Anda di halaman 1dari 8

REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA |

PERKEMBANGAN REGULASI DI SEKTOR PUBLIK

Secara garis besar regulasi di sektor publik dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
perkembangan regulai yang terkait dengan organisasi nirlaba &  instansi pemerintah. Kedua
jenis perkembangan ini perlu dibedakan mengingat sifat regulasi di sektor publik bersifat
spesifik untuk setiap jenis organisasi. Selain itu, di instansi pemerintah, regulasi yg
digunakan cenderung lebih rumit dan detail.

 Perkembangan Regulasi Terkait Organisasi Nirlaba


 Regulasi Tentang Yayasan

Regulasi yg terkait dengan yayasan adalah UU No. 2 tahun 2001 tentang yayasan. UU
ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan dapat
berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas kepada masyarakat. Kemudian UU tersebut diperbarui dalam beberapa
aspek dengan UU No. 28 tahun 2004.

Selain dari dua UU tersebut, untuk lebih menjamin kepastian hukum pemerintah juga
mengeluarkan peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2008 mengenai Undang-Undang
tentang Yayasan.

 Regulasi Tentang Partai Politik

UU yang pertama ada setelah era reformasi adalah UU No. 2 tahun 1999. Seiring
dengan perkembangan masyarakat dan perubahan sistem ketatanegaraan yang dinamis di
awal-awal reformasi, UU ini diperbarui dengan keluarnya UU No. 31 tahun 2002 tentang
partai politik. Kemudian UU No. 31 tahun 2002 kembali perbarui pada tahun 2008 melalui
UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik.

 Regulasi Tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum
Pendidikan (BHP)

BHMN adalah salah satu bentuk badan hukum di Indonesia yang awalnya dibentuk
untuk mengakomodasikan kebutuhan khusus dalam rangka “privitisasi” lembaga
pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat non-profit meski
berstatus sebagai badan usaha.

Pada akhir tahun 2008 terdapat perkembangan baru pada dunia pendidikan tinggi
di Indonesia dengan disahkannya UU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).

ARMAYANTI. S
A031191006
REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA |

BHP adalah badan hukum penyelenggaraan pendidikan formal dengan berprinsip


nirlaba yang memeliki kemandirian dalam pengelolaannya dengan tujuan memajukan
satuan pendidikan.

 Regulasi Tentang Badan Umum (BLU)

BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan


pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang tanpa mengutamakan
mencari keuntungan. BLU dibentuk untuk mempromosikan peningkatan layanan publik
melalui fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU yang dikelola secara profesional
dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektiitas.

Wacana tentang BLU dalam regulasi di level UU disebut dalam UU No. 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Level regulasi dibawahnya yang secara khusus
menjelaskan tentang BLU adalah peraturan pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang
pengelolaan keuangan badan layanan umum.

 Dasar Hukum Keuangan Sektor Publik


 Dasar Hukum Keuangan Negara

Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasikan sebagai segala


bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan
pelaksanaannya.

Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas pemerintah tersebut dapat berupa


pengeluaran dan diakui sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV, secara
khusus diatur mengenai Keuangan Negara, yaitu pada BAB VIII pasal 23 yang berbunyi
sebagai berikut:

1. Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang.


Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan
Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.
2. Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang
3. Jenis dan harga mata uang ditetepakan dengan Undang-Undang
4. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang –Undang
5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Bdan
Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

ARMAYANTI. S
A031191006
REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA |

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, ditetapkan Undang-undang tentang APBN untuk


tahun anggaran bersangkutan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi
ketentuan konstitusional yang dimaksud pada pasal 23 ayat (1) UUD tetapi juga sebagai
dasar rencana kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang
bersangkutan. Oleh karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana Strategi
dalam UU Propenas, dan pelaksanaannya dituangka  dalam UU yang harus dijalankan
oleh Presiden/Wakil Presiden dan Menteri-menteri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara
lainnya.

 Dasar Hukum Keuangan Daerah

Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, tujuan pembentukan daerah otonom adaah


meningkatkan daya guna penyelenggara pemerintah untuk melayani masyarakat dan
melaksanakan program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom,
menurut penjelasan pasal 64, Undang-undang No. 5 tahun 1974, fungsi penyusunan
APBD adalah untuk:

1. Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang


bersangkutan
2. Mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
3. Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab daerah umumnya dan kepala daerah itu
menggambarkan selutuh kebijaksanaan pemerintah daearah
4. Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintah daerah dengan cara yang lebih
mudah dan berhasil guna.
5. Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melaksanakan
penyelenggaraan Keuangan Daerah didalam batas-batas tertentu
 Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi

Paradigma baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah


penerapan akuntansi dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governance.
Landasan hukum pelaksanaan reformasi tersebut telah disiapkan oleh Pemerintah dalam
suatu Paket UU Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang
pada saat ini telah disahkan oleh DPR.

Terdapat 4 prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3
Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu:

1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja

ARMAYANTI. S
A031191006
REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA |

2. Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi


3. Pemberdayaan manajer profesional
4. Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta
dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan

Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah


yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara
tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen
pemerintah, diharapkan akan memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di NKRI.

 Paradigma Baru Regulasi Akuntansi Sektor Publik


1. UU No. 17 Tahun 2003 Tahun Keuangan Negara
2. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Neagra
3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara
4. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan Pmebangunan Nasional
5. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
6. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat
dan Daerah
7. PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
8. PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
 Peraturan Pemerintah No. 71 Sebagai Regulasi Terkini Di Indoneisia

Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14,15, dan 16,
dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena
disana disebutkan bahwa: Pendapatan negara/daerah adalah hak pemerintah pusat/daerah
yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah
kewajiban pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Namun kita diperkenankan untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan
menggunakan basis kas, dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang
masuk/keluar ke/dari kas umum negara/daerah.

Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang intinya
ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun 2008.
Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah terbit,

ARMAYANTI. S
A031191006
REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA |

dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan
basis kas, Neraca berdasarkan basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005
tersebut hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun 2009,
ternyata opini yang didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah,
Pemerintah akhirnya berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa
basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014.

Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi


Pemerintah sebagai pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka
akan diikuti dengan aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri
Keuangan untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk
pemerintah daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain.
Dalam PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran.

 Lampiran I merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan


dilaksanakan selambat-lambatnya mulai tahun 2014, sedangkan
 Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Kas menuju Akrual
yang hanya berlaku hingga tahun 2014.

Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan
Lampiran II adalah sebagai berikut:

 Lampiran I
Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan
Perubahan Saldo Anggaran Lebih
Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan
Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan
 Lampiran II
Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan
Catatan atas Laporan Keuangan.

Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis


penjelasan pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait
dengan masing-masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.

Kedua daftar isi hampir serupa karena kebijakan yang diambil oleh Komite Standar
Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan
berbasis akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian dilakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini

ARMAYANTI. S
A031191006
REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA |

diharapkan pembaca PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas


perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah memahami perubahannya dibandingkan
jika langsung beranjak dari penyesuaian atas International Public Sector of Accounting
Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP.

 Barang dan Jasa Publik


 Barang dan Jasa Publik Versus Barang dan Jasa Swasta

Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh


Negara/pemerintah. Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntukkan bagi kepentingan seluruh
warga dalam skala yang luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya udara
bersih, air bersih, dan lingkungan yang aman. Sedangkan barang swasta adalah barang
spesifik yang dimiliki oleh pihak swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bisa dinikmati oleh
mereka yang mampu membelinya, karena harganya disesuaikan dengan harga pasar
menurut penjual, misalnya perumahan mewah, villa, dan hotel.Dan ada juga setengah
kolektif yang dimiliki oleh swasta atau pemilik gabungan antara swasta dan pemerintah.
Seharusnya barang ini tidak boleh bersifat eksklusif, dan pemerintah harus ikut
menentukan harga penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh rakyat kecil,
misalnya sekolah dan rumah sakit.

 Konsep-konsep Pokok Barang dan Jasa Publik

Suatu barang dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya
dengan tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang
ditentukan dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan bisa
memastikan bahwa orang lain tidak memperoleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut.
Jika suatu barang memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut dipergunakan
secara perorangan dan apabila daya saingnya rendah, barang tersebut dapat
dimanfaatkan secara bersama-sama. Contoh taman umum daya saingnya rendah,
sedangkan ‘iphone’ daya saingnya tinggi.

1. Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing yang
rendah. Ini menandakan bahwa apabila barang itu diproduksi, barang tersebut dapat
dipergunakan oleh banyak orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang,
sehingga umumnya dibiayai dari dana publik.
2. Barang swasta adalah barang yang punya excludability dan daya saing tinggi.
Orang-orang yang memanfaatkanya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya.

ARMAYANTI. S
A031191006
REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA |

3. Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Contohnya


seperti jalan tol.
4. Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common
pool goods. Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa; meskipun termasuk
barang yang non-excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan
mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk menggunakannya.
 Penyedia Pelayanan

Barang/ pelayanan yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada


sektor swasta misalnya, penggunaan kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan
terbang, atau sebaliknya misalnya sekolah pemerintah menerima pembayaran dari orang
tua murid dalam bentuk pemakai pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan
bekerja lebih efsien dan efektif karena:

1. Sektor swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber daya sehingga


permintaan pasar dapat ditanggapi.
2. Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga
yang lebih murah bagi pelanggan.
 Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik

Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas


mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan
barang/jasa nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Publik menyelenggarakan fungsi:

1. Penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional


2. Penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya
manusia di bidang pengadaan
3. Pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta
koordinasi penyelesaian masalah di bidang pengadaan
4. Pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan
5. Pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi
informasi
6. Melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan
sistem pengadaan nasional

ARMAYANTI. S
A031191006
REGULASI DAN STANDAR SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA |

ARMAYANTI. S
A031191006

Anda mungkin juga menyukai