Ata Apendisitis Radang Usus Buntu
Ata Apendisitis Radang Usus Buntu
APENDISITIS
Kelas A.14.1
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
A. Pengertian Apendisitis
Menurut David Joseph dalam South African Medical Journal tahun 2007, angka kejadian
terjadinya perforasi pada apendisitis adalah 20–30%. Menurut David A. Guss dalam The
American Journal of Emergency Medicine tahun 2000, insidensi apendisitis perforasi
pada laki-laki sebanyak 38,7% dan wanita 23,5%. Insidens perforasi pada apendiks
adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia (Smeltzer dan
Brenda, 2001). Angka kejadian apendisitis di negara berkembang seperti Indonesia
mengalami kenaikkan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perubahan gaya hidup
manusianya (Santacroce, 2005). Indikasi ini terlihat dari insidensi penderita apendisitis di
Indonesia menduduki urutan ke empat terbanyak di dunia pada tahun 2006. Satu dari 15
orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insiden tertingginya terdapat pada
laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-laki lebih banyak
menderita apendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun
(Eylin, 2009). Kemudian dari data yang dirilis oleh Depkes RI pada tahun 2008 jumlah
penderita apendisitis di indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun
2009 sebesar 596.132 orang.
B. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor prediposisi
yaitu:
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa
tersebut.
C. Manifestasi Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya
nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran
kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya,
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya
nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam
derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut gejala yang timbul tersebut:
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan
rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum
akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah
dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi.
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa
dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang
panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan
trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan
gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan
di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
D. Faktor Risiko
1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub
mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith
dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan
40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus, sedangkan
kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan
aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks
yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi
apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga
terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resikolebih tinggi dari Negara
yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa
kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara
berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat,
memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Tapi harus hati-hati karena
penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan
apendisitis.
E. Patofisiologi
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini tersebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa . Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul satu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis . Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, kaeran omentum lebih pendek dan apeks lebih panjang, dinding apenks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadi perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,2007).
F. Pathway
G. Klasifikasi Apendisitis
1. Apendisitis akut , dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah
bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring,
biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).
1. Apendisitis Akut
Apendisitis akut adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan
bawah. Hal ini akan menyebabkan peritonitis. Peritonitis merupakan proses peradangan
lokal atau umum pada peritoneum. Peritonitis disertai rasa sakit yang semakin hebat,
rasa nyeri, kembung, demam dan keracunan.
3. Apendisitis Perforata
Ada fekalit didalam lumen, umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan
diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks karena
dinding apendiks mengalami ganggren, rasa sakit yang bertambah, demam tinggi, rasa
nyeri yang menyebar dan jumlah leukosit yang tinggi merupakan tanda kemungkinan
terjadinya perforasi.
4. Apendisitis Rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun
apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan
parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis Kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
Skor alvarado adalah suatu sistem skoring yang digunakan untuk mendiagnosis
apendisitis akut. Skor ini mempunyai 6 komponen klinik dan 2 komponen laboratorium
dengan total skor poin 10. Skor ini dikemukakan oleh Alfredo Alvarado dalam
laporannya pada tahun 1986.Adapun cara pengkajian penyakit apendisitis akut dapat
menggunakan Alvarado score:
1. Skor 1-4
2. Skor 5-6
3. Skor 7-8
4. Skor 9-10
1. Pencegahan
2. Sebelum operasi
Ketika tim medis sudah menentukan tindakan operasi, maka ada beberapa hal yang
perlu dilakukan, antara lain:
c. Rehidrasi
d. Antibiotik dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
3. Operasi
Adapun tindakan yang dilakukan saat pasien menjalani tindakan operasi, antara lain:
a. Apendiktomi.
4. Pasca operasi
a. Observasi TTV
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah.
d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan.
e. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
f. Berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
g. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2×30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis ditegakkan (Pieter,
2005). Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh, resusitasi
cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan beberapa jam
sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang
berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan
(Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies). Regimen yang
sering digunakan secara intravena adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5
mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30
mg/kg/24 jam). Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum,
dan antibiotik diteruskan sampai 7-10 hari (Hartman, 2000).
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforata ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekukusus halus. Pada massa periapendikular
yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforata diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah
penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk
operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular
hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elekt if dapat
dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan
sekecil mungkin. Bila terjadi perforata, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai
dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit (Pieter, 2005).
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita
hamil, dan penderita umur lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya (Pieter, 2005).
1. Tindakan Medis
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak
terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita
dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan maka
dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan,
tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra
indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi
secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua
kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah
dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini
dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi
dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang
berat dan demam yang tinggi(Mansjoer, 2000).
2. Terapi Bedah
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Keperawatan
1) riwayat kesehatan saat ini ; keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi,
mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
3) pemeriksaan fisik
c) Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang.
4) Pemeriksaan penunjang
a. Pre operasi
2) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh
inflamasi.
b. Post operasi
1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi
apendektomi.
3. Perencanaan
Hal yang bisa dilakukan oleh perawat ketika klien masuk ruang perawat sebelum operasi
:
1) Memperkenalkan klien dan kerabat dekatnya tentang fasilitas rumah sakit untuk
mengurangi rasa cemas klien dan kerabatnya (orientasi lingkungan).
5) Wawancara.
4. Persiapan klien malam sebelum operasi
Empat hal yang perlu diperhatikan pada malam hari sebelum operasi :
a) Persiapan kulit
2) Beberapa ahli bedah lebih menyukai mencukur rambut karena bisa mengganggu
prosedur operasi.
3) Jika klien menerimaanastesi umum tidak boleh makan dan minum selama 8 - 10
jam sebelum operasi : mencegah aspirasi gaster. Selang gastro intestinal diberikan
malam sebelum atau pagi sebelum operasi untuk mengeluarkan cairan intestinal atau
gester.
c. Ahli anastesi selalu berkunjunng pada pasien pada malam sebelum operasi untuk
melekukan pemeriksaan lengkap kardiovaskuler dan neurologis. Hal ini akan
menunjukkan tipe anastesi yang akan digunakan selama operasi.
e. Klien pre operasi akan istirahat cukup sebelum operasi bila tidak ada gangguan
fisik, tenaga mentalnya dan diberi sedasi yang cukup.
f. Persiapan pagi hari sebelum operasi klien dibangunkan 1 (satu) jam sebelum obat-
obatan pre operasi :
9. Hilangkan cat kuku agar mudah dalam mengecek tanda-tanda hipoksia lebih mudah.
4. Anjurkan untuk mengubah posisi seperti miring ke kanan, ke kiri dan duduk
6. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Huether SE. Alterations of digestive system. In: McCance KL, Huether SE. Patophysiology
Burner and suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,-edisi 8,-volume 2,
Jakarta : EGC.
Engram, Barbara, 1994, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 2, Jakarta :
EGC.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19162/4/Chapter%20II.pdf
Junias Mangema. 2009. Hubungan Antara Skor Alvarado dan Temuan Operasi
Apendisitis
Price, SA, Wilson,LM. (1994). Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama. Edisi
4. Jakarta. EGC.
Brunner dan Sudarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2,
Alih
A. DEFINISI
ü Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci),
melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif
dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap
infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002).
ü Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan
penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis
(Ovedolf, 2006).
ü Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2009).
APENDISITIS
B. ETIOLOGI
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi
yaitu:
1. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
(Nuzulul, 2009)
C. KLASIFIKASI
1. 1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya
adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga
menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga
terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
4. 4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di
perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan
peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi
fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen.
Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara
patologik.
5. 5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya
obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen
steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan
oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi
infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
6. 6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan
hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding
hanya apendektomi.
7. 7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen
apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa
rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan
diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor
memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan
adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks
menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi
ileosekal atau hemikolektomi kanan
APENDISITIS
1. ANATOMI
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal.
Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan
berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh
letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic
(panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%,
dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri,
netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya.
Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh
tubuh.
E. PATOFISIOLOGI
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
Pathway
Pathway APENDISITIS
F. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi
akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan
Rovsing’s sign
Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri
pada sisi kanan.
Obturator sign
Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign
Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan
Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign
Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba
APENDISITIS
G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan
dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan
dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa,
terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi
ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi
pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-
15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks
yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna
memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan
pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang
menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari
38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan
darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-
scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
APENDISITIS
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penanggulangan konservatif
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan
adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses
intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam
fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan
pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-
abdomen.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
· Kebiasaan eliminasi.
Ø Pemeriksaan Fisik
· Sirkulasi : Takikardia.
· Aktivitas/istirahat : Malaise.
· Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
· Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan,
bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi
ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
· Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa
nyeri pada daerah prolitotomi.
APENDISITIS
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
§ Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh
inflamasi)
§ Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
C. RENCANA KEPERAWATAN
PRE OPERASI
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
NOC
NIC
RASIONAL
1.
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh
inflamasi)
§ Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini
untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya
§ informasi yang tepat dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien dan menambah
pengetahuan pasien tentang nyeri.
2.
· Feses lunak
§ masukan adekuat dan serat, makanan kasar memberikan bentuk dan cairan adalah
faktor penting dalam menentukan konsistensi feses.
§ makanan yang tinggi serat dapat memperlancar pencernaan sehingga tidak terjadi
konstipasi.
§ obat pelunak feses dapat melunakkan feses sehingga tidak terjadi konstipasi.
3.
5. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir.
§ Selang NG biasanya dimasukkan pada praoperasi dan dipertahankan pada fase segera
pascaoperasi untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah mentah.
4.
· Tampak rileks
§ ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, penting pada prosedur diagnostik dan
pembedahan.
POST OPERASI
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
NOC
NIC
RASIONAL
1.
Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria
hasil:
1. Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
§ meningkatkan relaksasi.
§ Menghilangkan nyeri.
2.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan infeksi dapat diatasi dengan kriteria
hasil:
3. Lakukan teknik isolasi untuk infeksi enterik, termasuk cuci tangan efektif.
4. Pertahankan teknik aseptik ketat pada perawatan luka insisi / terbuka, bersihkan
dengan betadine.
3.
1. Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci
rambut dan potong kuku klien.
3. Berikan Hynege Edukasi pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan
diri.
§ Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.
4.
Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang
informasi.
2. Anjuran menggunakan laksatif/pelembek feses ringan bila perlu dan hindari enema
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi
8. Volume 2. Jakarta, EGC
Penatalaksanaan Medis
1. Pra Operatif
a. Observasi
Dalam 8 – 12 jam setelah kaluhan tanda dan gejala apendiksitis seringkali masih belum
jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu di lakukan. Pasien diminta untuk tirah
baring dan dipuasakan, laksatif tidak di berikan. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta
pemeriksaan darah di ulang secara periodik, foto thoraks dan abdomen dilakukan untuk
mencari kemungkinan ada penyulit lain.
2. Pasca Operasi
Berikan minum mulai dari 15 ml/jam selama 4 - 5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan hari nya di berikan makanan saring, dan hari berikutnya di berikan makanan
lunak. Satu hari pasca operasi di anjurakan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2x30 menit. Pada hari berikutnya pasien boleh berdiri dan duduk di luar kamar. Pada
hari ke 5 atau 7 jahitan dapat di buka di angkat dan pasien diperbolehkan pulang.