ii
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
(Sumber Elektronis)
Rofikah,
Ambar Budhi Sulistyawati,
Wida Astuti,
dkk
iii
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
(Sumber Elektronis)
Penulis : Rofikah, S.H., M.H.,
Ambar Budhi Sulistyawati, S.H., M.H.,
Wida Astuti, S.H., M.H.,
Sri Lestari Rahayu, S.H., M.H.,
Maria Madalina, S.H., M.H.,
Subekti, S.H., M.H.,
Dr. Soehartono, S.H., M.H.,
Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.,
Dr. Anjar Sri Cipto Rukmi Nugraheni, S.H., M.H.,
Purwono Sungkowo Raharjo, S.H., M.Hum.
Desain Cover : Jaka Susila
Layout isi : Aprilia Saraswati
Preliminary : i-x
Halaman Isi : 147 halaman
Ukuran Buku : 17,5 x 25 cm
Diterbitkan:
CV. INDOTAMA SOLO
Penerbit & Supplier Bookstore
Jl. Pelangi Selatan, Kepuhsari, Perum PDAM
Mojosongo, Jebres, Surakarta 57127
Telp. 085102820157, 08121547055, 081542834155
E-mail: hanifpustaka@gmail.com, pustakahanif@yahoo.com
Anggota IKAPI No. 165/JTE/2018
iv
KATA PENGANTAR
v
vi
DAFTAR ISI
Halaman Sampul............................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................. v
Daftar Isi............................................................................................. vii
vii
BAB V Dasar-dasar Hukum Dagang......................................... 57
A. Hubungan Hukum Dagang dengan Hukum
Perdata......................................................................... 57
B. Istilah dan Pengertian Hukum Dagang.................. 58
C. Sejarah Hukum Dagang............................................ 60
D. Sumber Hukum Dagang........................................... 61
E. Ruang Lingkup Hukum Dagang............................. 63
viii
D. Nilai-nilai Universal Hukum Adat.......................... 102
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Hukum Adat............................................................... 102
F. Lingkaran Hukum Adat di Indonesia..................... 103
G. Hukum Waris Adat.................................................... 105
ix
x
BAB I
PROKLAMASI
“Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan
dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Soekarno – Hatta
2. Ciri-ciri Pajak
Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah :
3. Fungsi Pajak
Pajak dapat berfungsi sebagai :
a. Fungsi budjeter
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan
bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Contoh: dimasukkannya penerimaan dari sektor pajak
dalam APBN, sebagai penerimaan dalam negeri.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.
Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi
terhadap minuman keras, sehingga konsumsi minuman
keras dapat ditekan
5. Pengelompokan Pajak
Dalam Hukum Pajak terdapat pembagian yang
didasarkan atas ciri tertentu pada setiap pajak, sehingga
terjadi pembagian pajak, sebagai berikut :
1. Menurut lembaga pemungutannya
a. Pajak Negara atau Pajak Pusat
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui
Direktorat Jendral Pajak
Yang termasuk pajak pusat adalah :
1) Pajak Penghasilan (PPh)
2) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas barang mewah (PPN dan
PPnBM)
3) Bea Materai (BM)
4) PBB untuk perkebunan, perhutanan, pertambangan
b. Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
Tingkat I maupun daerah tingkat II (Kota/
Kabupaten) sesuai Undang-Undang Nomor 28 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jenis-jenis pajaknnya sebagai berikut :
1) Jenis pajak daerah untuk Pemerintah Propinsi,
terdiri :
Hukum Keluarga
Hukum keluarga adalah peraturan hukum timbul untuk
mengatur pergaulan hidup kekeluargaan.
Hukum Keluarga meliputi:
1. Kekuasaan orang tua (Outderlijke Macht)
Semua anak yang masih di bawah umur (belum berumur
21 tahun atau belum kawin sebelumnya) berada di bawah
kekuasaan orang tua. Artinya bahwa selama si anak itu belum
dewasa orang tua mempunyai kewajiban alimentasi yaitu
kewajiban untuk memelihara, mendidik, memberi nafkah
hingga anak-anak itu dewasa atau sudah kawin. Sebaliknya si
anak juga wajib patuh terhadap orang tua dan apabila anak itu
telah berkeluarga wajib membantu perekanomian orang tua
yang tidak mampu menurut garis lurus keatas.
Dalam melakukan kekuasaan orang tua, bapak atau ibu
mempunyai hak kekayaan anaknya dan berhak menikmati hasil
dari kekayaan itu.
Kekayaan orang tua berakhir apabila :
a. Anak telah dewasa atau sudah kawin
b. Perkawinan orang tua putus (BW). Undang-Undang
Perkawinan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak demikian.
2. Perwalian (voogdij)
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah
umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya,
serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur
oleh undang-undang.
Pada dasarnya anak yatim piatu atau anak di bawah umur
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua memerlukan
bimbingan dan pemeliharaan, karena itu perlu ditunjuk wali
atau yayasan yang mengurus keperluan dan kepentingan
hukum anak-anak tersebut.
Hakim biasanya menetapkan seorang wali yang masih
ada hubungan darah terdekat dengan si anak, atau ayah dari
anak itu yang oleh sesuatu hal perkawinannya dengan ibu si
anak tersebut telah putus, dapat juga saudara-saudaranya yang
dianggap cakap untuk itu. Namun demikian, hakim juga dapat
menetapkan seseorang atau perkumpulan, misalnya yayasan
sebagai wali.
Perwalian dapat terjadi karena :
a. Perkawinan orang tua putus baik karena kematian atau
percerian (BW), Undang Undang Perkawinan tidak
demikian.
b. Kekuasaan orang tua dicabut atau dibebaskan
Dalam keadaan yang tersebut terakhir ini hakum
mengangkat seorang wali yang disebut sebagai wali
pengawas. Wali pengawas di Indonesia dijalankan oleh
Balai Harta Peninggalan.
4. Perkawinan
Perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diatur dalam Titel Buku IV dari Pasal 26 dan seterusnya.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor : 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya
(Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975), perkawinan yang
diatur dalam Buku I Kitab Undang Undang Hukum Perdata
sebagian besar tidak berlaku lagi. Hal ini diatur Pasal 66
Hukum benda
1. Pengerian Benda
Menurut Pasal 499 KUHPdt, pengertian benda atau “zaak”
adalah,“ segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik”.
Yang menjadi objek hak milik dapat berupa barang dapat pula
berupa hak, seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain.
2. Macam-macam Benda
Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur
dalam BW benda dapat dibedakan atas:
a. Benda tidak bergerak dan benda bergerak
b. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada
c. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat
diganti
d. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi
e. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak
diperdagangkan
3. Pengertian Hak kebendaan
Hak kebendaan, ialah hak mutlak atas suatu benda dimana
hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan
dapat dipertahnkan terhadap siapa pun juga. Hak kebendaan
yang diatur dalam Buku II BW dapat dibedakan atas dua
macam, yaitu :
a. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan, yaitu:
hak milik, bezit, hak memunggut hasil, hak pakai, dan hak
mendiami.
b. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan, yaitu: gadai,
fiduisa, hak tanggungan, hipotek.
Hukum Perikatan
1. Istilah dan Pengertian Perikatan
Buku III BW berjudul Van Verbintenissen. Istilah Verbintenis
dalam BW merupakan salinan istilah Obligation dalam Code
Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang
terkenal dengan istilah obligation.
Istilah Verbintenis dalam BW ternyata diterjemahkan berbeda-
beda dalam kepustakaan dengan perjanjian, dan ada pula yang
menerjemahkan dengan perikatan. Penggunaan istilah periktan
Hukum Waris
Hukum waris ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur nasib
kekayaan orang setelah pemiliknya meninggal dunia.
Selama hidupnya setiap manusia memiliki kekayaan, dan
kekayaan tersebut tidak akan dibawa setelah dirinya meninggal
dunia. Kekayaan itu akan dibagikan kepada yang berhak menerima
yaitu keturunan terdekat dari yang meninggal dunia dan atau orang
yang ditunjuk untuk menerima. Oleh orang yang meninggal dunia/
pewaris sedangkan yang berhak menerima harta peninggalan
dinamakan”ahli waris”. Hukum Waris mengenal adanya 2 (dua)
macam hukum waris, yaitu hukum waris tanpa wasiat atau hukum
waris ob intestoto dan hukum waris wasiat (testamen)
Hukum waris ab intestato mengatur tentang penerimaan
warisan dari seseorang yang meninggal dunia tidak mengadakan
ketentuan-ketentuan mengenai kekayaan. Menurut Pasal 832 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa “yang berhak
untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah baik sah
maupun luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama”.
Kalau keluarga sedarah atau suami atau isteri yang terlama tidak
ada, maka segala harta peninggalan milik negara dengan melunasi
segala hutang sekedar harta peinggalan menjadi mencukupi untuk
itu”. Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dari suami atau
isteri yang hidup terlama sebagai ahli waris ada 4 (empat) golongan,
yaitu :
G. Tujuan Pemidanaan
Pemidanaan merupakan pemberian sanksi pidana kepada
pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Pemidanaan ini mempunyai tujuan untuk melindungi
1. Al-Quran
Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran,
sebuah kitab suci umat Muslim yang diturunkan kepada
nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat
Jibril. Al-Qur’an memuat kandungan-kandungan yang
berisi perintah, larangan, anjuran, kisah Islam, ketentuan,
hikmah dan sebagainya. Al-Qur’an menjelaskan secara rinci
bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya
agar tercipta masyarakat yang ber akhlak mulia. Maka dari
itulah, ayat-ayat Al-Qur’an menjadi landasan utama untuk
menetapkan suatu syariat.
2. Al-Hadist
Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist,
yakni segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah
SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, diamnya beliau. Di
dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang merinci
segala aturan yang masih global dalam Al-quran. Kata hadits
yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Rasulullah
SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Islam.
4. Qiyas
Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran,
Al-Hadits dan Ijma’ adalah Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan
sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al Qur’an
ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang
serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya
tersebut. Artinya jika suatu nash telah menunjukkan
hukum mengenai suatu kasus dalam agama Islam dan telah
diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui
permasalahan hukum tersebut, kemudian ada kasus lainnya
yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu
hal itu juga, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan
hukum kasus yang ada nash-nya.
Dalam hukum positif Indonesia, sumber hukum Islam
terdapat dalam :
1. UU No. 7/1989 jo UU No.UU No 3/2006 jo UU No. 50/2009
tentang Peradilan Agama. Menurut Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
ditetapkan bahwa Peradilan Agama segabai peradilan yang
mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat dengan
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara sebagai peradilan negara.
Metode Berijtihad
Menurut Al-Qur`an Surat an-Nisa` (4) ayat 59, setiap
muslim wajib mentaati perintah Allah, kehendak Rasul dan
kehendak ulil amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan
atau penguasa. Kehendak Allah tertulis dalam Al-Qur`an,
kehendak Rasullullah terhimpun dalam Sunnah (Hadits),
kehendak penguasa termaktub dalam kitab-kitab fiqih.
Penguasa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang-orang
yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena “kekuasaan”
berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) hukum
Islam dari dua sumber utamanya yakni Al-Qur`an dan sunnah
Nabi Muhammad. Hal-hal yang ditetapkan Allah dalam Al-
Qur`an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam
percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang
sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi Gubernur di
Yaman. Sebelum Mu`az bin Jabal berangkat ke Yaman, Nabi
Muhammad menguji dengan menanyakan sumber hukum
yang akan dia pergunakan untuk menyelesaikan masalah atau
sengketa yang dia hadapi di daerah yang baru itu. Pertanyaan
itu dijawab oleh Mu`az bahwa dia akan menggunakan al-
Qur`an. Jawaban itu kemudian disusul oleh Nabi Muhammad
dengan pertanyaan berikutnya: Jika tidak terdapat petunjuk
khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-Qur’an bagaimana?
Muaz menjawab: Saya akan mencarinya dalam Sunnah Nabi
Muhammad. Kemudian Nabi bertanya: Kalau engkau tidak
menemukan petunjuk pemecahannya dalam Sunnah Nabi
Muhammad, bagaimana? Kemudian Mu`az menjawab: Jika
demikian, saya mempergunakan akal saya dan akan mengikuti
Ahli Waris
Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan
atas dasar tinjauan dari segi kelaminnya dan dari segi haknya
atas harta warisan. Dari segi jenis kelaminnya, ahli waris dibagi
menjadi dua golongan, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris
perempuan. Dari segi haknya atas harta warisan, ahli waris
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu ahli waris dzawil furudl,
ahli waris ashabah, dan ahli waris dzawil arhaam.
Ahli waris laki-laki
1. ayah
2. kakek (bapak ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-
laki
3. anak laki-laki
4. cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke
bawah dari garis laki-laki
5. saudara laki-laki kandung (seayah seibu)
6. sadara laki-laki seayah
7. saudara laki-laki seibu
b. Sistem Kolektif
Harta warisan diwarisi oleh sekelompok ahli
waris, harta warisan tidak boleh dibagi-bagikan oleh
pemiliknya diantara ahli waris dan hanya boleh dibagi-
bagikan pemakaiannya saja seperti dalam masyarakat
matrilineal di Minangkabau.
c. Sistem Mayorat
Harta warisan diwaris keseluruhannya atau sebagian
besar oleh anak saja dan merupakan anak yang termuda
(bungsu).
Dalam pewarisan menurut hukum Adat perlu
diperhatikan adanya tipe masyarakat hukum Adat yaitu
adanya masyarakat hukum yang Geneologis (masyarakat
hukum berdasar pertalian darah) disamping adanya
masyarakat hukum yang territorial (berdasar tempat tinggal)
serta adanya susunan hukum kekeluargaan masyarakat
adat yaitu Patrilinial (garis keturunan bapak), Matrilinial
(garis keturunan ibu), dan Parental (garis keturunan bapak
dan ibu).
Perkembangan Jurisprodensi sehubungan dengan janda
dan anak angkat.
2. Kebiasaan Internasional
Kebiasaan Internasional merupakan kaidah hukum
yakni ketentuan yang mengikat negara-negara dalam
hubungan satu sama lain. Dalam Pasal 38 ayat (1) sub b
Statuta Mahkamah Internasional merumuskan “International
custom, as evidence of general practice accepted as law”. Secara
sederhana dapat diartikan kebiasaan Internasional adalah
yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai
hukum. Dalam perincian tersebut harus dipenuhi dua unsur
yang masing-masing dapat disebut unsur materiil dan unsur
psikologis yaitu kenyataan adanya kebiasaan umum (unsur
materiil) dan diterimanya kebiasaan Internasional sebagai
b. Teori Dualisme
Teori Dualisme mengemukakan bahwa antara Hukum
Internasional dan Hukum Nasional adalah dua sistem hukum
yang berbeda. Perbedaan antara Hukum Internasional dan
Hukum Nasional dapat dirinci sebagai berikut.
1) Subyek Hukum Internasional adalah negara-negara,
sedangkan subyek Hukum nasional adalah individu
(dalam kajian nasional)
2) Dalam hal sumber hukum, Hukum Internasional
bersumberkan pada kehendak bersama negara-negara,
adapun sumber Hukum Nasional bersumber pada
negara.
3) Hukum Nasional mempunyai integritas yang lebih
sempurna dibandingkan dengan Hukum Internasional.
c. Teori Koordinasi
Teori tersebut menyatakan bahwa Hukum Internasional
dan Hukum Nasional mempunyai kajian yang berbeda,
sehingga keduanya memiliki keutamaan masing-masing,
sehingga tidak dapat dijelaskan hierarki kedudukan antar
keduanya.