Anda di halaman 1dari 4

Bumi Manusia

Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6 Februari 1925, ketika Indonesia masih merupakan
koloni Belanda. Ia menjelaskan bahwa nama Pramoedya dibangun dari suku kata slogan
revolusioner "yang pertama di medan perang". Ayah Pram adalah seorang pengajar dan anggota
kelompok pro-kemerdekaan Budi Oetomo.Pramoedya Ananta Toer, secara luas dianggap sebagai
salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia, walaupun pernah ditahan
dan diasingkan di Pulau Buru, Pengasingan tak membuat jari-jarinya beku. Pak Pram menulis
empat novel atau yang dikenal dengan Tetralogi Buru, yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua
Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Pramoedya seorang novelis
Indonesia yang terkemuka dan sering dibicarakan oleh pengkritik sastra dalam dan luar negari.
A. Teeuw pula pernah mengungkapkan bahawa Pramoedya adalah penulis yang muncul hanya
sekali dalam satu generasi, atau malah dalam satu abad (1980: 242). Muzakka mengatakan
bahwa Pramoedya Ananta Toer sebagai sastrawan besar, terlepas dari persoalan pro dan kontra,
sudah diakui jagat sastra bahkan kehadirannya sebagai sastrawan diakui dunia internasional. Hal
itu terbukti dari banyaknya penghargaan sastra oleh beberapa negara dari luar negeri seperti
Amerika Serikat, Belanda,Filipina, Perancis, Jepang, Norwegia, dan Chili ( 2018: 127). Terbukti
dengan Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih
dari 42 bahasa asing. Salah satu karyanya yang berhasil diterjemahkan ke 4 bahasa asing adalah
Bumi Manusia. Novel yang berisi tentang keadaan sosial pada masa colonial dimana strata sosial
sangat tampak antara pribumi yang berada pada kelas terendah dengan para orang Belanda.

Bumi Manusia adalah karya yang mengisahkan tentang kegelisahan seorang pemuda
bernama Mingke. Ia merupakan seorang pemuda berdarah priyayi yang sedang menamatkan
sekolah HBS di Surabaya. Pola pikirnya yang kritis menjadikannnya lebih dewasa ketimbang
anak seusianya. Selain itu ia mampu keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang
bebas dan merdeka. Di sudut lain, ia malah membelah jiwa ke-Eropa-an yang didapatnya dari
bangku sekolah, yang saat itu menjadi simbol dan kiblat ilmu pengatahuan dan peradaban.

Cerita ini dibuka saat Mingke berkesempatan berkunjung ke rumah seorang Belanda
kaya, bernama Herman Mallena, Mingke diajak oleh temannya yang bernama Robert Shuurhof.
Saat berkunjung, ia tidak menemui Mallena, tapi malah bertemu dengan istrinya yang anggun,
bernama Nyai Ontosoroh dan anak gadisnya yang cantik; Annelies Mallena. Dari pertemuan
pertama ini pula semua berawal. Mingke dengan kesederhanaannya berhasil merebut simpati
gadis cantik jelita tersebut, hingga akhirnya mereka saling jatuh cinta. Percintaan ini pun
disetujui oleh ibunya yang bernama Nyai Ontosoroh.

Konfilk mulai memanas ketika Minke ditawari untuke menginap dan tinggal di rumah
mewah itu. Robert yang mengetahui keadaan itu, langsung tidak dapat menerima hal tersebut.
Sementara itu, di luar sana, tanggapan orang bermacam-macam. Ada yang menganggap Mingke
jatuh hati dengan kecantikan Nyai Ontosoroh yang kala itu dianggap negatif. Dalam pandangan
masyarakat, nyai Ontosoroh tidak lebih dari seorang gundik yang hidup dengan Robert Millema,
karena itu derajatnya sangat rendah. Kabar ini pula yang membuat keluarga, terutatama
ayahandanya, yang kala itu mendapat promosi bupati, menjemputnya dengan sebuah skenario
kejutan. Mingke pun harus dibawa paksa dari rumah nyai dalam keadaan tidak siap, seakan-akan
menjadi penjahat yang paling dicari-cari.

Singkat cerita, Mingke akhirnya menikah dengan pujaan hatinya, Annelies, secara Islam.
Kebahagiaan itu seakan jadi pertanda masa depan yang lebih baik. Semua orang memberi salam.
Namun, kebahagiaan itu tidak lama, karena Nyai Ontosoroh masih terlibat peradilan perihal
pengasuhan Annelies yang menurut hukum Belanda Annelies harus kembali ke Belanda karena
orangtuanya adalah seorang Belanda. Hukum Belanda juga tidak mengakui pernikahan yang
telah berlangsung dan menganggap Annelies masih anak-anak yang belum dewasa dan belum
pernah menikah. Akhirnya Belanda berhasil membawa Annelies.

Novel ini menggambarkan dengan jelas bagaimana keadaan sosial pada masa kolonial
Belanda yaitu sekitar abad 20 dimana adanya strata sosial didalam masyarakat Indonesia dahulu.
Orang Eropa dalam novel Bumi Manusia digambarkan sebagai orang-orang yang berasal dari
golongan/kelas atas (Borjuis) yang tinggi kedudukannya dan derajatnya dibandingkan dengan
orang-orang pribumi yang digolongkan dalam Kelas Bawah (Proletar). Hal ini dikarenakan orang
orang Eropa adalah orang-orang yang terpelajar dan selalu memiliki nilai tinggi dalam
pendidikannya. Orang Eropa juga dianggap mempunyai pendidikan yang lebih tinggi di banding
orang-orang pribumi. Sehingga pada waktu itu orang-orang eropa menjadi guru sekolah. Dan
semua guru pada waktu itu adalah orang-orang eropa. Sedangkan para pribumi hanya menggarap
lahan dan perkebunan milik Belanda dengan upah yang tidak sepadan dengan kerja keras para
pribumi.
Bumi Manusia merupakan novel yang termasuk novel beraliran realisme-sosialis.dengan
sosok tokoh Minke, merupakan tokoh cerminan pengalaman RM Tirto Adisuryo, seorang tokoh
pergerakan pada zaman kolonial yang mendirikan Sarekat Priyayi (organisasi nasional pertama).
Novel Bumi Manusia memberikan pandangan tentang keadaan pada saat Indonesia masih
menjadi negara yang belum seutuhnya merdeka dimana Pak Pram menggambarkan keadaan
yang masih terdapat pembagian status pada masyarakat. Juga dengan diselimuti tokoh yang
memiliki keunikan dalam memerankan karakter masing-masing tokoh. Dalam Bumi Manusia,
Pram menggambarkan bagaimana seorang nyai yang dianggap bernilai rendah kesusilaannya dan
selalu menjadi bahan pergunjingan banyak orang, ternyata mempunyai kualitas diri yang lebih
baik dari semua wanita pribumi terpelajar dan terhormat pada saat itu. Bahkan, jika nyai yang
satu ini dibandingkan dengan para wanita Eropa totok, ia masih jauh lebih baik. Tokoh Nyai
Ontosoroh dalam novel ini juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya dari Minke, tokoh
utamanya sendiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Pram juga ingin membuktikan bahwa semua
manusia di dunia ini sama. Tidak peduli apakah dia itu orang Eropa atau bukan, pria atau wanita,
nyonya atau nyai; semuanya mempunyai hak yang sama di dunia ini. Tidak ada alasan untuk
memandang seseorang dengan sebelah mataTokoh Minke juga merealisasikan keinginan Pram
untuk menyamaratakan kedudukan semua manusia tanpa pandang bulu. Minke yang berdarah
biru malah berpendapat bahwa kebangsawanan hanyalah warisan masa lalu yang hanya bisa
merendahkan orang lain.

“tak mungkin kau seperti wanita belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti yang
sekaran. Biar begitu kau lebih cerdas dan lebih baik daripada mereka semua. Semua” ia tertawa
mengakak”( Bumi Manusia :136)

Dalam kutipan diatas, Tuan Mallema memperlihatkan karakter tokoh yang


menggambarkan sifat kasar, semena-mena, dan kurang ajar terhadap isrinya yaitu Nyai
Ontosoroh serta para pekerja dirumahnya. Saya memahami jika Tuan Mallema sedang memuji
Nyai Ontosoroh tetapi disisi lain ia juga sedang mengolok para pribumi yang dinilai bodoh oleh
Tuan Mallema sehingga ia merasa bangga dan tinggi statusnya sebagai orang Eropa.

Melalui Bumi Manusia, Pak Pram ingin mengingatkan kita bahwa semua orang
mempunyai hak yang sama dan orang lain harus menghormati hak-hak tersebut tanpa melihat
status, jabatan, suku, bangsa, maupun jenis kelaminnya. Melalui tokoh Minke yang berani
mencintai gadis Eropa menunjukkan bahwa dirinya sebagai seorang pribumi juga pantas
bersanding dengan seorang gadis Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa semua orang di dunia ini
sama dan tidak ada apa pun yang dapat membedakan mereka.Pram juga ingin menyampaikan
bagaimana sebuah perjuangan tidak hanya dilihat dari hasil akhirnya. Proses perjuangan itu
sendiri juga merupakan penentu keberhasilannya. Kemenangan yang diraih dengan kecurangan
tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kekalahan yang disertai dengan perjuangan
terhormat.

Anda mungkin juga menyukai