Anda di halaman 1dari 2

Patofisiologi eklampsia

1. Inhibisi perkembangan uterovaskular


Terdapat banyak perubahan uterovaskular yang terjadi ketika seorang wanita hamil. Dipercayai bahwa
perubahan tersebut disebabkan karena interaksi antara allograft fetus dan ibu sehingga terjadi perubahan
vaskular lokal dan sistemik. Pada pasien dengan eklampsia, perkembangangan arteri uteroplasenta
terhambat.
2. Hambatan regulasi aliran darah serebral
Dipercaya bahwa pada eclampsia terdapat aliran darah serebral abnormal yang diakibatkan oleh hipertensi
yang ekstrem. Regulasi perfusi serebral dihambat, pembuluh darah mengalami dilatasi dengan
peningkatan permeabilitas, dan terjadilah edema serebral, sehingga terjadi iskemia dan enselopati. Pada
hipertensi yang ekstrem, vasokontriksi kompensasi normal dapat terganggu. Beberapa temuan otopsi
mendukung model ini dan secara konsisten menunjukkan pembengkakan dan nekrosis fibrinoid dinding
pembuluh darah.
3. Disfungsi endotel
Faktor yang berhubungan dengan disfungsi endotel telah menunjukkan meningkat pada sirkulasi sistemik
wanita yang mengalami eklampsia.
Faktor tersebut meliputi:

 Fibronektin Seluler

 Faktor Von Willebrand

 Molekul adhesi sel (seperti P-selectin, vascular endothelial adhesion molecule-1 [VCAM-1]

 Intercellular adhesion molecule-1 [ICAM-1])

 Sitokin (seperti interleukin-6 [IL-6])

 Tumor necrosis factor-α *TNF-α+


Selain itu, dipercaya bahwa faktor antiangiogenik, seperti protein plasenta fms-like tyrosine
kinase 1 (sFlt-1) dan activin A, antagonis Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Peningkatan
kadar protein tersebut menyebabkan reduksi VEGF dan menginduksi disfungsi endotel lokal dan
sistemik. Kebocoran protein dari sirkulasi dan edema generalisata merupakan sekuele disfungsi endotel
dan menjadi faktor penentu yang berhubungan dengan preeklampsia dan eklampsia.
4. Stres oksidatif
Terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa molekul leptin meningkat pada sirkulasi wanita dengan
eklampsia, menginduksi stres oksidatif, faktor lain pada eklampsia, pada sel. Peningkatan leptin juga
menyebabkan agregasi trombosit, yang berkontribusi terhadap koagulasi yang berhubungan dengan
eklampsia. Stres oksidatif diketahui menstimulasi produksi dan sekresi faktor antiangiogenik activin A
dari sel endotel dan plasenta.
Patofisiologi Diabetes Melitus
Pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di
dalam saluran pencernaan itu makanan di pecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat
menjadi glukosa, protein menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makan itu akan
diserap oleh usus dan kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk
dipergunakan oleh organ-organ didalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat berfungsi sebagai
bahan bakar, zat makanan itu harus masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat
makan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya
energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang
sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat dipergunakan
sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas
(Suyono, 2004).
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang memproduksi insulin
beta pankreas. Kondisi tersebut merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan ditemukannya anti
insulin atau antibodi sel anti islet dalam darah (Soelistijo et al., 2015). Kerusakan pankreas menyebabkan
penurunan sekresi insulin sehingga regulasi glukosa terganggu. Selain hilangnya sekresi insulin,
kerusakan akibat autoimun ini mengakibatkan abnormalitas sel sel alpha pankreas dimana terjadi sekresi
glukagon yang berlebihan. Kedua hal ini menyebabkan kondisi hiperglikemia yang berkepanjangan dan
mulai terjadi gangguan metabolik (Suyono, 2006)
Pada diabetes melitus tipe 2, disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak terjadi defisiensi
absolut seperti diabetes mellitus tipe 1. Pada DM tipe 2 terjadi defisiensi insulin relatif. Tubuh tidak
mampu memproduksi insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya
sel beta atau defisiensi insulin perifer (Soelistijo et al., 2015). Defisiensi insulin relatif terjadi melalui dia
mekanisme yaitu, gangguan sekresi insulin akibat disfungsi sel beta pankreas dan gangguan kerja insulin
pada tingkat sel akibat kerusakan reseptor insulin (resistensi insulin) (Suyono, 2006).
Beberapa kondisi menjadi faktor risiko terjadinya DM tipe 2 seperti stress, gaya hidup yang
menetap, asupan gula yang berlebih, merokok, obesitas, konsumsi alcohol, penuaan serta genetik
berkontribusi dalam pathogenesis DM tipe 2.
1). Insulin diketahui memiliki efek anabolik (pembentukan tubuh).
2). Ketika kontrol terdapat glisemia yang baik mulai dicapai karena adanya terapi insulin, sedikit
gula yang hilang didalam urin.
3). Pengobatan insulin membuat orang merasa lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai