Anda di halaman 1dari 10

Frekuensi penutupan jaringan lunak parsial jauh lebih banyak daripada

frekuensi penutupan jaringan lunak penuh (Gambar 3)

Gambar 3 Jenis dan jumlah penutupan jaringan pada gigi molar ketiga rahang
bawah dengan posisi angulasi

Di antara cakupan kasus penutupan jaringan lunak parsial, kasus yang

paling sering dijumpai adalah 75% penutupan jaringan lunak, sedangkan kaasus

yang paling sedikit dijumpai adalah sebesar 25% (Gambar 4). Perbedaan jumlah

penutupan jaringan lunak signifikan secara statistic (p < 0,05), karena gigi dengan

75% penutupan jaringan lunak memiliki frekuensi tertinggi pericoronitis (n=49;

Tabel 2). Penutupan jaringan lunak parsial adalah yang paling sering terlihat pada

kasus impaksi vertical, dan yang paling sedikit terlihat pada kasus impaksi

horizontal (hanya pada 3% kasus; Gambar 3). Semua gigi, terlepas dari angulasi,

sebagian besar kasus menunjukan penutupan jaringan lunak parsial (81%),

sementara penutupan jaringan lunak penuh ditunjukan hanya dalam beberapa

kasus (19%). Ketika luas penutupan jaringan lunak dipertimbangkan, analisis


statistik menunjukan tidak ada perbedaan di antara berbagai jenis angulasi (p=

0,107; Tabel 1).

Gambar 1. 4 Distribusi molar ketiga ketika dihubungkan dengan penutupan


jaringan lunak dan angulasi

Keberdaan impaksi pada susunan gigi maksila pada pericoronitis akut

diperlihatkan pada Gambar 5. Hasil menunjukan bahwa impaksi gigi maksila

tidak memiliki dampak yang signifikan secara statistic terhadap adanya

pericoronitis (p=0,075). Penumpukan pada susunan gigi maksila berkaitan erat

dengan impaksi vertical (sekitar setengah kasus dari angulasi vertical), sementara

kasus yang paling sedikit pada kasus yang melibatkan impaksi distoangular.

Walaupun jumlah kasus sedikit, hal tersebut tidak ada kaitannya dengan impaksi

horizontal (Tabel 2).


Gambar 5. Keberdaan impaksi pada susunan gigi maksila pada pericoronitis akut

Ketinggian erupsi molar ketiga pada kasus pericoronitis ditunjukan pada

Gambar 3. Secara keseluruhan, sebagian besar kasus pericoronitis dikaitkan

dengan erupsi pada ketinggian yang sama dengan oklusal plane (OP) dari gigi

yang berdekatan (57%). Ketika gigi erupsi di atas bidang oklusal (occlusal plane)

dari gigi yang berdekatan, frekuensi pericoronitis lebih sedikit. Perbedaan antara

tiga ketinggian erupsi adalah signifikan (p<0,000; Tabel 2).

Pericorontis lebih terkait dengan pasien wanita daripada pasien pria

(p<0,05; Tabel 2). Namun jenis kelamin tidak memiliki dampak signifikan pada

jenis angulasi molar ketiga, penutupan jaringan lunak, dan level erupsi (p> 0,05:

Tabel 3)
Tabel 1. 2 Frekuensi pericoronitis, penutupan jaringan lunak, level erupsi,
susunan gigi maksila yang bertumpuk (niali p yang sebenarnya)
Tabel 1. 3 Analisis komparatif mengenai tipe angulasi, luas daerah penutupan
jaringan lunak, dan level erupsi yang dipengaruhi jenis kelamin (Mean
artimatika dan nilai p)
Diskusi

Sebelumnya telah dipalorkan bahwa terdapat korelasi antara pericoronitis

dan angulasi molar ketiga rahang bawah. Mayoritas kasus pericoronitis terkait

dengan molar ketiga rahang bawah yang berorientasi vertical (81%); dan 20,9%

berada pada atau di bawah ketinggian bidang oklusal. Leone et, al. (1986)

menjelaskan gigi dengan risiko tertinggi adalah gigi molar ketiga rahang bawah

yang erupsi sepenuhnya, dengan posisi vertical, yang berkontak dengan molar

kedua pada bidang oklusal atau di atas bidang oklusal, dan sebagian ditutupi oleh

jaringan lunak dan jaringan keras. Penelitian menunjukan bahwa molar ketiga

yang sebagian ditutupi oleh jaringan lumak mengakibatkan lebih banyak masalah

patologis daripada molar yang ditutupi jaringan atau molar yang erupsi. Dalam
penelitian ini, angulasi diamati memiliki dampak yang signifikan secara statistic

pada perkembangan pericoronitis, karena kasus-kasus pericoronitis sebagian besar

terkait dengan inklinasi vertical (51%). Dengan demikian, hasil penilian ini

mengkonfirmasi angulasi vertical adalah faktor penting dalam perkembangan

pericoronitis. Selanjutnya, diamati bahwa 32% dari gigi-gigi objek penelitian

tersebut erupsi sampai ketinggian yang sama dengan bidang oklusal molar kedua

yang berdekatan; diikuti dengan erupsi di bawah bidang oklusal. Temuan ini

memiliki kesamaan dengan penelitian Halverson and Anderson (1992) yang

melaporkan hubungan pericoronitis dengan gigi molar ketiga pada atau di bawah

ketinggian bidang oklusal lengkung. Begitu juga dengan penelitian Leone, et al.

(1986) yang menyatakan hubungan serupa dengan gigi molar ketiga pada atau di

atas bidang oklusal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kasus

pericoronitis paling mungkin terjadi ketika molar ketiga rahang bawah memiliki

angulasi vertical dan berada pada ketinggian bidang oklusal pada atau hampir

berada pada ketinggian bidang okluasal.

Di sisi lain, molar ketiga dengan posisi mesioangular diperkirakan

menjadi posisi yang paling sering terjadi di antara semua posisi. Güngörmüs

melaporkan dominasi posisi mesioangular (83%) dari molar ketiga mandibula dan

pada 40% di antaranya terjadi perikoronitis. Kay (1966) melaporkan bahwa

sebagian besar kasus pericoronitis terkait dengan impaksi mesioangular (lebih dari

sepertiga dari total); diikuti dengan posisi distoangular. Meskipun impaksi

mesioangular tidak terkait dengan sebagian besar kasus perikoronitis, dalam

penelitian ini posisi mesioangular relatif lebih terlibat daripada posisi


distoangular. Hal ini dapat mendukung penelitian sebelumnya yang melaporkan

frekuensi yang relatif lebih tinggi dari posisi mesioangular

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Halverson dan Anderson (1992) yang menyatakan bahwa molar ketiga dengan

angulasi horizontal kurang keterkaitannya dengan pericoronitis jika dibandingkan

dengan posisi/angulasi lainnya. Namun ketika memperhatikan perluasan

penutupan jaringan lunak, temuan dari penelitian ini tidak mendukung penulis

karena 75% penutuoan adalah mode dominan, dimana hal tersebut lebih tinggi

dari yang sebelumnya dilaporkan, yaitu 50%. Jumlah penutupan jaringan dapat

berbeda. Hal ini bergantung pada usia pasien.

Secara umum, gigi maksila yang bertumpuk tidak memiliki dampak

pada perkembangan pericoronitis secara statistic. Halverson dan Anderson (1992)

melaporkan bahwa terdapat 39,7% dari impaksi vertical, 56,2% dari impaksi

mesioangular, 14% dari impaksi horizontal, dan 40% dari impaksi distoangular.

Dalam penelitian ini, insidensi adanya impaksi gigi maksula yang berhubungan

dengan pericoronitis akut ditemukan relative lebih tinggi pada impaksi vertical,

sedangkan impaksi mesioangular dan distoangular lebih rendah jika dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya.

Telah dilaporkan bahwa terdapat pengaruh jenis kelamin pada

perkembangan dan frekuensi pericoronitis. Dengan total 2.151 kasus pasien

pericoronitis, Bataineh () melaporkan bahwa kasus pericoronitis banyak

ditemukan pada pasien wanita (56,7%) dibandingkan dengan pasien pria (43,3%).

Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian ini, yaitu wanita sebesar 61% dan
pria sebesar 39%, mendukung penelitian Bataineh (2003) mengenai pengaruh

jenis kelamin pada perkembangan pericoronitis, karena terdapat perbedaan yang

signifikan secara statistic di antara kedua jenis kelamin.

Perkembangan pericoronitis merupakan suatu proses yang rumit dan

dipengaruhi berbagai variable yang berbeda. Berdasarkan analisis variable-

variabel tertentu yang diuji dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa

angulasi vertical, penutupan jaringan (enkapsulasi) parsial, dan level erupsi pada

ketinggian yang sama dengan bidang oklusal atau di bawah bidang oklusal yang

mendekati ketinggian bidang okusal cennderung menjadi penentu dari

perkembangan pericoronitis.

Anda mungkin juga menyukai