Anda di halaman 1dari 10

Penentuan Sampling Ekosistem Rikhus Vektora Berdasar Data Satelit Remote Sensing .................................................. (Suryanta et al.

PENENTUAN SAMPLING EKOSISTEM RIKHUS VEKTORA BERDASAR


DATA SATELIT REMOTE SENSING DAN SISTEM INFORMASI
GEOGRAFIS
(Determination of Rikhone Vectora Ecosystem Sampling
Based on Remote Sensing Satellite Data and Information System)

Jaka Suryanta1, Irmadi Nahib1, Nursugi 1, dan Ristyanto2


Badan Informasi Geospasial1
Departemen Kesehatan2
Jl Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong 16911 Indonesia
E-mail: jakaeriko@gmail.com

ABSTRAK
Diindikasikan sebaran endemik DBD dan penyakit vilariosis masih tersebar di seluruh Indonesia.
Penderita akibat gigitan nyamuk dan kencing tikus ini banyak menjadi korban hingga meninggal terutama
saat peralihan musim. Bagaimana mengetahui sebaran serangga dan hewan yang habitatnya di lingkungan
hutan, rawa, permukiman dan pantai ini. Indonesia cukup luas sehingga untuk mengetahui persebaran
habitatnya dilakukan sampling dengan bantuan Sistem informasi geografis dan Remote Sensing. Tujuan
Penelitian ini adalah mengkaji ketelitian sampling pada limabelas provinsi yang menjadi daerah pilihan.
Metode yang dipakai adalah buffer, overlay, dan interpretasi objek yang diduga sebagai ekosistemnya. Data
yang dipakai adalah Peta administrasi, land system, peta penutup lahan, Peta RBI, citra satelit Spot. Hasil
penelitian dari 270 titik sampling menunjukkkan 75 % hasilnya cukup baik sesuai kriteria yang ditentukan
dan dapat mewakili habitat yang dituju. Metode ini dapat membantu Badan Litbang kesehatan dalam
melakukan penelitian terutama penentuan habitat Rikus vektora.

Kata kunci: Rikhus vektora, GIS, RS, habitat.

ABSTRACT
Indicates the distribution of endemic DHF and vilariosis disease is still scattered throughout Indonesia.
Patients due to mosquito bites and rat urine is a lot of victims to die especially during the transition season.
How to know the distribution of insects and animals habitat in this environment of forests, swamps,
settlements and beaches. Indonesia is wide enough so that to know the spread of habitat is done by
sampling with the help of geographic information system and Remote Sensing. The purpose of this study is
to examine the accuracy of sampling in the fifteen provinces that became the preferred area. The method
used is the buffer, overlay, and interpretation of objects that are suspected as the ecosystem. The data used
are administrative map, land system, land cover map, RBI Map, Spot satellite image. The results of 270
sampling points indicate that 75% of the results are good enough according to the criteria specified and can
represent the intended habitat. This method can help the Health Research and Development Agency in
conducting research, especially the determination of vectora rats habitat.

Keywords: Rikhus vektora, GIS, Remote Sensing, habitat.

PENDAHULUAN

Riset Khusus Vektor dan Reservoir Penyakit (Rikhus Vektora) adalah riset nasional yang
diselenggarakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
(B2P2VRP) Depkes di Salatiga. Rikhus Vektora adalah suatu kegiatan riset yang diarahkan untuk
mengetahui gambaran vektor dan reservoir penyakit, termasuk di dalamnya adalah data nyamuk,
tikus dan kelelawar dengan menggunakan hasil observasi bionomik, uji identifikasi dan
pemeriksaan laboratorium. Adanya ancaman risiko dari penyakit tular vektor dan reservoir secara
global dan nasional sangat tinggi, data bio-diversitas fauna di Indonesia yang kompleks akibat
kondisi bio-geografis (pertemuan daerah Oriental dan Australia) belum terbaharukan dengan baik,

1147
Seminar Nasional Geomatika 2018: Penggunaan dan Pengembangan Produk Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional

data penelitian terkait vektor dan reservoir penyakit belum terwakili secara nasional, data model
penanggulangan secara lokal spesifik belum lengkap. Secara umum sebaran nyamuk zona risiko
tinggi terkonsentrasi di daerah pantai, Sedangkan zona tidak berisiko (non risk) terkonsentrasi di
daerah pegunungan (Marpaung, 2006). Interaksi antara data lingkungan dan unsur cuaca
terhadap siklus perindukan dan metabolisme nyamuk merupakan faktor utama dalam memprediksi
jumlah kasus malaria (Hasyim et al., 2014). Tujuan umum pelaksanaan riset khusus vektor dan
reservoir ini adalah untuk melakukan pemuktahiran data sebaran vektor dan reservoir penyakit
secara nasional sebagai dasar pengendalian penyakit tular vektor dan reservoir (baik jenis penyakit
infeksi baru maupun yang muncul kembali) di Indonesia. Sedangkan tujuan khusus adalah
menentukan sampling habitat riset ini dengan menerapkan Sistem informasi geografis dan
Penginderaan jauh dengan data skala menengah untuk memperoleh peta sebaran vektor dan
reservoir penyakit, mencari kemungkinan munculnya vektor dan reservoir penyakit baru atau
belum terlaporkan yang berasal dari hasil koleksi sampel nyamuk, tikus dan kelelawar; mencari
kemungkinan munculnya patogen penyakit tular vektor dan reservoir baru/belum terlaporkan;
mengembangkan spesimen koleksi referensi vektor dan reservoir penyakit; dan memperoleh data
sekunder penanggulangan penyakit tular vektor dan reservoir berbasis ekosistem. Rikhus vektor
dan reservoir penyakit dilaksanakan secara bertahap di wilayah kabupaten/Kota di Indonesia yang
terpilih sebagai daerah penelitian, mulai dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2017.
Penelitian dilanjutkan dengan analisis lanjut secara menyeluruh pada tahun 2018 yang
bertujuan untuk pemutakhiran data mengenai sebaran geografis, perubahan iklim serta konfirmasi
vektor dan reservoir penyakit. Pada tahap pertama tahun 2015, rikhus vektora telah dilaksanakan
di 4 provinsi yaitu Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Papua. Permasalahan
yang muncul pada penelitian tahap pertama ini adalah kesulitan dalam menentukan titik sampel,
apakah sudah cukup mewakili ekosistem yang dimaksud. Sampling di ukur dan atas usulan balai
penelitian kesehatan setempat berdasar observasi dan pengamatan para peneliti setempat.
Ekosistem yang diharapkan sebagian sesuai dan lainnya terdapat kendala, misalnya saat titik-titik
tersebut diplot kedalam peta beberapa titik masuk di luar garis pantai atau masuk ke laut, atau
terjadi masuk wilayah administrasi yang lain dari rencana semula, diduga terjadi kesalahan saat
setting peralatan, atau salah baca. Selanjutnya pada tahun 2016 dilaksanakan penelitian di 15
Provinsi sehingga penentuan sampling ekosistem diusahakan dengan cara lain dengan harapan
lebih cepat dan lebih sistematis yaitu dengan bantuan Data satelit dan data Sistem informasi
Geografis selanjutnya dilakukan kroscek dari kabupaten setempat. Pada setiap wilayah kabupaten
akan dipilih 6 titik dan setiap provinsi akan diambil 3 kabupaten sehinga seluruhnya 15 provinsi
ada 270 titik, selanjutnya dari 270 titik berapa prosen yang sudah tepat dan berapa prosen akan
diganti titik lain dengan berbagai pertimbangan akses, ketepatan ekosistem dan factor lainnya .
Pertanyaan selanjutnya adalah factor- faktor lain apa yang menyebabkan posisi titik sampling
ekosistem harus diganti di tempat lain. Tujuan Penelitian ini untuk menguji ketepatan sampling
pemilihan ekosistem pada 15 provinsi di Indonesia.

Penelitian yang hampir sama Sebelumnya

Indriani, Fuad, & Kusnanto (2011) dalam penelitiannya berjudul Pola Spasial-Temporal
Epidemi Demam Chikungunya dan Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta Tahun 2008.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pola spasial-temporal antara wabah
demam chikungunya dan kejadian demam berdarah dengue. Penelitian ini menggunakan
pendekatan studi ekologi yang menggunakan SIG terintegrasi, penginderaan jauh dan teknik
statistik. Menggunakan total data 802 chikungunya dan 498 kasus demam berdarah dalam sepuluh
bulan (November 2007 - Agustus 2008) dan data sekunder tentang variabel lingkungan meliputi
kepadatan populasi, kepadatan vegetasi, kepadatan bangunan, penggunaan lahan, indeks larva
dan iklim. Lokasi kasing diperoleh menggunakan GPS. Kurva epidemi diplot untuk mengidentifikasi
tren penyakit. Permutasi ruang waktu digunakan untuk mengidentifikasi pengelompokan penyakit.
Analisis tren temporal menunjukkan pola kesamaan antara chikungunya dan DBD, tren
peningkatan ditemukan beberapa minggu setelah hujan lebat. Ada korelasi positif antara penyakit
dan kepadatan penduduk, kepadatan bangunan. Kasus Chikungunya dan DBD cenderung terjadi

1148
Penentuan Sampling Ekosistem Rikhus Vektora Berdasar Data Satelit Remote Sensing .................................................. (Suryanta et al.)

pada penggunaan lahan perumahan yang dekat dengan penggunaan lahan komersial.
Pengelompokan spasial-temporal diamati pada kedua penyakit yang menunjukkan variasi dalam
pola infeksi lokal. Terdapat kesamaan pada kejadian cluster penyakit antara chikungunya dan
DHF.
Nuhung & Danoedoro (2010) dalam penelitiannya berjudul Pemodelan spasial zona
kerentanan kecacingan jenis STH (Soil Transmitted Helminth) berbasis data penginderaan jauh
(Citra worldview-1) dan sistem informasi geografis (SIG): Studi di sebagian Kota Pagatan
Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Tanah bumbu Propinsi Kalimantan. Penelitian ini bertujuan
untuk: (a) menerapkan kemampuan Penginderaan Jauh dan SIG untuk memperoleh dan
menganalisis kerentanan lingkungan sebagai fenomena Penyakit STH, (b) mengetahui karakteristik
lingkungan berdasarkan pola spasialnya yang berkaitan dengan kerentanan Penyakit STH, dan (c)
mengetahui akurasi citra Worldview-1 di dalam menentukan kerentanan Penyakit STH. Penelitian
ini menggunakan aplikasi Penginderaan Jauh (citra Worldview-1) sebagai sumber data primer
untuk memperoleh faktor-faktor kerentanan lingkungan fisik sehubungan dengan penyakit STH,
dan SIG untuk menganalisis berdasarkan pola keruangannya dengan pemodelan spasial. Penelitian
ini bersifat deskriptif analitik, dengan menggunakan rancangan data potong lintang. Kota Pagatan
dipilih sebagai lokasi penelitian, karena merupakan daerah endemis Penyakit STH dengan angka
prevalensi tertinggi di Kalimantan Selatan, yaitu 72,6% (2009), sedangkan angka prevalensi
nasional 30,35 % (2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik Penginderaan Jauh (citra
Worldview-1) dengan integrasi oleh SIG dapat digunakan untuk kajian pola spasial kerentanan
Penyakit STH dengan ketelitian yang cukup baik. Faktor-faktor lingkungan fisik yang
mempengaruhi kerentanan Penyakit STH di daerah penelitian berdasarkan pada parameter:
kualitas pemukiman, kualitas perilaku, dan kualitas sanitasi lingkungan. Kualitas pemukiman
didasarkan oleh faktor kepadatan dan keteraturan rumah mukim, parameter kualitas perilaku
penduduk didasarkan oleh faktor kualitas pengetahuan dan tindakan, dan parameter kualitas
fasilitas sanitasi didasarkan oleh kualitas dari faktor-faktor: sumur, jamban, saluran limbah rumah
tangga, dan tempat sampah. Dengan informasi ini, mengindikasikan bahwa penerapan aplikasi
data Penginderaan Jauh (Worldview-1) dengan SIG dapat memberikan suatu nilai yang positif
untuk program perencanan dan pemantauan dalam skala yang realistis, dan dapat menjadi salah
satu acuan pada pemberantasan Penyakit STH berdasarkan aspek lingkungan fisik.
Asmadi, Amin, Budiarti, & Raimadoya (2011) dalam penelitiannya berjudul Kajian parameter
keberadaan vektor penyakit demam berdarah dengue (dbd) menggunakan dukungan
penginderaan jauh (remote sensing) di kota Pontianak. Tujuan dari penelitian ini adalah: Pertama,
mengkaji seberapa besar dukungan penginderaan jauh (remote sensing) dalam mendeteksi
parameter keberadaan vektor DBD dalam menentukan tingkat intesitas penularan DBD. Kedua,
mengetahui parameter apasaja yang mempengaruhi keberadaan vektor DBD yang diperoleh
menggunakan dukungan penginderaan jauh dan investigasi vektor Aedes Aegypti, terhadap
intensitas penularan DBD. Ketiga, menduga jumlah penderita DBD berdasarkan kajian deteksi
parameter lingkungan dan keberadaan vector. Metode estimasi didasarkan pada kondisi
lingkungan dan sebagian besar data diperoleh melalui penginderaan jauh menggunakan IKONOS
satelit dan NOAA. Subjek penelitian adalah kondisi lingkungan daerah perkotaan yang dianggap
sebagai faktor risiko penularan DBD. Data dikumpulkan baik melalui observasi lapangan dan
penginderaan jauh. Set data dianalisis dengan modul analisis diskriminan menggunakan SPSS
17.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada variabel prediktor faktor risiko lingkungan yang
harus dipertimbangkan dalam estimasi intensitas penularan DBD di daerah endemis DBD tertentu.
Variabel-variabel tersebut meliputi: suhu udara, kepadatan vektor nyamuk, kelembaban relatif dan
kepadatan bangunan. Fungsi diskriminan linear diperoleh untuk memprediksi kejadian KLB DBD.
Menerapkan model ini, intensitas transmisi DBD di kabupaten tertentu dapat diperkirakan dengan
akurasi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model penilaian dapat dibangun dengan rumus
berikut: Y = 237.490 + 113.474 x (vektor) - 121.828 x (suhu) - 98.999 x (kelembaban relatif) +
78.782 x (bangunan) dengan akurasi setinggi 90, 9%.
Dari ketiga metode tersebut penggunaan GIS dan Remote Sensing dipakai untuk mengenali
atau mendeteksi lingkungan yang menjadi habitat nyamuk maupun cacing dari segi karakteristik
fisiknya. Metode penelitian ini menggunakan cara hampir sama dalam menentukan sampel yang

1149
Seminar Nasional Geomatika 2018: Penggunaan dan Pengembangan Produk Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional

diperkirakan menjadi habitat nyamuk dan reservoir kelelawar dan tikus. Syarat atau kriteria
ditentukan melalui FGD bersama para pakar Ekologi, ahli RS dan GIS. Posisi ditentukan terlebih
dahulu pada peta dan citra, serta analisis dng GIS kemudian dilakukan ground chek untuk
mengetahui seberapa ketelitian yang diperoleh dilanjutkan pendetailan dengan drone. Sedangkan
penelitian sebelumnya terbalik yaitu GPS untuk mengukur posisi habitat dilapangan setelahnya
dilakukan ploting pada peta.

METODE
Riset ini memanfaatkan data penginderaan jauh dan system informasi geografis sebagai alat
bantu dalam memilih sampel, kemudian sebaran dan korelasi antara lingkungan fisik alam dengan
lingkungan buatan menjadi pertimbangan dalam analisis (Elyazar IRF et all 2013). Kejadian
historis baik endemis dan informasi dari daerah setempat menjadi informasi awal yang sangat
penting. Data citra satelit untuk identifikasi jenis obyek hutan, permukiman, pantai dan
penggunaan lahan lainnya. Berbagai peta tematik di integrasikan menjadi sebuah data system
untuk memilih wilayah yang menjadi prioritas pemilihan habitat/ekosistem, untuk lebih jelas bisa
dilihat Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Diagram alir penelitian.

Bahan dan Peralatan

Citra Satelit Landsat 7 tahun 2014, Citra Spot 6 antara tahun 2010 sampai tahun 2015:

Peta penutup lahan 1 : 250.000, Peta RBI Skala 1 : 250.000,


Peta Landsystem skala 1 : 250.000
Peta RBI skala 1: 50.000 dan 1 : 25.000 sesuai ketersediaan daerahnya.
Software ArcGis 10.2 , GPS Handheld, dan drone.

Kriteria Ekosistem/habitat

Beberapa habitat yang dicirikan menurut kondisi lingkungan dalam mengambil sampel rikhus
vektora berdasar pedoman (Kemenkes RI, 2013), diperdalam dalam FGD oleh para pakar sebagai
berikut: Pertama, Hutan (aneka ragam vegetasi minimal luas 0,25 ha) Dekat Permukiman (dekat
artinya <3km), jauh artinya >= 3 km, berlaku bagi habitat yang lain. Kedua, Hutan Jauh
Permukiman. Ketiga, Non Hutan (tidak beraneka ragam) Dekat Permukiman. Keempat, Non Hutan
Jauh Permukiman. Kelima, Pantai Dekat Permukiman. Keenam, Pantai Jauh Permukiman.

1150
Penentuan Sampling Ekosistem Rikhus Vektora Berdasar Data Satelit Remote Sensing .................................................. (Suryanta et al.)

Ketentuan lain untuk pengamatan citra satelit

Vegetasi

Hutan: luas minimal 0,25 ha; tutupan kanopi 35%, diameter pohon lebih dari 10 cm, hutan
alami; padang rumput, semak belukar dll.
Non-hutan: kebun (tanaman buah)

Genangan air (berpedoman pada sungai, danau, lagun, rawa dll). Pantai/Coastal merupakah
wilayah kearah laut yang masih dipengaruhi daratan dan kearah
daratan yang dipengaruhi laut, mengacu pada peta landsystem. Daerah endemis penyakit tular
vektor/reservoir merupakan info dari kabupaten. Wilayah desa/kecamatan dengan memilih titik yg
terdapat jalan dan faskes. Penggeseran titik terkait kemudahan dan fasilitas tidak melebihi radius 1
km dan tetap di area ekosistemnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berpedoman pada Sembilan kriteria tersebut maka ditentukan dan terpilih sebaran titik
sampling pada 15 provinsi disajikan pada Tabel 1, sedangkan sebarannya pada Gambar 2.

Tabel 1. Lokasi koordinat penentuan titik sampling pada 6 tipe ekosistem yang diharapkan.
No propinsi Kabupate_1 Ekosistem Lintang Bujur Kecamatan_ Desa
Arongan
1 Aceh Aceh Barat HDP 4.381363 95.926803 gunung pulo
lambalek
18 Aceh Pidie PJP 5.446884 95.866253 Batee Hutan
Padang
35 SumBar PDP -0.512635 100.067916 Sungai Limau Kuranji Hilir
Pariaman
Padang
36 SumBar PJP -0.491577 100.078267 Sungai Limau Kuranji Hilir
Pariaman
52 Banten Serang NHJP -6.199562 105.98 Padarincang Batukuwung
53 Banten Serang PDP -6.234333 105.83 Cinangka Umbul Tanjung
59 Jawa Barat Pangandaran PDP -7.686414 108.560523 Parigi Cibenda
60 Jawa Barat Pangandaran PJP -7.785753 108.499732 Cimerak Masawah
88 Jawa Timur Malang NHJP -7.967628 112.822415 Jabung Taji
89 Jawa Timur Malang PDP -8.344062 112.938875 Tirto Yudo Pujiharjo
107 Kalsel Barito Kuala PDP -3.459754 114.366234 Tabunganen Kuala Lupak
108 Kalsel Barito Kuala PJP -3.471025 114.489135 Tabunganen Sungai T. Besar
124 NTT Sumba Tengah NHJP -9.676497 119.564083 KATIKUTANA MALINJAK
125 NTT Sumba Tengah PDP -9.377972 119.535944 MAMBORO UTARA
126 NTT Sumba Tengah PJP -9.367867 119.496531 Mamboro BARAT
127 NTB Bima HDP -8.754573 118.586364 PARADO PARADOWANE
143 NTB Lombok Barat NHDP -8.781521 116.120012 LEMBAR MAREJE
144 NTB Lombok Barat NHJP -8.790277 116.122153 LEMBAR MAREJE
160 SULTRA Muna NHJP -5.13213 122.569964 TONGKUNO FONGKANIWA
161 SULTRA Muna PDP -5.199239 122.589435 TONGKUNO OEMPU
179 BABEL Belitung PDP -2.556994 107.779131 SIJUK SIJUK
180 BABEL Belitung PJP -2.549028 107.822714 MEMBALONG PADANGKANDIS
197 SUL UTARA Minahasa PDP 1.393085 124.666369 Tombariri Ranowangko
198 SUL UTARA Minahasa PJP 1.114771 124.99695 Kakas Tumpaan
214 Kal Barat SAMBAS NHJP 1.090125 109.107947 Selakau Timur Selakau Tua
215 Kal Barat SAMBAS PDP 1.618528 109.196295 Paloh Matang Danau

1151
Seminar Nasional Geomatika 2018: Penggunaan dan Pengembangan Produk Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional

No propinsi Kabupate_1 Ekosistem Lintang Bujur Kecamatan_ Desa


232 Maluku Utara Ternate NHJP 0.82415 127.361546 Ternate Utara Sango
233 Maluku Utara Ternate PDP 0.861627 127.343083 Pulau Ternate Sulamadaha
250 Maluku Kepulauan Aru NHJP -6.227 134.3 Aru Tengah Gardakau
251 Maluku Kepulauan Aru PDP -6.531 134.1 Aru Selatan Kabulakin
252 Maluku Kepulauan Aru PJP -6.110115 134.772322 Aru Tengah
268 Lampung Tanggamus NHJP -5.49588 104.771808 Limau Antarberak
269 Lampung Tanggamus PDP -5.502306 104.621534 Kota Agung Pasar Madang

270 Lampung Tanggamus PJP -5.635385 104.850516 Cukuh Balak Pekondoh


Sumber: Litbangkes Salatiga 2017

Gambar 2. Sebaran sampling ekosistem rikus vektora.

Global penentuan titik sampling sejumlah 270 titik yang terdapat pada 15 propinsi meliputi
ekosistem HDP (hutan dekat permukiman), HJP (hutan jauh permukiman), NHJP (non hutan jauh
permukiman), NHDP (Non hutan dekat permukiman), PDP (pantai dekat permukiman), PJP (pantai
jauh permukiman) seperti. Dari 270 titik sampling setelah dilakukan pengecekan lapangan
diperoleh sebanyak 54 % dinyatakan sesuai sebagai ekosistem yang diharapkan dan 46 %
sampling mengalami perubahan titik dikarenakan berbagai factor kelemahan kemampuan metode
dan data yang digunakan dan penyebab factor lainnya seperti Tabel 2. Sampling Rikhus Vektora
tahun 2017 di 7 Provinsi yaitu Jambi (9) , Riau (9), Kalteng (9), DI Yogyakarta (9),Bali (9), Sulsel
(9) dan Papua Barat (9). Hampir semuanya menunjukkan hasil relatif baik, masih masuk pada
areal pemilihan sampling (sesuai EOI), karena metode ini sudah di ujikan hingga tahun 2016
dengan pendetailan lebih lanjut yaitu menggunakan drone.

Tabel 2. Jumlah titik yang mengalami pergeseran karena berbagai alasan.


Jumlah
Jumlah
No Provinsi titik % Keterangan kasus
titik
berubah
Kesalahan komunikasi dng dinas di
1 Maluku Utara 18 18 100,00 daerah

Perubahan ekosistem, ancaman binatang


buas, sulit diakses, isolasi penderita lepra
2 Sulawesi Utara 18 14 77,78 dan kepercayaan lokal

3 Kalimantan 18 13 72,22 Perubahan ekosistem karena beda tahun

1152
Penentuan Sampling Ekosistem Rikhus Vektora Berdasar Data Satelit Remote Sensing .................................................. (Suryanta et al.)

Jumlah
Jumlah
No Provinsi titik % Keterangan kasus
titik
berubah
Barat citra satelit, keadaan rawa dan rawan
banjir

Tidak ada kasus PTVZ dan berada di


4 Banten 18 12 66,67 daerah adat.

Salah ekosistem dan tempat wisata


5 Sulawesi Utara 18 12 66,67 ,Tidak ada breeding places

Titik koordinat di Kab./Kota lain (keliru


6 NTT 18 9 50,00 administrasi kota)

Wilayah pasang surut air laut, Tempat


7 Sumatera Barat 18 8 44,44 wisata atau milik perusahaan

Kondisi alam berbahaya (ombak besar),


8 Maluku 18 8 44,44 banyak ular dan buaya

9 Jawa Timur 18 8 44,44 Tidak aman dan ada pemekaran wilayah

Ijin dari Kementerian Kehutanan belum


keluar sampai pengumpulan data
10 Jawa Barat 18 7 38,89 berakhir

Titik koordinat ditempat ekosistem yang


tidak sesuai pada PJP, perubahan
11 Lampung 18 5 27,78 penggunaan lahan

Kalimantan Lokasi dipindah di daerah P. knowlesi


12 Selatan 18 4 22,22 (kebijakan dinas setempat)

Tidak ada nama desa, daerah kering dan


13 Aceh 18 3 16,67 pemekaran daerah

14 NTB 18 3 16,67 Kondisi lingkungan kering

Bangka
15 Belitung 18 2 11,11 Tidak ada kasus PTVZ

16 Jambi 18 1 5,56

17 Riau 18 1 5,56

Jumlah 270 126 46,67


Sumber: Litbangkes Salatiga 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 46,67 % sampel yang dipindahkan, terjadi karena murni salah interpretasi ekosistem
sebanyak 18 titik (14 %) karena wilayah kering dan tdk ada breading place, 14 titik (11%)
kesulitan acces, kesalahan administrasi (data lama) karena pemekaran wilayah 9 titik (7%) dan
yang lainnya terkait kebijakan serta keamanan serta tidak adanya kasus penyakit endemik. Untuk
meningkatkan keakurasian metode ini dapat dibantu dengan adanya citra relative baru serta
resolusi lebih tinggi untuk menghindari kesalahan akibat adanya salah interpretasi dan perubahan
ekosistem, dan yang sangat penting komunikasi dengan daerah tempat rencana penelitian.
Tentang wilayah coastal (pantai) seluruhnya sudah benar hanya tdk bisa mengidentifikasi sampai
sejauh mana pasang surut akan terjadi.
1153
Seminar Nasional Geomatika 2018: Penggunaan dan Pengembangan Produk Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional

Dengan mempertimbangkan akses dan tidak terdeteksinya kondisi kering serta tidak
terdeteksinya wilayah breading pada citra satelit spot6 ini, menyebabkan kesalahan (14% dan
11%) atau semuanya 25 %, maka ketelitian metode dengan bantuan GIS dan RS ini dapat
dikatakan 75 %. Gambar 3 berikut merupakan contoh titik sebelum (kuning) dan sesudah
dipindahkan (putih) kelokasi yang lain terkait tidak adanya kasus PTVZ dan berada di daerah
permukiman adat, hal ini memang tidak bisa dikenali dari data satelit. Secara umum habitat di
sekitar permukiman adalah Habitat perkembangbiakan Anopheles spp. yang ditemukan di air rawa,
kolam, genangan air sungai, dan parit atau selokan, bekas galian, dan juga genangan bekas roda
ba (Mahdalena et al., 2016).

Gambar 3. Contoh sampling di daerah Pandeglang Provinsi Banten.

Selanjutnya yang perlu dilakukan kajian kusus untuk menunjang kualitas penelitian ini adalah
bagaimana data satelit bisa memprediksi meledaknya wabah penyakit (Cookson 2014). Data
penginderaan jauh dapat membantu otoritas kesehatan, khususnya di negara-negara berkembang
seperti Indonesia ini, untuk mengantisipasi menyebarnya wabah penyakit. Tentu saja, data satelit
tidak dapat mendeteksi patogen atau penyakit secara langsung. Sebaliknya, data itu hanya
menunjukkan kondisi di mana lingkungan-hujan, kelembaban tanah, suhu dan vegetasi - akan
menunjukkan adanya ledakan pertumbuhan virus tertentu, bakteri atau parasite (Rent et all 2015).
Beberapa penyakit yang sangat sensitif terhadap lingkungan ,dengan jarak jauh penginderaan
manusia dapat mengidentifikasi tempat-tempat di mana penyakit berkembang. Informasi ini
berguna bagi para pengambil keputusan untuk membantu memastikan sumber daya yang langka
ditargetkan ke tempat masyarakat yang paling dibutuhkan. "
Clements berfokus pada penyakit parasit nyamuk meretas termasuk malaria. sistem prediksi
timnya telah diujicobakan di beberapa negara kecil, seperti Bhutan dan Vanuatu dan Kepulauan
Solomon di Melanesia. "Waktu turnround untuk memproses data satelit untuk penelitian adalah
enam sampai delapan minggu,". Sebuah turnround cepat akan diperlukan untuk menghasilkan
peta yang baik untuk keperluan operasional. (Kenneth Linthicum 2014), direktur Departemen
Pertanian AS pusat entomologi di Florida, telah sukses tertentu dalam memprediksi demam Rift
Valley, penyakit serius yang mempengaruhi manusia dan ternak di Afrika dimana bisa memprediksi
wabah 2-5 bulan sebelum terjadi,". Faktor kunci yang memicu demam Rift Valley adalah hujan
deras terutama banjir, yang menyediakan kondisi tempat penetasan yang baik untuk nyamuk
pembawa infeksi. Sebaliknya, virus Chikungunya tumbuh subur selama musim kemarau, yang
mendorong serangga untuk berkembang biak di sumber air buatan manusia dekat pemukiman
manusia. "Kuncinya adalah untuk memahami ekologi dan dinamika masing-masing penyakit
terlebih dahulu," (Sudomo 2007). Meskipun pemantauan penyakit bukan peran utama satelit
apapun, lebih dari selusin misi AS dan Eropa menghasilkan data penginderaan jauh cocok untuk
prediksi patogen, dengan beberapa lebih karena untuk memulai sebelum 2020. Data berkualitas
tinggi menjadi lebih mudah tersedia, kata Uriel kota Kitron, profesor ilmu lingkungan di Emory
University di Atlanta. Pada skala yang lebih kecil dari Linthicum dan Clements, menggabungkan
pengamatan satelit ke blok permukiman bahkan rumah ke rumah dalam kondisi pemetaan
lingkungan - teknik ini telah dilakukan di Kenya untuk schistosomiasis dan di Chicago untuk virus
West Nile. Terkait dengan kondisi lingkungan tikus, maka adanya air yang positif bakteri
leptospira, banyaknya genangan pada musim penghujan, aktivitas masyarakat yang banyak

1154
Penentuan Sampling Ekosistem Rikhus Vektora Berdasar Data Satelit Remote Sensing .................................................. (Suryanta et al.)

berhubungan dengan air sangat memungkinkan untuk terjadinya penularan leptospirosis (Ikawati
et al., 2009).

KESIMPULAN
Dari 270 titik sampling setelah dilakukan pengecekan lapangan diperoleh sebanyak 54 %
dinyatakan sesuai sebagai ekosistem yang diharapkan dan 46 % sampling mengalami perubahan
titik dikarenakan berbagai factor diantaranya : kebijakan Dinas Kesehatan setempat, keamanan
alam maupun politis dan akses yang tidak mungkin. Faktor Keamanan dan politis tidak bisa di
kenali dari data remote sensing, jika faktor ini diabaikan maka ketelitian GIS dan Remote sensing
mencapai 78 %, jika citra satelit resolusinya di tingkatkan maka ketelitian metode ini akan
mencapai 84 %. Penentuan sampling ekosistem rikhus vektora akan mencapai hasil optimal bila
dilakukan dengan survei multitingkat. ini berisi tentang simpulan hasil penelitian yang disusun
dalam bentuk narasi dan bukan pointer.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan Terima Kasih Kami sampaikan kepada Kepala PPKS BIG dan Litbangkes Rikus vektora
Salatiga yang sudah melakukan kerjasama dengan baik serta Panitia Seminar Geomatika tahun
2018 yang telah memfasilitasi kegiatan Seminar Nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Asmadi, A., Amin, A. A., Budiarti, S., & Raimadoya, M. A. (2011). Kajian Parameter Keberadaan Vektor
Penyakit Demam Berdarah Dengue (Dbd) Menggunakan Dukungan Penginderaan Jauh (Remote
Sensing) Di Kota Pontianak. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of Natural
Resources and Environmental Management), 1(1), 16.
Departemen Kesehatan, R. I. (2002). Pedoman survei entomologi demam berdarah dengue. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan .
Elyazar, I. R., Sinka, M. E., Gething, P. W., Tarmidzi, S. N., Surya, A., Kusriastuti, R., ... & Bangs, M. J.
(2013). The distribution and bionomics of Anopheles malaria vector mosquitoes in Indonesia.
In Advances in parasitology (Vol. 83, pp. 173-266). Academic Press.
Hasyim, H., Camelia, A., & Fajar, N. A. (2014). Determinan kejadian malaria di wilayah endemis. Kesmas:
National Public Health Journal, 291-294.
Ikawati, B., Sulistiyani, S., & Nurjazuli, N. (2009). Analisis Karakteristik Lingkungan Pada Kejadian
Leptospirosis di Kabupaten Demak Jawa Tengah Tahun 2009. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia, 8(2), 39-46.
Indriani, C., Fuad, A., & Kusnanto, H. (2011). Pola Spasial-Temporal Epidemi Demam Chikungunya dan
Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta Tahun 2008. Berita Kedokteran Masyarakat, 27(1), 41.
Mahdalena, V., & Ni’mah, T. (2016). Ekologi Nyamuk Anopheles spp. Di Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering
Ulu, Sumatera Selatan Tahun 2004-2015.SPIRAKEL, 8(2), 27-36.
Marpaung, F. (2006). Penyusunan Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria (Studi Kasus
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat).
Nuhung, H., & Danoedoro, P. (2010). Pemodelan spasial zona kerentanan kecacingan jenis STH (Soil
Transmitted Helminth) berbasis data penginderaan jauh (Citra worldview-1) dan sistem informasi
geografis (SIG): Studi di sebagian Kota Pagatan Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Tanah bumbu
Propinsi Kalimantan Selatan (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Ren, Z., Wang, D., Hwang, J., Bennett, A., Sturrock, H. J., Ma, A., ... & Wang, J. (2015). Spatial-temporal
variation and primary ecological drivers of Anopheles sinensis human biting rates in malaria epidemic-
prone regions of China. PLoS One, 10(1), e0116932.
Sudomo, M., & Pretty, M. D. (2007). Pemberantasan schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian
Kesehatan, 35(1 Mar).
Suwito, A. (2007). Keanekaragaman Jenis Nyamuk (Diptera: Culicidae) yang dikoleksi dari Tunggul Bambu di
Taman Nasional Gn. Gedepangrango dan Taman Nasional Gn. Halimun. Zoo Indonesia, 16(1).

1155
Seminar Nasional Geomatika 2018: Penggunaan dan Pengembangan Produk Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional

Halaman ini sengaja kami kosongkan

1156

Anda mungkin juga menyukai