bidang hukum dagang seperti
World Trade Organization (WTO) Agreements, Trade-
Related Aspects of Intellectual Property Rights atau TRIPs
Agreements, United Nations Convention on Contracts for
the International Sale of Goods (CISG).

E. Ruang Lingkup Hukum Dagang


Ruang lingkup hukum dagang sangat luas, antara lain:
1. Bentuk-bentuk Perusahaan
Menurut Memorie van Toelichting (MvT) yang dibacakan
pemerintah Belanda pada waktu KUHD diumumkan di
muka parlemen, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan
yang dilakukan secara tidak terputus-putus dengan terang-
terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari
laba. Dari pengertian di atas maka perusahaan adalah suatu
usaha yang dilakukan:
a. Secara terus menerus/tidak terputus-putus
b. Dengan terang-terangan
c. Dalam kedudukan tertentu
d. Untuk mencari laba

Pengantar Hukum Indonesia 63


Pada masa sekarang ini, bentuk-bentuk perusahaan
yang dikenal adalah perusahaan perseorangan, persekutuan
perdata (Maatschap), Firma (Fa), Commanditaire Vennootschap
(CV), Perseroan Terbatas (PT) yang berasal dari sebutan
Naamloze Vennootschap (NV)/
2. Perusahaan Go Public dan Pasar Modal.
Merupakan perusahaan yang menjual sahamnya ke
masyarakat melalui pasar perdana (initial public offering)
dan/atau pasar sekunder yaitu pasar modal. Sementara
pasar modal sendiri (capital market) merupakan pasar untuk
memperjualbelikan berbagai instrument keuangan jangka
panjang.
3. Penanaman Modal (investasi)
Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal baik oleh penanam modal dalam negeri
maupun penanam modal asing, untuk melakukan usaha
di seluruh sektor bidang usaha di wilayah negara Republik
Indonesia. Berdasarkan subyeknya, penanaman modal
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:
a. Penanam modal perseorangan (personal investment)
b. Penanam modal perusahaan (enterprise investment)
c. Penanam modal pemerintah (public investment)
Sedangkan berdasar bentuknya dapat dibedakan
menjadi :
a. Direct investment, penanaman modal yang memberi
kewenangan kepada penanam modal untuk mengontrol
investasinya secara langsung.
b. Indirect investmen, penanaman modal melalui pembelian
kredit
c. Portofolio investment, penanaman modal yang tidak

64 Pengantar Hukum Indonesia


memberi kewenangan kepada penanam modal untuk
mengontrol investasinya karena jumlah modal yang
ditanamkan biasanya sedikit.
4. Kepailitan dan Likuidasi.
Hukum kepailitan dan likuidasi mengatur tentang sita
umum atas harta debitur pailit untuk pembayaran hutang-
hutangnya kepada semua kreditur secara proporsional
sesuai kedudukan yang dimiliki oleh kreditur.
5. Surat Berharga.
Surat berharga (negotiable instrument, waarde papier)
adalah surat yang di dalamnya tercantum nilai yang sama
dengan nilai perikatan dasarnya. Berfungsi sebagai alat
untuk dapat diperdagangkan, alat pembayaran, dan sebagai
alat bukti terhdap hutang yang telah ada. Macam surat
berharga, antara lain, saham, obligasi, surat utang negara,
surat berharga Syariah nasional/Sukuk, Cek, wesel, resi
Gudang, dan lain-lain.
6. Kekayaan Intelektual.
Hukum hak kekayaan intelektual merupakan hukum
yang mengatur tentang penggunaan hak kekayaan
intelektual secara ekonomis oleh pemilik hak dan/atau oleh
orang lain. Hak kekayaan intelektual dibedakan menjadi 2
(dua) yaitu (1) hak cipta dan hak-hak terkait (Copyright and
Related Rights), dan (2) hak kekayaan industry (Industrial
Property) yang mencakup Paten (Patent), Merek (Trademark),
Indikasi Geografis (Geographical Indication), Desain Industri
(Industrial Design), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout
Design of Integrated Circuit), Rahasia Dagang (Trade Secret),
Varietas Tanaman (Plant Variety).
Kekayaan intelektual juga dapat dibedakan menjadi hak
milik pribadi, dan hak milik komunitas. Kekayaan intelektual

Pengantar Hukum Indonesia 65


yang dapat menjadi hak milik pribadi mencakup hak paten,
hak merek, hak cipta, dan sebagainya. Kekayaan intelektual
yang menjadi milik komunitas berwujud pengetahuan
tradisional, ekspresi budaya tradisional, sumber daya
genetik, dan indikasi geografis.
7. Keagenan dan Distribusi.
Keagenan dan distributor adalah perusahaan/pihak
yang ditunjuk oleh pihak pemilik barang (principal) untuk
menjual dan memasarkan barang-barang principal dlam
wilayah tertentu dan jangka waktu tertentu. Perbedaannya
adalah, keagenan bertindak sebagai kuasa dari principal,
sementara distributor bertindak atas Namanya sendiri.
8. Asuransi.
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian,
dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang
tak tertentu (evenement). Asuransi biasa dibedakan atas
asuransi jiwa (life insurance), asuransi kebakaran (fire
insurance), asuransi pengangkutan laut (marine insurance),
dan asuransi varia (casualty insurance). Selain empat jenis
asuransi tersebut, juga dikenal adanya asuransi sosial.
9. Bisnis Internasional (International Bussiness)
Bisnis internasional merupakan kegiatan bisnis yang
melewati batas negara sehingga melibatkan lebih dari
satu sistem hukum, Bisnis internasional terdiri atas 2
(dua) bentuk yaitu pemasaran internasional (international
marketing) dan perdagangan internasional (international
trade). Pemasaran internasional mencakup lisensi (licencing),

66 Pengantar Hukum Indonesia


waralaba (franchising), perusahaan patungan (joint venture),
multinational corporation (MNC), sementara perdagangan
inernasional lebih menitikberatkan pada kegiatan ekspor
impor.
10. Hukum Pengangkutan (Darat, Laut, Udara dan Multimoda)
Hukum pengangkutan merupakan ketentuan-ketentuan
yang mengatur kegiatan pemindahan orang dan atau barang
dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan
darat, angkutan perairan (termasuk perairan pedalaman)
maupun angkutan udara dengan menggunakan alat
angkutan. Apabila alat angkutan yang digunakan lebih dari
satu macam tapi masih dalam kontrak pengangkutan yang
sama maka disebut pengangkutan multimoda.
11. Perbankan dan Lembaga Pembiayaan
Hukum perbankan dan pembiayaan mempunyai posisi
yang sangat vital dalam sistem ekonomi Indonesia. Pada
masyarakat yang kesenjangan ekonominya cukup tinggi
maka fungsi kedua Lembaga tersebut sangat diperlukan.
Perbankan mencakup segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak baik yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah.
Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan
pendanaan untuk kebutuhan atau pengadaan barang/
aset/jasa tertentu yang mekanisme umumnya melibatkan
tiga pihak yaitu pihak pemberi pendanaan, pihak penyedia

Pengantar Hukum Indonesia 67


barang/aset/jasa tertentu, dan pihak yang memanfaatkan
barang/aset/jasa tertentu. Produk pembiayaan dapat
disediakan oleh bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan
modal ventura, dan perusahaan pembiayaan infrastruktur.
12. Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Semakin meresapnya paham kapitalisme di system
ekonomi baik ekonomi nasional dan internasional,
menyebabkan pelaku usaha menjadi tidak nyaman. Oleh
karenanya di banyak negara telah diatur ketentuan tentang
anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Monopoli terjadi manakala ada penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau atas pengggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha. Persaingan usaha tidak sehat merupakan
persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha baik dalam hal harga,
kualitas, kuantitas barang/jasa. Untuk menyelesaikan kasus
terkait anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
telah dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
13. Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen adalah ketentuan-
ketentuan yang memuat perlindungan hukum terhadap
hak-hak konsumen akhir. Hak-hak konsumen yang sudah
diatur antara lain hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang, dan/atau jasa,
hak untuk memilih barang, hak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan, serta hak
untuk didengar.

68 Pengantar Hukum Indonesia


BAB VI

DASAR-DASAR HUKUM PIDANA

A. Pengertian Hukum Pidana


Hukum pidana adalah norma atau aturan hukum yang di
dalamnya terdapat sanksi berupa pidana. Norma atau aturan
hukum ini ada yang bersifat larangan, yakni orang tidak boleh
melakukan suatu perbuatan tertentu, kalau melakukan dapat
dijatuhi sanksi pidana. Sebagai contoh, dilarang menghilangkan
nyawa orang lain, dilarang mengambil barang milik orang lain
untuk dimiliki secara melawan hukum. Apabila ada orang
melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan sanksi pidana.
Di samping bersifat larangan ada yang bersifat keharusan,
yakni orang harus melakukan suatu perbuatan tertentu, kalau
tidak melakukan dapat dijatuhi sanksi pidana. Sebagai contoh,
apabila dipanggil sebagai saksi di pengadilan, maka harus
datang, apabila tidak datang diancam dengan sanksi pidana.
Demikian pula apabila ada orang menyembunyikan pelaku
kejahatan diancam dengan sanksi pidana. Oleh karena itu dapat
dikatakan norma atau aturan hukum dalam hukum pidana
isinya ada yang melarang melakukan perbuatan tertentu dan
mengharuskan melakukan perbuatan tertentu.

Pengantar Hukum Indonesia 69


Sanksi pidana adalah hukuman yang dijatuhkan kepada
orang yang telah melakukan pelanggaran terhadap norma atau
aturan hukum.
Sanksi pidana ini berbeda dengan sanksi yang terdapat
dalam lapangan hukum lain, seperti hukum perdata maupun
hukum administrasi negara. Sanksi pidana dapat dikenakan
pada nyawa (pidana mati), kemerdekaan (pidana penjara,
kurungan, dan tutupan), atau harta benda (denda, ganti rugi).
Dapat dikatakan sanksi pidana bersifat khusus, karena lapangan
hukum lain, tidak mengenal sanksi seperti sanksi pidana ini.

B. Fungsi Hukum Pidana


Hukum pidana mempunyai dua fungsi yakni:
1. Umum
Sebagaimana lapangan hukum lain, hukum pidana
mempunyai fungsi mengatur kehidupan masyarakat atau
menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
2. Khusus
Hukum pidana berfungsi untuk melindungi kepentingan
hukum terhadap perbuatan yang hendak memaksanya.
Kepentingan hukum ini dapat milik negara, masyarakat,
korporasi maupun milik orang perorangan.

C. Sumber Hukum Pidana


Hukum pidana dapat berupa tertulis tidak tertulis, sehingga
sumber hukum pidana juga berupa sumber tertulis dan tidak
tertulis.
Sumber hukum pidana tertulis adalah sumber hukum
pidana yang berupa peraturan hukum pidana yang dikeluarkan
oleh lembaga negara yang berhak membuat peraturan hukum.

70 Pengantar Hukum Indonesia


Sumber hukum pidana tertulis yang paling utama adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dikatakan sebagai sumber hukum utama, karena dalam
KUHP ini terdapat aturan-aturan umum yang berlaku bagi
semua peraturan hukum pidana selama peraturan hukum
tersebut tidak mengatur sendiri. Dalam hal ini berlaku asas Lex
Specialis Derogat Lege Generale.
Sedangkan sumber hukum pidana tertulis yang bukan
sumber utama adalah semua peraturan perundangan di luar
KUHP, seperti UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Adapun sumber hukum pidana tidak tertulis adalah
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat
tertentu sehingga menjadi suatu peraturan hukum pidana
adat. Keberadaan hukum pidana adat ini diakui dengan masih
berlakunya Pasal 5 Ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951.
Di atas telah disebutkan sumber utama hukum pidana
tertulis adalah KUHP. KUHP terdiri dari tiga buku.
Buku I : Ketentuan Umum (Pasal 1 – Pasal 103)
Buku II : Kejahatan (Pasal 104 – Pasal 488)
Buku III : Pelanggaran (Pasal 489 – Pasal 569)

D. Pembagian Hukum Pidana


Hukum pidana dapat dibagi dalam.
1. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang
berlaku siapa saja dalam arti sipil dan militer. Sebagai

Pengantar Hukum Indonesia 71


contoh: KUHP, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Terorisme. Di samping itu hukum pidana umum
adalah Buku I KUHP: Ketentuan Umum yakni terdapat
dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 85 KUHP, karena pasal-
pasal tersebut diberlakukan terhadap semua peraturan
perundangan di luar KUHP selama peraturan perundangan
tersebut tidak mengatur sendiri.
Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang
hanya berlaku untuk golongan tertentu yakni militer saja.
Sebagai contoh: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Militer (KUHPM). Ini hanya berlaku untuk golongan militer
saja dan perbuatan-perbuatan yang diatur di dalamnya
hanya dapat dilakukan oleh orang dalam kedudukan sebagai
militer, contoh: desersi. Hukum pidana khusus lainnya
adalah KUHP Buku II: Kejahatan, Buku III: Pelanggaran dan
semua peraturan perundangan di luar KUHP.

2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil


Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang
berisi aturan tentang perbuatan yang diancam pidana,
pihak-pihak yang dapat dipidana, dan sanksi pidana yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Hukum
pidana materiil ini juga disebut hukum pidana in abstracto.
Hukum pidana formil adalah hukum pidana yang
berisi aturan cara-cara negara melaksanakan haknya untuk
mengenakan pidana. Dapat dikatakan hukum pidana formil
ini menegakkan hukum pidana materiil. Nama lain hukum
pidana formil adalah hukum pidana in concreto

3. Hukum pidana nasional, hukum pidana lokal dan hukum


pidana internasional

72 Pengantar Hukum Indonesia


Hukum pidana nasional adalah hukum pidana yang
berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Bentuk hukum pidana
nasional ini adalah Undang-Undang. Hukum pidana lokal,
hukum pidana yang berlaku untuk daerah tertentu saja.
Bentuknya peraturan daerah atau perda. Hukum pidana
internasional, hukum pidana yang berlakunya antar negara
(transnasional). Bentuknya traktat multilateral maupun
bilateral.

4. Hukum pidana dikodifikasikan dan tidak dikodifikasikan


Hukum pidana dikodifikasikan adalah hukum pidana
yang disusun dalam suatu buku kodifikasi menurut sistem
tertentu. Contohnya KUHP, KUHP Militer. Hukum pidana
tidak dikodifikasikan, hukum pidana di luar kodifikasi, yakni
semua peraturan perundangan pidana di luar kodifikasi.

E. Sifat Hukum Pidana


Hukum dapat bersifat publik maupun privat. Hukum
publik dalam mempertahankan hukum tersebut di dalamnya
terlibat negara, keterlibatan negara ini secara aktif artinya
tanpa diminta oleh pihak-pihak yang berurusan dengan hukum
tersebut negara pasti turut campur tangan. Sedangkan dalam
hukum privat, keterlibatan negara baru terjadi apabila pihak-
pihak memang menghendaki untuk menyelesaikan masalah
hukum tersebut harus melibatkan Negara. Dalam hukum privat,
peran negara pasif. Contohnya hukum perdata.
Hukum pidana adalah hukum public, karena dalam
mempertahankan atau menegakkan hukum pidana, negara
pasti terlibat di dalamnya, seperti polisi melakukan penyidikan
apabila ada dugaan pelanggaran terhadap hukum pidana.

Pengantar Hukum Indonesia 73


F. Sanksi Pidana
Sanksi pidana adalah nestapa yang sengaja diberikan kepada
pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan oleh negara yang dalam
hal ini diwakili oleh hakim.
Jenis-jenis sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP.
Pasal 10 KUHP Pidana terdiri atas:
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Kurungan
d. Denda
e. Tutupan (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946)
2. Pidana tambahan:
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman keputusan hakim.
Di samping sanksi pidana, dalam hukum pidana terdapat
putusan hakim bagi pelaku tindak pidana berupa tindakan
(maatregel). Tindakan ini dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana yang masih di bawah umur atau anak-anak. Contoh
tindakan, putusan hakim yang mengembalikan pelaku tindak
pidana di bawah umur tersebut kepada kedua orang tuanya.

G. Tujuan Pemidanaan
Pemidanaan merupakan pemberian sanksi pidana kepada
pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Pemidanaan ini mempunyai tujuan untuk melindungi

74 Pengantar Hukum Indonesia


masyarakat dari perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana. Ada 4 (empat) teori dalam tujuan pemidanaan, yakni.
1. Teori absolut/pembalasan: pelaku tindak pidana dijatuhi
sanksi pidana sebagai pembalasan atas perbuatan yang
telah dilakukan.
2. Teori relatif/tujuan: pelaku dijatuhi sanksi pidana untuk
menegakkan tata tertib dalam masyarakat, agar masyarakat
takut tidak melakukan tindak pidana, karena melihat sanksi
pidana yang dijatuhkan kepada pelaku (preventif umum).
Di samping itu teori ini juga bertujuan untuk mencegah
pelaku mengulang tindak pidana lagi (preventif khusus).
3. Teori gabungan: teori ini menggabungkan teori absolut dan
relatif, artinya pemidanaan di samping untuk membalas
perbuatan pelaku, juga untuk memperbaiki pelaku
4. Teori pembinaan: tujuan pemidanaan untuk merubah
kepribadian pelaku tindak pidana agar meninggalkan
kebiasaan jahatnya dengan mematuhi norma yang berlaku.

H. Tindak Pidana, Jenis-jenis Tindak Pidana dan Pertanggungja-


waban Pidana
Tindak pidana (delic/criminal act/strafbaarfeit)
Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu, apabila ada orang yang
melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana. Tindak pidana ini
harus diatur terlebih dulu dalam suatu peraturan perundangan.
Syarat-syarat suatu perbuatan disebut tindak pidana ada tiga:
a. Perbuatan orang perorangan atau korporasi
b. Melanggar peraturan perundangan
c. Bersifat melawan hukum.

Pengantar Hukum Indonesia 75


1. Jenis-jenis tindak pidana
a. Kejahatan dan pelanggaran
Perbedaan jenis tindak pidana ini di dasarkan pada
kriteria kuantitatif, yaitu bahwa kejahatan diancam
sanksi pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran.
Kejahatan diancam dengan sanksi pidana mati atau
penjara, sedangkan pelanggaran diancam sanksi pidana
kurungan atau denda. Dalam KUHP, Buku II berisi
kejahatan dan Buku III berisi pelanggaran. Peraturan
perundangan di luar KUHP penyebutan kejahatan
atau pelanggaran, dikualifikasikan dalam peraturan
perundangan tersebut. Contohnya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, dikualifikasikan sebagai kejahatan, Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dikualifikasikan sebagai pelanggaran.
b. Formil dan materiil
Tindak pidana formil: tindak pidana yang
perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan
yang dilarang. Tindak pidana tersebut selesai dengan
dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam
rumusan tindak pidana dalam pasal. Contohnya:
Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat), Pasal 362 KUHP
(pencurian), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana materiil: tindak pidana yang
perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang
dilarang. Tindak pidana ini selesai akibat yang dilarang
telah terjadi. Contohnya: Pasal 338 KUHP (pembunuhan),
Pasal 378 KUHP (penipuan)

76 Pengantar Hukum Indonesia


c. Dolus dan culpa
Tindak pidana dolus: tindak pidana yang dilakukan
dengan unsur sengaja (Pasal 187, 197, 245, 263, 310
KUHP)
Tindak pidana culpa: tindak pidana yang dilakukan
dengan unsur alpa (Pasal 195, 201, 359, 360 KUHP)
d. Berbuat (comissionis) dan tidak berbuat (omissionis)
Tindak pidana berbuat (comissionis): tindak pidana
yang dilakukan dengan berbuat aktif, di sini pelaku
secara fisik berbuat aktif (Pasal 338, 351, 362 KUHP).
Tindak pidana ini melanggar aturan hukum pidana
yang bersifat larangan.
Tindak pidana tidak berbuat (omissionis): tindak
pidana yang dilakukan dengan tidak melakukan
perbuatan apapun, pelaku secara fisik tidak melakukan
perbuatan apapun (Pasal 522, 531 KUHP) Dalam hal
ini pelangaran terhadap aturan hukum yang bersifat
keharusan.
e. Biasa dan aduan
Tindak pidana biasa: Tindak pidana yang tidak
memerlukan laporan yang bersifat aduan untuk
mengusutnya (Pasal 104, 284, 340, 352, 379 KUHP)
Tindak pidana aduan: Tindak pidana yang
memerlukan laporan yang bersifat aduan untuk
mengusutnya (pasal 285, 310, 367 KUHP)

2. Pertanggungjawaban pidana (Criminal Responsibility)


Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana
diperlukan pertanggungjwaban pidana.
Syarat-syarat pertanggungjawaban pidana ada dua:
a. Kesalahan;
b. Mampu bertanggung jawab

Pengantar Hukum Indonesia 77


Seorang pelaku tindak pidana agar dapat dijatuhi sanksi
pidana maka perbuatan yang dilakukan harus dengan
kesalahan. Kesalahan adalah kunci dari pertanggungjawaban
pidana, merupakan sikap batin yang dimiliki pelaku bentuknya
sengaja atau alpa. Di samping kesalahan terdapat kemampuan
bertanggung jawaban yakni pelaku tindak pidana tersebut
dapat dijatuhi pidana.

I. Asas-asas Hukum Pidana


Dalam melaksanakan ketentuan dalam hukum pidana ada
asas-asas yang sangat penting untuk diperhatikan. Asas-asas
tersebut dibagi dalam asas berlakunya hukum pidana menurut
waktu dan asas berlakunya hukum pidana menurut tempat.
1. Asas berlakunya hukum pidana menurut waktu, dalam hal
ini ada dua asas:
a. Asas Legalitas (Nullum delictum noella poena sine praevia
lege poenale): Tiada suatu tindak pidana jika belum diatur
dalam peraturan perundangan.
Asas ini menghendaki bahwa tindak pidana harus
tertulis dalam peraturan perundangan. Sebagai dasar
hukumnya Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Tujuan asas ini untuk kepastian hukum dan
mencegah tindakan kesewenang-wenangan penguasa.
Dengan adanya asas ini menjadi jelas perbuatan yang
berupa tindak pidana dan yang bukan tindak pidana.
Asas ini mempunyai konsekuensi peraturan
perundangan pidana tidak boleh berlaku surut, artinya
peraturan perundangan harus berlaku setelah peraturan

78 Pengantar Hukum Indonesia


perundangan tersebut diundangkan. Selain tidak boleh
berlaku surut, untuk menentukan suatu tindak pidana
tidak diperbolehkan menggunakan penafsiran analogi,
karena dalam penafsiran analogi tidak ada peraturan
perundangannya, hanya menggunakan logika saja.
Berkaitan dengan asas legaitas ini terdapat asas
lex temporis delicti yaitu suatu tindak pidana harus
diperiksa berdasarkan peraturan hukum yang ada pada
saat tindak pidana itu dilakukan.
b. Asas Retroaktif: apabila ada perubahan peraturan
perundangan, dan pelaku tindak pidana belum dijatuhi
putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka dipakai
ketentuan yang menguntungkan bagi pelaku. Dasar
hukumnya Pasal 1 ayat (2): Jika sesudah perbuatan
dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan
dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Asas ini
dapat dikatakan bertentangan dengan asas legalitas yang
melarang peraturan perundangan berlaku surut, karena
asas ini member kemungkinan membolehkan peraturan
perundangan berlaku surut asal menguntungkan pelaku
tindak pidana.
2. Asas berlakunya hukum pidana menurut tempat, dalam hal
ini ada empat asas:
a. Asas territorial: peraturan perundangan hukum pidana
Indonesia berlaku terhadap semua tindak pidana yang
dilakukan dalam wilayah Indonesia.
Wilayah Indonesia dalam hal ini meliputi tiga
pengertian, yakni wilayah daratan dari Sabang sampai
Merauke termasuk laut dan udaranya, kapal yang
berbendera Indonesia serta pesawat udara yang dimiliki
oleh maskapai penerbangan Indonesia. Dasar hukumnya
Pasal 2 dan 3 KUHP serta Undang-Undang Nomor

Pengantar Hukum Indonesia 79


4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan
Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan
Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana,
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana
dan Prasarana Penerbangan.
Asas ini dapat diberlakukan terhadap siapa saja
yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia,
tidak memandang jenis kewarganegaraannya, apakah
WNI atau WNA
b. Asas Personal atau Nasional aktif: peraturan
perundangan hukum pidana Indonesia berlaku
terhadap semua tindak pidana yang dilakukan WNI di
luar wilayah Indonesia.
Asas ini hanya berlaku bagi WNI saja dan tempat
tindak pidananya ada di luar negara dapat dikatakan
peraturan perundangan pidana Indonesia selalu
mengikuti WNI di manapun berada.
c. Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif: peraturan
perundangan hukum pidana Indonesia berlaku untuk
semua tindak pidana di luar wilayah Indonesia yang
dilakukan oleh WNI maupun WNA dengan menyerang
kepentingan Negara Indonesia.
Asas ini melindungi kepentingan hukum milik
Negara Indonesia, seperti pemalsuan mata uang, surat
berharga, perangko, meterai yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia.
d. Asas Universal: peraturan perundangan hukum pidana
Indonesia berlaku untuk semua tindak pidana di dalam
atau di luar wilayah Indonesia yang dilakukan oleh WNI
maupun WNA dengan menyerang kepentingan negara
Indonesia atau kepentingan negara asing.

80 Pengantar Hukum Indonesia


BAB VII

DASAR-DASAR HUKUM ISLAM

A. Pengertian Hukum Islam


Hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-
kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah
Rasul mengenai tingkah laku bagi mukalaf (orang yang sudah
dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang
mengikat bagi semua pemeluknya.
Syariat Islam  menurut istilah berarti hukum-hukum yang
diperintahkan Allah SWT untuk umat-Nya yang dibawa oleh
seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan
(aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah.
Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat
manusia untuk menuju kepada Allah Ta’ala. Islam bukanlah
hanya sebuah agama yang mengajarkan tentang bagaimana
menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja. Keberadaan aturan
atau sistem ketentuan Allah SWT untuk mengatur hubungan
manusia dengan Allah Ta’ala dan hubungan manusia dengan
sesamanya. Aturan tersebut bersumber pada seluruh ajaran
Islam, khususnya Al-Quran dan Hadits.

Pengantar Hukum Indonesia 81


Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama Islam. Dasar dan kerangka hukum Islam
ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wata`ala. Hukum Islam
mengatur hubungan antara makhluk dengan Khaliknya
(Hablumminallah), antara manusia yang satu dengan manusia
yang lain (Hablumminannas), dan hubungan antara manusia
dengan lingkungan yang ada di alam ini.

B. Ruang Lingkup Hukum Islam


Pada dasarnya hukum Islam tidak membedakan secara
tajam antara hukum perdata/privat/sipil dengan hukum
publik, karena menurut sistem hukum Islam pada hukum
perdata terdapat segi-segi hukum publik dan dalam hukum
publik ada segi-segi hukum perdata.
Hukum perdata Islam :
1. Munakahat, hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, rujuk dan
akibat-akibatnya.
2. Waratsah/fara`idl, hukum yang mengatur masalah warisan,
yakni pewaris, ahli waris, dan harta warisan.
3. Muamalat, hukum yang mengatur hubungan sesame
manusia dalam hal kebendaan dan hak-hak atas benda, serta
tata hubungan manusia dalam hal jual beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam, perserikatan dan lain sebagainya.
Hukum Publik Islam
1. Jinaayaat (Hukum Pidana Islam)
Hukum Pidana Islam dibahas dalam Fikih Islam dengan
istilah Al-Jinaayaat.Kata jinaayaat adalah bentuk jamak
dari kata jinaayah, yang artinya perbuatan dosa, kejahatan
atau pelanggaran. Kitab Al-Jinaayaat dalam fikih Islam

82 Pengantar Hukum Indonesia


membicarakan macam-macam perbuatan pidana atau tindak
pidana (jarimah) dan hukumannya. Al-Mawardi dalam
kitabnya Al-Ahkaam As-Sulthaaniyah mendefinisikan
jarimah sebagai berikut “Jarimah (tindak pidana) adalah
larangan-larangan Syara` yang diancam Allah dengan
hukuman hadd atau ta`zir”.
Larangan syara` yang disebut jarimah itu dapat berupa
pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang, seperti
melanggar larangan zina, minum minuman keras, dapat
pula berupa meninggalkan hal-hal yang diperintahkan,
seperti mengabaikan kewajiban zakat. Hukuman hadd
adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam
nas Al-Qur`an atau Sunnah Rasul.Hukuman ta`zir adalah
hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nas
Al-Qur`an atau Sunnah Rasul.Hukuman ta`zir menjadi
wewenang penguasa untuk menentukannya.
Macam-macam tindak pidana (jarimah):
a. Jarimah qishosh
b. Jarimah Diyat
c. Jarimah Hudud
d. Jarimah Ta`zir
2. Al-Ahkam as-sulthoniyah, mengatur soal-soal yang
berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan baik
pusat maupun daerah, keamanan negara, pajak dan
sebagainya.
3. Siyar, mengatur urusan perjanjian damai tat hubungan
dengan pemeluk agama dan negara lain.
4. Mukhashomat, mengatur soal peradilan, kehakiman dan
hukum acara.

Pengantar Hukum Indonesia 83


C. Ciri-ciri Hukum Islam
1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam,
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan
dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam,
3. Mempunyai dua istilah kunci yaitu Syari`ah dan Fikih,
4. Dapat dibedakan antara dua bidang utama yaitu ibadah dan
muamalah,
5. Strukturnya berlapis terdiri dari:
a. Nas atau teks Al-Qur`an
b. Sunnah Nabi Muhammad atau Hadits
c. Hasil ijtihad manusia
d. Pelaksanaannya dalam praktek
6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dan pahala
7. Dapat dibagi menjadi hukum Taklifi (lima kaidah) dan
hukum Wadh`i

D. Karakteristik Hukum Islam


Karakteristik hukum islam, sebagai berikut : 
1. Ketuhanan (Rabbaniyah)
HUkum islam adalah hukum yang diciptakan untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani dunia dan akhirat.
Dalam pelaksanannya sangat memperhatikan iman, akhlak,
moral dan etika dalam seluruh aspeknya yang merupakan
akibat dari karakter Rabbaniyah. 
2. Universal (syumul)
Salah satu fakta yang tidak dapat diingkari adalah
bahwa hukum islam telah berlaku pada hamper diseluruh
dunia dengan kelebihannya, keragaman bangsa dan
peradabannya, sesuai dengan perubahan waktu dan

84 Pengantar Hukum Indonesia


zaman. Syumuliah hukum islam mencakup apa saja yang
berhubungan dengan permasalahan keluarga (al-Akhwal
Asy-Syakhsiyyah) seperti, pernikahan, perceraian, nafakah,
kewarisan. Selain itu juga mencakup hukum-hukum yang
berhubungan dengan perdagangan, bisnis seperti jual beli,
sewa menyewa, utang piutang, gadai,   jaminan asuransi
dll. Hukum islam juga berkaitan dengan kewajiban Negara
terhadap rakyat.
3. Harmonis (wasthiyyah)
Karakter harmonis mempunyai arti yang sama dengan
keseimbangan yang mempunyai arti keimbangan diantara
dua jalan yang saling berhadapan atau bertentangan, dimana
salah satunya tidak dapat berpengaruh dengan sendirinya
dan mengabaikan yang lain serta tidak dapat mengambil
hak yang lebih banyak melampaui yang lain. Contohnya,
spiritualisme dengan materialisme.
4. Manusiawi (insaniyah)
Hukum islam diperuntukan untuk meningkatkan taraf
hidup manusia, membimbing dan memelihara sifat-sifat
manusianya serta menjaga dari sifat jelek, jahat hewani agar
tidak dapat mengalahkan sifat kemanusiannya. Karakteristik
hukum islam yang bersifat insaniyah tiada lain adalah
pengakuan Allah terhadap kemuliaan manusia karena
kemanusiaannya. Dimana karakteristik ini sebagai dasar
dalam melaksanakan hubungan internasional yang harus
dilaksanakan berdasarkan kekeluargaan dan persaudaraan.
Hukum islam menganggap bahwa perhambaan terhadap
Allah dan pertalian keturunan dari Nabi Adam as dan siti
hawa telah menikah sesama manusia di dunia ini.

Pengantar Hukum Indonesia 85


E. Sumber Hukum Islam
Menurut pendapat Imam Syafi`i, sumber hukum Islam ada
empat
1. Al-Qur`an,
2. As-Sunnah atau Al-Hadist
3. Ijma`
4. Qiyas.

1. Al-Quran
Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran,
sebuah kitab suci umat Muslim yang diturunkan kepada
nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat
Jibril. Al-Qur’an memuat kandungan-kandungan yang
berisi perintah, larangan, anjuran, kisah Islam, ketentuan,
hikmah dan sebagainya. Al-Qur’an menjelaskan secara rinci
bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya
agar tercipta masyarakat yang ber akhlak mulia. Maka dari
itulah, ayat-ayat Al-Qur’an menjadi landasan utama untuk
menetapkan suatu syariat.

2. Al-Hadist
Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist,
yakni segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah
SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, diamnya beliau. Di
dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang merinci
segala aturan yang masih global dalam Al-quran. Kata hadits
yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Rasulullah
SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Islam.

86 Pengantar Hukum Indonesia


3. Ijma’
Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa
setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.”
Dan ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan adalah
yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan
tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka
para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan
perselisihan semakin banyak,sehingga tak dapat dipastikan
bahwa semua ulama telah bersepakat.

4. Qiyas
Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran,
Al-Hadits dan Ijma’ adalah Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan
sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al Qur’an
ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang
serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya
tersebut. Artinya jika suatu nash telah menunjukkan
hukum mengenai suatu kasus dalam agama Islam dan telah
diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui
permasalahan hukum tersebut, kemudian ada kasus lainnya
yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu
hal itu juga, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan
hukum kasus yang ada nash-nya.
Dalam hukum positif Indonesia, sumber hukum Islam
terdapat dalam :
1. UU No. 7/1989 jo UU No.UU No 3/2006 jo UU No. 50/2009
tentang Peradilan Agama. Menurut Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
ditetapkan bahwa Peradilan Agama segabai peradilan yang
mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat dengan
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara sebagai peradilan negara.

Pengantar Hukum Indonesia 87


2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, yang mengatur masalah
perkawinan, kewarisan, dan wakaf.

Metode Berijtihad
Menurut Al-Qur`an Surat an-Nisa` (4) ayat 59, setiap
muslim wajib mentaati perintah Allah, kehendak Rasul dan
kehendak ulil amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan
atau penguasa. Kehendak Allah tertulis dalam Al-Qur`an,
kehendak Rasullullah terhimpun dalam Sunnah (Hadits),
kehendak penguasa termaktub dalam kitab-kitab fiqih.
Penguasa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang-orang
yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena “kekuasaan”
berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) hukum
Islam dari dua sumber utamanya yakni Al-Qur`an dan sunnah
Nabi Muhammad. Hal-hal yang ditetapkan Allah dalam Al-
Qur`an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam
percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang
sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi Gubernur di
Yaman. Sebelum Mu`az bin Jabal berangkat ke Yaman, Nabi
Muhammad menguji dengan menanyakan sumber hukum
yang akan dia pergunakan untuk menyelesaikan masalah atau
sengketa yang dia hadapi di daerah yang baru itu. Pertanyaan
itu dijawab oleh Mu`az bahwa dia akan menggunakan al-
Qur`an. Jawaban itu kemudian disusul oleh Nabi Muhammad
dengan pertanyaan berikutnya: Jika tidak terdapat petunjuk
khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-Qur’an bagaimana?
Muaz menjawab: Saya akan mencarinya dalam Sunnah Nabi
Muhammad. Kemudian Nabi bertanya: Kalau engkau tidak
menemukan petunjuk pemecahannya dalam Sunnah Nabi
Muhammad, bagaimana? Kemudian Mu`az menjawab: Jika
demikian, saya mempergunakan akal saya dan akan mengikuti

88 Pengantar Hukum Indonesia


pendapat saya itu. Nabi sangat senang atas jawaban Mu`az itu
dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun
utusan RasulNya (H.M.Rasjidi, 1980: 456).
Dari hadits yang dikemukakan, para ulama menyimpulkan
bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yakni Al-Qur`an, as Sunnah
dan akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Akal pikiran ini dalam kepustakaan Islam diistilahkan ar-ra`yu.
Metode atau cara berijtihad adalah (1) ijmak, (2) qiyas, (3)
istidal, (4) al-masalih al-mursalah, (5) istihsan, (6) istishab, (7) `urf.
1. Ijmak adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli
mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa.
Ijmak yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua
khulafaur rasyidin (Abu Bakar dan Umar) dan sebagian
masa pemerintahan khalifah yang ketiga (Usman). Sekarang
ijmak hanya berarti persetujuan atau kesesuaian pendapat
di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat tertentu dalam
Al-Qur`an.
2. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak
terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur`an dan as-Sunnah
atau Al-Hadits dengan hal lain yang hukumnya disebut
dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasul karena persamaan illat
(penyebab atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran, yang
dipergunakan oleh akal budi untuk membanding suatu
hal dengan hal lain, misalnya khamer (sejenis minuman
yang memabukkan yang dibuat dari buah-buahan), QS Al
Maidah (5) ayat 90.
3. Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang
berlainan, misalnya menarik kesimpulan dari adat-istiadat
dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat
yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan
dengan hukum Islam (gono-gini atau harta bersama) dan

Pengantar Hukum Indonesia 89


hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak
dihapuskan oleh syari`at Islam, dapat ditarik garis-garis
hukumnya untuk dijadikan hukum Islam.
4. Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahah mursalah
adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak
terdapat ketentuannya baik di dalam Al-Qur`an maupun
dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
Misalnya pungutan pajak penghasilan.
5. Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan
menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan
dan kepentingan social. Misalnya dalam hal tertentu, demi
kepentingan umum yang lebih besar, hak milik dapat
dicabut dengan ganti rugi yang layak.
6. Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang
mengubahnya. Atau dengan kata lain, istishab adalah
melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena
belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Misalnya,
perkawinan suami isteri yang sah. Suami meninggalkan
isteri tanpa perceraian. Pria lain melamarnya, yang menurut
kenyataan tidak mempunyai suami. Perkawininan yang
kedua ini dapat dibatalkan karena masih berlaku sebagai
isteri suami pertama yang sah.
7. Adat-istiadat atau `urf yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi
masyarakat yang bersangkutan, selama adat-istiadat itu
berkenaan dengan soal muamalah.

90 Pengantar Hukum Indonesia


F. Hukum Waris Islam
Hal yang menyebabkan terjadinya warisan adalah salah
satu dari empat macam sebagai berikut:
1. Hubungan kerabat atau nasab
2. Hubungan perkawinan
3. Hubungan walak. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim
mengajarkan bahwa wala`(harta warisan bekas budak yang
tidak meninggalkan ahli waris kerabat) adalah menjadi hak
orang yang memerdekakannya.
4. Tujuan Islam (jihatul Islam) yaitu baitul mal (perbendaharaan
negara)

Ahli Waris
Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan
atas dasar tinjauan dari segi kelaminnya dan dari segi haknya
atas harta warisan. Dari segi jenis kelaminnya, ahli waris dibagi
menjadi dua golongan, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris
perempuan. Dari segi haknya atas harta warisan, ahli waris
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu ahli waris dzawil furudl,
ahli waris ashabah, dan ahli waris dzawil arhaam.
Ahli waris laki-laki
1. ayah
2. kakek (bapak ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-
laki
3. anak laki-laki
4. cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke
bawah dari garis laki-laki
5. saudara laki-laki kandung (seayah seibu)
6. sadara laki-laki seayah
7. saudara laki-laki seibu

Pengantar Hukum Indonesia 91


8. kemenakan laki-laki kandung (anak laki-laki saudara laki-
laki kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki
9. kemenakan laki-laki seayah (anak laki-laki saudara laki-laki
seayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki
10. paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) dan
seterusnya ke atas dari garis laki-laki
11. paman seayah (saudara laki-laki seayah ayah) dan seterusnya
ke atas dari garis laki-laki
12. saudara sepupu laki-laki kandung (anak laki-laki paman
kandung)
13. saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki paman
seayah)
14. suami
15. laki-laki yang memerdekakan budak (mu`tiq)

Ahli waris perempuan


1. ibu
2. nenek (ibunya ibu) dan seterusnya ke atas dari garis
permpuan
3. nenek (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas dari garis prp.
4. anak perempuan
5. cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki) dan
seterusnya ke bawah dari garis laki-laki
6. saudara perempuan kandung
7. saudara perempuan seayah
8. saudara perempuan seibu
9. isteri
10. perempuan yang memerdekakan budak (mu`tiqah).

92 Pengantar Hukum Indonesia


Ahli waris dzawil-furudl
Ahli waris dzawil furudl ialah ahli waris yang mempunyai
bagian-bagian tertentu sebagaimana disebutkan dalam Al-
Qur`an atau Sunnah Rasul. Seperti telah disebutkan, bagian-
bagian tertentu itu ialah: 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Ahli waris
dzawil-furudl ada 12 orang, yaitu: suami, isteri, ayah, ibu, anak
perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung,
saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seibu, saudara
perempuan seibu, kakek, dan nenek.
Dalam pembagian harta warisan, dimulai memberikan
bagian kepada ahli waris dzawil furudl; apabila masih ada
sisanya, diberikan kepada ahli waris ashabah; apabila tidak ada
ahli waris ashabah dilakukan radd (dikembalikan kepada ahli
waris),atau diserahkan sisa itu kepada baitul-mal.

Ahli waris ashabah


Ahli waris ashabah ialah ahli waris yang tidak ditentukan
bagiannya, akan tetapi kemungkinan akan menerima seluruh
harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil furudl sama sekali;
berhak atas sisanya jika ada ahli waris dzawil furudl, dan apabila
tidak ada sisa sama sekali, tidak mendapat bagian apapun.
Ahli waris ashabah ada tiga macam:
1. Ahli waris ashabah dengan sendirinya, tidak karena ditarik
oleh ahli waris ashabah lain atau tidak karena bersama-sama
dengan ahli waris lain. Contoh: anak laki-laki, cucu laki-laki,
saudara laki-laki kandung, dsb. Ahli waris ashabah macam
ini disebut ashabah bin nafsi.
2. Ahli waris ashabah karena ditarik oleh ahli waris ashabahlain,
seperti anak perempuan ditarik menjadi ashabah oleh anak
laki-laki, cucu perempuan ditarik menjadi ashabah oleh cucu
laki-laki, saudara perempuan kandung ditarik menjadi

Pengantar Hukum Indonesia 93


ashabah oleh saudara laki-laki kandung, dsb. Ahli waris
ashabah macam ini disebut ashabah bilghairi.
3. Ahli waris ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris
lain, seperti saudara perempuan kandung atau seayah
menjadi ahli waris ashabah karena bersama-sama dengan
anak perempuan. Ahi waris ashabah macam ini disebut
ashabah ma`al ghairi.

Ahli waris dzawil-arhaam


Ahli waris dzawil-arhaam ialah ahli waris yang mempunyai
hubungan famili dengan pewaris, tetapi tidak termasuk
golongan ahli waris dzawil-furudl dan ahli waris ashabah.
Ahli waris dzawil-arhaam ialah:
1. cucu laki-laki atau perempuan (anak-anak dari anak
perempuan).
2. kemenakan laki-laki atau permpuan (anak-anak saudara
perempuan kandung, seayah atau seibu).
3. kemenakan perempuan (anak-anak perempuan saudara
laki-laki kandung atau seayah).
4. saudara sepupu perempuan, anak-anak perempuan paman
(saudara laki-laki ayah).
5. paman seibu (saudara laki-laki ayah seibu)
6. paman, (saudara laki-laki ibu).
7. bibi, (saudara perempuan ayah).
8. bibi, (saudara perempuan ibu).
9. kakek, (ayah ibu)
10. nenek buyut, ibu kakek (no.9)
11. kemenakan seibu, (anak-anak saudara laki-laki seibu).

94 Pengantar Hukum Indonesia


BAB VIII

DASAR-DASAR HUKUM ADAT

A. Pengertian Hukum Adat


Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Di satu pihak
ada yang menyatakan bahwa adat berasal dari bahasa Arab yang
berarti  kebiasaan. Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini
berasal dari Bahasa Sanskerta karena menurutnya istilah ini telah
dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun
yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A
berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck
Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum
istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat
Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh)
pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang
tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr.
Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga
Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar
pada  Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat
Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch
Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.

Pengantar Hukum Indonesia 95


Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mem-
pergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsre-
geling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang-
Undang Dasar  Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang
berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak
dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah
tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena
istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para
ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam
suatu sistem keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun
perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal
istilah  Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum
yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad
Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif
oleh  Prof. Amura:  sebagai lanjutan kesempurnaan hidup selama
kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang
dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia
kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa
adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa
Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya
mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan
seorang Ulama Aceh  bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh
Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun
1630.  Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut
(karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai
suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.

96 Pengantar Hukum Indonesia


Pengertian Hukum Adat menurut:
1. M.M.Djojodiguno
Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu
yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan
perbuatan di dalam masyarakat demi kesejahteraan
masyarakat sendiri.
2. R. Soepomo
Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang
meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak
yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan
bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
3. C. Van Vollenhoven
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku
positif di mana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan
di pihak lain tidak dikodifikasi.
4. Surojo Wignyodipuro
Hukum Adat pada umumnya belum (tidak tertulis)
yaitu kompleks norma-norma yang bersumber pada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang, meliputi
peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-
hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai
akibat hukum (sanksi).

B. Bentuk dan Corak Hukum Adat


Hukum Adat dapat berbentuk:
1. Hukum yang tidak tertulis (ius non scriptum) misalnya
hukum yang hidup karena putusan-putusan, kebiasaan-
kebiasaan maupun hukum yang hidup karena convention di
dalam badan-badan negara.

Pengantar Hukum Indonesia 97


2. Hukum yang tertulis (ius scriptum)
Bentuk ini hanya merupakan bagian kecil saja maka sering
diabaikan.
3. Uraian-uraian secara tertulis yang biasanya merupakan hasil
penelitian yang dihimpun (dibukukan) misalnya; Hukum
Perdata Adat Jawa Barat, hasil penelitian Soepomo, Hukum
Perdata Adat Jawa Tengah hasil penelitian Djojodiguno dsb.
Hukum Adat di Indonesia memiliki ciri-ciri khas yang
berbeda dari hukum lainnya. F.D. Hollemann dalam pidato
inaugurasinya De Commune Trek in het Indonesische
Rechtsleven, mengemukakan ada empat corak atau sifat umum
Hukum Adat yang merupakan satu kesatuan pada Indonesia,
sebagai berikut:
1. Magis Religius (Magisch – Religieus)
Sifat ini diartikan sebagai pola pikir yang didasarkan
pada religiusitas, yakni keyakinan masyarakat Indonesia
tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum
masyarakat adat mengenal agama, sifat religius ini
diwujudkan dalam cara berpikir yang tidak logis, sifat
animisme dan kepercayaan pada hal-hal yang bersifat gaib.
Menurut sifat kepercayaan masyarakat pada masa itu
bahwa di alam semesta ini benda-benda itu serba berjiwa
(animisme), benda-benda itu punya daya gerak (dinamisme),
di sekitar kehidupan manusia ada roh-roh halus yang
mengawasi kehidupan manusia, dan hukum alam itu ada
karena ada yang menciptakan, yaitu Yang Maha Pencipta.
Oleh karenanya, setiap manusia akan memutuskan,
mengatur, menyelesaikan suatu karya memohon restu
Yang Maha Pencipta dengan harapan bahwa karya tersebut
berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, dan apabila
melanggar pantangan dapat mengakibatkan hukuman

98 Pengantar Hukum Indonesia


(kutukan dari Tuhan Yang Maha Esa). Sifat Magis religius ini
merupakan kepercayaan masyarakat yang tidak mengenal
pemisahan dunia lahir (fakta) dengan dunia gaib.
Sifat ini mengharuskan masyarakat untuk selalu
menjaga keseimbangan antara dunia lahir (dunia nyata)
dengan dunia batin (dunia gaib). Setelah masyarakat adat
mengenal agama, maka sifat religius tersebut diwujudkan
dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Masyarakat mulai mempercayai bahwa setiap perilaku akan
ada imbalan dan hukum hukuman dari Tuhan. Kepercayaan
itu terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat
modern. Sebagai gambaran dapat dilihat pada setiap
keputusan badan peradilan yang selalu mencantumkan
klausul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Walaupun klausul tersebut karena peraturan
mengharuskannya.
2. Komunal (Kebersamaan)
Menurut pandangan Hukum Adat setiap individu,
anggota masyarakat merupakan bagian integral dari
masyarakat secara keseluruhan. Hubungan antara anggota
masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh sifat
rasa kebersamaan, dan kekeluargaan, tolong menolong,
dan gotong royong. Masyarakat Hukum Adat meyakini
bahwa setiap kepentingan individu sewajarnya disesuaikan
dengan hukum dan kepentingan masyarakat karena tidak
ada individu yang terlepas dari masyarakatnya.
3. Konkret (Visual)
Sifat yang Konkret artinya jelas, nyata, berwujud,
dan visual, artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak
tersembunyi. Hal ini mengartikan bahwa setiap hubungan
hukum Indonesia yang terjadi dalam masyarakat tidak
dilakukan secara diam-diam.

Pengantar Hukum Indonesia 99


4. Kontan & Tunai
Sifat ini mempunyai makna bahwa suatu perbuatan
selalu diliputi oleh suasana yang serba konkret, terutama
dalam hal pemenuhan prestasi. Bahwa setiap pemenuhan
prestasi selalu diiringi dengan kontra prestasi yang diberikan
secara serta merta. Prestasi dan kontra prestasi dilakukan
secara bersama-sama pada waktu itu juga. Dalam Hukum
Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah
timbang terima secara kontan adalah di luar akibat hukum,
perbuatan hukum telah selesai seketika itu juga.
Di samping 4 (empat) corak hukum Adat Indonesia yang
dikemukakan Holleman di atas, ada sifat khas lainnya dari
hukum adat, sebagai berikut:
a. Tradisional
Sifat ini menunjukkan bahwa masyarakat adat bersifat
turun temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke
anak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku
dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Peraturan hukum yang turun temurun ini mempunyai
keistimewaan yang luhur sebagai pusaka yang dihormati,
karena itu harus dijaga terus-menerus.
Pelanggaran terhadap sesuatu yang diterima dari nenek
moyang diyakini dapat mendatangkan malapetaka terhadap
masyarakat. Corak tradisional yang sampai sekarang
masih dipertahankan dapat dilihat pada masyarakat Batak
Indonesia di mana tidak diperkenankan kawin dalam satu
marga.
b. Dinamis
Hukum Adat dapat berubah menurut keadaan waktu
dan tempat. Setiap perkembangan masyarakat hukum akan

100 Pengantar Hukum Indonesia


selalu menyesuaikan diri sesuai dengan perkembangan
yang terjadi.
c. Terbuka
Hukum Adat memiliki sifat terbuka. Artinya, Hukum
Adat dapat menerima sistem hukum lain sepanjang
masyarakat yang bersangkutan menganggap bahwa sistem
hukum lain Indonesia tersebut patut atau berkesesuaian.
d. Sederhana
Artinya, bahwa masyarakat hukum adat itu bersahaja,
tidak rumit, tidak beradministrasi, tidak tertulis, mudah
dimengerti, dan dilaksanakan berdasar saling percaya
mempercayai. Hal ini dapat di lihat pada transaksi yang
dilakukan secara lisan saja, termasuk dalam hal pembagian
warisan, jarang dilakukan secara tertulis.
e. Musyawarah dan Mufakat
Artinya, masyarakat hukum adat mengutamakan
musyawarah dan mufakat. Dalam menyelesaikan
perselisihan di Indonesia selalu diutamakan penyelesaian
secara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat.

C. Kekuatan Berlakunya Hukum Adat


Masalah ini berkaitan dengan masalah tingkat ketaatan
masyarakat terhadap hukum yang bersangkutan. Makin tinggi
tingkat ketaatan berarti tinggi pula kekuatan berlakunya
(materiel), sebaliknya makin rendah ketaatan berarti makin
berkurang atau rendah kekuatan materiel ketentuan hukum
adat.
Tinggi rendahnya kekuatan materiel atau berlakunya
Hukum Adat tergantung dari bebrapa faktor:

Pengantar Hukum Indonesia 101


1. Banyak sedikitnya (frekuensi) penetapan-penetapan serupa
yang memberikan stabilitas dari penetapan itu,
2. Sampai seberapa jauh masyarakat mengalami perubahan
keadaan sosial,
3. Sampai seberapa jauh peraturan itu selaras dengan sistem
hukum Adat yang berlaku serta selaras dengan syarat-syarat
kemanusiaan.

D. Nilai-nilai Universal Hukum Adat


Menurut R. Soepomo, nilai-nilai universal Hukum Adat
meliputi:
1. Asas gotong royong
Masyarakat Indonesia yang bersifat kebersamaan dalam
kehidupan masyarakatnya mempunyai cerminan kehidupan
gotong royong dalam kehidupan sehari-harinya.
2. Fungsi social manusia dan milik dalam masyarakat,
3. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan hukum,
4. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan.
Nilai-nilai universal tersebut merupakan pengejawantahan
dari tata kehidupan masyarakat yang bersifat kebersamaan,
kekeluargaan dan gotong royong.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum


Adat
Adanya suatu keyakinan pada masyarakat bahwa adat
adalah berunsur kenyataan (dalam keadaan sama selalu
diindahkan) dan berunsur psychologis (mempunyai kekuatan
hukum) yang menimbulkan adanya kewajiban hukum, serta
sifat dari hukum adat yang pluralistis dan non statutair dan

102 Pengantar Hukum Indonesia


dengan sifat plural society negara Indonesia tentunya mempunyai
keragaman dalam adat atau kebiasaan namunmempunyai pula
dasar atau sifat pokok yang sama (Pancasila).
Dalam pertumbuhan dan perkembangan, hukum Adat
dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Magis dan animism
2. Agama
3. Kekuatan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum Adat,
4. Pengaruh asing
Hukum Adat dalam pertumbuhan dan perkembangannya
adalah sama dengan hukum nasional.
Menurut L.W.C. Van Den Berg yang mengemukakan suatu
teori Receptio in Complexu, yang artinya apabila ada suatu
masyarakat yang memeluk agama tertentu maka hukum adat
masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang
dipeluknya itu.

F. Lingkaran Hukum Adat di Indonesia


Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indone-
sia menjadi 19 lingkungan/lingkaran hukum adat (rechtsringen).
Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adat-
nya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan
hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang
disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
a. Tanah Gayo (Gayo lueus)
b. Tanah Alas
c. Tanah Batak (Tapanuli)

Pengantar Hukum Indonesia 103


1) Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo,
Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige,
Laguboti, Lumbun Julu)
2) Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang),
Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
3) Nias (Nias Selatan)
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar,
Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
4. Mentawai (Orang Pagai)
5. Sumatra Selatan
a. Bengkulu (Renjang)
b. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang,
Gedingtataan, Tulang Bawang)
c. Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah,
Semendo)
d. Jambi (Batin dan Penghulu)
e. Enggano
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatra Timur,
Orang Banjar)
7. Bangka dan Belitung
8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir,
Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak
Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long
Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju,
Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto,
Paguyaman)
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja
Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang,
Kep. Banggai)

104 Pengantar Hukum Indonesia


11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre,
Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao,
Tobelo, Kep. Sula)
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua,
Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo,
Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada,
Roti, Sayu Bima)
16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala,
Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu,
Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).

G. Hukum Waris Adat


Pewarisan dapat terjadi karena adanya hubungan darah
dan hubungan lain dengan pewaris yang dalam hukum Adat
mengakibatkan timbulnya hak-hak tertentu.
1. Penggolongan ahli waris
Pada umumnya ahli waris dalam hukum Adat dibagi
menjadi 3 (tiga) golongan berdasarkan adanya hubungan
darah dengan pewaris, yaitu:
a. Golongan I
1) Anak, sebagai ahli waris utama mengesampingkan
ahli waris gol. II dan III
2) Cucu, sebagai ahli waris utama menggantikan
kedudukan orang tuanya yang telah meninggal

Pengantar Hukum Indonesia 105


dunia. Demikian seterusnya apabila cucu telah
meninggal dunia dan telah meninggalkan cicit, maka
cicit yang akan menggantikan kedudukan orang
tuanya, demikian seterusnya.
b. Golongan II
1) Orang tua, jika ahli waris golongan I tidak ada, maka
orang tua pewaris sebagai ahli waris
2) Kakek dan Nenek, jika orang tua dari pewaris telah
tiada, maka yang menjadi ahli waris adalah kakek
dan nenek dari pewaris, demikian seterusnya.
c. Golongan III
Saudara-saudara pewaris, jika ternyata golongan I dan
II tidak ada, maka saudara-saudara pewaris sebagai ahli
waris.
Mereka yang bukan termasuk golongan ahli waris tetapi
di dalam hukum Adat mempunyai hak-hak tertentu:
a. Istri/suami pewaris
b. Anak angkat pewaris
c. Anak tiri pewaris

2. Sistem Penerusan Harta Warisan


Pada dasarnya ada tiga sistem :
a. Sistem individual
Harta warisan dapat dibagi-bagikan antara ahli waris,
seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa.
Asas pembagian warisan menurut system individual:
1) Asas persamaan hak
Ahli waris yang ada semuanya mempunyai hak
yang sama, tidak dibedakan ahli waris laki-laki dan
ahli waris permpuan, juga tdak dibedakan siapa
yang lahir dulu dan siapa yang lahir kemudian

106 Pengantar Hukum Indonesia


2) Asas Kerukunan (perdamaian)
Pembagian warisan tidak dibedakan atas persoalan
berapa hak masing-masing tetapi didasarkan atas
bagaimana cara pembagian itu dilaksanakan supaya
tetap terjadi kerukunan atau perdamaian diantara
ahli waris.
3) Asas Segendong Sepikul
Ahli waris laki-laki mendapatkan dua kali yang
diterima ahli waris permpuan

b. Sistem Kolektif
Harta warisan diwarisi oleh sekelompok ahli
waris, harta warisan tidak boleh dibagi-bagikan oleh
pemiliknya diantara ahli waris dan hanya boleh dibagi-
bagikan pemakaiannya saja seperti dalam masyarakat
matrilineal di Minangkabau.
c. Sistem Mayorat
Harta warisan diwaris keseluruhannya atau sebagian
besar oleh anak saja dan merupakan anak yang termuda
(bungsu).
Dalam pewarisan menurut hukum Adat perlu
diperhatikan adanya tipe masyarakat hukum Adat yaitu
adanya masyarakat hukum yang Geneologis (masyarakat
hukum berdasar pertalian darah) disamping adanya
masyarakat hukum yang territorial (berdasar tempat tinggal)
serta adanya susunan hukum kekeluargaan masyarakat
adat yaitu Patrilinial (garis keturunan bapak), Matrilinial
(garis keturunan ibu), dan Parental (garis keturunan bapak
dan ibu).
Perkembangan Jurisprodensi sehubungan dengan janda
dan anak angkat.

Pengantar Hukum Indonesia 107


1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 130/K/Sip/1957
Tanggal 5 Nopember 1957; bahwa janda dan anak bersama-
sama berhak atas harta bersama.
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 110/K/Sip/1960,
tanggal 26 April 1960; bahwa seorang janda juga sebagai
ahli waris dari suaminya.
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 307/K/Sip/1960,
tanggal 26 Oktober 1960; bahwa barang gono/asal dapat
dikuasai janda untuk kepentingan hidupnya, dan para ahli
waris biasanya menguasainya setelah janda meninggal
dunia.
4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 387/K/Sip/1958,
tanggal 25 Pebruari 1959; bahwa hukum Adat Jawa Tengah
anak angkat dapat mewarisi harta gono-gini dari orang tua
angkatnya.

108 Pengantar Hukum Indonesia


BAB IX

DASAR-DASAR HUKUM INTERNASIONAL

A. Definisi Hukum Internasional


Definisi Hukum Internasional menurut Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum Internasional adalah keseluruhan
kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan dan persoalan
yang melintas batas antara lain:
1. Negara dengan negara
2. Negara dengan subjek hukum internasional lain bukan
negara
3. Antara subjek hukum internasional bukan negara dengan
subjek hukum internasional bukan negara lainnya
Berdasarkan batasan pengertian tersebut di atas maka
terdapat dua hal yang patut digaris bawahi yaitu:
1. Subyek dalam Hukum Internasional meliputi negara dan
subyek lain bukan negara.
2. Ruang lingkup Hukum Internasional meliputi hubungan
atau persoalan hukum antar negara, hubungan hukum
antara negara dengan subyek hukum bukan negara,
hubungan hukum subyek Hukum Internasional bukan
negara satu sama lain.

Pengantar Hukum Indonesia 109


B. Daya Ikat Hukum Internasional
1. Hukum Internasional sebagai sebuah hukum
Terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa
Hukum Internasional bukan merupakan sebuah hukum,
namun hanya norma moral (positive morality) saja. Hal
tersebut didukung oleh pendapat Austin yang mengatakan
bahwa hukum adalah sekumpulan ketentuan yang mengatur
tingkah laku orang yang ditetapkan dan dipaksakan oleh
penguasa politik yang berdaulat. Pengertian Austin tersebut
dapat diuraikan unsur pembentuk hukum, yaitu ada badan
pembentuk hukum dan hukum dapat dipaksakan. Pendapat
tersebut jika dikaji dalam Hukum Internasional modern
tidak sesuai sebab menghilangkan fungsi pengadilan
sebagai pembentuk hukum (judge made law) dan kaidah
yang keberadaannya tidak ditentukan oleh badan yang
berwenang membentuk hukum (hukum adat). Berbeda
dengan Austin, Oppenheim mengemukakan tiga unsur
pembentuk hukum yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Adanya aturan hukum, unsur pertama tersebut secara
mudah dapat dijumpai antara lain Konvensi Hukum
Laut 1982, Space Treaty 1967 tentang bulan dan benda-
benda langit, Konvensi tentang Hubungan Diplomatik,
Konvensi tentang Hak Asasi Manusia, dll.
b. Adanya masyarakat internasional, yang dalam hal ini
adalah negara-negara dalam lingkup bilateral maupun
multilateral.
c. Terdapatnya sanksi yang berasal dari negara lain, Orga-
nisasi Internasional, maupun Pengadilan Internasional
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Hukum
Internasional merupakan sebuah Hukum dan bukan
aturan moral semata, namun dalam penegakannya masih

110 Pengantar Hukum Indonesia


sangat lemah. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
pelanggaran aturan internasional antara lain Invasi Israel
ke Palestina, Invasi Amerika serikat ke Irak, serangan North
Atlantic Treaty Organization (NATO) ke Yugoslavia, Invasi
Amerika serikat ke Afganistan.

2. Teori Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional


Hukum Internasional merupakan hukum yang dilandasi
hubungan koordinatif, tidak memiliki badan supranasional,
tidak ada aparat penegak hukum yang menindak terdapat
pelanggar aturan internasional. Terdapat dua teori yang
melandasi kekuatan mengikat Hukum Internasional yang
diuraikan sebagai berikut.
a. Teori Hukum Alam.
Hukum Internasional mengikat secara otomatis,
karena merupakan bagian dari Hukum Alam yang
diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Hukum
dalam hal ini tidak diciptakan malainkan ditemukan.
b. Teori Hukum Positif
Teori Hukum Positif mengemukakan bahwa
kekuatan mengikat Hukum Internasional merupakan
kehendak negara. Namun dalam teori ini terdapat
kelemahan juga karena tidak semua kekuatan mengikat
Hukum Internasional atas kehendak negara, akan tetapi
dapat berdasarkan atas kebiasaan internasional atau
prinsip hukum umum.
c. Teori Sosiologis
Teori ini menitik beratkan pada hubungan interaksi
masyarakat internasional. Di dalam interaksi tersebut
masyarakat internasional membutuhkan suatu aturan
yang bertujuan untuk mencapai kepastian dan keadilan.

Pengantar Hukum Indonesia 111


Kebutuhan tersebut dapat mengakibatkan masyarakat
internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada
Hukum Internasional.

C. Sumber-sumber Hukum Internasional


Sumber Hukum Internasional terbagi menjadi 2 (dua) yakni
sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber
hukum secara materiil adalah sumber isi hukum dan atau
tempat di mana kaidah-kaidah hukum itu diciptakan, sedangkan
sumber hukum formil memiliki arti suatu sumber hukum yang
memuat ketentuan-ketentuan hukum secara formal yang dapat
diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan konkrit. Pasal
38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa
sumber Hukum Internasional yang dipakai oleh Mahkamah
dalam mengadili perkara-perkara, adalah :
1. Perjanjian Internasional (international conventions), baik yang
bersifat umum maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international customs);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang
diakui oleh negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat
para ahli yang telah diakui kepakarannya (teachings of the
most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan
hukum internasional.
Ayat (2) Pasal 38: Hakim juga dapat memutus berdasarkan
kepatutan dan kelayakan (at aque at bono) jika disetujui para
pihak.
Terdapat beberapa catatan penting berkaitan dengan Pasal
38 Statuta Mahkamah Internasional. Pertama, Statuta Mahkamah
Internasional tidak secara khusus membahas sumber Hukum
Internasional. Statuta Mahkamah Internasional merupakan

112 Pengantar Hukum Indonesia


suatu bagian tak terpisahkan dari Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang mengatur kelembagaan Mahkamah Internasional
secara umum. Hal tersebut berarti Pasal 38 merupakan petunjuk
bagi hakim untuk mempertimbangkan macam-macam sumber
hukum yang dapat digunakan. Kepenyebutan sumber hukum
dalam pasal 38 ayat (1) di atas tidak menggambarkan urutan
pentingnya masing masing sumber hukum itu sebagai sumber
hukum formal.
Satu-satunya klasifikasi yang dapat dilakukan adalah sumber
hukum formal itu dibagi atas dua golongan yaitu sumber hukum
utama atau primer yang meliputi ketiga sumber golongan hukum
yang tersebut yang terdahulu, dan sumber hukum tambahan atau
subsidier yaitu keputusan keputusan pengadilan dan ajaran
sarjana hukum yang terkemuka dari berbagai negara.
Ditinjau dari sudut sejarah maka kebiasaan hukum
Internasional merupakan sumber hukum yang utama.
Sebaliknya, dari segi empiris Perjanjian Internasional dapat
dianggap sebagai sumber terpenting karena kini semakin banyak
persoalan-persoalan yang diatur dalam perjanjian internasional.
Prinsip hukum umum juga dapat dianggap sebagai sumber
yang terpenting apabila dikaji dari sudut sumber fungsi hukum
dalam perkembangan hukum baru.
Penjelasan singkat mengenai beberapa sumber hukum
internasional dipaparkan sebagai berikut:
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum
mempunyai beberapa kelebihan antara lain digunakan sebagai
instrumen utama pelaksanaan hubungan internasional,
sebagai sarana peningkatan hubungan internasional,
sifatnya tertulis, serta sebagai untuk memudahkan dalam
pembuktian. Perjanjian Internasional merupakan persetujuan

Pengantar Hukum Indonesia 113


yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis, dan
diatur oleh hukum internasional. Terdapat lima hal dalam
membuat perjanjian:
a. Perundingan (negotiation)
b. Penandatanganan (signature)
c. Penerimaan naskah (adoption of the text)
d. Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text)
e. Pengesahan (ratification)
Perjanjian Internasional menurut kaidah hukum yang
ditimbulkan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Treaty
Contract dan Law Making Treaty. Treaty Contract merupakan
suatu perjanjian yang bersifat tertutup, tidak memberi
kesempatan pada pihak yang tidak ikut perundingan untuk
menjadi peserta perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan
Law Making Treaty adalah perjanjian yang menciptakan
kaidah atau prinsip-prinsip hukum yang tidak hanya
mengikat para peserta perjanjian saja, namun juga dapat
mengikat pihak ketiga.

2. Kebiasaan Internasional
Kebiasaan Internasional merupakan kaidah hukum
yakni ketentuan yang mengikat negara-negara dalam
hubungan satu sama lain. Dalam Pasal 38 ayat (1) sub b
Statuta Mahkamah Internasional merumuskan “International
custom, as evidence of general practice accepted as law”. Secara
sederhana dapat diartikan kebiasaan Internasional adalah
yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai
hukum. Dalam perincian tersebut harus dipenuhi dua unsur
yang masing-masing dapat disebut unsur materiil dan unsur
psikologis yaitu kenyataan adanya kebiasaan umum (unsur
materiil) dan diterimanya kebiasaan Internasional sebagai

114 Pengantar Hukum Indonesia


sumber hukum (unsur psikologis). Terdapat landasan
hukum tentang Kebiasaan internasional yaitu the two
elements theory yang mensyaratkan kebiasaan internasional
memiliki dua syarat, yaitu:
a. Perilaku itu haruslah merupakan fakta dari praktek
atau perilaku yang secara umum telah dilakukan atau
dipraktekkan oleh negara-negara (the evidence of material
act)
b. Perilaku yang telah dipraktekkan secara umum tersebut,
oleh negara-negara atau masyarakat internasional telah
diterima atu ditaati sebagai perilaku yang memiliki nilai
hukum yang dalam istilah teknisnya dikenal sebagai
opinio juris sive necessitatis atau opinio juris.

3. Prinsip Hukum Umum


Sumber hukum umum ketiga menurut pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional ialah “asas hukum umum
yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab“.
Adapun yang dimaksud asas hukum umum adalah
asas hukum yang menyadari sistem hukum modern. Yang
dimaksud sistem hukum modern ialah sistem hukum
positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum
negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas
asas dan lembaga hukum Asas hukum umum memberikan
kedudukan kepada Mahkamah Internasional sebagai suatu
lembaga yang dapat membentuk dan menemukan sumber-
sumber hukum baru. Menurut Pasal 38 ayat 1, asas hukum
umum merupakan suatu sumber hukum formil utama yang
berdiri sendiri di samping kedua sumber hukum yang telah
disebut terlebih dahulu yaitu perjanjian internasional dan
kebiasaan.

Pengantar Hukum Indonesia 115


4. Sumber hukum tambahan
a. Keputusan pengadilan
Berlainan dengan sumber hukum utama, keputusan
pengadilan dan pendapat para sarjana hanya
merupakan sumber subsidier atau sumber tambahan.
Walaupun keputusan pengadilan tidak mengikat,
namun keputusan pengadilan Internasional terutama
Mahkamah Internasional permanen dan Mahkamah
Arbitrase Permanen mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan hukum Internasional, yaitu
memperkuat hukum di atasnya.
b. Pendapat sarjana hukum internasional yang terkemuka
Pendapat para sarjana digunakan sebagai sumber
tambahan apabila ia bertindak dalam suatu fungsi yang
secara langsung bertalian dengan persoalan hukum
Internasional yang dicari penyelesaianya.
c. Keputusan badan perlengkapan (organ) organisasi dan
lembaga Internasional.
Pertambahan lembaga dan organisasi Internasional
menimbulkan berbagai keputusan baik dari badan
eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif untuk mengatur
pergaulan antaranggotanya.

5. Jus Cogens sebagai norma tertinggi Hukum Internasional


Secara sederhana Jus Cogens adalah non derogable/
peremptory norm, yaitu suatu norma yang mempunyai
kedudukan tertinggi dibanding norma-norma yang lain dan
berlaku secara universal (the whole international community)
dapat berasal dari perjanjian internasional, prinsip hukum
umum, maupun hukum kebiasaan internasional. Hal
tersebut tidak dimungkinkan Jus Cogens dibatalkan oleh

116 Pengantar Hukum Indonesia


suatu tindakan ataupun kekuatan politik. Adapun fungsi
Jus Cogens adalah :
a. Pembatasan atas kehendak bebas negara
b. Pengakuan atas pranata ilegalitas objektif
c. Pembentuk sistem Hukum Internasional vertikal
Terdapat beberapa karakteristik Jus Cogens yang
dijadikan sebagai kualifikasi universalitas yaitu :
a. Kaidah-kaidah yang menyangkut kepentingan bersama
masyarakat internasional secara keseluruhan
b. Kaidah-kaidah yang dibentuk demi tujuan-tujuan
kemanusiaan
c. Kaidah-kaidah yang ditempatkan oleh Piagam PBB yang
digunakan untuk melawan perjanjian atau penggunaan
kekerasan dalam hubungan internasional.

D. Subyek-subyek Hukum Internasional


1. Pengertian Subyek Hukum Internasional
Subyek hukum internasional adalah pihak yang dapat
dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional. Hak dan kewajiban tersebut mencakup hak
kewajiban yang diatur oleh hukum internasional material dan
hukum internasional formal. Subyek hukum internasional
adalah person dalam hukum internasional. Subyek Hukum
dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu secara klasik
dan secara luas
Subyek Hukum dalam arti penuh dapat diartikan
bahwa pemegang segala hak dan kewajiban menurut
hukum internasional terbatas pada negara yang berdaulat
penuh. Adapun subyek hukum Internasional dalam arti
luas mencakup keadaan-keadaan dan tindakan apapun.
Dimilikinya hak dan kewajiban terbatas namun tidak

Pengantar Hukum Indonesia 117


terbatas pada negara yang berdaulat saja, melainkan juga
dimiliki oleh negara bagian, maupun subyek Hukum
Internasional lain bukan negara.
Subyek Hukum Internasional menurut Martin Dixon
adalah a body or entity which is capable of possessing and
exercising rights and duties under international law. Pendapat
tersebut memberikan kualifikasi bahwa subyek Hukum
Internasional harus mempunyai international legal personality
sebagai berikut.
a. Mampu untuk menuntut hak-hak di depan pengadilan
internasional
b. Menjadi subyek dari beberapa atau semua kewajiban
yang diberikan Hukum Internasional
c. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah
menurut Hukum Internasional
d. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestic

2. Macam-macam Subyek Hukum Internasional di antaranya:


a. Negara
Negara merupakan subyek hukum internasional
baik klasik maupun modern. Dalam hukum internasi-
onal klasik negara merupakan subjek utama. Hukum
internasioanal klasik menganggap bahwa pada hakikat-
nya hukum internasional adalah hukum antarnegara,
bahkan hingga sekarang pun anggapan itu masih ada.
Syarat suatu negara bisa disebut sebagai subyek hukum
internasional adalah apabila suatu negara tersebut sudah
memiliki kedaulatan penuh. Adapun kualifikasi negara
sebagai subjek hukum Internasional harus memiliki hal-
hal sebagai berikut yaitu Penduduk tetap, Wilayah ter-
tentu, Pemerintahan, dan Kapasitas untuk berhubungan
dengan negara lain.

118 Pengantar Hukum Indonesia


b. Tahta Suci (Vatican)
Tahta suci (the Holy See) yang terletak di Vatikan diakui
sebagai subjek hukum internasional tidak terlepas dari
faktor historis. Semenjak penakhlukan oleh tentara Italia,
kedaulatan tahta suci sebagai negara berakhir. Namun
kemudian Tahta Suci dengan Italia menandatangani
the Lateran Treaty pada tanggal 11 Februari 1929 yang
di dalamnya memberikan pengakuan atas kota Vatikan
dan kedaulatannya yang sesuai dengan sifatnya dan
dapat mendukungnya menjalankan misinya di dunia.
c. Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional secara umum diakui
sebagai subyek hukum Internasional walaupun
dengan ruang lingkup sangat terbatas. Boleh dikatakan
Palang Merah Internasional menjadi subyek hukum
Internasional karena faktor sejarah, tetapi kemudian
dikukuhkan kedudukannya melalui Konvensi Jenewa
tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang.
d. Organisasi Internasional
Organisasi internasional seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi internasional
lain mempunyai hak dan kewajiban terhadap hukum
internasional yang ditetapkan melalui konvensi-
konvensi. Adapun syarat organisasi internasional
sebagai subjek hukum internasional:
1) Didirikan oleh negara-negara sebagai anggotanya
2) Berdasarkan suatu agreement atau perjanjian.
3) Mempunyai tanggung jawab internasional sesuai
anggaran dasar.
4) Dalam afiliasi PBB.

Pengantar Hukum Indonesia 119


e. Orang perorangan (individu)
Individu diakui sebagai subjek hukum internasional
jika telah mendapat ijin atau persetujuan dari negara,
sejauh hak dan kewajibannya mewakili kepentingan
masyarakat internasional. Pada saat ini individu
telah mendapat pengokohan akan statusnya sebagai
subyek hukum internasional melalui rezim hukum
HAM internasional. Protokol pertama ICPPR secara
jelas memberikan hak bagi individu untuk melakukan
“komunikasi” terhadap organ traktatnya, the Human
Right Committee. Sedangkan pada tingkat regional
individu mempunyai kemampuan yang sama sebagai
subjek hukum internasional, yaitu melakukan tindakan
sebagaimana yang diberikan Protokol pertama.
f. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)
Kaum belligerency adalah kaum pemberontak yang
sudah mencapai tingkatan yang lebih kuat dan mapan
baik secara politik, organisasi dan militer, sehingga
tampak sebagai suatu kesatuan politik yang mandiri.
Unsur-unsur yang harus dipunyai suatu pemberontak
atau organisasi pemberontakan bisa disebut sebagai
subyek hukum internasional adalah:
1) Pemberontak atau organisasi pemberontakan
tersebut mempunyai seorang pemimpin yang jelas.
2) Pemberontak atau organisasi pemberontakan
tersebut telah menguasai wilayah tertentu.
3) Pemberontak atau organisasi pemberontakan
tersebut mempunyai persenjataan dan identitas
yang jelas.
4) Pemberontak atau organisasi pemberontakan
tersebut mentaati hukum perang.

120 Pengantar Hukum Indonesia


g. Organisasi pembebasan atau organisasi-organisasi yang
sedang memperjuangkan hak-haknya
Definisi organisasi pembebasan bangsa sangat
dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang
bersifat politis, sehingga tidak dapat ditentukan dengan
jelas. Oleh karena itu, mungkin sekelompok negara
akan mengakui suatu kelompok menjadi organisasi
pembebasan namun negara lain tidak mengakui bahkan
menolaknya. Salah satu cara yang lazim ditempuh
adalah berusaha memperoleh dukungan dan pengakuan
dari negara lain.

E. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional


Terdapat dua teori yang membahas hubungan tersebut,
yaitu teori Monisme, Teori Dualisme, dan Teori Koordinasi.
a. Teori Monisme.
Teori Monisme menjelaskan bahwa hukum internasional
dan hukum nasional merupakan dua kesatuan hukum yang
berasal dari sistem hukum yang lebih besar, yaitu hukum
pada umumnya. Dalam hal ini teori Monisme terpecah
menjadi dua yaitu Primat Hukum nasional dan Primat
Hukum Internasional.
1) Primat Hukum Nasional menjelaskan bahwa Hukum
Internasional berasal dari Hukum Nasional, karena
dapat dicontohkan bahwa dalam Hukum Internasional
terdapat hukum kebiasaan yang timbul dari praktek-
praktek hubungan antar negara. Konsekuensi dari
definisi tersebut adalah Hukum Nasional mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada Hukum Internasional,
sehingga jika terjadi konflik maka yang lebih diutamakan
adalah Hukum Nasional.

Pengantar Hukum Indonesia 121


2) Primat Hukum Internasional menyatakan bahwa
Hukum Nasional bersumber pada Hukum Internasional,
sehingga kedudukan Hukum Internasional lebih tinggi
daripada Hukum Nasional. Konsekuensinya jika
terdapat konflik antar subyek Hukum Internasional,
maka yang diutamakan adalah ketentuan Hukum
Internasional.

b. Teori Dualisme
Teori Dualisme mengemukakan bahwa antara Hukum
Internasional dan Hukum Nasional adalah dua sistem hukum
yang berbeda. Perbedaan antara Hukum Internasional dan
Hukum Nasional dapat dirinci sebagai berikut.
1) Subyek Hukum Internasional adalah negara-negara,
sedangkan subyek Hukum nasional adalah individu
(dalam kajian nasional)
2) Dalam hal sumber hukum, Hukum Internasional
bersumberkan pada kehendak bersama negara-negara,
adapun sumber Hukum Nasional bersumber pada
negara.
3) Hukum Nasional mempunyai integritas yang lebih
sempurna dibandingkan dengan Hukum Internasional.

c. Teori Koordinasi
Teori tersebut menyatakan bahwa Hukum Internasional
dan Hukum Nasional mempunyai kajian yang berbeda,
sehingga keduanya memiliki keutamaan masing-masing,
sehingga tidak dapat dijelaskan hierarki kedudukan antar
keduanya.

122 Pengantar Hukum Indonesia


BAB X

DASAR-DASAR HUKUM ACARA

A. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia


Berdasarkan pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 juncto Undang-Undang Nomor 48 tahu
2009 tentag kekuasaan kehakiman :
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”.
Keempat lingkungan peradilan adalah sebagai berikut :
1. Lingkungan Peradilan Umum (UU nomor 49 tahun 2009
tentang peradilan umum)
Berwenang memeriksa dan memutus perkara pidana
dan perkara perdata. Terdiri atas Pengadilan Negeri
sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi
sebagai Pengadilan Tingkat dua/banding dan berpuncak di
Mahkamah Agung.

Pengantar Hukum Indonesia 123


2. Lingkungan Peradilan Agama (UU Nomor 50 tahun 2009
tentang peradilan agama)
Berwenang memeriksa dan memutus perkara yang
timbul di antara mereka yang beragama islam dalam
bidang perkawinan, kewarisan, wakaf dan ekonomi syariah
berdasarkan hukum islam. Terdiri atas Pengadilan Agama
sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi
Agama sebagai Pengadilan Tingkat dua/banding dan
berpuncak di Mahkamah Agung.
3. Peradilan Militer (UU Nomor 31 Tahu 1997 tentang Peradilan
Militer)
Berwenang memeriksa dan memutus perkara pidana
terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan mereka
yang disamakan sebagai anggota TNI.
Terdiri atas Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat
pertama, Mahkamah Militer Tinggi sebagai Pengadilan
Tingkat dua/banding dan berpuncak di Mahkamah Agung.
4. Peradilan Tata Usaha Negara (UU Nomor 9 tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
Berwenang memutus dan memeriksa sengketa dalam
bidang Tata Usaha Negara. Terdiri atas Pengadilan Tata
Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama,
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan
Tingkat dua/banding dan berpuncak di Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan :
1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua
lingkugan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung.

124 Pengantar Hukum Indonesia


2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang.
3. Mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan undang-
undang.
(pasal 24 A ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
juncto pasal 20 ayat 2 UU nomor 48 tahun 2009.)

Mahamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat


pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk :
1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945
3. Memutus pembubaran partai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Selain itu Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil
presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden. (Pasal
24 C ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 ynco
pasal 29 ayat 2 UU Nomor 48 tahun 2009).
Menurut pasal 27 UU Nomor 48 tahu 2009 dapat dibentuk
Pengadilan Khusus dalam salah satu lingkungan peradilan.
Misalnya yang termasuk dalam lingkungan Peradilan Umum :
1. Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Nomor 11 Tahun 2012)
2. Peradilan Niaga (UU Nomor 37 tahun 2004)
3. Peradilan Hak Asasi Manusia (UU Nomor 26 tahun 2000)
4. Peradilan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 2 tahun 2002)

Pengantar Hukum Indonesia 125


Selain peradilan-peradilan tersebut, terdapat peradilan
pajak yang diatur UU Nomor 14 tahun 2002. Peradilan pajak
berada di luar lingkup dan wewenang Peradilan Umum maupun
Peradilan Tata Usaha Negara.
Di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dibentuk
pengadilan Syari’ah Islam, yang merupakan Pengadilan Khusus
dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan.

126 Pengantar Hukum Indonesia


BAB XI

DASAR-DASAR HUKUM ACARA PERDATA

A. Pengertian Hukum Acara Perdata


Hukum perdata adalah serangkaian peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang
lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan
(Kansil CST.2000:1999)
Hukum perdata meliputi hukum perdata Materiel (hukum
perdata saja) berisi peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain (private),
misalnya dalam hubungan hukum jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya. Serta hukum perdata formil (hukum acara perdata)
yang berisi peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara
penyelesaian perkara perdata atau cara bagaimana menegakkan,
mempertahankan berlakunya hukum perdata materiil artinya
apabila hubungan hukum antara perseorangan dengan orang
lain terjadi pertentangan kepentingan sehingga timbul konflik
dan menjadi sengketa maka akan diselesaikan berdasarkan
peraturan hukum perdata formil.
Pelanggaran terhadap hukum perdata materiil harus
diperiksa dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya, oleh karena
itu diperlukan peraturan untuk memeriksa pelanggaran yang

Pengantar Hukum Indonesia 127


terjadi supaya tidak menimbulkan tindakan “main hakim
sendiri” (eigenrichting) (Sudikno Mertokusumo, 2002:2)
Hukum acara perdata (hukum perdata formil) dalam
mengatur cara mempertahankan ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim. Ditinjau dari tugasnya
hukum acara perdata berfungsi untuk menyelesaikan perkara
perdata, yaitu perkara yang timbul apabila hukum perdata
materiil dilanggar atau tidak ditaati.
Hukum acara perdata dapat diartikan sebagai rangkaian
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
di muka pengadilan dan bagaimana pengadilan harus bertindak
satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan
hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro, 1980).
Dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata adalah
hukum yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya
hukum perdata materiil, terutama apabila terjadi pelanggaran,
melalui pemeriksaan hakim di pengadilan.
Sengketa yang timbul di dalam masyarakat dapat
diselesaikan dengan berbagai cara, yaitu :
1. Judicial Settelment Of Dispute, yaitu penyelesaian sengketa
dengan cara penegakkan hukum formil melalui proses
pemeriksaan di pengadilan dengan melibatkan hakim dan
dengan hasil win-loose solution.
2. Extra Judicial Of Dispute, yaitu penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, tidak melibatkan hakim, melalui pendekatan
kompromi. Hasil yang diharapkan adalah win-win
solution. Bentuk alternative dispute resolution yang banyak
diguakan misalnya negotiation, mediation, consilitation dan
arbitration
3. Quasi atau pseudeo judicial penyelesaian sengketa oleh badan
atau lembaga non judicial (bukan badan peradilan) tetapi

128 Pengantar Hukum Indonesia


mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
hukum. Misalnya P4D/P4P, BIPLN

B. Sumber Hukum Acara Perdata


Sumber hukum Acara Perdata yang sekarang berlaku, yaitu :
1. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia
yang diperbarui (RIB). HIR dan RIB digunakan untuk
memeriksa perkara perdata di Pengadilan Negeri Jawa dan
Madura.
2. Sampai saat ini HIR atau RIB yang merupakan peraturan
peninggalan zaman hindia belanda masih tetap berlaku.
Ditinjau dari riwayatnya, pada zaman hindia belanda
masyarakat dibagi menjadi golongan Eropa, Timur Asing
dan Bumiputera (Pasal 163 I.S). Hukum acara perdata
yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing
adalah Burgerlijk Recht Vordering (BRV), sedangkan untuk
golongan Bumi Putera berlaku HIR untuk Jawa Madura
dan Rechtreglement Buitengewesten (RBG) untuk luar jawa
dan Madura. Pada zaman pendudukan Jepang, sejak bulan
Maret 1942, pembagian penduduk menjadi 3 (tiga) golongan
dihapuskan. Hukum acara perdata yang berlaku yaitu HIR
untuk Jawa Madura dan RBG untuk luar Jawa Madura. Pada
zaman kemerdekaan, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 1 tahun 1951, masih tetap
berlaku HIR dan RBG.
3. Rechtreglement Buitengewesten (RBG), digunakan untuk
memeriksa perkara perdata di Pengadilan Negeri, luar Jawa
dan Madura
4. UU Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum
5. UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pengantar Hukum Indonesia 129


6. UU Nomor 20 tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan, untuk
memeriksa perkara perdata di Pengadilan Tinggi Jawa
Madura untuk tingkat banding. Sedangkan di luar Jawa
Madura menggunakan RBG.
7. UU Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung untuk
memeriksa perkara perdata di Mahkamah Agung seluruh
Indonesia untuk tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali.
8. Peraturan Mahkamah Agung, surat edara Mahkamah
Agung dan Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Selain UU dan Peraturan tersebut, ada beberapa peraturan
yang dapat digunakan sebagai sumber Hukum Acara Perdata,
yaitu :
1. Burgerlijk Recht Vorderig (BRV), diantaranya mengatur
mengenai derdeverzet, voegig, tussenkomst, vrijwaring
2. Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Buku ke IV
3. UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat
4. Ilmu pengetahuan

C. Asas-asas Hukum Acara Perdata


Menurut Sudikno Mertokusumo, asas-asas hukum acara
perdata diantaranya:
1. Hakim bersifat aktif (Nemo Yudex Sine Actore)
Artinya bahwa inisiatif untuk mengajukan gugatan,
diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing pihak.
Apabila ada pihak yang mengajukan pemeriksaan
perkaranya kepada hakim, maka hakim tidak boleh menolak
memeriksa perkara, karena hakim dianggap mengetahui
hukumnya (ius curia novit)
2. Hakim bersikap pasif (Verhandlungs Maxime)
Artinya hakim mempunyai kewajiban untuk memeriksa
dan memutus setiap bagian yang dituntut oleh para pihak,

130 Pengantar Hukum Indonesia


tetapi hakim tidak boleh memutus lebih daripada yang
dituntut.
3. Pemeriksaan perkara dilakukan dalam sidang yang terbuka
untuk umum artinya masyarakat secara langsung dapat
mengikuti proses pemeriksaan di dalam sidang. Dalam
keadaan tertentu sidang dapat dinyatakan tertutup tetapi
pada waktu putusan hakim dijatuhkan, sidang harus
dinyatakan terbuka untuk umum.
4. Berperkara harus denga biaya, artinya pada pemerikasaa
perkara perdata, dibutuhkan biaya yang harus ditanggung
oleh masing-masing pihak, khususnya oleh pihak yang
kalah
5. Berperkara tidak harus diwakilkan, artinya masing-masing
pihak dapat menghadap sendiri di muka sidang, dapat juga
memberi kuasa kepada advokad.
6. Berperkara dapat secara tertulis, dapat secara lisan
7. Hakim harus mendengarkan kedua belah pihak (Audi et
Alteram Partem)
Artinya hakim harus memperlakukan sama kepada masing-
masing pihak.
8. Pemerikasaan perkara dilaksanakan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan
9. Pemeriksaan perkara dilakukan dalam 2 ( dua) tingkat yaitu
pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama,
dan Pengadian Tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua/
banding. Mahkamah Agung merupakan pengadilan tingkat
tertinggi atau tingkat terakhir yang memeriksa penerapan
hukumnya
10. Perkara yang sama dengan pokok sengketa yang sama
dan pihak-pihak yang sama, tidak dapat diperiksa dan
diputus untuk kedua kalinya oleh pengadilan yang sama

Pengantar Hukum Indonesia 131


atau pengadilan yang sama tingkatanya (Ne bis in idem).
Pengertian asas tersebut sama dengan pengertian asas Res
yudicata Pro vertatae habetur, artinya bahwa putusan hakim
dianggap benar.
11. Setiap pengadilan wajib saling membantu
12. Setiap putusan hakim harus disertai perimbangan (Sudikno
Mertokusumo, 200:10)

D. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata


Perkara perdata terdiri atas:
1. Permohonan
Pada permohonan, pihaknya hanya satu yaitu pemohon,
tidak ada pihak lawan, oleh karena itu disebut “peradilan
yang tidak sesungguhnya”. Putusan hakimnya disebut
penetapan atau beschiking. Proses pemeriksaan permohonan
lebih sederhana dari pada sengketa perdata, karena tidak
ada pihak lawan
Contoh : permohonan pengangkatan anak, permohonan
akte kelahiran
2. Sengekta Perdata
Pada sengeketa perdata, paling sedikit ada dua pihak
yaitu penggugat dan tergugat. Kadang-kadang ada pihak
ketiga yang ikut terlibat dalam proses pemeriksaan. Ada
pihak lawan, oleh karena itu disebut “peradilan yang
sesungguhnya”. Putusan hakimnya disebut Vonnis
Contoh : sengketa tentang hutang piutang, sengketa tentang
perbuatan melawan hukum
Ketika di dalam masyarakat timbul sengketa antar
individu yang satu dengan individu yang lain (sengketa
perdata), dan tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah,

132 Pengantar Hukum Indonesia


maka pihak yang dirugika haknya, dapat mengajukan
gugatan (tuntutan hak) ke pengadilan yang berwenang.
Proses pemerikasaan sengketa perdata di tingkat
Pengadilan Negeri, dimulai dengan pengajuan gugatan oleh
penggugat atau kuasanya, kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang berwenang memeriksa perkara (kompetensi relative),
yaitu pada umumnya ke pengadilan Negeri di tempat
tinggal tergugat (Actor Sequitor Forum Rei). Apabila tergugat
lebih dari satu dapat dipilih Pengadilan Ngeri di tempat
tinggal salah satu tergugat. Jika tempat tinggal tergugat
tidak diketahui, gugatan dapat diajukan ke PN di tempat
tinggal penggugat, atau dimana barang tetap berada. Jika
sengketanya mengenai barang tetap. Jika ada domisili yang
dipilih oleh kedua belah pihak, gugatan dapat diajukan ke
PN yang telah dipilih tersebut. (pasal 118 HIR).
Pada hari sidang yang telah ditentukan, apabila
penggugat tidak hadir setelah dipanggil dengan “patut”,
maka gugatan penggugat “digugurkan”. Upaya hukumnya
penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Apabila
tergugat yang tidak hadir, maka dijatuhkan putusan Verstek
(putusan hakim tanpa hadirnya tergugat). Upaya hukumnya
tergugat dapat megajukan Verzet. Apabila penggugat da
tergugat tidak hadir, maka gugatan penggugat “dicoret dari
daftar atau register gugatan”. Upaya hukumnya penggugat
dapat mengajukan gugatan baru.
Apabila pada hari sidang yang sudah ditentukan,
penggugat dan tergugat hadir di dalam sidang, maka setelah
hakim membuka sidang, hakim harus mengusahakan
“perdamaian” di antara kedua belah pihak (pasal 130 HIR).
Jika tercapai perdamaian, maka pemeriksaan dihentikan,
dan perkara diputus dengan “akta perdamaian”. Jika
perdamaian gagal, maka tahap selanjutnya gugatan

Pengantar Hukum Indonesia 133


dibacakan dan diberi kesempatan kepada penggugat untuk
merubah atau mencabut gugatannya kalau di kehendaki.
Kemudian tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
“jawaban tergugat”. Tahap selanjutnya penggugat diberi
kesempatan untuk menanggapi jawaban tergugat dengan
mengajukan “replik penggugat”. Tergugat dapat menanggapi
replik penggugat dengan mengajukan “duplik tergugat”.
Sesudah tahap jawab-menjawab antara penggugat dengan
tergugat, selanjutnya penggugat diberi kesempatan untuk
mengajukan alat bukti, demikian juga tergugat diberi
kesempatan mengajukan alat bukti.
Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan oleh
masing-masing pihak terdiri atas :
1. Alat bukti surat (tertulis)
Alat bukti surat dapat terdiri atas akta dan bukan akta.
Akta dapat berbentuk akta autentik dan akta di bawah
tangan
2. Alat bukti saksi
Saksi adalah seseorang yang memberikan keterangan
di muka sidang, di bawah sumpah, mengenai peristiwa
yang disengketakan, dengan mengalami, melihat dan
mendengar sendiri
3. Alat bukti persangkaan
Alat bukti persangkaan adalah alat bukti yang tidak
langsung, dan terdiri atas persangkaan berdasarkan
kenyataan dan persangkaan berdasarkan hukum
4. Alat bukti pengakuan
Pengakuan adalah keterangan yang diberikan oleh salah
satu pihak dengan tidak membantah atau membenarkan
dalil dari pihak lawan.

134 Pengantar Hukum Indonesia


5. Alat bukti sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan oleh salah
satu pihak atas nama Tuhan Yang Maha Esa, dengan
adanya suatu kepercayaan, bahwa apabila isi sumpah
tidak benar, maka pihak yang mengucapkan sumpah
akan mendapatkan hukuman dari Tuhan Yang Maha
Esa. Sumpah sebagai alat bukti terdiri atas sumpah
suppletoir (sumpah penambah) untuk menambah alat
bukti yang masih sangat kurang, sumpah decissoir
(sumpah penaksir), yaitu sumpah yang diperintahkan
hakim kepada penggugat untuk menentukan jumlah
uang ganti kerugian yang telah diderita penggugat.

(Macam-macam alat bukti diatur pasal 138 sampai


dengan pasal 176 HIR)
Setelah tahap pembuktian dari penggugat dan tergugat
selesai, maka ke dua pihak diberi kesempatan untuk
mengajukan “kesimpulan”. Setelah tahap kesimpulan, maka
majelis hakim menjatuhkan “putusan hakim”, yang selalu
diawali dengan “kepala putusan” yang berbunyi “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Apabila penggugat dan tergugat menerima putusan
mejelis hakim PN, maka putusan hakim tersebut mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), dan dapat
dilaksanakan (eksekusi). Apabila salah satu pihak tidak
puas terhadap putusan hakim tersebut, maka disediakan
adanya beberapa macam upaya hukum, yaitu :
1. Upaya hukum Banding (UU Nomor 20 Tahun 1947/
RBG)
Upaya hukum bagi pihak yang tidak puas terhadap
putusan hakim PN, dengan mengajukan pemeriksaan
ulangan (banding) kepada pengadilan tinggi.

Pengantar Hukum Indonesia 135


2. Upaya hukum Kasasi (UU Nomor 5 Tahun 2004)
Upaya hukum bagi pihak yang tidak puas terhadap hakm
pegadilan tinggi, dengan mengajukan pemeriksaan
kepada MA
3. Upaya hukum Peninjauan Kembali (UU Nomor 5 Tahun
2004)
Upaya hukum bagi salah satu pihak yang tidak puas
terhadap putusan hakim MA, dengan mengajukan
peninjauan kembali juga kepada MA. Upaya hukum ini
merupakan upaya hukum istimewa.
Selain upaya-upaya hukum tersebut, masih ada upaya
hukum Verzet bagi putusan Verstek, dan upaya hukum
Derdenverzet (perlawanan pihak ketiga), untuk putusan
hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pelaksanaan putusan hakim (eksekusi), dijalankan
apabila putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap, dapat terdiri :
1. Eksekusi pembayaran sejumlah uang
Pelaksanaan putusan hakim bersifat menghukum pihak
yang kalah, untuk membayar sejumlah uang.
2. Eksekusi melakukan atau tidak melakukan perbuatan
tertentu
Pelaksanaan putusan hakim yang menghukum pihak
yang kalah untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan
3. Eksekusi riel
Pelaksanaan putusan hakim yang berupa perintah untuk
mengosongkan benda tetap

136 Pengantar Hukum Indonesia


BAB XII

DASAR-DASAR HUKUM ACARA PIDANA

A. Pengertian Hukum Acara Pidana


Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur
bagaimana cara alat perlengkapan pemerintah melaksanakan
tuntutan, memperoleh putusan hakim dan melaksanakan
putusan tersebut, apabila ada orang atau sekelompok orang
yang melakukan perbuatan pidana (Wirjono Prodjodikoro,1980).
Hukum Acara Pidana dapat diartikan juga sebagai peraturan
yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya
hukum Pidana materiel. Hukum Pidana Materiel mengatur
perbuatan yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana
dan pidana apa yang dapat diterapkan, sedangkan Hukum
Acara Pidana (Hukum Pidana Formi) mengatur bangaimana
prosedurnya apabila ada suatu perbuatan pidana yang
dilakukan.

B. Sumber Hukum Acara Pidana


Sumber Hukum Acara Pidana terdiri atas sumber Hukum
Acara Pidana yang sudah dikodifikasi, yaitu Undang Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), dan peraturan pelaksananya PP No. 27

Pengantar Hukum Indonesia 137


Tahun 1983 jo.PP No. 58 Tahun 2010 dan PP No. 92 Tahun 2015,
serta sumber Hukum Acara Pidana yang tidak dikodifikasikan
(undang-undang tindak pidana khusus), misalnya UU No.31
Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Hal-hal “baru” sebagai perkembangan Hukum Acara
Pidana menurut KUHAP, di antaranya :
1. Pemisahan fungsi penyidik (Polisi) dengan Penuntut Umum
(Jaksa)
Tugas penyidik adalah mencari dan mengumpulkan
bukti-bukti yang membuat kejelasan tentang tindak pidana
yang terjadi dan untuk menemukan tersangka. Tugas
Penuntut Umum adalah melakukan penuntutan perkara
pidana setelah menyusun Surat Dakwaan, melimpahkan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang,
menurut acara yang diatur oleh undang-undang, supaya
diperiksa dan diputus oleh majelis hakim di sidang
pengadilan.
2. Praperadilan (Pasal 77 KUHAP jo. Tus. MK No. 21/PUU-
XII/2014)
Adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa
dan memutus tentang;
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghen-
tian penyidikan, penghentian penuntutan, penetapan ter-
sangka, penggeledahan dan penyitaan,
b. serta permintaan ganti rugi atau rehabilitasi bagi yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
3. Masa penahanan.
Masa penangkapan dan penahanan, dibatasi jangka
waktu. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

138 Pengantar Hukum Indonesia


penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Jangka
waktu penangkapan paling lama 1x24 jam. Sementara itu
yang dimaksud penahanan adalah penempatan tersangka
atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum ataupun hakim. Jangka waktu penahanan
di tingkat penyidik paling lama 20 (dua puluh) hari dan
dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 40
(empat puluh) hari. Penuntut Umum dapat melakukan
penahanan paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama
30 (tiga puluh) hari. Hakim Pengadilan Negeri dapat
melakukan penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan
dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling
lama 60 (enam puluh) hari. Hakim Pengadilan Tinggi dapat
melakukan penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan
dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi paling
lama 60 (enam puluh) hari. Hakim Mahkamah Agung dapat
melakukan penahanan paling lama 50 (lima puluh) hari dan
dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling
lama 60 (enam puluh) hari. Oleh karena itu jangka waktu
penahanan sejak pemeriksaan pendahuluan sampai dengan
pemeriksaan kasasi, paling lama 400 (empat ratus) hari.
4. Tersangka dan Terdakwa berhak mendapatkan bantuan
hukum,
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa
berhak mendapat bantuan hukum/didampingi penasehat
hukumnya sejak pemeriksaan pendahuluan. Dalam hal
tersangka atau terdakwa diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih wajib didampingi penasehat
hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.

Pengantar Hukum Indonesia 139


C. Asas-asas Hukum Acara Pidana
1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence),
Setiap orang dianggap tidak bersalah, sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Asas Legalitas,
Penuntut Umum wajib menuntut setiap perkara pidana
yang diajukan kepadanya.
3. Asas Oportunitas,
Penuntut Umum diberi kewenangan untuk menuntut atau
tidak menuntut suatu perkara pidana demi kepentingan
umum, sehingga suatu perkara pidana dapat dikesamping-
kan (deponir) untuk kepentingan umum.
4. Pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum,
5. Tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan hukum,
6. Peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan murah,
7. Asas Accusatoir,
Kedudukan tersangka atau terdakwa sebagai subyek dalam
pemeriksaan perkara pidana.
8. Pemeriksaan Hakim langsung dan lisan,
9. Semua orang diperlakukan sama di depan Hakim.

D. Proses Pemeriksaan Perkara Pidana


1. Macam-macam pemeriksaan perkara pidana
a. Pemeriksaan Biasa,
Pemeriksaan perkara dengan prosedur biasa, untuk
perkara pidana yang tidak mudah pembuktian maupun
penerapan hukumnya.

140 Pengantar Hukum Indonesia


b. Pemeriksaan Singkat/Sumir,
Pemeriksaan perkara pidana yang menurut Penuntut
Umum, pembuktian dan penerapan hukumnya mudah
dan sifatnya sederhana.
c. Pemeriksaan Cepat/Rol
Pemeriksaan perkara pidana untuk tindak pidana ringan
yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak
Rp. 7.500,00 dan acara pemeriksaan pelanggaran lalu
lintas.

2. Para pihak dalam proses pemeriksaan perkara pidana


Para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan
perkara pidana, adalah sebagai berikut ;
a. Tersangka dan Terdakwa,
Tersangka adalah orang yang karena perbuatannya
berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana, sedangkan terdakwa yaitu
tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di muka
persidangan.
b. Penyidik dan Penyelidik,
Penyidik adalah polisi atau Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu, (Bea Cukai, Polisi Kehutanan dll) yang
berwenang untuk melakukan penyidikan sesuai dengan
Undang-undang, sedangkan penyelidik yaitu polisi
yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk
mengadakan penyelidikan.
c. Penuntut Umum (Jaksa)
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.

Pengantar Hukum Indonesia 141


Jaksa adalah pejabat negara yang diberi wewenang Un-
dang-Undang untuk melaksanakan putusan pengadilan
(melaksanakan eksekusi).
d. Penasehat Hukum
Penasehat Hukum adalah seseorang yang yang
memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang
untuk memberikan bantuan hukum.

3. Tahapan dalam proses pemeriksaan perkara pidana


Dalam proses pemeriksaan pidana dibagi menjadi dua
tahap, yaitu :
a. Pemeriksaan Pendahuluan
1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan,
Merupakan serangkaian tindakan polisi untuk
menemukan tersangka atas suatu tindak pidana
dan mengumpulkan alat bukti dan selanjutnya
menyususn dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
2) Prapenuntutan
Setelah selesai tindakan penyidikan, maka berkas
perkara dilimpahkan ke Penuntut umum/jaksa.
Apabila Penuntut Umum menganggap bahwa berkas
perkara perlu dilengkapi/diperbaiki maka dapat
dikembalikan ke penyidik untuk diperbaiki dan
dilengkapi. Setelah berkas perkara dianggap cukup
oleh penuntut umum dilimpahkan ke Pengadilan
Negeri.
b. Pemeriksaan di dalam sidang pengadilan
Setelah penetapan majelis hakim di Pengadilan
Negeri oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa
perkara, maka dilakukan pemanggilan untuk sidang,
kepada terdakwa, penuntut umum, penasehat hukum

142 Pengantar Hukum Indonesia


dan saksi-saksi. Pada hari sidang yang sudah ditentukan,
tahap-tahap pemeriksaan sebagai berikut :
1) Pernyataan sidang dibuka dan terbuka untuk umum,
2) Majelis hakim menanyakan indentitas terdakwa,
3) Pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut Umum,
4) Majelis hakim menanyakan kepada terdakwa, apa-
kah sudah memahami isi surat dakwaan,
5) Terdakwa atau penasehat hukumnya dapat menga-
jukan eksepsi,
6) Dengan adanya eksepsi yang menyangkut kompen-
tensi absolut dan/atau relatif, atau eksepsi menge-
nai Surat Dakwaan dapat dijatuhkan putusan sela;
7) Pemeriksaan saksi-saksi, alat bukti lainnya dan
pemeriksaan terdakwa,
8) Apabila pemeriksaan dianggap cukup, maka Penun-
tut Umum membacakan surat tuntutan (Requisitoir),
9) Terdakwa dan penasehat hukumnya dapat menga-
jukan pembelaan (Pledoi),
10) Penuntut Umum dapat menanggapi pledoi, dengan
mengajukan replik,
11) Terdakwa atau Penasehat Hukumnya dapat me-
nanggapi replik dengan duplik,
12) Majelis Hakim menjatuhkan putusan (vonnis)

4. Macam-macam Putusan Hakim


Putusan hakim dalam perkara pidana, terdapat 3 (tiga)
macam, yaitu :
a. Vrijspraak,
Putusan hakim yang berupa pembebasan Terdakwa.
Dalam putusan yang membebaskan Terdakwa

Pengantar Hukum Indonesia 143


dijatuhkan karena perbuatan/tindak pidana yang
didakwakan kepada tidak terbukti atau bukti minimum
tidak terpenuhi,atau hakim tidak yakin atas kesalahan
terdakwa.
b. Onslag van rechtvervolging,
Dalam putusan ini, perbuatan terdakwa/tindak pidana
terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan
tindak pidana atau ada alasan yang menghapuskan
pidana.
c. Verordeling
Dalam hal ini, perbuatan/tindak pidana yang didakwa-
kan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakin-
kan.

5. Jenis-jenis Upaya Hukum


Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut
umum untuk tidak menerima putusan hakim. Tujuan
diadakannya upaya hukum adalah untuk memperbaiki
kesalahan/kekeliruan yang mungkin terjadi dalam
pengampilan putusan.
Dalam perkara pidana ada 2 ( dua ) macam upaya hukum,
yaitu ;
a. Upaya Hukum Biasa,
Merupakan upaya hukum untuk memperbaiki putusan
hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum biasa, dapat berupa ;
1) Banding,
2) Kasasi.
b. Upaya Hukum Luar Biasa,
Merupakan upaya hukum untuk memperbaiki putusan
hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap.

144 Pengantar Hukum Indonesia


Upaya hukum luar biasa, dapat berupa ;
1) Peninjauan Kembali/PK,
2) Kasasi demi kepentingan hukum

6. Pelaksanaan Putusan Hakim


Putusan hakim yang sudah berkekuatan tetap/in
kracht van gewisjde, harus dilaksanakan dan pihak yang
berhak melaksanakan putusan hakim adalah Jaksa. Dalam
hal ini panitera pengadilan negeri berkewajiban untuk
mengirimkan putusan hakim kepada Jaksa/penuntut umum
untuk dilaksanakan sesuai dengan amar putusan hakim.

Pengantar Hukum Indonesia 145


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Jamal. 1993. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja


Grafinda Persada
Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis. 2005.
Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Ahmad AzharBasyir. 2001. Ikhtisar Fiqih Jinayat (Hukum Pidana
Islam). Yogyakarta: Fakutas Hukum UII
A H Djazuli. 2000. Fiqih Jinayat. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ahmad Hanafi. 1990. Asas-Asas Hkum Pidana Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Siti Soetami. 2005. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: PT.
Refika Aditama
Bachsan Mustafa. 1985. Sketsa dari Tata Hukum Indonesia. Bandung:
Armico
F. Sugeng Istanto. 1998. Hukum Internasional. Yogyakarta : Atmajaya.
Hartono Hadisaputro. 1999. Pengantar Hukum Indonesia. Yogyakarta:
Liberty
JB. Daliyo. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Prehalindo
Jimly Asshiddiqie.2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
2007. Pokok-Pokok Hukum Tatanegara Indonesia. Jakarta:
PT. Buana Populer
Kansil CST. 2000. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indoesia.
Jakarta: PT. Balai Pustaka

146 Pengantar Hukum Indonesia


dan Christine ST Kandil. 2002. Pokok-Pokok Pengetahuan
Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Kusumadi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Aksara Baru
Lamintang. 1982. Dasar-dasarHukumPidana. Bandung :SinarBaru.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum
Internasional. Bandung: Alumni.
Moeljatno.1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.
Jakarta: BinaAksara
. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.
Mohammad Daud Ali. 2002. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja GrafindoPersada
Rahmat Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayat). Bandung:
PustakaSetia,
R. Subektidan R. Citrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
1994. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan
Undang- Undang Kepailitan. Jakarta: PT. Pradjnja Paramita
Starke J.G diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. 2000.
Introduction to International Law 1 edisi kesepuluh. Jakarta. Sinar
Grafika.
Starke J.G diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. 2000.
Introduction to International Law 2 edisi kesepuluh. Jakarta. Sinar
Grafika.
Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Liberty
Utrecht. 1990. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Aksara
Baru

Pengantar Hukum Indonesia 147

Anda mungkin juga menyukai