Anda di halaman 1dari 39

Ata APENDISITIS (Radang Usus Buntu)

by Azkiya Ulki Fadhilla 10.49 0 komentar

APENDISITIS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa I

Kelas A.14.1

Ana Yuliana (22020114120065)

Azkiya Ulki Fadhilla (22020114120067)

Fikri Al Ghifari (22020114120060)

Nadia Khurotul Aini (22020114120064)

Nurul Izzah (22020114120059)

Rani Musafina (22020114120062)

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

A. Pengertian Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks (Defa Arisandi, 2008).


Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks (Anonim, Apendisitis,
2007). Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih ,2010).

Menurut David Joseph dalam South African Medical Journal tahun 2007, angka kejadian
terjadinya perforasi pada apendisitis adalah 20–30%. Menurut David A. Guss dalam The
American Journal of Emergency Medicine tahun 2000, insidensi apendisitis perforasi
pada laki-laki sebanyak 38,7% dan wanita 23,5%. Insidens perforasi pada apendiks
adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia (Smeltzer dan
Brenda, 2001). Angka kejadian apendisitis di negara berkembang seperti Indonesia
mengalami kenaikkan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perubahan gaya hidup
manusianya (Santacroce, 2005). Indikasi ini terlihat dari insidensi penderita apendisitis di
Indonesia menduduki urutan ke empat terbanyak di dunia pada tahun 2006. Satu dari 15
orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insiden tertingginya terdapat pada
laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-laki lebih banyak
menderita apendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun
(Eylin, 2009). Kemudian dari data yang dirilis oleh Depkes RI pada tahun 2008 jumlah
penderita apendisitis di indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun
2009 sebesar 596.132 orang.

B. Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat


dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor prediposisi
yaitu:

1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:

a. Heperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.

b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.

c. Adanya benda asing seperti biji – bijian.

d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.


2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus.

3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa
tersebut.

4. Tergantung pada bentuk appendiks

a. Appendik terlalu panjang

b. Massa apendiks yang pendek

c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks

d. Kelainan katup di pangkal appendiks

C. Manifestasi Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya
nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran
kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya,
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya
nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam
derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut gejala yang timbul tersebut:

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung


oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini
timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan
rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum
akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

1. Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah
dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi.

2. Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

3. Pada wanita

Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa
dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang
panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan
trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan
gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan
di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

D. Faktor Risiko

Faktor Risiko yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :

1. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub
mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith
dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan
40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.

2. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus, sedangkan
kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan
aerob<10%.

3. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks
yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi
apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga
terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.

4. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resikolebih tinggi dari Negara
yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa
kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara
berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat,
memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

5. Faktor infeksi saluran pernapasan

Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Tapi harus hati-hati karena
penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan
apendisitis.

E. Patofisiologi

Apendisitis biasannya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia


folikel limfoid, fekalit, benda asing stiktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami


bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan uulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokat yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini tersebut dengan apendisitis
supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa . Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul satu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis . Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, kaeran omentum lebih pendek dan apeks lebih panjang, dinding apenks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadi perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,2007).

F. Pathway

G. Klasifikasi Apendisitis

Apendesitis dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (Medical Jurnal, 2005):

1. Apendisitis akut , dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah
bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).

2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring,
biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).

Adapun klasifikasi apendisitis menurut Syamsuhidjayat (2004), mengatakan bahwa


Apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain:

1. Apendisitis Akut

Apendisitis akut adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan
bawah. Hal ini akan menyebabkan peritonitis. Peritonitis merupakan proses peradangan
lokal atau umum pada peritoneum. Peritonitis disertai rasa sakit yang semakin hebat,
rasa nyeri, kembung, demam dan keracunan.

2. Apendisitis Infiltrat (Masa Periapendikuler)

Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di


tutupi pendinginan oleh omentum.

3. Apendisitis Perforata

Ada fekalit didalam lumen, umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan
diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks karena
dinding apendiks mengalami ganggren, rasa sakit yang bertambah, demam tinggi, rasa
nyeri yang menyebar dan jumlah leukosit yang tinggi merupakan tanda kemungkinan
terjadinya perforasi.

4. Apendisitis Rekuren

Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun
apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan
parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.

5. Apendisitis Kronis

Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

Skor alvarado adalah suatu sistem skoring yang digunakan untuk mendiagnosis
apendisitis akut. Skor ini mempunyai 6 komponen klinik dan 2 komponen laboratorium
dengan total skor poin 10. Skor ini dikemukakan oleh Alfredo Alvarado dalam
laporannya pada tahun 1986.Adapun cara pengkajian penyakit apendisitis akut dapat
menggunakan Alvarado score:

1. Skor 1-4

Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut

2. Skor 5-6

Dipertimbangkan kemungkinan Dx apendisitis akut tetapi tidak memerlukan tindakan


operasi segera.

3. Skor 7-8

Dipertimbangkan kemungkinan mengalami apendisitis akut.

4. Skor 9-10

Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan tindakan bedah


H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan apendisitis (Mansjoer, 2000) yaitu:

1. Pencegahan

Pencegahan dapat di lakukan dengan banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat


seperti buah pepeya, pisang dan sayur-sayuran seperti kangkung, kacang panjang, serta
menjaga kebersihan, tidak sering makan – makanan yang terlalu pedas dan asam, buang
air besar secara teratur, olah raga teratur, tidak makan makanan seperti mie instan
secara berlebihan.

2. Sebelum operasi

Ketika tim medis sudah menentukan tindakan operasi, maka ada beberapa hal yang
perlu dilakukan, antara lain:

a. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi

b. Pemasangan kateter untuk control produksi urin

c. Rehidrasi

d. Antibiotik dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.

e. Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk


membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.

f. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi

3. Operasi

Adapun tindakan yang dilakukan saat pasien menjalani tindakan operasi, antara lain:

a. Apendiktomi.

b. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci


dengan garam fisiologis dan antibiotika.

c. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau


abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi
dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.

4. Pasca operasi

a. Observasi TTV
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah.

c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.

d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan.

e. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.

f. Berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.

g. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2×30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.

h. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Adapun penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan, yaitu Tindakan Pembedahan


(Operasi). Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitistelah
ditegakkan.Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi
aktivitasfisik sampai pembedahan dilakukan (Akhyar Yayan, 2008). Analgetik
dapatdiberikan setelah diagnosa ditegakkan.

Apendiktomi (pembedahan untukmengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin


untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi
umum umum atauspinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang
merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi
Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak
jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi
bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis ditegakkan (Pieter,
2005). Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh, resusitasi
cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan beberapa jam
sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang
berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan
(Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies). Regimen yang
sering digunakan secara intravena adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5
mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30
mg/kg/24 jam). Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum,
dan antibiotik diteruskan sampai 7-10 hari (Hartman, 2000).

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforata ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekukusus halus. Pada massa periapendikular
yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforata diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah
penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk
operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular
hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elekt if dapat
dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan
sekecil mungkin. Bila terjadi perforata, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai
dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit (Pieter, 2005).

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita
hamil, dan penderita umur lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya (Pieter, 2005).

Adapun penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Tindakan Medis

a. Observasi terhadap diagnosa

Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak
terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita
dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan maka
dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan,
tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra
indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi
secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua
kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah
dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.

b. Intubasi

Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini
dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi
dengan pipa tetap terpasang.

c. Antibiotik

Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang
berat dan demam yang tinggi(Mansjoer, 2000).

2. Terapi Bedah

Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol


ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya
hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik
mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas
penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi
akibat yang tertunda (Mansjoer, 2000).

3. Terapi Pasca Operasi

Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan


didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung bila
pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien
dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan.
Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi
atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian
berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x
30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh
jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang. (Mansjoer, 2000).

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Apendisitis

1. Pengkajian

a. Identitas klien

b. Riwayat Keperawatan

1) riwayat kesehatan saat ini ; keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi,
mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.

2) Riwayat kesehatan masa lalu

3) pemeriksaan fisik

a) Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi


vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.

b) Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang


merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.

c) Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang.

d) Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam


pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
e) Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar
getah bening.

4) Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang


merupakan tanda adanya infeksi.

b) Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi pasca


pembedahan.

2. Diagnosa Keperawatan Apendisitis

a. Pre operasi

1) Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah pre operasi.

2) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh
inflamasi.

3) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

b. Post operasi

1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi
apendektomi.

2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berkurang berhubungan dengan


anorexia, mual.

3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah. Kurang pengetahuan


tentang perawatan dan penyakit berhubungan dengan kurang informasi.

3. Perencanaan

a. Persiapan umum operasi

Hal yang bisa dilakukan oleh perawat ketika klien masuk ruang perawat sebelum operasi
:

1) Memperkenalkan klien dan kerabat dekatnya tentang fasilitas rumah sakit untuk
mengurangi rasa cemas klien dan kerabatnya (orientasi lingkungan).

2) Mengukur tanda-tanda vital.

3) Mengukur berat badan dan tinggi badan.

4) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium yang penting (Ht, Serum Glukosa, Urinalisa).

5) Wawancara.
4. Persiapan klien malam sebelum operasi

Empat hal yang perlu diperhatikan pada malam hari sebelum operasi :

a) Persiapan kulit

1) kulit merupakan pertahanan pertama terhadap masuknya bibit penyakit. Karena


operasi merusak integritas kulit maka akan menyebabkan resiko terjadinya ifeksi.

2) Beberapa ahli bedah lebih menyukai mencukur rambut karena bisa mengganggu
prosedur operasi.

b) Persiapan saluran cerna

Persiapan kasus yang dilakukan pada saluran cerna berguna untuk :

1) Mengurangi kemungkinan bentuk dan aspirasi selama anestasi.

2) Mengurangi kemungkinan obstruksi usus.

3) Mencegah infeksi faeses saat operasi.

Untuk mencegah tiga hal tersebut dilakukan :

a. Puasa dan pembatasan makan dan minum.

1) Pemberian enema jika perlu.

2) Memasang tube intestine atau gaster jika perlu.

3) Jika klien menerimaanastesi umum tidak boleh makan dan minum selama 8 - 10
jam sebelum operasi : mencegah aspirasi gaster. Selang gastro intestinal diberikan
malam sebelum atau pagi sebelum operasi untuk mengeluarkan cairan intestinal atau
gester.

b. Persiapan untuk anastesi

c. Ahli anastesi selalu berkunjunng pada pasien pada malam sebelum operasi untuk
melekukan pemeriksaan lengkap kardiovaskuler dan neurologis. Hal ini akan
menunjukkan tipe anastesi yang akan digunakan selama operasi.

d. Meningkatkan istirahat dan tidur

e. Klien pre operasi akan istirahat cukup sebelum operasi bila tidak ada gangguan
fisik, tenaga mentalnya dan diberi sedasi yang cukup.

f. Persiapan pagi hari sebelum operasi klien dibangunkan 1 (satu) jam sebelum obat-
obatan pre operasi :

1. Mencatat tanda-tanda vital


2. Cek gelang identitas klien

3. Cek persiapan kulit dilaksanakan dengan baik

4. Cek kembali instruksi khusus seperti pemasangan infus

Yakinkan bahwa klien tidak makan dalam 8 jam terakhir

6. Anjurkan klien untuk buang air kecil

7. Perawatan mulut jika perlu

8. Bantu klien menggunakan baju RS dan penutup kepala

9. Hilangkan cat kuku agar mudah dalam mengecek tanda-tanda hipoksia lebih mudah.

4. Intervensi pre operasi

1. Obsevasi tanda-tanda vital

2. Kaji intake dan output cairan

3. Auskultasi bising usus

4. Kaji status nyeri : skala, lokasi, karakteristik

5. Ajarkan tehnik relaksasi

6. Beri cairan intervena

5. kaji tingkat ansietas

6. Beri informasi tentang proses penyakit dan tindakan

5. Intervensi post operasi

1. Observasi tanda-tanda vital

2. Kaji skala nyeri : Karakteristik, skala, lokasi

3. Kaji keadaan luka

4. Anjurkan untuk mengubah posisi seperti miring ke kanan, ke kiri dan duduk

5. Kaji status nutrisi6. Auskultasi bising usus

7. Beri informasi perawatan luka dan penyakitnya.

6. Evaluasi

1). Gangguan rasa nyaman teratasi

2) Tidak terjadi infeksi

3) Gangguan nutrisi teratasi

4) Klien memahami tentang perawatan dan penyakitnya


5) Tidak terjadi penurunan berat badan

6) Tanda-tanda vital dalam batas normal

DAFTAR PUSTAKA

Huether SE. Alterations of digestive system. In: McCance KL, Huether SE. Patophysiology

5th Ed.Evolve, 2006: 1385-1446

Burner and suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,-edisi 8,-volume 2,

Jakarta : EGC.

Engram, Barbara, 1994, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 2, Jakarta :
EGC.

Chapter II. Universitas Sumatera Utara. Available on:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19162/4/Chapter%20II.pdf

Junias Mangema. 2009. Hubungan Antara Skor Alvarado dan Temuan Operasi
Apendisitis

Akut di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Available On: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6204/1/09E01422.pdf

Price, SA, Wilson,LM. (1994). Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama. Edisi

4. Jakarta. EGC.

Brunner dan Sudarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2,
Alih

Bahasa dr. H. Y. Kureasa, Editor Monica Ester, SKp. Jakarta : EGC.


R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II, Jakarta : EGC.

Doengoes, Marilynn, E., 2000, RencanaAsuhanKeperawatan, EGC, Jakarta.

Mansjoer, Arif, 2000, KapitaSelektaKedokteran, Media Aesculapius, FKUI,Jakarta.

Smeltzer, C. Suzanne, C. Brenda, G. Bare, 2001, Buku Ajar KeperawatanMedikalBedah,

Brunner &Suddarth, EGC, Jakarta.


LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

A. DEFINISI

ü Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci),
melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif
dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap
infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002).

ü Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab


abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30
tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).

ü Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan
penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis
(Ovedolf, 2006).

ü Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang


terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010)

ü Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2009).

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

APENDISITIS

B. ETIOLOGI

Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi
yaitu:

1. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:

a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.

b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks

c. Adanya benda asing seperti biji-bijian


d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.

2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus

3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.

4. Tergantung pada bentuk apendiks:

a. Appendik yang terlalu panjang

b. Massa appendiks yang pendek

c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks

d. Kelainan katup di pangkal appendiks

(Nuzulul, 2009)

C. KLASIFIKASI

1. 1. Apendisitis akut

Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya
adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.

Penyebab obstruksi dapat berupa :

a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.

b. Fekalit

c. Benda asing

d. Tumor.

Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga
menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.

Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga
terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.

Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

2.2. 2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan


terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada
di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri
lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.

333. 3. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.

Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks,


sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5
persen.

4. 4. Apendissitis rekurens

Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di
perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan
peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi
fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen.
Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara
patologik.

Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita


datang dalam serangan akut.

5. 5. Mukokel Apendiks

Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya
obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen
steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan
oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.

Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi
infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.

6. 6. Tumor Apendiks

Adenokarsinoma apendiks

Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan
hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding
hanya apendektomi.

7. 7. Karsinoid Apendiks

Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen
apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa
rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan
diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor
memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.

Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan
adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks
menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi
ileosekal atau hemikolektomi kanan

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

APENDISITIS

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. ANATOMI

Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm


dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan
embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi
appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.

Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal.
Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan
berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh
letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic
(panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%,
dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

Appendiks pada saluran pencernaan

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

Anatomi appendiks Posisi Appendiks


2. FISIOLOGI

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri,
netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya.
Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh
tubuh.

E. PATOFISIOLOGI

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia


folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami


bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .

Pathway

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

Pathway APENDISITIS

F. MANIFESTASI KLINIK

1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.

2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.

3. Nyeri tekan lepas dijumpai.

4. Terdapat konstipasi atau diare.

5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.

6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.

7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.

8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.

9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.

10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi
akibat ileus paralitik.

11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

Nama pemeriksaan

Tanda dan gejala

Rovsing’s sign

Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri
pada sisi kanan.

Psoas sign atau Obraztsova’s sign


Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.

Obturator sign

Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.

Dunphy’s sign

Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk

Ten Horn sign

Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan

Kocher (Kosher)’s sign

Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.

Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign

Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri

Aure-Rozanova’s sign

Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)

Blumberg sign

Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

APENDISITIS

G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan
dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan
dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa,
terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi
ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi
pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-
15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks
yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna
memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan
pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:

1. Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang
menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum

2. Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari
38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.

3. Peritononitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang


dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan
darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

2. Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-
scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.

3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan


hati, kandung empedu, dan pankreas.

5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya


kemungkinan kehamilan.

6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium


enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma
colon.

7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,


tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus
halus atau batu ureter kanan.

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

APENDISITIS

I. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi


penanggulangan konservatif dan operasi.

1. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai


akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna
untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik

2. Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan
adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

3. Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses
intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam
fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan
pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-
abdomen.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Ø WawancaraDapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai:

· Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke


perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam
kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu
lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam
waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan
muntah, panas.

· Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan


klien sekarang.

· Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.

· Kebiasaan eliminasi.

Ø Pemeriksaan Fisik

· Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.

· Sirkulasi : Takikardia.

· Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.

· Aktivitas/istirahat : Malaise.

· Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.

· Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
· Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan,
bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi
ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.

· Demam lebih dari 38oC.

· Data psikologis klien nampak gelisah.

· Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.

· Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa
nyeri pada daerah prolitotomi.

· Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

APENDISITIS

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

§ Pre operasi

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh
inflamasi)

2. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.

4. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.

§ Post operasi

1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).

2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).

3. Defisit self care berhubungan dengan nyeri.

4. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d


kurang informasi.

C. RENCANA KEPERAWATAN

PRE OPERASI
NO

DIAGNOSA KEPERAWATAN

NOC

NIC

RASIONAL

1.

Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh
inflamasi)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri klien berkurang dengan


kriteria hasil:

· Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan


tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

· Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

· Tanda vital dalam rentang normal

TD (systole 110-130mmHg, diastole 70-90mmHg), HR(60-100x/menit), RR (16-


24x/menit), suhu (36,5-37,50C)

· Klien tampak rileks mampu tidur/istirahat

1. Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.

2. Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri


3. Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam

4. Berikan aktivitas hiburan (ngobrol dengan anggota keluarga)

5. Observasi tanda-tanda vital

6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik

§ Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini
untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya

§ informasi yang tepat dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien dan menambah
pengetahuan pasien tentang nyeri.

§ napas dalam dapat menghirup O2 secara adequate sehingga otot-otot menjadi


relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.

§ meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan kooping.

§ deteksi dini terhadap perkembangan kesehatan pasien.

§ sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri.

2.

Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.

Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan konstipasi klien teratasi dengan


kriteria hasil:
· BAB 1-2 kali/hari

· Feses lunak

· Bising usus 5-30 kali/menit

1. Pastikan kebiasaan defekasi klien dan gaya hidup sebelumnya.

2. Auskultasi bising usus

3. Tinjau ulang pola diet dan jumlah / tipe masukan cairan.

4. Berikan makanan tinggi serat.

5. Berikan obat sesuai indikasi, contoh : pelunak feses

§ membantu dalam pembentukan jadwal irigasi efektif

§ kembalinya fungsi gastriintestinal mungkin terlambat oleh inflamasi intra peritonial

§ masukan adekuat dan serat, makanan kasar memberikan bentuk dan cairan adalah
faktor penting dalam menentukan konsistensi feses.
§ makanan yang tinggi serat dapat memperlancar pencernaan sehingga tidak terjadi
konstipasi.

§ obat pelunak feses dapat melunakkan feses sehingga tidak terjadi konstipasi.

3.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.

Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan dapat


dipertahankan dengan kriteria hasil:

· kelembaban membrane mukosa

· turgor kulit baik

· Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam

· Tanda-tanda vital dalam batas normal

TD (systole 110-130mmHg, diastole 70-90mmHg), HR(60-100x/menit), RR (16-


24x/menit), suhu (36,5-37,50C)

1. Monitor tanda-tanda vital

2. Kaji membrane mukosa, kaji tugor kulit dan pengisian kapiler.

3. Awasi masukan dan haluaran, catat warna urine/konsentrasi, berat jenis.

4. Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus, gerakan usus.

5. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir.

6. Pertahankan penghisapan gaster/usus.


7. Kolaborasi pemberian cairan IV dan elektrolit

§ Tanda yang membantu mengidentifikasikan fluktuasi volume intravaskuler.

§ Indicator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.

§ Penurunan haluaran urin pekat dengan peningkatan berat jenis diduga


dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan.

§ Indicator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk pemasukan per oral.

§ Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah-pecah

§ Selang NG biasanya dimasukkan pada praoperasi dan dipertahankan pada fase segera
pascaoperasi untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah mentah.

§ Peritoneum bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar


cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia.
Dehidrasi dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit

4.

Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.

Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan kecemasab klien berkurang dengan


kriteria hasil:

· Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat teratasi

· Tampak rileks

1. Evaluasi tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.


2. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan

3. Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.

4. Anjurkan keluarga untuk menemani disamping klien

§ ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, penting pada prosedur diagnostik dan
pembedahan.

§ dapat meringankan ansietas terutama ketika pemeriksaan tersebut melibatkan


pembedahan.

§ membatasi kelemahan, menghemat energi dan meningkatkan kemampuan koping.

§ Mengurangi kecemasan klien

POST OPERASI

NO

DIAGNOSA KEPERAWATAN

NOC

NIC

RASIONAL

1.

Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria
hasil:

· Melaporkan nyeri berkurang

· Klien tampak rileks

· Dapat tidur dengan tepat

· Tanda-tanda vital dalam batas normal

TD (systole 110-130mmHg, diastole 70-90mmHg), HR(60-100x/menit), RR (16-


24x/menit), suhu (36,5-37,50C)

1. Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.

2. Monitor tanda-tanda vital

3. Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler.

4. Dorong ambulasi dini.

5. Berikan aktivitas hiburan.

6. Kolborasi tim dokter dalam pemberian analgetika.

§ Berguna dalam pengawasan dan keefesien obat, kemajuan penyembuhan,perubahan


dan karakteristik nyeri.

§ deteksi dini terhadap perkembangan kesehatan pasien.

§ Menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang.

§ Meningkatkan kormolisasi fungsi organ.

§ meningkatkan relaksasi.
§ Menghilangkan nyeri.

2.

Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).

Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan infeksi dapat diatasi dengan kriteria
hasil:

· Klien bebas dari tanda-tanda infeksi

· Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

· Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul)

1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi pada area insisi

2. Monitor tanda-tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan


mental

3. Lakukan teknik isolasi untuk infeksi enterik, termasuk cuci tangan efektif.

4. Pertahankan teknik aseptik ketat pada perawatan luka insisi / terbuka, bersihkan
dengan betadine.

5. Awasi / batasi pengunjung dan siap kebutuhan.

6. Kolaborasi tim medis dalam pemberian antibiotik

§ Dugaan adanya infeksi

§ Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis

§ mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain.

§ mencegah meluas dan membatasi penyebaran organisme infektif / kontaminasi


silang.

§ menurunkan resiko terpajan.


§ terapi ditunjukkan pada bakteri anaerob dan hasil aerob gra negatif.

3.

Defisit self care berhubungan dengan nyeri.

Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan kebersihan klien dapt dipertahankan


dengan kriteria hasil:

· klien bebas dari bau badan

· klien tampak bersih

· ADLs klien dapat mandiri atau dengan bantuan

1. Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci
rambut dan potong kuku klien.

2. Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.

3. Berikan Hynege Edukasi pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan
diri.

4. Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.

5. Bimbing keluarga klien memandikan / menyeka pasien

6. Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.

§ Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan


kesehatan.

§ Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman


§ Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene.

§ Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan

§ Agar keterampilan dapat diterapkan

§ Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.

4.

Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang
informasi.

Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan pengetahuan bertambah dengan


kriteria hasil:

· menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan

· berpartisipasi dalam program pengobatan

1. Kaji ulang pembatasan aktivitas pascaoperasi

2. Anjuran menggunakan laksatif/pelembek feses ringan bila perlu dan hindari enema

3. Diskusikan perawatan insisi, termasuk mengamati balutan, pembatasan mandi, dan


kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/pengikat

4. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medic, contoh peningkatan nyeri


edema/eritema luka, adanya drainase, demam
§ Memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan kembali rutinitas biasa
tanpa menimbulkan masalah.

§ Membantu kembali ke fungsi usus semula mencegah ngejan saat defekasi

§ Pemahaman meningkatkan kerja sama dengan terapi, meningkatkan penyembuhan

§ Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi lambatnya penyembuhan peritonitis.

DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Fatma. (2010). Askep Appendicitis. Diakses


http://fatmazdnrs.blogspot.com/2010/08/askep-appendicitis.html pada tanggal 09 Mei
2012.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Nuzulul. (2009). Askep Appendicitis. Diakses


http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20Pencernaan Askep
%20Apendisitis.html tanggal 09 Mei 2012.

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi
8. Volume 2. Jakarta, EGC
Penatalaksanaan Medis

Pembedahan di indikasikan bila diagnosa apendiksitis telah ditegakkan, antibiotik dan


cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah
diagnosa di tegakan .

Apendektomi dilakukan sesegara mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.


Apendektomi dapat dilakukan dengan anastesi umum spinal dengan insisi abdomen
bawah dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.

1. Pra Operatif

a. Observasi

Dalam 8 – 12 jam setelah kaluhan tanda dan gejala apendiksitis seringkali masih belum
jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu di lakukan. Pasien diminta untuk tirah
baring dan dipuasakan, laksatif tidak di berikan. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta
pemeriksaan darah di ulang secara periodik, foto thoraks dan abdomen dilakukan untuk
mencari kemungkinan ada penyulit lain.

b. Infus intravena di gunakan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan


menggantikan cairan yang telah hilang.

c. Terapi Antibiotik dapat di berikan untuk mencegah infeksi

2. Pasca Operasi

Perlu dilakukan obsevasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di


dalam, syock, hipertermi, atau gangguan pernafasan. Baringkan pasien dalam posisi
semi fowler. Posisi ini mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen. Pasien di
katakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Pasien dipuasakan, bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa
diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.

Berikan minum mulai dari 15 ml/jam selama 4 - 5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan hari nya di berikan makanan saring, dan hari berikutnya di berikan makanan
lunak. Satu hari pasca operasi di anjurakan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2x30 menit. Pada hari berikutnya pasien boleh berdiri dan duduk di luar kamar. Pada
hari ke 5 atau 7 jahitan dapat di buka di angkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Anda mungkin juga menyukai