Anda di halaman 1dari 101

Kajian Korupsi Sumber Daya Alam

MENGUAK AGENDA GELAP


KEBIJAKAN SUMBER DAYA ALAM
Kolaborasi:

Kementerian Kebijakan Nasional BEM KM IPB,


Kastrad BEM Fakultas Pertanian IPB,
Kastrat BEM Fakultas Kehutanan dan Lingkugan IPB,
Kastrad BEM Fakultas Ekologi Manusia IPB

Kajian ini ditinjau oleh:

Prof. Haryadi Kartodihardjo. M.S (Guru besar Institut Pertanian Bogor),


Eko Cahyono (Sajogyo Institut),
Asfinawati (LBH-YLBHI),
Merah Johan Syah (Jatamnas), dan
Egi Primayogha (ICW)

Institut Pertanian Bogor


2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................... i

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... ii

RINGKASAN .................................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 5

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 8

BAB I : Jejak Penanganan Korupsi


SDA di Indonesia ....................................................................................................... 12

BAB II : Kongkalikong Perizinan, Aturan


dan Ketertutupan Informasi ............................................................................. 20

BAB III : State Capture Corruption ............................................................... 28

BAB IV : Korupsi SDA Sektor Agraria


dan Pertanian ............................................................................................................. 35

BAB V : Korupsi SDA Sektor Kehutanan


dan Lingkungan ....................................................................................................... 52

BAB VI : Potensi Korupsi SDA pada RUU


Omnibus Law ............................................................................................................. 64

BAB VII : Posisi Strategis Mahasiswa dalam


Penanganan Korupsi SDA ................................................................................. 77

SIMPULAN .................................................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 86

BEM KM IPB 2020 i


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Survei KPK terkait Dana Pilkada tahun 2018

Tabel 2. Data Survei KPK terkait Sponsor Dana Pilkada

Tabel 3. Data korupsi pada tahun 2018 berdasarkan data

Tabel 4. Data korupsi dari berbagai sektor

Tabel 5. Jumlah Potensi Kerugian Negara di Berbagai Daerah di


Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Pihak Pelaku Konflik Agraria di Indonesia

Gambar 2. Diagram Faktor yang Memperburuk Keadaan Bisnis


di Indonesia

MENGUAK AGENDA GELAP ii


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
BEM KM IPB 2020 5
Korupsi menjadi permasalahan yang tak kunjung usai
di Indonesia, khususnya korupsi sumber daya alam. Publikasi
Indonesia Corruption Watch (ICW) 2019 menunjukan negara
merugi sampai Rp43,3 Miliar, dan 70% kerugian negara
disebabkan kasus pada sektor pertambangan. Tingginya kasus
korupsi di pertambangan nyatanya justru membuat pemerintah
menjadikannya sebagai dasar untuk memprioritaskan undang-
undang yang berpotensi memperparah korupsi di Indonesia.
Selasa 12 Mei 2020, DPR mengesahkan RUU Minerba yang
membuat perizinan dipegang penuh oleh pemerintah pusat
dan yang lebih mengkhawatirkan, masih ada RUU Ciptaker yang
diprioritaskan oleh DPR meski ditentang berbagai pihak karena
berpotensi memperparah kasus korupsi di Indonesia. Deforestasi
Indonesia mencapai angka 23,5 juta hektar selama periode 17
tahun sejak 2000. Belum lagi menyempitnya lahan pertanian
dan dampak negatif lainnya dari tambang. Semua merasakan hal
buruknya, tetapi para pelaku tidak tersentuh akibat perbuatannya
dipayungi hukum legal dari negara.

Pemerintah Indonesia membentuk lembaga khusus anti


korupsi yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), sayangnya sejak 17 tahun terakhir KPK masih belum
berhasil membasmi korupsi hingga ke akarnya. Hal ini diperparah
dengan disahkannya RUU KPK yang membuat KPK semakin
lemah. Gerakan KPK dalam bidang korupsi SDA salah satunya
mengategorikan korupsi SDA ke dalam TPK SDA yang bentuknya
beragam, dibentuk juga Gerakan Nasional Penyelamat Sumber
Daya Alam (GNP SDA) sebagai bentuk inisiatif penyelamatan
bersama dengan berbagai kementerian, pemerintah daerah dan
organisasi lainnya seperti WALHI, ICW, JIKALAHARI, dan KOMIU.
Sektor SDA menjadi salah satu sektor penyumbang PDB terbesar,
meski begitu kontribusi pajak dari sektor tersebut tidak sebesar
yang diharapkan. Hal ini menjadi sebab masifnya korupsi SDA

MENGUAK AGENDA GELAP 2


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
terjadi dan menyandera kepentingan negara. Penjarahan hutan,
alih fungsi lahan, sampai jual beli izin kelola tambang menjadi
sedikit contoh berbagai pola perusakan yang dilakukan oleh
koruptor di bidang SDA.

Semua korupsi SDA diperparah dengan praktik state capture


corruption. Hal ini merupakan penggunaan instrumen negara
untuk kepentingan kelompok, sehingga aturan yang sebenarnya
merusak dapat disahkan agar sesuai kepentingan oligarki.
Praktik ini pula yang menyebabkan banyak kasus perusakan
juga korupsi yang tidak tersentuh hukum, dikarenakan mereka
mengubah dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan
yang membuat aktivitas mereka legal di mata hukum. Secara
umum kita mengerucutkan titik rawan potensi korupsi di sektor
SDA khususnya di bidang agraria dan pertanian terletak pada
: 1) Tata kelola perizinan, 2) Informasi yang tertutup, 3) Oligarki
kekuasaan, dan 4) Penyalahgunaan wewenang. Keempat titik
rawan tersebut berkaitan erat dengan praktik penyalahgunaan
kekuasan di lapangan. Berbagai macam pola yang ditemukan
di bidang kehutanan diantaranya adalah, menyuap pejabat,
pemberian izin usaha, dan pembukaan hutan. Kompleksnya
permasalahan tersebut membuat kerusakan alam di Indonesia
hampir tidak dapat dihentikan.

Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis kajian ini, dapat


disimpulkan bahwa negara melalui pemerintah telah jauh dari
cita-cita luhur bangsa sebagaimana tercantum pada pembukaan
UUD 1945 Republik Indonesia yang berbunyi “Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
Sebab telah gagal mewujudkan negara Indonesia yang adil dan

BEM KM IPB 2020 3


makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, hal tersebut dibuktikan
dengan masih begitu banyaknya upaya tindak pidana korupsi
terkhusus korupsi sumberdaya alam yang begitu menyengsarakan
rakyat dan lingkungan. Maka dengan ini kami menegaskan
bahwa negara melalui pemerintah harus kembali pada cita-cita
luhur bangsa dalam mewujudkan negara Indonesia yang adil
dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia serta tegas melalui
kebijakan dan kekuasaannya untuk memberantas berbagai
upaya tindak pidana korupsi.

MENGUAK AGENDA GELAP 4


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
BEM KM IPB 2020 5
Peran-peran mahasiswa hari ini kian di uji dengan berbagai
polemik negeri yang semakin banyak dan jauh lebih kompleks
setiap harinya. Berawal dari proses politik yang tidak transparan
dan penuh kecacatan terlahirlah berbagai kebijakan yang tidak
berpihak kepada rakyat dan lingkungan. Hingga saat ini kebijakan-
kebijakan tersebut seakan diakomodir oleh pemerintah melalui
kekuasaan yang mereka miliki.

Kebijakan-kebijakan bermasalah tersebut kemudian


membuka ruang seluas-luasnya terhadap praktik korupsi di
Indonesia khususnya korupsi sumberdaya alam. Korupsi sumber
daya alam di Indonesia merupakan persoalan yang sudah
lama terjadi dan masih hadir pada kehidupan Indonesia pasca-
reformasi hingga saat ini. Sektor sumberdaya alam menjadi sektor
yang banyak diperebutkan karena sumbangsihnya terhadap
kekayaan negeri begitu besar. Setidaknya 10 persen dari total PDB
di Indonesia berasalah dari sektor sumberdaya alam. Hal tersebut
tentu saja menjadi rebutan bagi berbagai pihak untuk kemudian
dapat memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Istilah state capture corruption mungkin masih menjadi


sesuatu yang asing ditelinga khalayak Indonesia saat ini. Padahal
masing-masing dari rakyat Indonesia itu telah terdampak dari
operasi kotor state capture corruption yang dimainkan oleh
berbagai aktor politik, pengusaha, dan berbagai pihak lainnya.
Bentuk-bentuk state capture corruption dapat terlihat dari begitu
banyaknya praktik kongkalikong perijinan, aturan dan upaya
mengaburan terhadap informasi yang seharusnya menjadi hak
publik.

Kajian ini membedah secara holistik konsep, ruang lingkup,


dan dampak yang ditimbulkan oleh praktik korupsi sumberdaya
alam, serta memberikan analisis aktual terhadap beberapa
kebijakan pemerintah saat ini yang berpotensi membuka ruang
pada praktik korupsi sumberdaya alam. kajian ini diharapkan
dapat menjelaskan kepada masyarakat Indonesia akan bahaya

MENGUAK AGENDA GELAP 6


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
dan dampak yang disebabkan oleh korupsi sumberdaya alam
secara menyeluruh. Kajian ini juga dibuat agar pemerintah dan
wakil rakyat dapat membatalkan rencana pengesahan RUU Cipta
Kerja serta mendorong calon kepala daerah yang bertarung pada
pikada serentak 2020 agar berkomitmen penuh untuk tidak
melanggengkan praktik korupsi sumberdaya alam.

Puji serta syukur atas rahmat Allah SWT melalui kerjasama


BEM KM IPB 2020 dengan BEM Fakultas Pertanian IPB, BEM
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, serta BEM Fakultas
Ekologi dan Manusia IPB sehingga kajian ini dapat diselesaikan
dengan sebaik-baiknya. Kami juga mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada pak Prof. Hariadi Kartodiharjo, M.S,
kak Asfinawati dari LBH-YLBHI, Pak Eko Cahyono dari Sajogyo
Institut, Kak Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang,
kak Egi Primayogha dari Indonesian Corruption Watch sebagai
peninjau dalam kajian ini. Tak lupa pula terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada seluruh pihak yang terlibat dari kawan-kawan
BEM Fakultas IPB terkhusus BEM Fakultas Pertanian IPB, BEM
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, serta BEM Fakultas
Ekologi dan Manusia IPB, dan kementerian kebijakan nasional
BEM KM IPB 2020 sehingga kajian ini dapat rampung tepat waktu.

Terakhir, melalui kajian ini kami BEM KM IPB 2020 bersama


dengan BEM se-IPB hingga hari ini memastikan posisinya sebagai
penyeimbang kekuasaan dan tetap berkomitmen menjalankan
perannya sebagai lembaga kemahasiswaan yang independen,
memiliki intelektualitas, dan berintegritas dalam memberikan
kritik dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan terhadap
hak-hak rakyat.

Menteri Kebijakan Nasional


BEM KM IPB 2020 Kabinet Swara Cita

Emir Aulia

BEM KM IPB 2020 7


MENGUAK AGENDA GELAP 8
KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Korupsi sumber daya alam di Indonesia merupakan
persoalan yang sudah lama terjadi dan masih hadir pada
kehidupan Indonesia pasca-reformasi. Meskipun korupsi sumber
daya alam awalnya dilakukan terang-terangan pada era Orde
Baru, tetapi pemerintahan pasca reformasi masih meneruskan
praktik tersebut hingga sekarang. Publikasi Indonesia
Corruption Watch (ICW) mengenai tren penindakan korupsi
pada tahun 2019 menunjukkan bahwa kerugian negara akibat
kasus korupsi di Indonesia menyebabkan negara rugi sekitar
Rp43,3 miliar, tetapi nyatanya, dari 194 kasus tersebut, terdapat
4 kasus yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp5,9
triliun atau sekitar 70% dari kerugian negara akibat korupsi.
Persentase mayoritas tersebut disebabkan oleh kasus di bidang
pertambangan. Sebaliknya, dengan tingginya angka korupsi di
bidang pertambangan, pemerintah malah memprioritaskan
legislasi yang berpotensi memperluas dampak korupsi sumber
daya alam. DPR mengesahkan revisi UU Minerba pada 12 Mei lalu
yang memusatkan perizinan kepada pemerintah pusat. Tidak
berhenti disitu, potensi korupsi SDA juga terdapat dalam RUU
Cipta Lapangan Kerja yang saat ini diprioritaskan oleh DPR.

Korupsi secara umum diartikan sebagai tindakan mengambil


atau menggunakan sesuatu yang tidak sesuai dengan jatah atau
peruntukannya. Definisi ini berkonotasi negatif dan digunakan
untuk menggambarkan penyimpangan atau keburukan suatu
tindakan yang mengambil hak orang lain. Etimologi korupsi
berasal dari bahasa latin “corruptio” atau “corruptus” dari kata
kerja “corrumpere” yang diartikan sebagai kebusukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan menyimpang
dari kesucian. (KPK 2016). Transparency International (TI)
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan
untuk mengambil keuntungan pribadi. United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) pada 31 Oktober 2003

BEM KM IPB 2020 9


membagi korupsi menjadi 11 jenis, yaitu :

1. Penyuapan terhadap pejabat publik nasional.


2. Penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat
organisasi internasional.
3. Penggelapan, penyelewengan, atau bentuk pengalihan
kekayaan dengan cara lain oleh pejabat publik.
4. Menggunakan pengaruh untuk memperoleh otoritas
agar mendapat keuntungan yang tidak semestinya.
5. Penyalahgunaan wewenang jabatan untuk
keuntungan pribadi atau kelompok.
6. Memperkaya diri secara tidak sah sehingga kekayaannya
tidak dapat dijelaskan dengan pendapatannya yang
sah.
7. Penyuapan di sektor swasta.
8. Penggelapan kekayaan di sektor swasta.
9. Pencucian hasil kejahatan dengan berbagai cara untuk
menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul
kekayaan.
10. Menyembunyikan kekayaan yang berasal dari tindak
kriminal.
11. Menghalang-halangi proses hukum dan peradilan.

Kajian ini memandang bahwa korupsi merupakan suatu


upaya penyalahgunaan wewenang jabatan berupa penggelapan,
penyuapan, dan penyelewengan terhadap aset negara untuk
memperkaya diri sendiri dan kelompok tertentu

Korupsi SDA di Indonesia sangat erat kaitannya dengan


state capture corruption yang menjadikannya sebagai sebuah hal
yang legal walaupun merugikan. Hal tersebut merupakan salah
satu dari sekian banyak sebab kerugian sosial dan lingkungan
yang diakibatkan oleh korupsi SDA tidak dibawa ke ranah hukum.

MENGUAK AGENDA GELAP 10


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Namun, kerugian tersebut jelas adanya. Salah satu kerugian
tersebut adalah deforestasi yang terjadi di Indonesia mencapai
luas 23,5 juta Hektar selama periode 17 tahun sejak tahun 2000.
Selain itu, korupsi SDA juga banyak membuat petani kehilangan
sawah-sawah dan merasakan dampak negatif dari kegiatan
industri dan jiwa yang melayang akibat lubang-lubang bekas
galian tambang yang tidak direklamasi.

Kajian ini dibuat agar masyarakat Indonesia lebih


mengerti dan awas terhadap isu korupsi sumber daya alam dan
dampaknya. Kajian ini juga dibuat agar pemerintah membatalkan
rencana pengesahan RUU Cipta Kerja serta mendorong calon
kepala daerah yang akan bertanding di Pilkada serentak agar
berkomitmen untuk tidak melanggengkan praktik korupsi SDA.

BEM KM IPB 2020 11


MENGUAK AGENDA GELAP 12
KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Hal ini diperparah dengan
Lembaga
disahkannya perubahan
pemerintahan yang
terkait RUU KPK 2019 lalu, yang
bergerak untuk menangani
mengubah independensi KPK
kasus korupsi di Indonesia
di bawah pemerintah pusat
dinaungi di bawah Komisi
berdasarkan UU No. 19 Tahun
Pemberantasan Umum
2019. Revisi UU KPK tersebut
atau KPK, yang sifatnya
melemahkan KPK karena
independen dalam
KPK diposisikan sebagai
melakukan penegakan
suatu lembaga eksekutif
korupsi Indonesia. Meski
dan kedudukanya disahkan
sepak terjang KPK dalam
sebagai aparatur sipil negara
pemberantasan korupsi
(ASN), terbentuknya suatu
telah berlangsung selama 17
dewan pengawas dari eksternal
tahun terakhir, penanganan
KPK yang dipilih oleh DPR
terhadap kasus korupsi
berdasarkan usulan presiden
di Indonesia belum dapat
dan bertugas mengawasi
dituntaskan hingga ke akar
pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, serta pengaturan
mengenai Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang
menyebabkan pemberhentian penyidikan dan penuntutan
terhadap perkara yang tidak selesai dalam jangka paling lama
satu tahun (Iswinarno dan Aranditio 2019).

KPK mengawasi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh


lembaga pemerintahan dalam berbagai sektor. Salah satu area
yang diawasi ketat oleh KPK adalah korupsi di bidang Sumber Daya
Alam, yang dikategorikan dalam Tindak Pidana Korupsi Sumber
Daya Alam atau TPK SDA (KPK 2015). Bentuk bentuk TPK SDA
sangatlah beragam. Salah satunya yang paling marak dilakukan
adalah perubahan alih fungsi hutan menjadi perkebunan
secara ilegal untuk kepentingan pribadi pemegang kekuasaan
dan pengelola sumber daya alam yang berujung pada suatu

BEM KM IPB 2020 13


kasus korupsi untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit (Tarigan
2013). Bentuk lain yang mungkin terjadi adalah gratifikasi yang
tergambar dari penyediaan biaya tambahan sebesar 10-20 % dari
nilai proyek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam dan menjanjikan hadiah atau memberikan kemudahan izin
dalam pengelolaan sumber daya alam secara ilegal, yang tertuang
dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Yuwanto 2015). Kajian Kerentanan Korupsi di
Sistem Perizinan Sektor Kehutanan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi menunjukkan potensi suap yang mencapai 22 milyar
rupiah per izin per tahun. Terdapat beberapa permasalahan yang
menjadi penyebab kerentanan kasus korupsi sumber daya alam,
diantaranya berupa ketidakpastian hukum dan perizinan, kurang
memadainya sistem akuntabilitas, lemahnya proses pengawasan,
dan kelemahan sistem pengendalian manajemen (Utari 2011 ;
Komisi Pemberantasan Korupsi 2014 ; Yuntho et al. 2014).

KPK membentuk suatu Gerakan Nasional Penyelamat


Sumber Daya Alam atau GNP-SDA sebagai suatu bentuk inisiatif
gerakan penyelamatan bersama dengan 29 kementerian dan 12
pemerintah daerah. Ruang gerak GNP SDA secara taktis dilakukan
dengan melakukan koordinasi, rekonsiliasi, dan validasi melalui
ketersediaan data dan peta yang valid pada sektor perkebunan,
pertambangan minerba, kelautan dan perikanan tangkap, dan
pertanahan. Secara strategis, GNP SDA melaksanakan berbagai
proses audit dan monitoring dari berbagai lembaga, serta
pembentukan kajian sistematis. Pada Juli 2019, evaluasi terhadap
lima tahun GNP-SDA menitik beratkan pada penindakan
pencegahan korupsi sumber daya alam menjadi aspek
terpenting untuk menjaga sumber daya alam sebagai andalan
pengembangan ekonomi nasional. Melalui evaluasi tersebut,
GNP SDA menemukan bahwa tumpang-tindih izin dan biaya

MENGUAK AGENDA GELAP 14


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
perizinan dalam pengelolaan sumber daya alam memberikan
celah korupsi yang sangat tinggi. Suatu benang merah yang
dapat dipetik dari perjalanan GNP SDA selama tahun-tahun yang
telah berlalu adalah bahwa persoalan korupsi sumber daya alam
terjadinya akibat adanya “institusi alternatif” yang dipelihara oleh
kekuasaan legal negara, dengan, ironisnya, sumberdaya sosial
yang juga berasal dari aparat negara. Korupsi tidak terjadi akibat
tidak berfungsinya lembaga negara sebagai penerapan regulasi
institusi legal, melainkan adanya institusi alternatif berstatus
“pseudo legal” yang bersaing dengan institusi legal untuk
mendapatkan legitimasi serta kepercayaan dari pelaku yang
beragam dalam lembaga negara maupun dalam masyarakat
luas. Korupsi sumber daya alam digerakkan oleh segelintir aktor
dan kelompok melalui institusi “pseudo legal” dengan gurita
penguasaan sistem dan struktur kuasa diberbagai bidang sosial,
ekonomi, dan politik, sehingga mampu meraup keuntungan
ekonomi dan politik dengan berbagai pendekatan yang sistemik.
Kekuatan ini mampu memaksa negara melayani kepentingan
suatu kelompok tertentu namun mengabaikan kepentingan
rakyat dan keberlanjutan serta kelestarian lingkungan (KPK 2018).

Tahun 2016, terdapat sebanyak 1.901 perusahaan yang


memiliki izin pertambangan yang bermasalah yang mengubah
kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang melibatkan
lahan seluas 6.309.283 hektare. Dalam tiga tahun, perusahan
tambang yang berada di kawasan hutan tersebut telah berhasil
berkurang menjadi 435 perusahaan dengan luas lahan menjadi
1.772.966 hektare. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah
adalah melalui pembuatan kebijakan-kebijakan. Kebijakan
yang dibuat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
misalnya, berhasil mengurangi jumlah izin untuk penambang
ilegal secara nasional dari 4.887 izin perusahaan pada 2014,
menjadi 2.310 pada September 2018. Kebijakan lain adalah

BEM KM IPB 2020 15


menutup sebanyak 2.509 perusahaan dengan izin ilegal dan 2.011
izin yang habis masa berlakunya pada akhir 2017. Sementara itu
untuk perkebunan kelapa sawit, konsesi yang berada di kawasan
hutan berjumlah 1.048 perusahaan seluas 3.646.756 hektare,
dengan sebanyak 55,5% wilayah berada di Kalimantan Tengah.
Dalam konsesi lahan sebesar itu, terdapat banyak tumpang
tindih izin untuk wilayah yang tercatat sebesar 6.293.918 hektare.
Padahal, jumlah tersebut setara dengan 40,35% luas provinsi
tersebut. Pemerintah kemudian menerbitkan suatu Instruksi
Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Perizinan
Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berhasil menolak
pembukaan kebun kelapa sawit seluas 1.689.805 hektare dan
melakukan verifikasi terhadap pelaksanaan, pelepasan, maupun
tukar menukar kawasan hutan untuk kebun sawit terhadap
583 perusahaan seluas 5.852.223,7 hektare (Kartodihardjo 2019).
Data ICW menyebutkan bahwa terdapat 115 kasus berkaitan
dengan korupsi sumber daya alam yang ditangani oleh KPK,
kejaksaan, dan polisi dalam kurun 2010-2017, dengan jumlah
tersangka sebanyak 326 orang yang berasal dari berbagai sektor
seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. K namun
menunjukkan tingkatan kemudahan penanganan perkara dan
penegak hukum di sektor tersebut yang lebih agresif.

Sebelumnya, pada September 2018, koalisi masyarakat


sipil sektor Sumber Daya Alam (SDA) berkumpul dan meminta
kepada pemerintah dan aparat penegak hukum seperti
Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat
Jenderal Pajak, dan Lembaga Ombudsman, untuk menunjukkan
keseriusan dalam menindaklanjuti dan menuntaskan kasus
kejahatan dalam sektor SDA yang diutarakan pada Forum

MENGUAK AGENDA GELAP 16


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Koordinasi Penegakan Hukum Kasus Lingkungan dan Korupsi
Sektor Sumber Daya Alam. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang terlibat dalam forum tersebut adalah Indonesia Corruption
Watch (ICW), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera
Selatan, WALHI Sumatera Barat, WALHI Bangka Belitung, WALHI
Sulawesi Tengah, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), JATAM
Kalimantan Timur, Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh, Jaringan
Kerja Penyelamat Hutan Riau (JIKALAHARI), Perkumpulan Lintas
Hijau Kalimantan Utara (PLHK), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) Sumatera Selatan, dan Kelompok Muda Peduli Hutan
(KOMIU) Sulawesi Tengah (ICW 2018).

Melalui forum tersebut, disampaikan bahwa belum pernah


ada penanganan kasus korupsi sektor sumber daya alam di
Aceh. Padahal, menurut Alfian dari MaTA Aceh, terdapat lahan
taman hutan raya (tahura) seluas 500 hektare yang dijadikan hak
milik oleh 25 perusahaan dan telah dinyatakan bermasalah oleh
Kementrian Lingkungan Hidup, namun belum ada penindakan
lebih lanjutnya lagi hingga saat ini. Kasus serupa juga pernah
dilaporkan di Riau oleh perwakilan Jikalahari, dimana terlihat
bahwa kasus korupsi perizinan yang telah dilaporkan kepada
KPK pada tahun 2014 hanya dijatuhi vonis pada tersangka
koruptor yakni seorang Gubernur, 2 orang Bupati, dan 3 orang
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, namun 20 perusahaan
penerima Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten Palalawan dan Siak belum
ditindaklanjuti hingga saat ini. Di Sumatera Barat, tumpang
tindih antara kawasan hutan dan peta izin usaha pertambangan
terjadi dengan jumlah 79 IUP dengan 5 IUP tumpang tindih yang
memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sedang 21 IUP
lainnya tidak memiliki IPPKH. Kondisi ini disebut dengan overlay
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dengan nomor:
SK.35/Menhut-II/2013 . Kawasan hutan yang masuk dalam IUP

BEM KM IPB 2020 17


tersebut yakni 23.549,7 Ha dengan peta IUP Sumatera Barat, dan
menciptakan kerugian negara hingga mencapai Rp 7,39 miliar
dari kewajiban peminjaman lahan oleh perusahaan. Masalah
tersebut telah dilaporkan ke KPK dan Penegakkan Hukum KLHK
(Gakkum KHLK), namun belum ada tindak lanjut dari pihak
penegak hukum.

Selain itu, WALHI Sumatera Selatan juga pernah menemukan


5 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam
Hutan Margasatwa Dangku, Sumatera Selatan. Sebanyak 1.700
hektare Suaka Margasatwa Dangku menjadi salah satu tempat
terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh PT BTS dari total
3.600 hektare. Kerugian yang ditaksir oleh WALHI Sumatera
Selatan mencapai Rp. 118.302 milyar. Kasus ini telah dilaporkan
kepada KPK dan KLHK di Jakarta, namun sampai saat ini belum
ada tindak lanjut baik dari KLHK mapun KPK terhadap kasus yang
kami laporkan. Selain kasus kehutanan, kasus penambangan
yang dilaporkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) seperti
kasus dugaan suap perizinan untuk izin usaha pertambangan
di dalam Kawasan Bukit Soeharto di Kalimantan Timur pada
KPK dan Polda Kaltim (Hendar 2014; Jatam 2019). Menurut data
ICW, sepanjang 2019, korupsi sektor pertambangan sebenarnya
hanya sedikit secara kuantitas jumlah jika dibandingkan dengan
sektor lainnya, namun nilai kerugian negara yang ditimbulkan
mencapai triliunan rupiah (Ahdiat 2020). Kasus tambang ini
terjadi di kawasan padat pemukiman dan meninggalkan lubang
– lubang eks tambang yang mengandung air beracun dan logam
berat yang telah menelan korban berjumlah 243 orang 15 anak
di kota Samarinda, 8 anak di Kutai Kartanegara, dan 1 orang Pasir
Panajem Utara. Kasus ini juga diperkirakan merugikan negara
hingga mencapai Rp 18,2 triliun akibat pemberian izin 42 KP/IUP
batubara oleh pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Selain
kasus Bukit Soeharto, terdapat beberapa kasus lain di sektor

MENGUAK AGENDA GELAP 18


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
pertambangan seperti kawasan konservasi Poboya Sulawesi
Tengah, divestasi saham newmont di Nusa Tenggara Barat, dan
penyalahgunaan kawasan hutan oleh operasi pertambangan
PT Freeport Indonesia di Papua. JATAM mencatat sejak 2014-
2018, tercatat 23 kasus dugaan korupsi di sektor pertambangan
dengan kerugian negara mencapai Rp 210 triliun (Fitria 2018).

BEM KM IPB 2020 19


MENGUAK AGENDA GELAP 20
KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Jumlah arus uang yang besar di
Sektor sumber
sektor sumber daya alam inilah
daya alam berkontribusi
yang menyebabkan korupsi
sekitar 10,89% atau setara
sumber daya alam terjadi
Rp 1.480 T dari total PDB
secara masif dan tidak jarang
Indonesia tahun 2017 dari
menyandera kepentingan
total sebesar 13. 589 T.
negara. Namun, sebenarnya,
Penyerapan tenaga kerja di
korupsi sumber daya alam
sektor SDA mencapai 37.31
menjadi suatu tindak pidana
juta orang. Sementara itu,
korupsi yang merugikan
kontribusi pajak dan PNBP
kekayaan negara dalam jumlah
hanya sebesar Rp 99,91 T
yang tidak terbatas. Menurut
atau sebesar 3,87% (Tim
Koordinator Divisi Hukum dan
Evaluasi GNPSDA KPK 2018)

Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S.


Langkun, total kerugian negara dari 6 kasus utama yang terja-
di pada tahun 2019 mencapai Rp 7,26 triliun, yang menjadikan
sektor SDA memiliki potensi kerugian paling besar jika diband-
ingkan dengan sektor korupsi lainnya. Selain itu, jika dibanding-
kan dengan korupsi pengadaan barang dan jasa yang berkaitan
langsung dengan kondisi keuangan dimana jika keterlibatan
uangnya habis maka kasus korupsinya akan usai, korupsi sumber
daya alam tidak akan berhenti hingga sumber daya alam yang
terlibat dalam kasus korupsi tersebut habis.

Berbagai pola-pola penjarahan sumber daya alam umumnya


dilakukan dengan merambah hutan secara ilegal maupun legal
seperti menebang di wilayah konservasi sehingga perencanaan
tata ruang mengubah alokasi hutan alam menjadi area
pertambangan, menyiasati ataupun memanipulasi perizinan
dengan proses jual-beli perizinan antara pengusaha dan kepala
daerah, dan manipulasi serta pengabaian kewajiban perusahaan

BEM KM IPB 2020 21


dengan tidak mengalokasikan dana dan mengabaikan
reklamasi pasca penambangan. Selain itu, pola lainnya yakni
dengan menggunakan broker untuk mengurus perizinan ke
penyelenggara negara, melakukan manipulasi pajak, royalti,
transfer pricing, dan transaksi yang tidak dilaporkan, melibatkan
oknum penegak hukum sebagai pelindung, serta memanfaatkan
posisi sebagai penyelenggara negara untuk memperoleh konsesi
(Tartinia 2019). Modus penyalahgunaan wewenang jumlahnya
tidak terlalu dominan, namun, jumlah kerugian yang ditimbulkan
paling besar jika dibandingkan dengan model lainnya akibat
lemahnya pengawasan terhadap transaksi kepentingan yang
terjadi (Sari 2020). Salah satu contoh kasus yang melibatkan kasus
dugaan korupsi yang melibatkan kongkalikong perizinan antara
otoritas berwenang kepala daerah dengan perusahaan adalah
kasus yang terjadi pada Pemerintah Kabupaten Kotawaringin
Timur, Kalimantan, dengan tersangka Bupati Kotawaringin
Timur Supian Hadi pada Februari 2019 lalu. Pemberian Izin
Usaha Pertambangan (IUP) diterbitkan kepada tiga perusahaan
pertambangan dengan PT FMA (PT. Fajar Mentaya Abadi), PT Bl
(PT. Billy Indonesia), dan PT AIM (PT. Aries Iron Mining) selama
Timur Supian Hadi menjabat sebagai Bupati pada periode
2010-2015. Ketiga perusahaan tersebut dipimpin oleh teman-
teman Supian yang menjadi tim sukses dalam kemenangannya
pada pilkada 2010-2015. Kerugian negara ditaksir mencapai 5,8
triliun yang dihitung dari hasil produksi pertambangan bauksit,
kerusakan dan kerugian lingkungan kehutanan akibat produksi
dan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh ketiga
perusahaan tersebut. Tidak cukup sampai disitu, pemberian izin
oleh kepala daerah kepada perusahaan juga disertai oleh hibah
tanda terima kasih untuk kepala daerah. Atas keputusannya dalam
memberikan izin penambangan, Supian menerima hibah berupa
mobil Toyota Land Cruiser dengan nilai Rp 710.000.000, mobil
Hummer H3 Rp1.350.000.000, dan uang sebesar Rp 500.000.000.

MENGUAK AGENDA GELAP 22


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Kasus korupsi sumber daya alam ini melanggar Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
(Rozie 2020).

Kasus lain dengan modus penyalahgunaan wewenang


terjadi pada awal tahun 2019 yang melibatkan korupsi penawaran
penjualan atau pengambilalihan IUP terjadi pada lahan seluas 400
hektare di Jambi yang melibatkan anak perusahaan PT Antam,
yakni PT Indonesia Coal Resources yang menimbulkan kerugian
negara sebesar 91,5 miliar. Lahan tersebut merupakan lahan batu
bara yang berada di Kabupaten Sarolangun, Jambi, dan melibatkan
enam orang tersangka BM selaku Direktur Utama PT Indonesia
Coal Resources, MT selaku Pemilik PT RGSR dan juga Komisaris
PT Citra Tobindo Sukses Perkasa, ATY selaku Direktur Operasi
dan Pengembangan, AL Direktur Utama PT Antam, HW selaku
Senior Manager Corporate Strategic Development PT Antam,
dan MH selaku Komisaris PT Tamarona Mas International. Kasus
penyalahgunaan wewenang lain terjadi pada dugaan korupsi
pemberian IUP pada Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Riau yang
melibatkan mantan Kepala Dinas ESDM dengan menimbulkan
kerugian negara sebesar Rp 30 miliar (Mareza 2019). Paradigma
negara dalam pengelolaan perizinan di Indonesia masih sangat
terbatas pada pemberian izin semata, namun belum sampai pada
fungsi instrumen pengendalian pengelolaan sumber daya alam,
yang juga harus memikirkan dampak panjang dari keputusan
pembuatan kebijakan sumber daya alam yang diambil saat ini.
Dampak dari sebuah kebijakan tidak pernah punya dampak yang
“kecil” dalam sektor sumber daya alam, karena yang ditimbulkan
akan bersifat akumulatif dalam jangka waktu bertahun-tahun
yang akan datang.

BEM KM IPB 2020 23


Jeffrey A. Winters mendefinisikan oligarki sebagai politik
pertahanan kekayaan oleh orang-orang yang memiliki kekayaan
material (wealth defenses). Oligark, disisi lain, merupakan individu
yang menguasai konsentrasi besar sumber daya material untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan
posisi sosial eksklusif. Jumlah oligarki ini hanyalah 1%, namun
menguasai begitu banyak kekayaan yang mungkin untuk dikuasai.
Gurita oligarki batubara nasional menurut catatan ICW yang
disampaikan oleh Egi Primayogha melibatkan empat kelompok
raksasa dengan masing-masing melibatkan pengusaha yang
memiliki kedekatan langsung dengan penguasa. Pengaruh gurita
oligarki ini punya cengkraman yang sangat kuat dalam berbagai
aspek ekonomi negara, serta mampu melakukan eksploitasi
berlebihan, korupsi politik, dan juga banyak meletakkan konflik
kepentingan para aktor bisnis yang mendominasi pembuatan
kebijakan. Kelompok pertama adalah Bumi Grup, dengan total
produksi batubara sepanjang 2007-2016 sebanyak 686 juta
ton dengan kepemilikan utama dari Keluarga Bakrie dari PT
Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia. Kelompok kedua,
Indika Group yang terdiri dari PT Kideco Jaya Agung, PT Santan
Batubara, PT Multi Tambang Jaya Utama dengan kepemilikan
oleh Agus Lasmono dan Keluarga Wiwoho Basuki. Indika Group
juga memiliki media penyiaran seperti NET. TV, Indika FM, Indika
Telemedia, dan Indika Production. Adaro Group adalah kelompok
ketiga yang berkuasa atas PT Adaro Indonesia dan PT Semesta
Centramas dengan kepemilikan Sandiaga Uno, Teddy Permadi,
Keluarga Suryajaya, Keluarga Subianto, dan Keluarga Thohir. Toba
Group adalah kelompok terakhir yang memiliki PT Toba Bara
Sejahtera Tbk dengan penguasaan milik Luhut Binsar Pandjaitan,
Fachrul Razi, dan Djamal Nasseer Attamimi. Keempat perusahaan
tersebut bertanggung jawab sebagai perusahaan pengelolaan
PLTU di Indonesia. PLTU Sulubagut 1 di Gorontalo Utara Sulawesi
dibawah Toba Group, PLTU Tanjung Jati A di Jepara Jawa Tengah

MENGUAK AGENDA GELAP 24


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
oleh Bakrie Group, PLTU Cirebon 2 di Cirebon, Jawa Barat dibawah
Indika Group, dan PLTU Tanjung Kalsel di Tabalong, Kalimantan
Selatan oleh Adaro Group. Padahal, semakin mudahnya aturan
dicampur adukkan dengan kepentingan keuntungan kapital,
semakin banyak pula amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada
Pasal 33 ayat 3 yang membunyikan tentang penguasaan negara
terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat disia-siakan
akibat privatisasi kekayaan publik yang menimbulkan kerusakan
jangka panjang pada lingkungan hidup dan krisis iklim.

Selain menyoal perkara masalah dalam perizinan dan


aturan yang dibuat dengan campur tangan para oligarki,
ketertutupan informasi juga menjadi salah satu kendala dalam
pemberantasan korupsi sumber daya alam karena pengawasan
dan pengendalian tidak dapat dilakukan secara maksimal.
Putusan Komisi Informasi Pusat Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Jakarta yang memenangkan Gugatan Forest Watch
Indonesia (FWI) setelah beberapa kali melalui proses persidangan
kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada
2015 serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang (MenATR)/BPN
pada 2016, dan memerintahkan kepada KLHK dan MenATR/BPN
untuk membuka informasi dan dokumen perizinan – khususnya
Hak Guna Usaha (HGU), belum dilakukan hingga sekarang.
Padahal, check and balance hanya dapat dilakukan untuk menilai
kinerja pemerintah dalam menjalankan tugasnya jika tersedia
keterbukaan informasi bagi masyarakat. Meskipun demikian,
hingga saat ini, MenATR belum bersedia membuka dokumen
HGU dan upaya kasasi yang dilakukan oleh MenATR/BPN kepada
PTUN bahkan kepada MA kandas. Keberatan MenATR telah pula
diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta,
namun putusan PTUN No 2/G/KL/2016/PTUN-JKT tanggal 14
Desember 2016 justru menguatkan Putusan KIP No 057/XII/KIP/

BEM KM IPB 2020 25


PS-M-A/2015 tanggal 22 Juli 2016 yang memenangkan gugatan
FWI untuk membuka dokumen perizinan oleh MenATR/BPN. Hal
itu berarti MenATR/BPN harus membuka informasi mengenai
Hak Guna Usaha (HGU) di seluruh Kalimantan sesuai permohonan
FWI. MenATR, kemudian, mengajukan kasasi atas Putusan PTUN
Jakarta tersebut kepada Mahkamah Agung, namun Mahkamah
Agung melalui Putusan No. 121 K/TUN/2017 menolak permohonan
kasasi MenATR/BPN. Meski demikian, hingga saat ini, MenATR
belum bersedia membuka dokumen HGU. Alotnya proses yang
harus ditempuh untuk mendapatkan keterbukaan informasi
menyebabkan ketersediaan data dan informasi masih memiliki
banyak persoalan kelengkapan dan akurasi data, karena tingkat
akuntabilitas tata kelola SDA yang rendah (KPK 2018).

Tahun 2010, KPK mempublikasikan dua kajian utama di


bidang kehutanan yaitu Kajian Kebijakan Titik Korupsi dalam
Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan dan Kajian
Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Kajian tersebut mempublikasikan bahwa ketertutupan informasi
menjadi salah satu kunci penyebab terjadinya korupsi. Hal ini
ditunjukkan oleh jumlah kehilangan hutan alam yang tinggi,
yakni sebesar 4,5 juta hektare dengan rata-rata laju deforestasi 1,37
juta hektare per tahun menurut kajian Forest Watch Indonesia
di tahun 2015. Tahun 2015, hasil kajian KPK kembali menguatkan
fakta bahwa korupsi sumber daya alam merupakan implikasi
dari tertutupnya informasi pengelolaan hutan di Indonesia.
Sejak 2003-2014, Kementerian Kehutanan mencatat produksi
kayu komersial dari hutan alam di Indonesia mencapai 143,7 juta
meter kubik. Pada periode waktu yang sama, KPK menemukan
bahwa total produksi kayu nasional diperkirakan 630,1 sampai
772,8 juta meter kubik. Perbedaan data yang terdokumentasi
tersebut disinyalir menyebabkan negara mengalami kerugian

MENGUAK AGENDA GELAP 26


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
sebesar Rp 598–799,3 triliun, atau setara dengan Rp. 49,8–
66,6 triliun per tahun. Inklusivitas informasi sebagai amanat
reformasi belum diimplementasikan dengan baik dalam proses
pengelolaan sumber daya alam. Padahal, keterbukaan informasi
akan memberi ruang bagi masyarakat yang terdampak oleh
pembangunan untuk menentukan pendapat dalam menerima
ataupun menolak suatu rencana eksploitasi di wilayah tersebut
dan mengawasi pelaksanaannya.

BEM KM IPB 2020 27


MENGUAK AGENDA GELAP 28
KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Dalam kata lain, state capture
Menurut Hellman, adalah bentuk korupsi yang tidak
Jones, dan Kaufmann mengubah pelaksanaan aturan,
(2000), state capture melainkan mengkondisikan
aturan agar sesuai dengan
didefinisikan sebagai
kepentingan oligarki.
upaya membuat atau
mengubah seperangkat
Hal tersebut, merupakan
aturan (undang-undang, pembeda antara state
peraturan, dekrit, capture corruption dengan
dan regulasi) melalui korupsi administratif, yang
pembayaran yang ilegal dan menggunakan praktik suap-
tidak transparan kepada menyuap untuk mengubah
pejabat publik dalam skala pelaksanaan aturan, dan
besar dan sistematis. regulatory capture, yang
state capture merupakan ruang lingkupnya lebih kecil
fenomena yang terjadi pada (umumnya pada negara bagian
negara-negara pecahan Uni di federasi) serta aktornya
Soviet setelah runtuhnya merupakan perusahaan
negara tirai besi tersebut. dan lembaga regulator.

Pendeknya, praktik state capture corruption merupakan


penggunaan instrumen negara untuk kepentingan kelompok.
State capture corruption dapat dikenali pada saat muncul
wacana pembuatan legislasi, khususnya yang berhubungan
dengan izin pengelolaan tanah atau perizinan berusaha. Contoh
nyata legislasi tersebut adalah UU Minerba yang memberi
kekuasaan perizinan di dalam ranah pemerintah pusat, memberi
. Hal tersebut merupakan salah satu langkah mengamankan
pendapatan oligarki yang mempunyai usaha pertambangan.

Pola yang lain adalah propaganda pemerintah untuk


meloloskan legislasi atau membenarkan tindakan yang
sebenarnya menguntungkan oligarki. Munculnya narasi-narasi

BEM KM IPB 2020 29


yang mempromosikan suatu aturan di media sosial lewat corong-
corong pemerintah yang dibayar merupakan bentuk propaganda
paling umum di Indonesia. Misalnya, kemunculan artis dan
influencer yang membuat narasi bahwa tingkat pengangguran
di Indonesia dapat turun apabila RUU Cipta Kerja disahkan.
Penyalahgunaan wewenang juga banyak terjadi melalui dewan
perwakilan rakyat, sepanjang 2014 hingga 2019 menurut ICW
(2019) terdapat 254 anggota DPR dan mantan anggota DPR serta
DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Oligarki berasal dari bahasa Yunani, yaitu “olígos”, yang


berarti “sedikit”, dan “arkho”, yang berarti “memerintah” atau
“menguasai”. Aristoteles menyatakan bahwa oligarki adalah
bentuk kekuasaan yang dipegang oleh orang kaya, tetapi definisi
tersebut sudah ditempatkan untuk mendefinisikan plutokrasi.
Dewasa ini, oligarki jamak diartikan sebagai bentuk kekuasaan
yang dipegang oleh sedikit orang. Menurut Winters (2011),
oligarki dapat dibagi menjadi 4 tipologi, yaitu warring oligarchy,
ruling oligarchy, sultanistic oligarchy, dan civil oligarchy.
Warring oligarchy dapat diartikan sebagai oligarki yang sedang
berperang satu sama lain demi memperebutkan kekuasaan atas
suatu wilayah demi kepentingan pribadi, khususnya menjaga
harta, dan memiliki kekuatan bersenjata, seperti yang terjadi
pada Eropa abad pertengahan dan Afghanistan setelah perang
dengan Soviet, sehingga dominasi oligarki jenis ini bersifat
sangat tidak stabil dan sementara. Ruling oligarchy merupakan
tipologi yang dicirikan dengan kekuatan perseorangan yang
kuat dan berpengaruh, tetapi memilih berkuasa dengan institusi
bersama, seperti yang terjadi pada sindikat mafia Cosa Nostra.
Tipologi selanjutnya, yaitu sultanistic oligarchy yang memusatkan
kekuasaan pada satu orang penguasa yang menjadikan hukum
dan institusi negara sebagai instrumen untuk melanggengkan
kekuasaan, jenis ini merupakan oligarki yang banyak terjadi

MENGUAK AGENDA GELAP 30


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
pada zaman Orde Baru. Jenis terakhir adalah civil oligarchy yang
mempunyai institusi kolektif dan terikat oleh hukum, tetapi
mengusung seorang wakil untuk menjaga kepentingan kolektif
mereka, yaitu ketahanan pendapatan.

Oligarki di Indonesia menurut Winters, berada pada


wilayah sultanistik selama Orde Baru. Oligarki pada periode ini
mendukung Soeharto untuk menjaga kepentingan oligarki,
dalam berbagai cara, salah satunya dengan membayar loyalitas
pejabat sipil & militer, dengan imbalan berupa kemudahan
berusaha dan eksploitasi. periode ini dihiasi oleh berbagai nama,
tetapi yang paling terkenal adalah Bob Hasan, “Raja Hutan” yang
menguasai industri kayu dan hasil hutan Indonesia lewat hak
pengusahaan hutan (HPH) seluas 2 juta hektare yang diberikan
karena kedekatannya dengan Soeharto. Sementara itu, oligarki
pasca-Soeharto cenderung menjauh dari tipologi sultanistik.
Fenomena tersebut merupakan konsekuensi dari reformasi yang
melonggarkan banyak aspek kehidupan yang sebelumnya ditekan
rezim Soeharto. Oligarki reformasi, memberikan dukungannya
kepada calon-calon pejabat lewat donasi dan keuntungannya
diperoleh setelah pejabat terpilih, melalui program balas budi,
meloloskan berbagai aturan yang mempermudah donaturnya
menambah pundi-pundi kekayaan atau memberikan jabatan
bagi salah satu donatur agar dapat leluasa membuat kebijakan
yang menguntungkan kelompoknya. Fenomena tersebut
tercermin dari beberapa penunjukan pejabat seperti yang
terjadi pada Erick Tohir yang menjadi Menteri BUMN. Selain itu,
7 Agustus lalu, Koran Tempo mewartakan bahwa, berdasarkan
survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, calon
kepala daerah di Indonesia sangat bergantung kepada uang
sponsor, dengan sekitar 82% dari responden yang merupakan
calon kepala daerah pilkada 2018 menyatakan akan memenuhi
keinginan sponsor pada saat terpilih.

BEM KM IPB 2020 31


State capture corruption berperan dalam membentuk
monopoli ekonomi di suatu negara. Monopoli tersebut
disebabkan karena pada capture economy, oligarki bukan hanya
menggunakan akses kekuasaan untuk memperkuat posisi
bisnisnya, melainkan juga menghalau kompetitor baru di pasar,
sehingga pesaing baru tidak mampu masuk ke dalam pasar.
Akses tersebut digunakan untuk mendorong pemerintah untuk
menciptakan regulasi atau peraturan yang menguntungkan
oligarki lama. Selain itu, dengan keberpihakan pemerintah di sisi
oligarki, hak properti juga menjadi masalah yang dihadapi negara
dengan capture economy.

Kartodihardjo (2016) berpendapat bahwa dampak dari state


capture corruption beragam tergantung aktor dan lembaga
yang dipengaruhinya. Misalnya pada perusahaan swasta akan
mendapat keuntungan ekstra dari penguasaan properti publik,
seperti mendapat konsesi wilayah tambang yang lebih luas.
Hal ini, dan kesanggupan birokrat untuk memenuhi permintaan
pihak swasta akan menghasilkan kerugian bagi masyarakat
banyak, karena tindakan tersebut membuat alokasi manfaat
SDA bagi masyarakat luas dialihkan untuk kepentingan oligarki.
Ia juga berpendapat bahwa, akibat sifat state capture sebagai
bentuk korupsi yang legal dan dibekali dengan sebuah kajian
akademik, keberlangsungan praktik ini mengancam integritas
kaum akademia. Kaum akademisi, menurutnya, harus dapat
menentukan dengan tepat masalah yang dihadapi dan subjek
yang seharusnya mendapat manfaat dari hasil penelitian
akademis. Namun, pada capture economy banyak kajian
akademis yang bersifat “half true” karena pengkajian aspek-aspek
usaha, seperti AMDAL, tersebut dilakukan untuk memenuhi izin
operasi perusahaan sehingga yang diulas hanya bagian yang
mendukung kepentingan perusahaan.

MENGUAK AGENDA GELAP 32


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
KPK melakukan survei kepada para calon kepala daerah
yang mengikuti Pilkada 2015, 2017, dan 2018. Responden
survei merupakan 466 kandidat yang kalah dari 540 daerah
penyelenggara pilkada. Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata
harta kandidat kepala daerah adalah Rp18 miliar, biaya partisipasi
pilkada tingkat kabupaten adalah Rp5-10 miliar, sedangkan
biaya ideal untuk menang adalah Rp65 miliar. Berdasarkan data
tersebut, terdapat selisih sebesar Rp60-55 miliar antara biaya
partisipasi dan biaya untuk menang. Berikut merupakan jawaban
responden mengenai besaran dana yang dikeluarkan, baik secara
bersama, maupun pribadi :

Tabel 1. Data Survei KPK terkait Dana Pilkada tahun 2018

Tentu saja dengan selisih biaya yang besar, para kandidat


harus mencari sponsor untuk memenangkan pilkada. Sponsor
tersebut biasanya merupakan pihak yang mempunyai

BEM KM IPB 2020 33


kepentingan di wilayah kontestasi, sehingga mensponsori paslon
dianggap sebagai investasi jangka panjang. Hal ini tercermin dari
jawaban responden di tabel berikut :

Tabel 2. Data Survei KPK terkait Sponsor Dana Pilkada

MENGUAK AGENDA GELAP 34


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
BEM KM IPB 2020 35
Kuat dugaan bahwa setiap
Sumber Daya
momentum elektoral pemilihan
Alam (SDA) merupakan
kepala daerah, sumber dananya
salah satu titik sektor yang
berasal dari transaksi bisnis
rawan korupsi. SDA yang
perizinan di sektor SDA ini.
besar, tentu akan menjadi
Pengungkapan sejumlah
pemantik godaan bagi siapa
kasus di sejumlah daerah, kian
saja yang memegang dan
menguatkan betapa rentannya
mengendalikan kekuasaan
korupsi terjadi di sektor SDA ini.
tanpa terkecuali Sektor SDA
Sebut saja kasus pengurusan izin
Agraria dan Pertanian. Jika
alih fungsi lahan hutan untuk
SDA ini tidak dikelola dengan
kebun kelapa sawit di Provinsi
baik, niscaya akan dengan
Riau yang melibatkan Gubernur
mudah diperdagangkan
Annas Maamun, izin usaha
demi kepentingan pribadi
pertambangan nikel di Sulawesi
ataupun kelompok.
Tenggara yang melibatkan
Sektor SDA menjadi
Gubernur Nur Alam, izin usaha
bancakan ekonomi yang
perkebunan di Kutai Kartanegara
kerap kali dieksploitasi.
yang diduga melibatkan Bupati Rita Widyasari, hingga yang
terakhir izin usaha pertambangan nikel di Konawe Utara yang
melibatkan mantan Bupati Aswad Sulaiman.

Melacak pola untuk memahami bagaimana korupsi di sektor


SDA Agraria dan Pertanian ini bekerja, tentu saja harus dimulai
dengan memahami pola-polanya. Terutama dengan memetakan
hal dan titik-titik dimana proses korupsi itu bermula. Berikut
adalah titik rawan potensi korupsi di sektor SDA sektor agraria
dan pertanian. Pertama, tata kelola perizinan. Pada umumnya,
pola korupsi di daerah-daerah yang kaya SDA, biasanya
menggunakan lalu lintas perizinan sebagai pintu masuk. Kondisi
yang relatif berbeda di daerah yang minim SDA, dimana mark
up anggaran lebih banyak digunakan sebagai modus utamanya.

MENGUAK AGENDA GELAP 36


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Perizinan memerlukan kuasa dan kewenangan. Hal inilah yang
rentan disalahgunakan oleh si pemilik kuasa. Perizinan di sektor
SDA juga sudah pasti disertai dengan keuntungan eksploitasi
dengan jumlah besar. Keuntungan yang besar inilah yang
memungkinkan si penerima izin memobilisasi sumber daya
ekonominya untuk melancarkan politik kotor yang menghalalkan
segala cara. Kedua, informasi yang tertutup. Isu keterbukaan
informasi, sesungguhnya sudah lama dikampanyekan sebagai
bagian tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Namun hal ini berhenti di tataran diskursus belaka tanpa mampu
diterapkan dengan baik. Faktanya, dalam konteks tata kelola SDA,
publik begitu sulit mendapatkan akses terhadap data. Terutama
data yang terkait dokumen-dokumen perizinan.

Ketiga, oligarki kekuasaan. Bentuk oligarki tidak hanya


terbatas kepada penguasaan minoritas terhadap mayoritas. Tetapi
pada saat yang bersamaan, juga mensyaratkan penguasaan
terhadap sumber daya ekonomi. Jadi kedua aspek inilah yang
melapangkan munculnya dominasi terhadap ekonomi dan politik
(Herdiansyah 2017). Keempat, Penyalahgunaan wewenang. Sisa
luas tanah yang tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dengan
mudah dapat dipakai dalam proses mempertahankan jabatan,
menutupi target produksi yang tidak tercapai dalam kebun
yang memiliki HGU, dan kuasa pejabat perkebunan guna lobi
politik, sumbangan partai politik, preman dan lain sebagainya.
Selain tidak perlu membayar pajak atas kelebihan lahan yang
dipergunakan, perusahaan juga tidak perlu memberikan laporan
pertanggungjawaban atas lahan yang dikelola yang berada di
luar izin operasionalnya. Banyak perkebunan negara melakukan
kerjasama sama operasional yang sesungguhnya terhitung
merugikan atau terlampau murah tapi tetap saja dilanjutkan dan
banyak tanah yang tetap diterbitkan SK-nya terhadap perusahaan
tidak melalui proses yang baik sehingga masih menimbulkan

BEM KM IPB 2020 37


konflik kepemilikan. Realitanya banyak tanah terlantar yang tidak
diterbitkan SK-nya dan malah diperpanjang izinnya akibat uang
damai.

Pangan sumber karbohidrat yang merupakan pemasok


utama energi untuk menjalankan aktivitas sehari-hari (Wijayati
et al. 2019). Demand pangan dunia akan menunjukkan tendensi
peningkatan yang lebih cepat dari supply. (FAO 2008) telah
memperkirakan kebutuhan pangan untuk negara-negara
berkembang akan meningkat sebesar 60% pada tahun 2030
dan berlipat dua kali pada tahun 2050, atau ekuivalen dengan
kebutuhan peningkatan produksi dunia sebesar 42% pada
tahun 2030 dan 70% pada tahun 2050. Peningkatan demand
pangan sebagai konsekuensi dari peningkatan populasi
dunia yang menurut skenario bahwa penduduk dunia akan
bertambah sebanyak 73 juta orang setiap tahun antara tahun
1995-2020, ini berarti terjadi peningkatan sebesar 32% dalam
kurun waktu tersebut, sehingga diperkirakan penduduk dunia
akan mencapai 7,5 miliar orang pada tahun 2020 (Behnassi dan
Sanni 2011). Peningkatan kebutuhan pangan yang cukup tajam
akan menyebabkan kenaikan harga semua jenis bahan pangan,
sehingga jumlah penduduk miskin dan kelaparan meningkat.

Pembangunan pangan di Indonesia oleh pemerintah,


mengikuti konsep ketahanan pangan (food security) yang
pendefinisiannya berbeda dalam tiap konteks waktu dan tempat.
Upaya pemerintah yang dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan
pangan dalam negeri adalah melakukan impor pangan. Hampir
65% dari semua kebutuhan pangan masyarakat Indonesia
dipenuhi dari impor, yang sebenarnya masih memungkinkan
untuk dipenuhi dari produksi dalam negeri. Berdasarkan data
(FAO 2006) Indonesia menjadi Negara pengimpor produk pangan
terbesar kedua di dunia setelah Mesir yakni mencapai 7,729 ton.

MENGUAK AGENDA GELAP 38


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Indonesia telah mengimpor 28 komoditi pangan, termasuk
diantaranya beras, jagung, ikan, susu, daging sapi, dan daging
ayam.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah ini, ternyata belum


didukung sepenuhnya dengan political will dari pejabat Negara
di kementerian yang berwenang di bidang pemenuhan pangan.
Tingkat korupsi di kementerian/lembaga pusat di Indonesia
menduduki peringkat pertama berdasar data tindak pidana
korupsi berdasarkan instansi. Pada tahun 2011 terdapat 23 kasus,
tahun 2012 ada 18 kasus, dan Januari 2013 telah ada 5 kasus (ACLC
KPK 2013). Hal ini dengan telah terjadinya tindak pidana korupsi
di kementerian pertanian , berkaitan dengan dugaan korupsi
rekomendasi kuota impor daging sapi impor yang melibatkan
perusahaan importir PT Indoguna Utama (Kompas 2013). Selain
kasus korupsi ini, korupsi juga terjadi pada pengadaan impor beras
Bulog dari Vietnam yang melibatkan Vietnam Food Corporation,
adik mantan Direktur utama Bulog dan 2 orang anak buahnya
(BPS 2013).

Sejalan dengan hal tersebut, Korupsi SDA kian akan


memperparah terjadinya krisis pangan. Korupsi SDA yang terjadi
di sektor pertanian dan pangan akan berdampak besar bagi para
petani selain terhadap negara. Modal pertanian yang tinggi, dan
hasil yang murah membuat petani tidak mendapat untung (LISA
2019). Korupsi sektor pertanian dan pangan membuat tujuan
untuk mencapai kemakmuran di seluruh Indonesia lambat
tercapai. Hal tersebut jelas akan membuat kesejahteraan para
petani kian menurun. Alhasil, tujuan mencapai kemakmuran di
Indonesia sulit tercapai.

Sejalan dengan hal diatas, potensi kuat dilakukannya


korupsi di bidang pertanian, berkaitan erat dengan penentuan

BEM KM IPB 2020 39


kuota impor yang mempertimbangkan tingkat ketersediaan
pangan dengan harga pangan yang dapat terjangkau dengan
kemampuan ekonomi atau daya beli masyarakat (Lestariningsih
2017). KPK berhasil mengungkap beberapa tindak pidana korupsi
di kementerian pertanian, yang melibatkan pejabat negara di
kementerian, saudara atau teman dari pejabat tersebut, dan
perusahaan importir pangan. Modus tindak pidana korupsi
yang paling sering dilakukan adalah pemberian suap kepada
pejabat negara oleh pengusaha impor dengan tujuan untuk
mempengaruhi kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki
pejabat, agar dapat menetapkan kuota impor lebih besar dari
kebutuhan riil impor produk pangan tersebut di masyarakat,
mengatur harga dasar impor produk pangan, dan kemungkinan
berikutnya mengatur harga jual produk impor di masyarakat
menjadi sangat mahal. Perbuatan ini, merugikan negara yang
berlanjut pada pencapaian kesejahteraan rakyat menjadi
terhambat. Sementara pemerintah melalui UU RI No 18 tahun
2012 tentang Pangan , memberikan jaminan akan ketersediaan
dan pemenuhan pangan yang cukup, aman dan bergizi sampai
dengan tingkat rumah tangga.

Hubungan korupsi agraria dengan munculnya konflik agraria


yaitu karena adanya penguasaan sumber daya agraria dikuasai
oleh orang-orang tertentu. Watak kebijakan agraria kita masih
didominasi cara pandang developmentalistik (memandang
sumber agraria dan alam sebagai aset pembangunan). Penanda
utamanya bisa disaksikan dari perluasan dan pendalaman industri
ekstraktif dan eksploitatif atas sumber agraria. Pada beberapa
kasus justru terjadi kombinasi paradigma developmentalistik
dan konservasionistik (mendudukan sumberdaya agraria semata
untuk pelestarian). Kedua paradigma ini memiliki kesamaan
dasar bahwa sumber agraria sebagai aset boleh dijadikan sebagai
suatu komoditas, seperti barang dagangan di pasar.

MENGUAK AGENDA GELAP 40


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Hubungan manusia dengan tanah dan sumber agrarianya
pada dasarnya berlapis dan kompleks, dari hubungan bersifat
sosial, ekonomi, budaya, dan ekologis sampai religio-magis
(spiritual). Proyek pembangunan kerap menyederhanakan
hubungan tersebut menjadi sekadar bersifat ekonomi dan
mencabut paksa manusia dari hubungan-hubungan berlapis
tersebut yang berujung pada konflik agraria. Maka, saat konflik
agraria terjadi, tuntutan yang muncul tak dapat digeneralisasi
semata demi pemenuhan hak (ganti rugi yang pantas) atau
penyelesaian hukum yang adil. Tapi lebih dari itu, yakni tuntutan
pengembalian ruang hidup mereka yang rusak dan hilang.
Padahal yang hilang itu tak bisa semua dikalkulasi secara ekonomi
(Inkuiri Nasional Komnas HAM 2016).

Tipologi konflik berdasarkan pelaku terdapat 50% konflik


terjadi antara komunitas lokal vs perusahaan/korporasi, 12%
sengketa petani vs perusahaan, 11% komunitas lokal vs Perhutani
dan 9% meliputi masyarakat adat vs perusahaan. Bermacam
konflik itu menyebabkan hak masyarakat dilanggar. Hak yang
dilanggar yaitu pelanggaran hak rakyat untuk memanfaatkan
kekayaan dan sumber-sumber alam dan hak rakyat untuk
memiliki atau menguasai SDA. Tentu saja hak rakyat itu dijamin
dalam peraturan yang ada seperti Kovenan Hak Ekonomi Sosial
dan Budaya (Ekosob), Kovenan Hak Sipil Politik (Sipol) dan UU 39
No.1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam melangsungkan kepentingannya, tidak hanya petani


yang direnggut hak asasinya tetapi juga pegiat antikorupsi pada
sektor apapun. Berdasarkan catatan ICW sejak tahun 1996 hingga
Desember 2019, kasus teror yang dialami oleh pegiat antikorupsi
ada sebanyak 92 kasus dan korbannya mencapai 118 orang.
Namun sayangnya hampir keseluruhan kasusnya tidak dapat
dituntaskan oleh kepolisian yang masih abai dalam melindungi

BEM KM IPB 2020 41


hak- hak pegiat antikorupsi. Berikut tiga kasus yang merugikan
hak asasi dari para pegiat anti korupsi.

1. Kasus Mangkrak Penyerangan Terhadap Novel Baswedan


Novel Baswedan merupakan penyidik KPK sejak tahun 2007.
Sebagai penyidik, ia sering menangani kasus yang melibatkan
aktor strategis sehingga teror terhadap dirinya bukan
hanya satu kali saja. Menurut catatan ICW, ia mendapatkan
serangan setidaknya 5 (lima) kali. Terakhir, pada 11 April 2017
ketika pulang dari masjid ia diserang oleh orang yang tidak
dikenal menggunakan air keras yang menyebabkan mata
kirinya tidak dapat melihat. Namun, hingga saat ini negara
tidak hadir dalam upaya untuk menuntaskan kasus yang
menimpa Novel Baswedan. Baswedan.

2. Pembiaran Kasus Ancaman Bom Terhadap Pimpinan KPK


Pada 9 Januari 2019, rumah pribadi dua pimpinan KPK yaitu
Agus Rahardjo dan Laode M Syarif diteror menggunakan
bom. Hingga saat ini kasusnya tidak ada perkembangannya
sama sekali. Bahkan sketsa wajah terduga peneror bom
saja tidak kunjung selesai hingga saat ini. Kasus teror yang
menimpa para karyawan bahkan pimpinan KPK bukan kali
ini saja. ICW mencatat ada sebanyak 15 orang yang bekerja
di KPK - baik sebagai karyawan maupun komisioner- telah
mengalami teror. Jenis terornya bermacam-macam, mulai
dari kriminalisasi hingga kekerasan.

3. Peretasan Sebagai Cara Baru Koruptor Menyerang Pegiat


Anti korupsi. Berdasarkan catatan ICW, terdapat sebanyak
3 (tiga) korban yang mengalami serangan digital pada saat
melakukan advokasi tolak revisi UU KPK. Dua dari tiga orang
tersebut merupakan akademisi yang rutin menyuarakan
sikapnya terhadap pelemahan KPK melalui revisi UU KPK.

MENGUAK AGENDA GELAP 42


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Pola serangan yang dilakukan yaitu pelaku melakukan
panggilan ke nomor target dengan menggunakan nomor
yang berasal dari luar negeri secara terus menerus dan
berbeda-beda. Dampak dari Tindakan tersebut yakni
nomor target sulit untuk mengangkat telepon dari orang
yang dikenalnya. Selain itu, target tidak dapat melakukan
aktivitas apapun di MP-nya karena telepon masuk yang
nomornya tidak jelas tersebut. Pola lainnya yaitu pelaku
melakukan peretasan terhadap alat komunikasi milik
target dengan mengirimkan pesan ke seluruh kontak
yang berisi mendukung revisi UU KPK. Ketika seseorang
ingin mengkonfirmasi keabsahan pesan tersebut kepada
si target, nomor teleponnya tidak aktif karena telah diambil
alih oleh pelaku. Tujuan pelaku diduga ingin mendapatkan
informasi mengenai strategi advokasi yang sedang dan akan
dilakukan oleh para pegiat antikorupsi. Selain itu juga untuk
memberikan informasi yang keliru ketika alat komunikasi
nya telah diambil alih oleh pelaku kejahatan.

Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, kerugian


negara sektor non pajak kawasan hutan mencapai Rp.169,791
triliun selama 2004 -2007. Catatan KPK Bidang Pencegahan,
kerugian negara akibat korupsi sektor SDA seperti kehutanan
dan pertambangan bisa 500 kali lipat dari jumlah yang dikorupsi.
Dampak praktik korupsi penyalahgunaan wewenang perizinan
dan alih fungsi lahan, Forest Watch Indonesia mencatat selama
2009-2013, sebanyak 1,5 juta hektar hutan Sumatera atau 382.000
hektar per tahun mengalami deforestasi, terluas di Riau sekitar
687.000 hektar, disusul Jambi 225.000 hektar dan Sumatera
Selatan 164.000 hektar.

Penerbitan izin tidak berperan signifikan dalam


penerimaan pendapatan negara. Di Sumatera Utara, tahun

BEM KM IPB 2020 43


2015 dari 38 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) hanya
12 perusahaan yang melakukan pembayaran PNBP. Dari
fakta ini, jelas menimbulkan konflik baik antara masyarakat
dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan atau
pemerintah dengan perusahaan. Data Walhi Sumatera Selatan
2013, mencatat 35 konflik agraria antara masyarakat dengan
perusahaan perkebunan dan tambang. Sekitar 70 petani, aktivis
dan masyarakat lokal dikriminalisasi karena mempertahankan
lahan dan lingkungan hidup.

Korupsi sektor SDA di Kalimantan dan Sulawesi terlihat dari


hasil rekonsiliasi IUP pertambangan yang dicatat Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral per November 2016, sebanyak
3.603 dari 10.099 IUP tak CnC. Kurang dari 30% IUP non CnC
ditindaklanjuti dalam Korsup minerba KPK, 40% total IUP non
CnC dari Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
CnC bahkan dijadikan alat pemutihan kejahatan pertambangan.
Buktinya, 95% IUP CnC di Kalimantan Barat berada di kawasan
hutan tak punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Terdapat 26 nyawa anak terenggut di lubang tambang yang
dimiliki perusahaan yang punya IUP CnC. Dari 14 IUP CnC di
Sulawesi Tengah, empat tidak menempatkan jaminan reklamasi,
10 ada tapi tak reklamasi.

Di Samarinda, ada 232 lubang tambang tidak direklamasi.


Di Kalimantan Barat 25 dari 201 IUP yang CnC membuka lahan
seluas 1602 hektar juga tak reklamasi, sembilan di hutan lindung.
Tidak ada keseriusan pemda menangani jaminan reklamasi.
Rata-rata hanya 43% dari seluruh kabupaten di tujuh provinsi
menindaklanjuti persoalan jaminan reklamasi berupa peringatan
dan penempatan jamrek baru. Temuan lapangan secara
umum, dalam catatan KESDM dalam korsup, 874 IUP dicabut,
dikembalikan dan berakhir, 1,37 juta hektar IUP masuk kawasan

MENGUAK AGENDA GELAP 44


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
hutan, 4.93 juta hektar IUP masuk hutan lindung. Tercatat Rp 23
triliun piutang perusahaan, 90% perusahaan tak punya jamrek
dan 1.087 IUP tak punya nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Belakangan ini memang marak kasus dugaan korupsi di


sektor pangan. Berikut beberapa contoh kasusnya :

1. Kasus benih bawang putih tahun anggaran 2017 di


wilayah Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Dalam
kasus ini, data Dinas Pertanian Kabupaten Lombok Timur
menyebutkan, ada 350 ton benih bawang putih lokal yang
didistribusikan kepada 181 kelompok tani yang tersebar di
18 desa se-Kabupaten Lombok Timur. Pemerintah telah
menggelontorkan dana APBN-P 2017 sebesar Rp100 miliar
untuk menyerap benih bawang putih lokal di wilayah
Sembalun. Namun PT Pertani hanya mampu menangkar
benih bawang putih lokal sebanyak 350 ton dari kuota
target 1.500 ton. 350 ton benih bawang putih lokal tersebut
dibelinya dengan harga Rp30 miliar. Kemudian, pada akhir
tahun 2017 telah ditemukan banyak pendistribusian bantuan
pada kelompok tani yang mengeluh tidak mendapatkan
jatah sesuai data.

2.
Kasus korupsi pengadaan fasilitas sarana budidaya
mendukung pengendalian organisme pengganggu
tanaman tahun anggaran 2013 yang dilakukan pejabat di
Kementerian Pertanian dan pengusaha penyalur pupuk
Sutrisno didakwa merugikan keuangan negara Rp 12,947
miliar. Eko Mardiyanto selaku pejabat pembuat komitmen di
Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan tahun anggaran
2012-2013 bersama-sama dengan Direktur Utama PT Hidayah
Nur Wahana (HNW) Sutrisno disebut telah merekayasa
kegiatan pengadaan fasilitasi sarana budidaya mendukung

BEM KM IPB 2020 45


pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
dalam rangka belanja barang fisik lainnya untuk diserahkan
kepada masyarakat/pemda di Ditjen Hortikultura Kementan
tahun anggaran 2013. "Yang merugikan keuangan negara
senilai Rp 12,947 miliar," kata jaksa KPK Trimulyono Hendradi
di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu,
1 Agustus 2018.

3. Kasus korupsi pengadaan alat pertanian yang lain adalah


perkara dugaan penggunaan barang milik negara berupa
satu unit alat dan mesin pertanian jenis eksavator PC 208
Merek Komatsu PC Tahun 2019-2020 yang dilakukan oleh
Kepala Dinas Pertanian Pemkab Mukomuko, Provinsi
Bengkulu, berinisial HP. Kerugian negara dalam kasus ini
diperkirakan sekitar Rp 83 juta berdasarkan hasil audit dari
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Bengkulu.

4. Kasus korupsi pertanian yang lain adalah Kasus dugaan


korupsi berawal dari Direktorat Jenderal Prasarana dan
Sarana Pertanian melalui Direktorat Alat dan Mesin
Pertanian pada 2015. Mereka melakukan kegiatan pengadaan
alat mesin pertanian untuk meningkatkan produksi padi,
jagung, kedelai berupa traktor roda dua, pompa air, traktor
roda empat, rice transplanter, seeding tray, dan eskavator.
Pengadaan itu bersumber dari APBN Refocusing Tahun
Anggaran 2015 dan APBNP Tahun Anggaran 2015 sebesar
Rp1,6 triliun lebih. Adapun Mekanisme pengadaan alat
dan mesin pertanian menggunakan sistem e-purchasing
dengan harga e-katalog yang ternyata dalam perencanaan,
pengadaan, serta pelaksanaan penyaluran kepada penerima
tidak sesuai dengan pedoman pelaksanaan penyaluran
bantuan alat dan mesin pertanian tahun anggaran 2015

MENGUAK AGENDA GELAP 46


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Secara umum, celah korupsi pada sektor pangan bisa


disebabkan dari panjangnya rangkaian hasil produksi dari petani
kepada konsumen di lapangan yang sangat mungkin terjadi
penyelewengan harga yang dilakukan oleh oknum-oknum
tertentu. Demikian juga bantuan atau subsidi dari pemerintah
seperti benih ataupun pupuk yang rangkaiannya panjang dan
membuka celah terjadinya korupsi. Data korupsi pada tahun
2019 berdasarkan data pada ICW. Terdapat sekitar 16 kasus pada
bidang pertanahan dengan nilai kerugian sebesar Rp 111,2 miliar,
suap yang dilakukan sebesar Rp 22,4 miliar, pungutan liar yang
dilakukan sebesar Rp 7 juta, dan pencucian uang yang dilakukan
sebesar Rp 11 miliar.

BEM KM IPB 2020 47


Tabel 3. Data korupsi pada tahun 2018 berdasarkan data
(Sumber : ICW 2019)

Terdapat sekitar 9 kasus pada bidang pertanian dengan nilai


kerugian sebesar Rp 7,3 miliar dan pungutan liar yang dilakukan
sebesar Rp 1,1 miliar. Terdapat sekitar 20 kasus pada bidang
pertanahan dengan nilai kerugian sebesar Rp 40,2 miliar ,suap
yang dilakukan sebesar Rp 32,4 juta dan pungutan liar yang
dilakukan sebesar Rp 372 juta.

MENGUAK AGENDA GELAP 48


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Tabel 4. Data korupsi dari berbagai sektor
(Sumber : ICW 2018)

BEM KM IPB 2020 49


Gambar 1. Diagram Pihak Pelaku Konflik Agraria di Indonesia

Dalam prosesnya peralihan pemerintahan atau rezim yang


termasuk didalamnya desentralisasi kewenangan, ternyata
juga berakibat pada desentralisasi korupsi. Tingkat korupsi di
daerah tidak kalah hebat dan menghancurkan dibanding pusat
pemerintahan yaitu Jakarta. Berdasarkan catatan Indonesia
Corruption Watch terdapat 148 kelapa daerah yang pernah terkait
korupsi dan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, yaitu:
19 Gubernur, 1 Wakil gubernur, 17 Walikota, 8 Wakil Walikota, 84
Bupati, dan 19 Wakil Bupati. (Diansyah F, 2011). Bahkan sampai
sekarang beberapa kasus korupsi SDA masih menjerat beberapa
kepala daerah dan mantan kepala daerah seperti Mantan Bupati
Aswad Konawe Utara, Aswad Sulaiman, ditetapkan KPK sebagai
tersangka terkait pemberian izin pertambangan nikel selama
menjabat bupati Konawe Utara. KPK menyebut indikasi kerugian
keuangan negara dari korupsi itu diduga mencapai Rp 2,7 triliun,
mantan gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, ditetapkan
KPK sebagai tersangka pada 2016 lalu. Dalam dakwaan, KPK
menyebut Nur Alam memberikan persetujuan izin usaha
pertambangan kepada PT Anugerah Harisma Barakah. Nur Alam

MENGUAK AGENDA GELAP 50


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
diduga melanggar undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang
pertambangan, mineral dan batubara.

Berdasarkan penanganan kasus yang telah diselesaikan oleh


KPK salah satunya, pada kasus Nur Alam terlihat pertimbangan
putusan hakim yang menimbang bahwa korupsi yang dilakukan
jika berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan tidak dapat
dinyatakan sebagai perhitungan kerugian pencemaran
lingkungan. Adapun pertimbangan hakim bahwa kerugian
negara sebesar Rp 2.728.745.136.000 sebagaimana perhitungan
ahli bukanlah kerugian negara sehingga harus dikeluarkan dari
perhitungan kerugian negara dalam perkara ini.

Seringkali tidak adanya ganti rugi ataupun perbaikan alam


dampak dari kegiatan pertambangan dan kegiatan eksploitasi
SDA, dan diperlukan tindak tegas terhadap pelaku yang
merugikan rakyat. Kerugian-kerugian sosial yang terkadang tidak
diperhatikan merupakan kemunduran dari kemajuan zaman.
Aspek penyelesaian masalah juga perlu diperhatikan bukan
hanya di permukaan menumpas pelaku korupsi tapi sampai akar
permasalahannya.

Sehingga, kami menuntut perlu adanya penyelidikan


dan penindakan lebih dalam kepada siapa yang seharusnya
bertanggung jawab dan keadilan bagi para pihak yang menjadi
korban.

BEM KM IPB 2020 51


MENGUAK AGENDA GELAP 52
KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Dengan kondisi tersebut, seha-
Menurut
rusnya Indonesia dapat mem-
data KLHK (2019),
peroleh pendapatan yang ting-
Indonesia memiliki luas
gi dari sektor kehutanan. Akan
daratan sebesar 187,8
tetapi, kondisi saat ini justru
juta ha yang didominasi
memperlihatkan ketidakmam-
oleh kawasan hutan
puan hutan sebagai sumber-
dengan luas 120,4 juta Ha.
daya yang dapat mendorong
Kawasan tersebut memiliki
perekonomian nasional. Pema-
area berhutan sebesar
sukan dari sektor kehutanan
93.526,2 ha dan 94.526,2
terhadap produk domestik bru-
ha area non hutan. Hutan
to (PDB) nasional yaitu sebesar
Indonesia merupakan jenis
0,65%, walaupun perhitungan
hutan tropis yang memiliki
tersebut kurang tepat karena ha-
tingkat keanekaragaman
nya memperhatikan instrumen
hayati tinggi, diantaranya
kayu (KLHK 2019). Manfaat dari
10% tumbuhan berbunga
sumberdaya hutan bukan hanya
di dunia, 12% jenis
dilihat dari faktor ekonomi saja,
mamalia, 25% jenis ikan
karena hutan memiliki cakupan
di dunia dimiliki oleh
yang luas dalam peranannya se-
Indonesia (Djajapertjunda
bagai penyangga kehidupan,
S dan Djamhuri E 2013).

seperti penyedia air bersih, pencegah banjir dan longsor, tempat


tinggal berbagai macam satwa dan tempat bergantungnya
ekonomi masyarakat sekitar hutan. Sehingga, hutan harus
dipandang dari berbagai sisi yaitu ekonomi, ekologi dan sosial.

Minimnya pemasukan sektor kehutanan terjadi akibat


penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia. Data
terbaru dari FWI, pada periode 2013 - 2017 menunjukan deforestasi
hutan di Indonesia sebesar 1,47 juta ha per tahun. Aktivitas yang
dapat menimbulkan kerusakan hutan yaitu alih fungsi lahan,

BEM KM IPB 2020 53


pembalakan liar, eksploitasi yang berlebihan, dan konflik tenurial
(Setiawan et al. 2017). Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia
disebabkan oleh kebijakan ekonomi politik, buruknya tata kelola,
dan lemahnya penegakan hukum. Kebijakan ekonomi politik yang
mengandalkan sumber daya alam sebagai kontributor utama
perekonomian dengan menetapkan sektor – sektor produksi
yang membutuhkan lahan luas seperti migas, perkebunan,
pertambangan dan hutan tanaman industri. Pendapatan SDA
yang terdiri atas pendapatan SDA minyak bumi dan gas bumi
(migas) dan pendapatan SDA non migas, merupakan sumber
utama PNBP. Selama 2008—2012, pendapatan SDA memberikan
kontribusi rata-rata sebesar 64,5% terhadap total PNBP
(Penerimaan Negara Bukan Pajak), dengan pertumbuhan rata-
rata mencapai 0,2% per tahun (ICW 2013).

Hutan merupakan sumberdaya yang sangat kaya sehingga


sarat akan kepentingan dan rentan terhadap korupsi. Menurut
Maryudi (2011) dalam Setiawan et al. (2017) korupsi secara langsung
dan tidak langsung terjadi di hampir semua tahapan kegiatan
sektor kehutanan di Indonesia dan berkorelasi positif terhadap
laju kerusakan hutan. Diindikasikan bahwa tingginya laju
kerusakan hutan di Indonesia sebanding dengan tingkat korupsi
yang tinggi di Indonesia (Suryadarma 2012). Pada periode tahun
2003-2014 negara berpotensi kehilangan pendapatan non pajak
(PNBP) sebesar Rp 5 triliun hingga Rp 7 triliun serta berpotensi
kehilangan Rp 50 triliun hingga Rp 66 triliun per tahun dari nilai
kayu konversi hutan yang digunakan untuk tambang dan kebun
(KPK 2018). Disisi lain, deforestasi dan degradasi lahan di Indonesia
mencapai 15,8 juta ha pada tahun 2000 sampai 2013 (Setiawan
et al. 2017). Buruknya pengelolaan hutan di Indonesia ditambah
dengan rendahnya partisipasi masyarakat, hal ini ditunjukan dari
total luas hutan yang diklaim oleh negara hanya 1% hutan dikelola
oleh masyarakat ( Apriando 2015).

MENGUAK AGENDA GELAP 54


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Korupsi menjadi salah satu persoalan yang akut dan sulit
diberantas hingga sekarang. Menurut laporan Global Corruption
Barometer (Transparency International Indonesia 2013) korupsi
di Indonesia terjadi secara sistematik dan masif. Suap dan
penyalahgunaan wewenang masih marak, sementara lembaga-
lembaga yang mestinya memberikan pelayanan, perlindungan
dan supervisi justru memiliki integritas yang buruk. Hal ini juga
terjadi di sektor kehutanan dan perkebunan. Kerusakan hutan
di Indonesia menjadi sorotan dunia dan berkali-kali disinggung
di sejumlah forum internasional. Korupsi di sektor kehutanan
berlangsung secara sistematis mulai dari tingkat kementerian
atau departemen, dinas kehutanan di kabupaten/daerah, pejabat
pemerintah daerah hingga petugas di lapangan. Praktik korupsi
di sektor kehutanan pun hadir dengan beragam modus seperti
penerbitan izin yang tidak prosedural, pungutan liar hingga
penyusunan peraturan yang tidak transparan.

Untuk memahami bagaimana korupsi di sektor kehutanan


dan lingkungan ini terjadi, maka kita harus memahami pola-
polanya terlebih dahulu. Berikut adalah titik rawan potensi
korupsi di sektor kehutanan dan lingkungan. Pertama, menyuap
pejabat. Pengusaha biasa menggunakan pejabat pusat yang
berpengaruh untuk memuluskan kepentingannya untuk
membujuk pejabat dibawahnya, pejabat pusat atau daerah
mendapat imbalan tersebut dari pengusaha. Meratanya imbalan
yang dibagikan sehingga dapat menguntungkan semua pihak,
seolah tidak ada yang dirugikan karena semua mendapat bagian
dan proyek bisa berjalan. Kedua pemberian izin usaha. Praktek
korupsi di sektor kehutanan terutama dalam proses pemberian
izin pengelolaan terhadap kawasan hutan, selalu syarat dengan
pelanggaran terhadap aturan. Hal ini telah dibuktikan dari
beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat seperti mantan
Bupati Pelalawan, mantan Kepala Dinas Kehutanan, mantan

BEM KM IPB 2020 55


Bupati Siak dan menyusul proses Hukum terhadap Gubernur Riau.
Ketiga penilaian dan pengesahan Usulan Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-
HT). Dengan alasan guna penyiapan lahan atau land clearing
yang isinya antara lain memuat rencana penebangan dan target
produksi penebangan hutan Alam. Keempat, pembukaan hutan
untuk ditanami perkebunan sawit. Dalam proses pembukaan
lahan perkebunan kelapa sawit yang harus melalui tahapan
perizinan yang panjang, disinyalir kuat menjadi salah satu lahan
korupsi di era otonomi daerah. Pada intinya, pola korupsi ini
memiliki kontribusi pada deforestasi-penghilangan hutan alam
dengan cara penebangan kayu atau mengubah peruntukan
kawasan kehutanan menjadi non kawasan kehutanan.

Proses legislasi dan penyusunan regulasi yang diterbitkan


oleh pemerintah dan DPR beberapa waktu terakhir menyebabkan
sejumlah organisasi masyarakat sipil meragukan komitmen
pemerintah dan DPR periode 2019-2024 dalam melindungi dan
membenahi tata kelola lingkungan hidup serta Sumber Daya
Alam (SDA). Sebab, substansinya lebih memberi ruang yang
besar terhadap alih fungsi hutan dan lahan untuk kepentingan
bisnis (korporasi). Sampai saat ini, sedikitnya tercatat ada 5 RUU
dan peraturan pemerintah yang melemahkan perlindungan
lingkungan hidup. Pertama, RUU Perkelapasawitan. RUU ini
akan meningkatkan ekstensifikasi perkebunan yang berpotensi
meningkatkan konflik tenurial dan lingkungan. Kedua, RKUHP,
selain memuat ketentuan yang bisa menjerat aktivis HAM dan
lingkungan hidup, RUU ini melemahkan pidana yang menjerat
korporasi (Subagio 2019). Seharusnya pidana bagi korporasi
diperkuat, sehingga yang dijerat bukan hanya struktur pengurus,
tapi juga badan hukumnya serta pengendali korporasi yang berada
di luar struktur korporasi. Selain itu, korporasi induk bertanggung
jawab atas tindakan yang dilakukan anak perusahaannya, misalnya

MENGUAK AGENDA GELAP 56


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
jika lahan konsesi anak perusahaan terbakar, maka harus dikejar
pidananya sampai ke tingkat induk perusahaan. Ketiga, RUU
Pertanahan. RUU Pertanahan ini meningkatkan penguasaan
tanah secara berlebihan dan kurang mempertimbangkan fungsi
lingkungan dalam tata kelola pertanahan. Keempat, Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single
Submission (OSS). PP OSS tidak memposisikan analisis dampak
lingkungan (amdal) sebagai pertimbangan dalam menerbitkan
izin lingkungan. Kelima, PP No.13 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas PP No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional. Beleid ini memberi keistimewaan untuk pembangunan
yang masuk kategori proyek strategis nasional. Pasal 114 A PP No.13
Tahun 2017 memberi ruang bagi pembangunan proyek strategis
untuk menyimpangi RTRW daerah atau Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) atas dasar rekomendasi menteri tanpa parameter
yang jelas.

Revisi UU KPK justru hadir dengan substansinya yang


melemahkan KPK secara kelembagaan di tengah keadaan
genting seperti ini. Padahal, pelemahan KPK akan mengancam
semua sektor termasuk tata kelola lingkungan hidup dan SDA.
Banyak persoalan korupsi yang terjadi di sektor lingkungan
hidup dan SDA yang dampaknya sudah pasti akan merugikan
masyarakat. Melansir data Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) periode 1995-2015, sekitar 24 juta ha hutan hujan
di Indonesia hancur. Periode 2015-2017 sebanyak 19% deforestasi
terjadi pada konsesi perkebunan sawit. Perusakan hutan hujan
ini menempatkan Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi
global terbesar setelah Amerika Serikat dan China. Fakta tersebut
diperkuat dengan temuan Greenpeace tahun 2015-2018 dimana
sejumlah perusahaan pemasok minyak sawit menghancurkan
area hutan setara dengan dua kali ukuran Singapura. Kebijakan

BEM KM IPB 2020 57


yang diterbitkan pemerintah untuk menahan laju deforestasi
seperti Inpres No.5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut ternyata belum optimal. Inpres yang diterbitkan
pertama kali tahun 2011 ini masih memiliki celah, sehingga tidak
memberikan perlindungan hutan dan lahan gambut untuk jangka
panjang. Alih-alih menekan deforestasi, faktanya pembabatan
hutan dan lahan semakin meningkat. Hasil analisis Greenpeace
menunjukan sepertiga area yang terbakar pada periode 2015-2018
berada di kawasan moratorium (sterilisasi lahan). Jangka waktu
2005-2011 saat belum dilakukan moratorium total deforestasi
sekitar 800 ribu hektar, 7 tahun setelah moratorium (2012-2018)
total deforestasi sebesar 1,2 juta hektar.

Selama pelaksanaan moratorium, setiap 6 bulan pemerintah


melakukan revisi terhadap area yang dimoratorium. Dalam revisi
itu banyak hutan dan lahan gambut yang kaya karbon malah
dihapus dari peta moratorium. Beberapa lahan yang dihapus itu
diberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit dan bubur kertas
(pulp), penebangan hutan dan pertambangan. Dalam 5 tahun
ke depan Indonesia masih menghadapi masalah deforestasi.
Persoalan deforestasi diperparah dengan lemahnya penegakan
hukum, pelaksanaan dan eksekusi terhadap putusan pengadilan.
Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN membuat situasi
semakin sulit karena tidak mau membuka informasi pemegang
HGU. Padahal sudah diperintahkan MA melalui putusannya.
Perlindungan terhadap hutan dan lahan gambut semakin
suram karena pemerintah berencana untuk merevisi lebih dari
70 regulasi dalam rangka percepatan masuknya investasi atau
dikenal dengan istilah omnibus law.

Dampak kebijakan pemerintah tersebut berpengaruh


terhadap hutan, air, iklim dan energi. Dikutip dari buku

MENGUAK AGENDA GELAP 58


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
permasalahan kehutanan di Indonesia dan kaitannya dengan
perubahan iklim 2014, deforestasi atau penebangan hutan
dan perubahan pemanfaatan lahan akan mengakibatkan
berkurangnya media penyerap CO2 dan penyerapan air. Manfaat
langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu.
Sedang manfaat tidak langsungnya adalah sebagai pengatur
iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta
sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan
manusia saat ini dan di masa yang akan datang. Pengurangan
lahan hutan di suatu negara juga akan berdampak pada negara-
negara lain, karena meningkatnya gas rumah kaca, di mana uap
air panas bisa terbawa angin ke negara lain. Kawasan hutan di
Indonesia mencapai 120,5 juta ha, atau sekitar 60% dari luas total
Indonesia. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk
1,35% angkatan kerja langsung dan 5,4% angkatan kerja tidak
langsung. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan
baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source
(peng-emisi karbon). Kemudian berkembangnya industri yang
menggunakan bahan bakar fosil sejak beberapa puluh tahun yang
lalu setelah revolusi industri, khususnya dengan penggunaan
batubara sebagai bahan bakar, ternyata mempunyai dampak
terhadap lingkungan. Pembakaran batubara, minyak dan gas
alam menyumbang hampir 80% dari total CO2. Seperti diketahui,
CO2 merupakan gas penghangat bumi, di mana uap panas
bertahan ada di dalamnya. Karbondioksida, nitrogen oksida, dan
halokarbon akan bertahan beberapa tahun ke depan, sehingga
dengan terus bertambahnya gas-gas ini, maka akan bertumpuk
gas pemanas di bumi ini.

Kejahatan kehutanan dan deforestasi tidak saja menimbulkan


kerusakan ekologi, namun juga kerugian keuangan negara yang
sangat fantastis. Ada banyak versi kerugian keuangan negara dari
kejahatan sektor kehutanan di Indonesia, baik oleh lembaga di

BEM KM IPB 2020 59


dalam negeri maupun dari luar negeri. Human Rights Watch (HRW)
sebuah lembaga Hak Asasi Internasional dalam penelitiannya di
Indonesia pada tahun 2009 lalu mengargumentasikan dampak
kejahatan kehutanan akibat illegal logging, korupsi dan buruknya
manajemen terhadap Hak Asasi Manusia. Antara tahun 2003
hingga 2006, rata-rata hampir USD 2 miliar per tahun Negara
kehilangan karena kejahatan di sektor kehutanan tersebut.

Data Kementerian Kehutanan tahun 2003 menyebutkan


kondisi aktual kerugian negara yang timbul akibat praktek illegal
logging, penyelundupan kayu dan peredaran kayu ilegal di
sejumlah daerah sebagai berikut:

1. Penebangan kayu liar dan peredaran kayu ilegal mencapai


besaran 50,7 juta m3/th, dengan perkiraan kerugian finansial
sebesar Rp 30,42 triliun/th. Di samping itu ada kerugian
secara ekologi yaitu hilangnya beberapa jenis/spesies
keanekaragaman hayati.

2. Penyelundupan kayu dari Papua, Kaltim, Kalbar, Kalteng,


Sulteng, Riau, NAD, Sumut, dan Jambi dengan tujuan
negara Malaysia, China, Vietnam, India mencapai 10 juta m3/
th. Khusus dari Papua mencapai 600.000 m3/bulan dengan
kerugian sebesar Rp 600.000 milyar/bln, atau Rp 7,2 triliun/
thn.

3. Peredaran kayu ilegal di Pantura mencapai 500.000 m3/bln


(sekitar 500 – 700 Kapal per bulan) dengan kerugian finansial
sebesar Rp 450 miliar/bln, atau Rp 5,4 triliun/thn.

MENGUAK AGENDA GELAP 60


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Data terbaru Kementerian Kehutanan pada Agustus 2011
menyebutkan potensi kerugian negara akibat izin pelepasan
kawasan hutan di 7 Provinsi di Indonesia diprediksi merugikan
negara hampir Rp 273 triliun. Kerugian negara tersebut
timbul akibat pembukaan 727 Unit Perkebunan dan 1722 unit
pertambangan yang dinilai bermasalah. Dari jumlah kerugian
negara, Kalimantan Tengah merupakan yang terbesar yaitu Rp
158 triliun. Lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain seperti
Kalimantan Timur yang nilainya diduga mencapai Rp 31,5 triliun,
Kalimantan Barat (Rp 47,5 triliun) dan Kalimantan Selatan (Rp 9,6
triliun).

Tabel 5. Jumlah Potensi Kerugian Negara di Berbagai Daerah di


Indonesia

Khusus di Kalteng, Laporan yang disampaikan Direktur


Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)
Kementerian Kehutanan Darori, menyebutkan prediksi nilai

BEM KM IPB 2020 61


kerugian itu terjadi di dua kabupaten di Kalteng di atas lahan
seluas 7 juta ha. Di lahan itu berdiri 282 kebun dan 629 tambang
yang memiliki izin menyimpang dari prosedur seharusnya. Tim
penyidik Kementerian Kehutanan menghitung dengan asumsi 1
ha dapat menghasilkan 100 m3 kayu serta pendapatan dari dana
reboisasi US$16 per m3 kayu dan provisi sumber daya hutan Rp
60.000 per m3 kayu, sedangkan kurs Rp. 9.450,- per US$.

Dalam catatan KPK dari temuan di 4 provinsi di Kalimantan


(Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Kaltim), dugaan kerugian negara
akibat tidak segera ditertibkannya penambangan tanpa izin
pinjam pakai di dalam kawasan hutan sejauh ini telah terhitung
sekurang-kurangnya Rp 15,9 triliun per tahun dari potensi
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Angka tersebut di luar
kompensasi lahan yang tidak diserahkan, biaya reklamasi yang
tidak disetorkan dan denda kerusakan kawasan hutan konservasi
sebesar Rp 255 miliar. Potensi kerugian negara dari kasus per
kasus korupsi di sektor kehutanan juga tergolong paling besar.
Dugaan korupsi dalam pemberian izin kehutanan di Kabupaten
Pelalawan diduga merugikan negara senilai Rp 1,3 triliun. Perkara
ini melibatkan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar dan
sejumlah pejabat Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Perkara korupsi
lainnya adalah pelepasan izin pembukaan lahan perkebunan
kelapa sawit satu juta hektar di wilayah Penajam Utara, Berau,
Kalimantan Timur, yang diduga merugikan keuangan negara
hingga Rp 346 miliar. Perkara ini melibatkan Gubernur Kaltim,
Suwarna Abdul Fatah dan pemilik Surya Dumai Group pimpinan
Martias alias Pung Kian Hwa.

Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan,


potensi kerugian negara dari sektor non pajak kawasan hutan
selama kurun waktu 2004-2007 mencapai Rp Rp 169,797
triliun. Nilai itu didapat dari perhitungan selisih antara potensi

MENGUAK AGENDA GELAP 62


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
penerimaan negara dari Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber
Daya Hutan (PSDH) dikurangi pendapatan negara yang diterima.
Dari perhitungan ICW, seharusnya negara dapat memperoleh
Rp 217,629 triliun dari dana reboisasi hutan dan PSDH akibat
pembukaan lahan perkebunan sawit seluas 8 juta hektar.
Akan tetapi, menurut data dari Kementerian Kehutanan, total
penerimaan negara dari kedua wilayah tersebut hanya mencapai
Rp 47,8 triliun. Selain sejumlah versi tersebut, secara perkara per
perkara kerugian negara yang timbul juga sangat luar biasa.
Misalnya saja kerugian negara yang timbul akibat beroperasinya
14 perusahaan yang dinilai bermasalah di Provinsi Riau. Data
Satuan Tugas Mafia Hukum menyebutkan total biaya kerugian
Perusakan Lingkungan pada 14 perusahaan di Provinsi Riau
adalah Rp 1,9 Triliun.

Laporan investigasi perkara korupsi kehutanan yang


dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Save Our
Borneo (SOB) di Kalimantan Tengah dan Kontak Rakyat Borneo
(KRB) di Kalimantan Barat yang dilakukan pada 22 perusahaan di
4 kabupaten, yaitu: Sambas, Ketapang, Bengkayang (Kalimantan
Barat) dan Seruyan (Kalimantan Tengah) hasilnya cukup
mengejutkan. Total kerugian negara dari empat kabupaten
tersebut mencapai Rp 9,14 Triliun. Data kerugian negara
tersebut setidaknya menunjukkan bahwa kerugian negara yang
timbul dari praktek kejahatan kehutanan kenyataannya sangat
dahsyat. Jika korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa
(extra ordinary) maka sudah selayaknya kejahatan kehutanan
harus masuk kategori kejahatan sangat luar biasa (very extra
ordinary). Dengan demikian cara-cara yang digunakan untuk
memberantasnya juga harus dengan cara-cara yang sangat luar
biasa pula.

BEM KM IPB 2020 63


MENGUAK AGENDA GELAP 64
KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Rancangan Rancangan UU ini
Omnibus Law, mengubah banyak ketentu-
dalam hal ini adalah RUU an yang sudah diatur oleh UU
Cipta Kerja, merupakan sebelumnya, tetapi yang pal-
RUU yang dirancang untuk ing disoroti adalah ketertu-
menggantikan berbagai tupan pembahasannya dan
UU yang mengatur pasal-pasal yang berpotensi
memperbesar korupsi sum-
ketenagakerjaan, perizinan ber daya alam di Indonesia baik
berusaha, dan regulasi pada perizinan maupun pada
lingkungan. konsekuensi kerusakan hutan.

Penghilangan kewajiban pembayaran royalti pada


penambangan mineral dan batubara, misalnya, berpotensi
merugikan negara hingga triliunan rupiah, sehingga penerimaan
negara hilang, dan para pengusaha sangat diuntungkan dengan
keberadaan hal ini. RUU Cipta Kerja juga menghapuskan
ketentuan bagi perusahaan batu bara dengan lisensi Perjanjian
Karya Pengelolaan Batubara (PKP2B) yang berubah menjadi
ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Padahal, Pasal
81 UU Minerba menyatakan kewajiban pemegang IUPK yang
mendapatkan mineral logam atau batu bara yang tergali wajib
melaporkan secara langsung kepada Menteri ESDM. Hal ini
menghilangkan prioritas Badan Usaha Milik Negara/Daerah
untuk mengelola pertambangan batu bawa setelah masa lisensi
PKP2B habis, dan kewenangan daerah dicabut dari otonominya
untuk mengatur kekuasaan sumber daya alam daerh dengan
kapasitasnya masing-masing. RUU Cipta Kerja juga akan semakin
memakmurkan para oligarki dan elite nasional, termasuk pihak
yang diuntungkan dengan kedudukannya sebagai pejabat publik
dan terafiliasi secara langsung dengan perusahaan raksasa di
Indonesia.

BEM KM IPB 2020 65


Selain itu, RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan
pada Pasal 83 UU Minerba yang membatasi pertambangan
mineral hingga 25 ribu hektare dan pertambangan batu
bara 15 ribu hektare. Pada pasal 35 dan 37 di halaman 33 RUU
Cipta Kerja mengenai pemanfaatan ruang hidup, penetapan
peraturan zonasi, ketentuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan
sanksi dilimpahkan semua ke pemerintah pusat. Hal tersebut
berpotensi melanggengkan eksploitasi SDA secara berlebihan
karena oligarki memiliki kedekatan dengan pemerintah, bahkan
menjabat sebagai pejabat publik. Hal ini membuka peluang
untuk para pengusaha melanggengkan eksploitasi batu bara
seumur hidup. Padahal, hal ini sangat berpotensi besar dalam
menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan lingkungan
hidup, karena mendorong eksploitasi dan ekspansi wilayah
pertambangan dengan keleluasaan dan insentif yang diberikan.
Proses ekspansi sumber daya alam yang dibiarkan secara masif
tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keberlanjutan untuk
di masa yang akan datang menggambarkan ketidakseriusan
pemerintah dalam mengatasi keberlangsungan krisis iklim,
dengan keberadaan limbah dan hasil olahan batu bara yang
menjadi salah satu penyebabnya.

RUU Minerba sebagai bagian dari Omnibus Law yang telah


disahkan menggambarkan pemerintah yang abai dengan suara
rakyatnya. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
ke arah penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan dan
energi terbarukan tidak menjadi agenda penting pemerintah.
Namun sebaliknya, arah gerak yang terus digemborkan
adalah penggunaan batubara sebagai sumber energi dengan
pemberian insentif untuk pebisnis agar terus mengeruk batu
bara sebagai energi kotor. Omnibus Law, dalam hal ini, jelas
merupakan sebuah produk kebijakan yang bermasalah, dengan

MENGUAK AGENDA GELAP 66


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
proses pembahasan dan isi yang sarat dengan kepentingan.
Berdasarkan hal ini, menurut Egi Primayogha dari ICW, Omnibus
Law jelas merupakan suatu bentuk korupsi state capture, yakni
pembuatan kebijakan dengan adanya pembajakan negara oleh
kepentingan privat (Ramadhan 2020).

Kecacatan norma hukum dan kekuasaan absolut juga


ditunjukkan dalam pasal 170 RUU Cipta Kerja pada bab XIII
mengenai ketentuan lainnya yang berbunyi sebagai berikut: (1)
Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan Strategi
cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berenang
mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau
mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak
diubah dalam Undang-Undang ini. (2) Perubahan ketentuan
sebagaimana di maksud pada ayat (1) diatur dalam Undang-
Undang ini. (3) Dalam rangka penerapan Peraturan Pemerintah
sebagaimana di maksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat
berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat
Republik Indonesia.

Pasal tersebut menyiratkan bahwa keputusan strategis


mengenai wilayah yang seharusnya melibatkan berbagai unsur
terkait, hanya dibahas oleh sedikit pihak, yaitu pemerintah pusat
dan DPR. Padahal, menurut guru besar Fakultas Kehutanan IPB,
Prof. Hariadi Kartodihardjo, jika terdapat banyak masalah terkait
pengelolaan sumber daya alam di daerah, langkah penarikan
keputusan sepenuhnya pada pemerintah pusat bukanlah hal
yang solutif. Hal ini disebabkan kemampuan satu otoritas dalam
pengelolaan negara itu lemah, dan pengurangan otoritas daerah
akan berpotensi memperburuk keadaan (Setyorini 2020). Alasan
lainnya adalah bahwa permasalahan sumber daya alam sangat
sarat dengan konflik kepentingan dari berbagai pihak menjadi

BEM KM IPB 2020 67


celah yang sangat rentan untuk korupsi.

Selain merevisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah disahkan Mei
2020 lalu, RUU Cipta Kerja juga merevisi sejumlah undang-
undang, diantaranya yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor
39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan UU nomor 17 Tahun
2019 Tentang Sumber Daya Air. Selain itu, juga dilakukan revisi
terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, UU Nomor
30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Putra 2020).

Dalam usaha perkebunan misalnya, RUU Cipta Kerja


menghapuskan ketentuan Pasal 16 UU No 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan (UU Perkebunan) yang memuat kewajiban
mengusahakan lahan perkebunan dalam jangka waktu tertentu
setelah pemberian status hak atas tanah. Artinya, setelah RUU
Cipta Kerja ini disahkan, tidak ada kewajiban lagi bagi penanam
modal asing untuk membentuk badan hukum Indonesia
bersama pelaku usaha perkebunan dalam negeri sebelum
melakukan usaha perkebunan (Julian 2020). Hal ini menyebabkan
kewenangan pemerintah dalam hal pengawasan lahan yang telah
diberikan izin “hak menguasai” kepada pengusaha hilang (Putra
2020). Kelapa sawit dan korupsi. RUU Cipta Kerja juga mencabut
kewenangan daerah dalam mengatur sumber dayanya sendiri
dengan merevisi UU nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya
Air. Ketentuan mengenai wewenang pemerintah yang dihapus
pada RUU Cipta Kerja meliputi mengatur, menetapkan, dan
memberi izin penggunaan Sumber Daya Air (Bahfein 2020).

MENGUAK AGENDA GELAP 68


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Pasal lain yang dinilai bermasalah adalah pasal 127 yang
mengusulkan hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU)
menjadi 90 tahun yang diusulkan oleh Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Padahal, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan ketentuan
tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, hal tersebut
bertentangan dengan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (PDPA).
HGU dengan usia 90 tahun dinilai lebih kompetitif karena jika
dibandingkan dengan negara di wilayah ASEAN, HGU yang
dimiliki berkisar dalam jangka waktu 100 tahun menurut Ketua
Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida.
Padahal, dalam waktu HGU yang sangat panjang, eksploitasi
berlebihan sangat mungkin terjadi dan banyak meminggirkan
masyarakat marjinal. RUU Cipta Kerja dengan fokus pertanahan
diatur dalam delapan pasal, dari Pasal 127 hingga Pasal 135.
Keberadaan bank tanah juga diatur kembali sesuai Pasal 127 ayat
3 yang menjelaskan bahwa kekayaan badan bank merupakan
kekayaan negara yang dipisahkan sehingga muncul indikasi
bahwa bank tanah merupakan upaya untuk memperkuat
penguasaan tanah oligarki, apalagi dengan hak pengelolaan
tanah yang dikelola oleh bank tanah diberikan selama 90 tahun,
lebih lama daripada aturan kolonial yang membatasinya hanya
75 tahun dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (PDPA) yang menetapkan jangka waktu
25 tahun dan maksimal 35 tahun (Salsabila 2020). Oleh karena
itu, aturan ini sangat merugikan masyarakat kecil yang tinggal
disekitar kawasan namun tidak dapat merasakan manfaat tanah
tersebut. Padahal, masyarakat kecil seperti masyarakat adat
merupakan bagian masyarakat yang paling dirugikan posisinya
dari dampak pembangunan melalui investasi. Masyarakat adat
seringkali tersisih akibat kehadiran industri di wilayah tempat
tinggalnya, akibat perizinan yang tidak mengalami sinkronisasi

BEM KM IPB 2020 69


dan tumpang-tindih. Perlindungan masyarakat adat dalam
RUU Cipta Kerja nyaris tidak ada. Pemangkasan regulasi tidak
membantu keberadaan dan posisi masyarakat adat, meski
amanat Mahkamah Konstitusi pada 2012 menegaskan bahwa
hutan adat harus dipisahkan dengan hutan negara (Forest Digest
2020).

RUU Cipta Kerja juga tidak tepat sasaran karena berdasarkan


survei WEF di 2017, faktor utama yang menjadikan investor enggan
berinvestasi adalah korupsi, baru diikuti dengan birokrasi yang
tidak efisien. Namun, inefisiensi birokrasi di Indonesia disebabkan
oleh korupsi itu sendiri sehingga perizinan yang bisa selesai cepat
justru diperlambat agar birokrat mendapat uang dari hasil suap
proses birokrasi tersebut.

Gambar 2. Diagram Faktor yang Memperburuk Keadaan Bisnis


di Indonesia

Sumber : Executive Opinion Survey 2017 by World Economic Forum

MENGUAK AGENDA GELAP 70


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Selain masalah yang sudah disebutkan, RUU ini juga jelas
menimbulkan polemik karena perihal analisis mengenai dampak
lingkungan (Amdal). Dalam revisi terhadap Pasal UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, mekanisme penilaian amdal tersebut dilakukan dengan
uji kelayakan oleh komisi yang mulanya dibentuk pemerintah,
seperti yang diatur pada pasal 29, diubah menjadi penilaian oleh
pihak ketiga yang ditunjuk pelaku usaha. Perubahan regulasi
ini sangatlah rentan menjadi celah korupsi, karena bias dan
kepentingan pengusaha jelas mampu mempengaruhi hasil
amdal yang dikeluarkan oleh komisi. Izin lingkungan pada pasal
36 juga dihilangkan, dan diganti dengan persetujuan lingkungan
untuk usaha berbasis risiko tinggi. Padahal, kriteria jenis usaha
dengan wajib amdal dan persetujuan lingkungan sangat abstrak
dan berpotensi mengerucutkan jenis kegiatan usaha yang wajib
amdal tanpa pertimbangan dengan aspek baik lingkungan
karena harus berkompromi dengan aspek lain. Selain itu,
dampak lingkungan yang berpotensi menimpa masyarakat di
sekitar industri tidak mengenal ukuran. Kerusakan lingkungan
akan selalu dapat ditimbulkan oleh industri terlepas dari besar
kecilnya ukuran industri (Kartodihardjo 2020; Arumingtyas dan
Saturi 2020; Forest Digest 2020). Pengawasan dan pengenaan
sanksi administrasi atas pelanggaran bidang yang wajib amdal
lingkungan hidup seperti tertuang dalam Pasal 72-75 UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Nomor 32/2009
juga dihapuskan dan mengubah Pasal 76. UU tersebut tidak
lagi memberikan ketegasan pengawasan pada instansi yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup,
pengawasan lapis kedua oleh pemerintah pusat, kewenangan
pejabat pengawas lingkungan hidup, dan sanksi administrasi.
Revisi Pasal 40 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menyerahkan perihal sanksi
administrasi terhadap korporasi yang melakukan pembakaran

BEM KM IPB 2020 71


lahan dan hutan pada pemerintah pusat. Penghapusan sanksi
pidana pada pengusaha ini sebenarnya sangat beresiko karena
jika pemberian hukum dilakukan oleh lembaga eksekutif negara,
pidana baru dapat dijatuhkan jika sanksi administrasi telah
terpenuhi. Sanksi pidana hanya dapat terjadi jika didahului sanksi
administrasi yang hanya berupa denda dengan batas maksimum
tertentu (CNN 2020; Arumingtyas dan Saturi 2020).

Suatu regulasi juga dapat diatur sendiri oleh suatu


komunitas, ditegakkan secara sepihak oleh para pengampu
kewenangan, ataupun didelegasikan kepada otoritas pihak ketiga
yang independen. Ketiga sifat regulator yang berbeda dalam hal
tersebut akan menghasilkan norma yang berbeda pula dalam
mengelola kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap sebuah
regulasi. Sifat regulator dalam RUU Cipta Kerja dengan delegasi
kekuasaan penuh terhadap pemerintah pusat mampu menghapus
tanggung jawab masyarakat maupun entitas independen yang
memiliki keresahan tertentu seperti lembaga-lembaga sertifikasi
pihak ketiga, yakni akademisi, aktivis, organisasi lingkungan,
maupun lembaga swadaya masyarakat yang seharusnya dapat
turut serta menyampaikan iterasinya dalam proses pengelolaan
pembangunan SDA (Kartodihardjo 2020). Menurut Zenzi, Kepala
Advokasi Eksekutif Nasional Walhi, izin lingkungan seharusnya
juga menjadi hak semua orang yang peduli dengan lingkungan
karena lingkungan tidak dapat dibatasi oleh batas administratif
maupun negara. Namun, dalam RUU Cipta Kerja, hak warga
negara untuk mengajukan keberatan dan gugatan terhadap
kegiatan yang merusak lingkungan dikebiri. Hak partisipasi
publik melalui jalur peradilan seperti tercantum dalam Pasal 93
UU PPLH untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan
atau izin usaha melalui peradilan administrasi (PTUN) tidak ada
lagi. Hanya pihak kedua yang terdampak langsung pada industri
yang mampu mengajukan gugatan (CNN 2020). Padahal, bukan

MENGUAK AGENDA GELAP 72


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
sebuah kisah yang asing lagi untuk didengar bahwa masyarakat
yang terdampak secara langsung adalah suara-suara yang paling
sering diabaikan para pengusaha. Hal ini menunjukkan kebijakan
pemerintah yang berpihak kepada investor besar dan bukan
kepentingan semua golongan secara proporsional karena saran-
saran pihak yang bertujuan menyelamatkan lingkungan menjadi
tidak punya kekuatan hukum untuk dipertimbangkan dan dapat
diabaikan secara legal akibat adanya RUU Cipta Kerja. Pemerintah
seolah mengabaikan bahwa laju investasi yang tinggi juga tidak
akan senantiasa berujung pada peningkatan kesejahteraan
rakyat, namun justru berpotensi dalam menciptakan konflik
sumber daya alam, meminggirkan masyarakat marjinal, dan
menimbulkan bencana ekologis.

Laporan bertajuk “Risiko Korupsi pada Perizinan Kehutanan di


Kalimantan Timur” yang diterbitkan oleh KPK ada Oktober 2019 lalu
mengungkapkan bahwa sistem daring dalam perizinan terpadu
melalui online single submission yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2018 tidak mampu memberikan
dampak yang cukup baik pada kecepatan izin maupun bisnis.
Pada laporan tersebut, disebutkan bahwa keberadaan sistem
baru tidak menghapus biaya informal mengurus rekomendasi
teknis, izin lingkungan, atau tata batas wilayah usaha maupun
perencanaan produksi. Biaya informal dinyatakan terdapat
pada bidang pengendalian izin, seperti post audit, penegakan
hukum, dan sertifikasi, serta pada bidang pelaksanaan produksi
pada kegiatan pengurusan pelaporan, surat pembayaran, surat
keabsahan hasil hutan, dan surat pengangkutan hasil hutan.
Biaya informal ini dibayarkan untuk mendapat legalitas aktivitas
pengelolaan hutan.

Bounds (2015) dalam Kartodihardjo (2020) menyebutkan


bahwa naiknya biaya transaksi pelaksanaan regulasi tersebut

BEM KM IPB 2020 73


dapat disebabkan oleh empat jenis regulasi. Regulasi arbitrase,
yang mewajibkan penggunaan opsi yang sama-sama valid.
Regulasi itikad baik, yang menitikberatkan pada dasar perilaku
bidang tertentu, namun umumnya timbul masalah akibat
kompleksitas peraturan dan sulitnya kepatuhan. Regulasi konflik,
yang mengakui keberadaan konflik intrinsik antara dua tujuan,
misalnya antara tujuan individu dengan tujuan masyarakat yang
lebih besar. Regulasi proses, yang menentukan cara mencapai
tujuan, namun tidak hanya berdasarkan pada hasil yang
ditentukan ataupun dilarang. Regulasi proses memiliki risiko
paling tinggi, karena prosedur tersebut menjalankan sesuatu
yang bersifat mencerminkan kebenaran hukum, sehingga
kegiatan di luar prosedur tersebut menjadi sebuah kesalahan.

RUU Cipta kerja tidak memberikan inovasi regulasi perizinan,


karena masih banyaknya jenis regulasi proses dan regulasi
konflik yang menguntungkan kepentingan investor daripada
masyarakat luas. Konflik hak-hak atas tanah, misalnya, yang telah
dialami oleh Papua dan Papua Barat yang telah bekerja dalam
suatu otonomi khusus tidak mendapatkan perhatian khusus.
Bahkan tanpa adanya Omnibus Law, aset alam di Papua dan
Papua barat dijarah dalam diam melalui pembagian penguasaan
berbagai konsesi. Pengesahan RUU Cipta Kerja akan semakin
memuluskan cara-cara penguasaan hak-hak masyarakat melalui
mekanisme hukum. Sebanyak 1.389.956 hektar hutan alam
milik masyarakat adat telah beralih fungsi menjadi perkebunan
kelapa sawit. Regulasi yang diterbitkan dalam Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN Nomor 2/1999
yang memperbolehkan izin usaha di Papua hingga mencapai
40.000 hektar, dua kali lebih luas dari provinsi lain yang dibatasi
pada area maksimal 20.000 hektar. Lemahnya pengawasan
bahkan mampu menyebabkan beberapa kelompok perusahaan
menguasai hingga lebih dari 100.000 hektar di Papua. Sebut saja

MENGUAK AGENDA GELAP 74


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
PT Menara Group memiliki hak penguasaan lahan 270.095 hektar
di Kabupaten Boven Digoel, PT Korindo Group dengan luas lahan
148.637 hektar di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, dan
ANJ Group yang memiliki lahan hampir mencapai 82.468 hektar
di Kabupaten Sorong Selatan diluar kepemilikan lahan lain
yang berada di sumatera. Semua area konsesi tersebut hampir
seluruhnya mengalami sengketa yang rumit dengan masyarakat
adat. Miris, maraknya investasi tidak sebanding dengan perbaikan
ekonomi rakyat papua. Otonomi Khusus tanah Papua sekalipun
akan lumpuh dalam seketika jika RUU Cipta Kerja telah disahkan
(Hutapea 2020). Regulasi yang tercermin dalam RUU Cipta Kerja
adalah regulasi yang menitikberatkan pada kemudahan investasi
asing, bukan kemaslahatan masyarakat.

Dengan demikian, regulasi baru ataupun perubahan regulasi


yang lama tidak dapat menjamin berkurangnya risiko terjadinya
korupsi pada berbagai praktik, terutama pada sektor pengelolaan
sumber daya alam (Kartodihardjo 2020). Keberadaan RUU Cipta
Kerja yang digemborkan untuk pengembangan investasi jelas
merupakan ladang paling berpotensi terjadinya tindakan korupsi,
terutama pada sektor sumber daya alam. RUU Cipta Kerja, dengan
begitu banyaknya pasal yang sebenarnya memiliki kedudukan
penting justru mengalami penghapusan yang menjadikan
banyaknya celah terhadap tindak pidana korupsi. Keringanan
izin, kemudahan persetujuan amdal, serta peniadaan sanksi
pidana juga menjadi celah lain bagi kesuburan korupsi dalam
pengelolaan sumber daya alam, yang juga diperparah dengan
banyaknya potensi ketidakpastian hukum dalam birokrasi akibat
banyaknya pasal yang melakukan penunjukkan subjek terbatas
pada pemerintah pusat. Potensi korupsi pada sektor sumber daya
alam akibat Omnibus Law sangatlah besar, dan dalam jangka
panjang kerugian yang timbul akibat tindakan korupsi tersebut
bukan semata pada kerugian material negara. Melainkan juga

BEM KM IPB 2020 75


dalam bentuk bencana, pencemaran, kerusakan lingkungan, dan
krisis iklim skala besar yang berkepanjangan, serta mengancam
banyak makhluk hidup mulai dari manusia, hewan, dan tumbuhan
selama beberapa generasi ke depan.

MENGUAK AGENDA GELAP 76


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
BEM KM IPB 2020 77
Penegakan hukum haruslah
Penegakan
hukum merupakan syarat memperhatikan norma-nor-
mutlak bagi upaya-upaya ma hukum dan keadilan untuk
penciptaan Indonesia mewujudkan rasa keadilan pada
yang damai dan sejahtera. masyarakat. Penegakan hukum
Apabila hukum ditegakkan,
yang mengabaikan norma-nor-
maka kepastian, rasa
aman, tenteram ataupun ma hukum dan keadilan diten-
kehidupan yang rukun akan gah masyarakat dapat men-
dapat terwujud. Ketiadaan jauhkan masyarakat dari budaya
penegakan hukum akan taat hukum sehingga meng-
menghambat pencapaian
ganggu stabilitas kehidupan
masyarakat memenuhi
kebutuhan hidupnya berbangsa dan bernegara.
(Chaerudin et al 2008).

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk


tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu
dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang
terbatas atau sempit (Ashidiqie 1998). Korupsi merupakan sebuah
tindak kejahatan serius yang berdampak pada berbagai sektor
kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi menyebabkan
tidak tercapainya keadilan, kemakmuran bagi suatu bangsa.
Belum selesai sampai disitu, korupsi juga berdampak buruk pada
sistem perekonomian, demokrasi, politik, hukum, pemerintahan
dan sosial masyarakat. Dengan adanya dampak-dampak tersebut
dapat dipastikan bahwa tidak akan tercapainya cita-cita besar
untuk membangun kedaulatan suatu bangsa.

MENGUAK AGENDA GELAP 78


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Korupsi yang terjadi di Indonesia hari ini sudah teramat besar
dan masuk dalam berbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Korupsi dapat ditemui pada sektor pemerintahan dan
kebijakan publik, sistem politik, pendidikan, dan sosial masyarakat.
Jikalau hal tersebut terus dibiarkan maka akan terbentuk stigma
diantara masyarakat bahwa korupsi merupakan hal sepele dan
bukan lagi persoalan serius bagi bangsa dan negara, Jika saja
kondisi tersebut terus dibiarkan, maka dapat dipastikan akan
terjadinya kehancuran bagi sebuah negara.Maka dari itu sudah
seharusnya seluruh rakyat Indonesia bahu membahu dalam
berbagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Persoalan korupsi yang sudah mengakar pada setiap sektor


dalam berbangsa dan bernegara tentu bukan hal yang mudah
untuk dihapuskan. Perlu adanya berbagai upaya serius dari
berbagai pihak dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu
elemen bangsa yang memiliki kemampuan dan kekuatan dalam
pemberantasan korupsi adalah mahasiswa. Tak dapat dipungkiri
peran mahasiswa dalam berbagai upaya membangun bangsa
saat ini sangat berdampak bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebut saja peristiwa-peristiwa besar yang dimulai
dari Kebangkitan Nasional tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun
1928, Proklamasi Kemerdekaan NKRI tahun 1945, lahirnya Orde
Baru tahun 1966, dan Reformasi tahun 1998. Semua peristiwa-
peristiwa merupakan contoh-contoh buah tangan mahasiswa
dalam membangun bangsa.

Mahasiswa memiliki berbagai karakteristik yang menjadi


ciri khas mereka sehingga memungkinkan mereka berperan
aktif dan efektif dalam upaya pemberantasan korupsi.
Karakteristik itu adalah adalah independensi, idealisme, jiwa
muda, dan intelektualitas. Independensi artinya mahasiswa
tidak terpengaruh akan kepentingan-kepentingan yang bersifat

BEM KM IPB 2020 79


pribadi sehingga dapat mempengaruhi keyakinannya dalam
menegakkan kebenaran. Idealisme artinya mahasiswa memiliki
pemikiran objektif yang mereka yakini sebagai jalan terbaik
dalam upaya pemberantasan korupsi. Jiwa muda yang sudah
mendarah daging pada mereka menjadi bahan bakar utama
dalam berbagai upaya mereka agar tetap konsisten dalam
berbagai upaya pemberantasan korupsi, dan sebuah karakter
intelektualitas yang menjadikan mereka dapat berpikir jernih
dalam menyusun langkah-langkah yang berbasis pada kaidah
ilmiah untuk memberantas upaya-upaya tindak pidana korupsi.

Dalam konteks gerakan anti-korupsi mahasiswa juga


diharapkan dapat tampil di depan menjadi motor penggerak.
Mahasiswa didukung oleh kompetensi dasar yag mereka miliki,
yaitu : intelegensi, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian
untuk menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi yang mereka
miliki tersebut mahasiswa diharapkan (Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2013b)

a. Mampu menjadi agen perubahan


b. Mampu menyuarakan kepentingan rakyat
c. Mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif
d. Mampu menjadi watch dog (anjing penjaga), lembaga -
lembaga negara dan penegak hukum

Berdasarkan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001


Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan
sebagai serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

MENGUAK AGENDA GELAP 80


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Pencegahan adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya perilaku koruptif. Pencegahan juga sering
disebut sebagai kegiatan anti korupsi yang sifatnya preventif.
Penindakan adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk
menanggulangi atau memberantas terjadinya tindak pidana
korupsi. Penindakan sering juga disebut sebagai kegiatan kontra
korupsi yang sifatnya represif. Peran serta masyarakat adalah
peran aktif perorangan, organisasi kemasyarakatan atau lembaga
swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.

Keterlibatan mahasiswa dalam berbagai upaya


pemberantasan korupsi dapat dibedakan menjadi lima wilayah
yaitu :

1. Diri Sendiri
Pembangunan karakter anti korupsi di dalam diri mahasiswa
harus diawali dengan kesadaran pribadi yaitu dengan
memahami definisi dan dampak daripada praktik-praktik
korupsi, pola-pola dan kecenderungan praktik korupsi di
tengah masyarakat.

2. Keluarga
Pembangunan karakter anti korupsi pada keluarga
merupakan dasar dari terbentuknya perilaku anti korupsi
pada lingkungan sekitar, sebab keluarga merupakan
komunitas terkecil pada komunitas masyarakat yang lebih
besar. pembangunan karakter anti korupsi pada keluarga
dapat dilakukan melalui komunikasi intens dan contohnya
pada kehidupan sehari-hari. Misalnya, seorang ayah dapat
mengatakan kepada anaknya bahwa upaya mencontek pada
setiap ujian sekolah merupakan salah satu praktik kecil dari
korupsi yang dapat mempengaruhi kehidupan berbangsa

BEM KM IPB 2020 81


dan bernegara.

3. Kampus
Kampus yang menjadi tombak utama peradaban bangsa
melalui karakter intelektual haruslah terbebas dari pengaruh
praktik-praktik korupsi sehingga setiap argumentasi ilmiah
yang dikeluarkan oleh setiap akademisi dan mahasiswa
didalamnya menjadi murni dan bersih dari kepentingan yang
tidak berpihak pada rakyat. Melalui mimbar-mimbar diskusi,
aksi dan gerakan kampus, diharapkan dapat terciptanya
budaya anti korupsi di lingkungan kampus.

4. Masyarakat
Pembangunan karakter anti korupsi pada masyarakat sekitar
haruslah melalui upaya yang intens dan berkesinambungan.
Sarana informasi pencerdasan dan tata hukum mengenai
tindak pidana korupsi haruslah menyeluruh serta akurat.

5. Lokal dan Nasional


Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada level
lokal dan nasional dapat berupa intervensi pada kebijakan
pemerintah dalam upaya penanganan tindak pidana korupsi.
Misalnya dengan mendorong pembuatan aturan yang sesuai
dan tegas terhadap berbagai tindak pidana korupsi atau
dengan mengawal berbagai upaya pemberantasan kasus-
kasus korupsi yang sedang ditangani oleh lembaga negara
melalui aksi-aksi bersama masyarakat.

MENGUAK AGENDA GELAP 82


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
BEM KM IPB 2020 83
Berdasarkan kajian Korupsi Sumber Daya Alam:
Mengungkap agenda gelap kebijakan sumber daya alam, dapat
disimpulkan bahwa sejak dibentuknya KPK 17 tahun yang lalu
dan berkembangnya berbagai gerakan anti-korupsi hingga
kini. korupsi sumber daya alam menjadi sektor paling kritis dan
memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat
dan kelestarian lingkungan terutama pada sektor agraria dan
pertanian serta kehutanan dan lingkungan. Sebagai contoh,
korupsi sumber daya alam telah merugikan negara sebesar
273,924 triliun rupiah pada tahun 2012 serta kerugian pada luas
lahan perkebunan mencapai angka 7945199,18 Ha dan tambang
sebesar 8854934,96 Ha. Salah satu faktor penunjang pesatnya
korupsi sumber daya alam adalah state capture corruption
yang marak terjadi di Indonesia. Berawal dari pemilihan kepala
daerah maupun pusat yang bermasalah dengan dipengaruhi
oleh kepentingan oligarki, sehingga menciptakan kebijakan-
kebijakan yang justru malah merusak lingkungan serta
merugikan rakyat. Melalui UU KPK yang disahkan pada 2019
lalu, semakin mempersulit upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia ditambah lagi dengan disahkannya UU Minerba dan
diusungnya RUU Cipta Kerja, menambah catatan kelam bagi
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia khususnya sektor
sumberdaya alam.

Dapat disimpulkan pula bahwa negara melalui pemerintah


telah jauh dari cita-cita luhur bangsa sebagaimana tercantum
pada pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia yang berbunyi
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat
sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur." Sebab telah gagal mewujudkan
negara Indonesia yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat

MENGUAK AGENDA GELAP 84


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Indonesia, hal tersebut dibuktikan dengan masih begitu banyak-
nya upaya tindak pidana korupsi terkhusus korupsi sumberdaya
alam yang begitu menyengsarakan rakyat dan lingkungan. Maka
dengan ini kami menegaskan bahwa negara melalui pemerintah
harus kembali pada cita-cita luhur bangsa dalam mewujudkan
negara Indonesia yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat In-
donesia serta tegas melalui kebijakan dan kekuasaannya untuk
memberantas berbagai upaya tindak pidana korupsi.

BEM KM IPB 2020 85


MENGUAK AGENDA GELAP 86
KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
DAFTAR PUSTAKA

Ahdiat A. Feb 2020. ICW: Korupsi Paling Besar 2019 Terjadi di Sek
tor Pertambangan. Kbr.id. Diunduh 3 September 2020.
https://kbr.id/nasional/022020/icw__korupsi_paling_be
sar_2019_te rjadi_di_sektor_pertambangan/102332.html

Ala A. Krisis Pangan Global dan Alternatif Solusinya. Watimpres.


go.id. Diunduh pada 6 Agustus 2020 http://wantimpres.
go.id/?p=1391&lang=id

Apriando T. Mei 2015. KPK : Hanya 1 Persen Luas Hutan Indonesia


Yang Dikelola Masyarakat Adat. Mongabay.co.id. Diakses
6 Agustus 2020.https://www.mongabay.
co.id/2015/05/29/kpk-hanya-1- persen-luas-hutan-indone
sia-yang-dikelola-masyarakat-adat

Arumingtyas L, Saturi S. Feb 2020. Horor RUU Cipta Kerja, dari


Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum.
Mongabay.co.id. Rubrik Sosial. Diunduh 6 September 2020.
https://www.mongabay.co.id/2020/02/14/horor-ruu-cipta-
kerja-dari- izin-lingkungan-hilang-sampai-lemah
kan-sanksi-hukum

Bahfein S. Feb 2020. RUU Cipta Kerja, Peran Pemda Mengelo


la SDA Dihilangkan. Kompas.com. Rubrik Berita Prop
erti. Diunduh 6 September 2020. https://properti.kom
pas.com/read/2020/02/22/085233421/ruu-cipta-kerja-
peran-pemda-mengelola-sda-dihilangkan?page=all.

Behnassi M, Elbarody M, Draggan, Sydney. 2011. Global Food Inse


curity, Rethinking Agricultural and Rural Development
Paradigm and Policy. New York (US) : Springer.

BEM KM IPB 2020 87


BEM KM IPB. 2020. Kertas Posisi KM IPB Terhadap Polemik RUU
Cipta Kerja :RUU Cipta Sengsara, Kesengsaraan Rakyat In
donesia. Bogor (ID) : BEM KM IPB.

Bernadinus S. 2014. Permasalahan Kehutanan di Indonesia dan


Kaitannya dengan Perubahan Iklim Serta REDD+. Yogya
karta (ID) : Pohon Cahaya.

Budianto, Christian P, Giorgio BI, Erica P, Andika P, Fred S. 2014. I


ndonesia’s Forest Moratorium: Impacts and Next
Steps. Washington (US) : World Resources Institute.

Chaerudin, Syaiful AD, Syarif F. 2008. Tindak Pidana Korupsi. Ba-


ndung (ID) : Reflika Aditama.

Chairunnisa N. Ags 2018. Eks Pejabat Kementan Didakwa Ru-


gikan Negara Rp. 12,9 Miliar. Rubrik Nasional. Tempo.co.
Diunduh 6 Agustus 2020. https://nasional.tempo.co/
read/1112843/eks-pejabat-kementan-didakwa- rugikan-neg
ara-rp-129-miliar

Christina M. Ags 2020. Penyalahgunaan Alat Berat Kepala Dinas


Pertanian Mukomuko Ditahan. Inews.id. Diunduh
pada 27 Agustus. https://regional.inews.id/berita/korup
si-penyalahgunaan-alat-berat-kepala- dinas-pertani
an-mukomuko-ditahan

[CNN] CNN Indonesia. Jan 2020. LSM Kritik Omnibus Law Lingkun
gan: Masyarakat Bisa Terusir. Rubrik Berita Hukum Krimi
nal. Cnnindonesia.com Diunduh 6 September 2020.
https://www.cnnindonesia.com/nasion al/2020012005342
0-12-466813/lsm-kritik-omnibus-law-lingkungan-masyara-
kat-bisa-terusir

MENGUAK AGENDA GELAP 88


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
[CNN] CNN Indonesia. Feb 2020. Walhi Nilai Omnibus Law
Rampas Hak Rakyat atas Lingkungan. Cnnindonesia.com
Diunduh 6 September 2020. https://www.cnnindonesia.
com/nasional/20200221013705-20- 476636/walhi-nilai-om
nibus-law-rampas-hak-rakyat-atas-lingkungan

Djajapertjunda S dan Djamhuri E 2013. Hutan dan Kehutan


an Indonesia Dari Masa Ke Masa. Bogor (ID) : IPB Press.
Fitria N. Sep 2018. Menagih Komitmen Pemerintah dalam
Penegakan Hukum Lingkungan dan Korupsi di Sektor
Sumber Daya Alam. Jikalahari.or.id . Diunduh 17 Agustus
2020.http: //jikalahari.or.id/kabar/rilis/menagih-komit
men-pemerintah-dalam-penegakan-hukum-lingkun
gan-dan-korupsi- d i - s e k t o r - s u m b e r - d a y a - a l a m /

[ForestDigest] Forest Digest. 2020. Omnibus Law RUU Cipta Kerja


Bukan Amanat Konstitusi. Forestdigest.com. Diunduh 6
September 2020. https://www.forestdigest.com/detail/507/
omnibus-law-ruu-cipta-kerja- bukan-amanat-konstitusi

[FWI] Forest Watch Indonesia. 2018. Deforestasi Tan


pa Henti. Fwi.or.id. Diunduh 6 Agustus
2020. http://fwi.or.id/publikasi/deforestasi-tanpa- h e n t i /

[FWI] Forest Watch Indonesia. 2019. Lembar Fakta : Ang


ka Deforestasi sebagai Alarm Memburuknya Hutan In
donesia, Forest Watch In
donesia, The Asian Foundation.

Hamzah H. Nov 2017. Korupsi Sumber Daya Alam. Diunduh 6 Agus


tus 2020. https://www.herdi.web.id/korupsi-sumber-daya-
alam/

BEM KM IPB 2020 89


Hellman JS, Jones G, Kaufmann D. 2000. Seize the state, seize the
day: state capture, corruption, and influence in transition.
World Bank Policy Research. Working Paper No. 2444 :1-44.

Hendar. May 2014. Korupsi Tambang di Bukit Suharto, Potensi Ker


ugian Negara 18,2 Triliun. Mongabay.co.id. Diunduh 26 Agus
tus 200 . h tt p s : //w w w. m o n g a b a y.c o. i d / 2 0 1 4 /0 5 / 2 9/
korupsi-tambang-di-bukit-suharto-potensi
-kerugian-negara-182-triliun/

Hutapea T. Jun 2020. Omnibus Law dan Ancaman


Bagi Hutan dan Sumberdaya Alam Papua. Mongab
ay.co.id. Rubrik Opini. Diunduh 6 September 2020.
https: //www.mongabay.co.id/2020/06/15/omnibus-law-
dan-ancaman-bagi-hutan- d a n - s u m b e r d a y a - a l a m
-papua/

[ICW] Indonesia Corruption Watch. 2013. Pertanggungjawa


ban Korporasi Di Sektor Kehutanan. Antikorupsi.org. Di
unduh 6 Agusutus 2020 . https://antikorupsi.org/id/article/
j u r n a l - p e r t a n g g u n g j a w a b a n - k o r
porasi-di-sektor-kehutanan

[ICW] Indonesian Corruption Watch. Okt 2018. Penegakan Hukum


Korupsi SDA Harus Serius. Antikorupsi.org. Rubrik Sumber
Daya Alam. Diunduh 26 Agustus 2020. https://antiko
rupsi.org/id/article/penegakan-hukum-korupsi-sda-harus-
serius

[ICW] Indonesian Corruption Watch. Des 2019. Catatan Akhir Tahun


Agenda Pemberantasan Korupsi 2019 Indonesia Corruption
Watch. Rubrik Sumber Daya Alam. Diunduh 26 Agustus
2020.https://antikorupsi.org/index.php/id/article/

MENGUAK AGENDA GELAP 90


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
catatan-akhir-tahun-agenda- pemberantasan-korup
si-2019-indonesia-corruption-watch.

[ICW] Indonesia Corruption Watch. 2020. Tren Penindakan Kasus


Korupsi Tahun 2019. Jakarta : Indonesia Corruption Watch.

Iswinarno C, Aranditio S. Sep 2019. Enam Catatan ICW untuk Re


visi UU KPK, Omong Kosong DPR dan Presiden - Bagian 1.
Suara.com. Diunduh 26 Agustus 2020. https://www.suara.
com/news/2019/09/18/113001/enam-catatan-icw-untuk-revi
si-uu-kpk-omong-kosong-dpr-dan- presiden?page=all

[JATAM] Jaringan Advokasi Tambang. Okt 2019. UU KPK Berlaku,


Korupsi Pertambangan Berpotensi Meningkat.
Jatam.org. Diunduh 17 Agustus 2020. https://www.jat
am.org/2019/10/20/uu-kpk-berlaku-korupsi- pertamban
gan-berpotensi-meningkat

Jimly A. 1998. Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad


Globalisasi, Cet. I. Jakarta (ID) : Balai Pustaka.

Julian M. Feb 2020. Pelaku Industri Sawit Kawal Peraturan Perke


bunan dalam RUU Cipta Kerja. Kontan.co.id. Rubrik Agrib
isnis. Diunduh 6 September 2020. https://industri.kontan.
co.id/news/pelaku-industri-sawit-kawal- pengaturan-
perkebunan-dalam-ruu-cipta-kerja?page=all

Kartodihardjo, Hariadi. 2018. Lingkaran korupsi sumber daya alam.


PRISMA : Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi LP3ES. Vol 37 :
1-8.

Kartodihardjo H. Jul 2019. Korupsi Sumber Daya Alam. majalah.


tempo.co. Kolom. Diunduh 17 Agustus 2020. https://majalah.

BEM KM IPB 2020 91


tempo.co/read/kolom/158049/korupsi-sumber-daya-alam

Kartodihardjo H. Jan 2020. Omnibus Law dan Kerusakan Lingkun


gan.Tempo.co.id Majalah Tempo. Diunduh 6 September
2020. https://majalah.tempo.co/read/kolom/159504/omni
bus-law- m e m b a h a y a k a n - l i n g k u n g a n ? r e a d = t r u e

Kartodihardjo H. Jun 2020. RUU Cipta Kerja : Peluang Korupsi


dan Ketergantungan pada Investasi Asing. Forestdigest.
com. Diunduh 6 September 2020. https://www.forestdi
gest.com/detail/654/ruu-cipta-kerja-peluang-korupsi-dan-
ketergantungan-pada-investasi-asing

[KPK] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2014. Kajian kerentanan


korupsi di sistem perizinan sektor kehutanan. Jakarta :
Komisi Pemberantasan Korupsi.

[KPK] Tim Penyusun Laporan Kinerja Komisi Pemberantasan Ko


rupsi. 2015. Laporan akuntabilitas kinerja KPK tahun 2014.
Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi.

[KPK] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2016. Direktorat Pendi


dikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang
Pencegahan. Modul Integritas Bisnis : Dasar Hukum Ten-
tang Korupsi Terkait Sektor Bisnis.

[KPK] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2018. Nota Sintesis Evalua-


si Pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber
Daya Alam (GNP-SDA).

[KPK] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2020. Strategi Pemberan-


tasan Korupsi. KPK ACLC.

MENGUAK AGENDA GELAP 92


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Korupsi, Oligarki, dan Krisis Iklim - Indonesia Corruption Watch,
Egi Primayogha on 14 Juli 2020

Lestariningsih S. 2017. Kejahatan korupsi bidang pertanian : pe-


langgaran hak asasi masyarakat dalam mewujud
kan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial.
Jurnal Ilmu Hukum. 3 (2). 133-142. Diunduh tanggal 6 Agus-
tus 2020.

Mareza. Jan 2019. Ternyata Ini yang Sebabkan Kerugian Negara


Rp 91,5 Miliar dalam IUP Batu Bara Sarolangun. Diunduh
17 Agustus 2020. Tribunnews.com. https://jambi.tribunnews.
com/2019/01/08/ternyata-ini- yang-sebabkan-kerugian-
negara-rp-915-miliar-dalam-iup-batu-bara-sarolangun

Nugraha N. 2020. Hutan dan Deforestasi Indonesia Pada Tahun


2019. ppid.menlhk.go.id/. Diakses pada 10 Agustus 2020.
http: //ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2435#:~:
text=Berdasarkan%20data% 2 0 D i r e k t o r a t % 2 0 J e n d e r
al%20Planologi,%2C1%25%20dari%20total%20daratan

Putra A. Agu 2020. Menyoal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan


Perlindungan Masyarakat Marjinal dalam RUU Cipta Kerja.
Mongabay.coid. Diunduh 5 September 2020. https://
www.mongabay.co.id/2020/08/09/menyoal- pengelolaan-
sumberdaya-alam-dan-perlndungan-masyarakat-marjinal-
dalam-ruu-cipta-kerja/

Ramadhan A. Mei 2020. Catatan ICW atas RUU Cipta Kerja, Poten
si Pembajakan Sumber Daya Alam oleh Sektor Privat. Kom
pas.com. Rubrik Nasional. Diunduh 6 September 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/05/16163291/
catatan-icw-atasruu-cipta-kerja-potensi-pembajakan-sda-

BEM KM IPB 2020 93


oleh-sektor-privat?page=all

Rozie F. Jul 2020. KPK Periksa Bupati Kotawaringin Timur Sebagai


Tersangka. Liputan6.com. Diakses 17 Agustus 2020. https://
www.liputan6.com/news/read/4311947/kpk-periksa-bupa
ti-kotawaringin-timur-sebagai-tersangka

Salsabila ZP. Mei 2020. 8 Pasal Pertanahan RUU Cipta Kerja yang
Menyita Perhatian. Kompas.com. Rubrik Properti. Di
unduh 6 September 2020. https://properti.kompas.com
/read/2020/05/01/193000821/8-pasal- pertanahan-ruu-cipta-
kerja-yang-menyita-perhatian.

Sari ADK. Feb 2020. Tren Kasus Penindakan Korupsi 2019: Modus
Suap Paling Dominan. Kabar24Bisnis.com. Diunduh 16
Agustus 2020. https://kabar24.bisnis.com/read/20200218/
16/1202930/tren-kasus-penindakan-korupsi-2019-modus-
suap-paling-dominan

Setiawan et al. 2017. Tipologi dan Kerawanan Korupsi Sektor Ke-


hutanan di Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan. 11(1). 142-
155. ttps://doi.org/10.22146/jik.28278

Setiawan D. Jul 2018. KPK Soroti Kasus Sektor Pertanian. Kontan.


co.id. Rubrik Agribisnis. Diunduh 6 Agustus 2020. https://in
dustri.kontan.co.id/news/kpk-soroti-kasus-korupsi-sektor-
pertanian

Setyorini VP. Mei 2020. Terkait SDA, Guru Besar IPB sarankan
perumus omnibus law kaji daerah. ANTARANews.com. Di
unduh 5 September 2020. https://www.antaranews. co
m/berita/1473015/terkait-sda-guru-besar- ipb-sarankan-pe-
rumus-omnibus-law-kaji-daerah

MENGUAK AGENDA GELAP 94


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
Suryadarma D. 2012. How corruption diminishes the effectiveness
of public spending on education in Indonesia. Bulle-
tin of Indonesian Economic Studies. 48(1): 85–100.

Tarigan A. 2013. Peran korporasi dalam kejahatan kehutanan. In


Indonesia Corruption Watch (Ed). Climate Change :
Pertanggungjawaban Korporasi di Sektor Kehutanan.
9-24. Jakarta : Indonesia Corruption Watch.

Tartinia A. Des 2019. Perizinan Lahan Ladang Korupsi. Harnas.com.


Rubrik Polhukam. Diunduh 16 Agustus 2020. http://har-
nas.co/2019/12/10/perizinan-lahan-ladang-korupsi

Tempo. Agu 2020. KPK : Calon Kepala Daerah Bergantung pada


Duit Sponsor. Rubrik Nasional. Diunduh 22 Agustus 2020.
https://koran.tempo.co/read/nasional/456492/kpk-calon-
kepala-daerah-bergantung-pada-duit-sponsor.

Winters, JA. 2011. Oligarchy. New York(US): Cambridge University


Press.

Wijayati PD, Harianto, Suryana A. 2019. Permintaan pangan sum-


ber karbohidrat di indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan
Pertanian. 17(1). 13-26. Diunduh tanggal 6 Agustus 2020.
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/100105

Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberanta-


san Tindak Pidana Korupsi

Utari IS. 2011. Faktor penyebab korupsi. In N. T. Puspito, M. Elwina,


I. S. Utari, & Y. Kurniadi (Eds.). Pendidikan Anti-Korupsi un-
tuk Perguruan Tinggi. 37-51. Jakarta(ID): Kemendikbud.

BEM KM IPB 2020 95


Yuntho E, Easter L, Caesar A, Idris I. 2014. Regulasi Membawa Ko-
rupsi. Jakarta(ID): Indonesia Corruption Watch.

Yuwanto L. 2016. Kinerja penangan tindak pidana korupsi sumber


daya alam dan kepercayaan terhadap komisi pemberantas-
an korupsi. Integritas. 25-41.

MENGUAK AGENDA GELAP 96


KEBIJAKAN SUMBERDAYA ALAM
BEM KM IPB 2020 97

Anda mungkin juga menyukai