Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN


KOLELITIASIS (BATU EMPEDU)

OLEH :

DEWA AYU PUTRI WEDA DEWANTI


(P07120216044)

TINGKAT 4B / S. Tr. KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
PADA TN. M DENGAN KOLELITIASIS (BATU EMPEDU)
DI RSUD GIANYAR TANGGAL 26 NOVEMBER 2019

OLEH :

DEWA AYU PUTRI WEDA DEWANTI


(P07120216044)

TINGKAT 4B / S. Tr. KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN
KOLELITIASIS (BATU EMPEDU)

A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa
terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra
hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang
terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut
koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah
proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan
koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis. 

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain:

1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan
kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil
kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis),
puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan
penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak
(misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan
menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu
ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat
hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier
dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin
muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi
pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat
dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol
meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi
kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.

C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai
batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah
lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan
rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu
mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi
untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu
sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu
empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa
penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen
dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin
teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri
hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas,
biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan,
berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai
dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah
memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai,
serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan
membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi
yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik
melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan
ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin
ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu
proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi
disertai peritonitis generalisata.

D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea lain dari
sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung
empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher
cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu
tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu
empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
 Faktor yang mendukung :
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung empedu
E. Pathway
Cedera tulang belakang, puasa
F. PATHWAY Kehamilan multipel Anemia hemolitik Bakteri (kolangitis,
berkepanjangan,G. atau pemberian diet Sirosis hepatis kolesistisis)
nutrisi total H.
parenteral (TPN, Total
Peningkatan kadar
parental nutrition), dan penurunan berat
progestoren Bilirubin tak Penurunan
badan yang b.d kalori & pembatasan
terkonjugasi pembentukan misel
lemak (mis. diet, vagotomi, dan operasi
bypass lambung) Statis bilier
Kalsium bilirubinat Kalsium palmitat
Penurunan dan stearat
Penyakit crhon
Reseksi usus garam empedu

Batu pigmen
Obesitas, resistensi insulin,
Batu kolestrol
diabetes melitus tipe II,
hipertensi, dan hiperlipidemia
Batu empedu

Peningkatan IKTERUS
sekresi kolestrol
Oklusi dan
obstruksi dari batu

Intervensi bedah, POLA NAFAS TIDAK Obstruksi duktus sistikus


Intervensi litotripsi, EFEKTIF atau duktus biliaris
Intervensi endoskopik
Tekanan di duktus biliaris akan
meningkat dan peningkatan
Respons kontraksi peristaltik
Preoperatif Pascaoperatif lokal saraf

Respon psikologis Port de entree Gangguan Respons


NYERI AKUT
Misinterpretasi perawatan dan pasca bedah gastrointestina sistemik
penatalaksanaan pengobatan l
Kerusakan
RESIKO INFEKSI jaringan Mual, muntah, Peningkatan
Kecemasan pascabedah anoreksia suhu tubuh
pemenuhan
informasi
Intake nutrisi HIPERTEMI
dan cairan
Kelelahan, malaise,
tidak adekuat
ANSIETAS pemakaian energi
berlebihan pasca nyeri
Penurunan RESIKO
DEFISIT cairan tubuh KETIDAKSEIMBA
INTOLERANSI NGAN
NUTRUSI
AKTIVITAS ELEKTROLIT
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT),
LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu
dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun
demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk
dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

Gambar 3: hasil sinar-x pada kolelitiasis


3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos.  Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di
fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik
bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.

Gambar 4: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis


4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat,
dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu,
pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan
memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya
sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound
berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi
biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.

Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis


5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung
empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh
bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada
foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi
terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna
pada penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak
waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi


6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai
duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus
dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP
juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.

Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis


7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara
langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang
disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut,
yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus,
duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
8. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.

Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis


9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP)
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut
nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan
jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi,
prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
  Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya
8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami
kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen
secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat.
Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5
mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran
kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan
dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan
dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme
kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi
besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12
bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau.
Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada
pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk
menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini  dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut
kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.
c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,
atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui
endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang
kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau
muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman
air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan
tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah
secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau
duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan
pelarut asam empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara
irigasi dan aspirasi.
2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris,
terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera
dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang
sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika
ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus
dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin
dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan
waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk
penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari
prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi
lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva
pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi
yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak
jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau
cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat
dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan
dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar
kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah
sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani
kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki
angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang
disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para
penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal,
paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus
ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu
dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk
memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah
kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi
saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri
dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang
dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter
ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.
Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu
biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan
bersama-sama kolesistektomi.
H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap
makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi
suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut
(kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat
sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian
menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di
duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis,
dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut
beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi  oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek
massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan
kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu
dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu
menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada
awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi.
Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik,
demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi
ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica
biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas
peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses
local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum,
dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga
terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara
kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas.
Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak
menutupi ampula vetri.

I. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Kolelitiasis


Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut yaitu
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik,
alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan
tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b. Pengkajian Primer
1) Airway
Umumnya pasien kolelitiasis akan mengalami peningkatan kontraksi
peristaltic usus akibat adanya tekanan di ductus biliaris sehingga terjadilah
gangguan gastrointestinal yang menyebabkan pasien mengalami mual muntah.
Pada airway kaji adanya muntahan pada pasien, pertahankan kepatenan jalan
napas.

2) Breathing
Pada pasien kolelitiasis dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada
abdomen kanan atas yang menjalar kepunggung atau bahu kanan. Pada
periode nyeri hebat ini pasien biasa mengalami dispneu.
3) Circulation
Pada pasien dengan kolelitiasis umumnya tidak mengalami gangguan pada
sirkulasi
4) Disability

Pada pasien dengan kolelitiasis umumnya mempunyai kesadaran penuh atau


composmentis.

c. Pengkajian Sekunder
1) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R)
yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana
yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T)
yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
c) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di
riwayat sebelumnya.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.
2) Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
a) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
b) B2-Blood
c) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
d) B3-Brain
-
e) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
f) B5-Bowel
g) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
h) B6-Bone
-

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut
b. Pola napas tidak efektif
c. Hipertermia
d. Risiko ketidakseimbangan cairan
3. Intervensi Keperawatan

No Standar Diagnosa Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
. Indonesia (SIKI)
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... Manajemen Nyeri
Definisi: X .... jam menit diharapkan Nyeri Akut Berkurang Observasi
Pengalaman sensorik atau emosional yang dengan kriteria hasil :  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
berkaitan dengan kerusakan jarigan actual Tingkat nyeri : frekuensi, kualitas , intensitas nyeri
atau fungsional, dengan onset mendadak  Keluhan nyeri (5)  Identifikasi skala nyeri
atau lambat dan berintensitas ringan  Meringis (5)  Identifikasi respons nyeri non verbal
hingga berat yang berlangsung kurang  Sikap protektif (5)  Identifikasi faktor yang memperberat nyeri
dari 3 bulan  Gelisah (5) dan memperingan nyeri
Penyebab:  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
 Kesulitan tidur (5)
 Agen pencedera fisiologis (mis. tentang nyeri
 Menarik diri (5)
Inflamai,iskemia, neoplasma  Identifikasi pengaruh budaya terhadap
 Berfokus pada diri sendiri (5)
 Agen pencedera kimiawi (mis. respon nyeri
 Diaforesis (5)
Terbakar, bahan kimia iritan)  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
 Perasaan depresi (tertekan) (5)
 Agen pencedera fisik (mis. Abses, hidup
 Perasan takut mengalami cedera berulang (5)
amputasi, terbakar, terpotong,  Monitor keberhasilan terapi komplementer
 Anoreksia (5)
mengangkat berat, prosedur yan sudah diberikan
 Perineum terasa tertekan (5)
operasi, trauma, latihan fisik  Uterus teraba membulat (5)  Monitor efek samping penggunaan analgetik
berlebih)  Ketegangan otot (5) Terapeutik
Gejala dan Tanda Mayor  Pupil dilatasi (5)  Berikan teknik nonfarmakologis untuk
Subjektif  Muntah (5) mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
 Mengeluh nyeri  Mual (5) hypnosis, akupresur, terapi music,
Objektif biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik
 Frekuensi nadi (5)
 Tampak meringis imajinasi terbimbing, kompres
 Pola napas (5)
 Bersikap protektif (mis. Waspada, hangat/dingin, terapi bermain)
 Tekanan darah (5)
posisi menghindari nyeri)  Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
 Proses berpikir (5)
 Gelisah nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
 Fokus (5)
 Frekuensi nadi meningkat kebisingan)
 Fungsi kemih (5)
 Sulit tidur  Fasilitas istirahat dan tidur
 Perilaku (5)
Gejala dan Tanda Minor  Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
 Nafsu makan (5)
Subjektif pemilihan strategi meredakan nyeri
 Pola tidur (5)
- Edukasi
Objektif  Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
 Tekanan darah meningkat  Jelaskan strategi meredakan nyeri
Kontrol Nyeri
 Pola napas berubah  Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Melaporkan nyeri terkontrol (5)
 Nafsu makan berubah  Kemampuan mengenali onset nyeri (5)  Anjurkan menggunakan analgetik secara
 Proses berpikir terganggu  Kemampuan mengenali penyebab nyeri (5) tepat
 Menarik diri  Kemampuan menggunakan teknik non-  Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
 Berfokus pada diri sendiri farmakologis (5) mengurangi rasa nyeri

 Diaforesis  Dukungan orang terdekat (5) Kolaborasi

Kondisi klinis terkait  Keluhan nyeri (5)  Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

 Kondisi pembedahan  Penggunaan analgesic (5)


 Cedera traumatis Pemberian Analgesik
Observasi
 Infeksi
 Identifikasi karakteristik nyeri (mis.
 Sindrom koroner akut
Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas,
 Glaukoma
frekuensi, durasi)
 Identifikasi riwayat alergi obat
 Identifikasi kesesuaian jenis analgesic (mis.
Narkotika, non narkotika, atau NSAID)
dengan tingkat keparahan nyeri
 Monitor tanda tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
 Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
 Diskusikan jenis analgesic yang disukai
untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu
 Pertimbangkan penggunaan infus kontinu,
atau bolus opioid untuk mempertahankan
kadar dalam serum
 Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respon pasien
 Dokumentasikan respons terhadap efek
analgesik dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
 Jelaskan efek terapu dan efek samping obat
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
analgesik, sesuai indikasi
2 Pola Napas Tidak Efektif Setelah dilakukan intervensi selama ... x... menit, Manajemen Jalan Napas
Definisi : maka pola napas membaik dengan kriteria hasil : Observasi :
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak  Ventilasi semenit (5)  Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
memberikan ventilasi adekuat.  Kapasitas vital (5) napas)
Penyebab :  Diameter thoraks anterior  Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling,
 Depresi pusat pernapasan posterior (5) mengi, wheezing, ronkhi kering)
 Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat  Tekanan ekspirasi (5)  Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
bernapas, kelemahan otot pernapasan)  Tekanan inspirasi (5) Terapeutik :
 Deformitas dinding dada  Dispnea (5)  Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-
 Deformitas tulang dada  Penggunaan otot bantu napas (5) tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma
 Gangguan neuromuscular  Pemanjangan fase ekspirasi (5) cervical)

 Gangguan neurologis (mis.  Posisikan semi-Fowler atau Fowler


 Ortopnea (5)
elektroensefalogram [EEG] positif,  Berikan minum hangat
 Pernapasan pursed-tip (5)
cedera kepala, gangguan kejang)  Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Pernapasan cuping hidung (5)
 Imaturitas neurologis  Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Frekuensi napas (5)
 Penurunan energy  Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
 Kedalaman napas (5)
 Obesitas endotrakeal
 Ekskursi dada (5)
 Posisi tubuh yang menghambat  Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
ekspansi paru McGill
 Sindrom hipoventilasi  Berikan oksigen, jika perlu
 Kerusakan inervasi diafragma Edukasi :
(kerusakan saraf C5 ke atas)  Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
 Cedera pada medulla spinalis kontraindikasi
 Efek agen farmakologis  Ajarkan teknik batuk efektif
 Kecemasan Kolaborasi :
Gejala dan Tanda Mayor  Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
Subjektif : mukolitik, jika perlu
 Dispnea
Objektif : Pemantauan Respirasi
 Penggunaan otot bantu pernapasan Observasi :

 Fase ekspirasi memanjang  Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya

 Pola napas abnormal (mis. takipnea, napas

bradipnea, hiperventilasi, kusmaul,  Monitor pola napas (seperti : bradipnea, takipnea,

cneyne-stokes) hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes, biot,


ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
Gejalan dan Tanda Minor  Monitor adanya produksi sputum
Subjektif :  Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Ortopnea  Paplasi kesimetrisan ekspansi paru
Objektif :  Auskultasi bunyi napas
 Pernapasan pursed-lip  Monitor saturasi oksigen
 Pernapasan cuping hidung  Monitor nilai AGD
 Diameter thoraks anterior-posterior  Monitor hasil X-ray thoraks
meningkat Terapeutik :
 Ventilasi semenit menurun  Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
 Kapasitas vital menurun pasien
 Tekanan ekspirasi menurun  Dokumentasikan hasil pemantauan
 Tekanan inspirasi menurun Edukasi :
 Ekskursi dada berubah  Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Kondisi Klinis Terkait :  Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
 Depresi sistem saraf pusat
 Cedera kepala
 Trauma thoraks
 Gullian barre syndrome
 Multiple sclerosis
 Myastenial gravis
 Stroke
 Kuadriplegia
 Intoksikasi alcohol
3 Hipertermia Setelah dilakukan intervensi keperawatan Regulasi Temperatur
Definisi selama ....x... jam, makaTermoregulasi membaik Observasi :
Suhu tubuh meningkat di atas rentang dengan kriteria hasil :  Monitor suhu tubuh sampai stabil
normal tubuh  Menggigil menurun (5)  Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam, jika
Penyebab :  Kulit kemerahan menurun (5) perlu
 Dehidrasi  Kejang menurun (5)  Monitor tekanan darah, frekuensi pernafasan
 Terpapar lingkungan panas  Pucat menurun (5) dan nadi
 Proses penyakit (mis: infeksi,  Takikardi menurun (5)  Monitor warna dan suhu kulit
kanker)  Takipnea menurun (5)  Monitor dan catat tanda dan gejala
 Ketidaksesuaian pakaian dengan  Bradikardi menurun (5) hipertermia
suhu lingkungan  Suhu tubuh membaik (5) Terapeutik :
 Peningkatan laju metabolisme  Pasang alat pemantauan suhu kontinu, jika
 Suhu kulit membaik (5)
 Respon trauma perlu
 Tekanan darah membaik (5)
 Aktivitas berlebihan  Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang
 Penggunaan incubator adekuat
Gejala dan Tanda Mayor :
Kolaborasi :
Subjektif
-  Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
Objektif
 Suhu tubuh diatas nilai normal
Gejalan dan Tanda Minor :
Subjektif
-
Objektif
 Kulit merah
 Kejang
 Takikardi
 Takipnea
 Kulit terasa hangat
Kondisi Klinis Terkait
 Proses infeksi
 Hipertiroid
 Stroke
 Dehidrasi
 Trauma
 Prameturitas
4 Resiko ketidakseimbangan elektrolit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pemantauan elektrolit
(D.0037) ……..x…… menit, maka keseimbangan elektrolit Observasi
Definisi : meningkat, dengan kriteria hasil :  Identifikasi kemungkinan penyebab
Berisiko mengalami perubahan kadar  Serum natrium (5) ketidakseimbangan elektrolit
serum elektrolit  Serum kalium (5)  Monitor kadar elektrolit serum
Faktor resiko  Serum klorida (5)  Monitor mual.muntah, dan diare
 Ketidak seimbangan cairan (mis.  Serum kalsium (5)  Monitor kehilangan cairan, jika perlu
dehidrasi, dan intoksikasi air)  Serum magnesium (5)  Monitor tanda dan gejala hypokalemia ( mis.
 Kelebihan volume cairan  Serum fosfor (5) Kelemahan otot, interval QT memanjang,
 Gangguan mekanisme regulasi gelembung T datar atau terbalik, depresi
( mis. Diabetes) segmen ST, gelombang U, kelelahan, parestesia,
 Efek saping prosedur ( mis. penurunan reflex, anoreksia, depresi
Pembedahan) pernapasan)
 Diare  Monitor tanda dan gejala hyperkalemia (mis.
 Muntah Peka rangsang, gelisah, mual, muntah,
 Disfungsi ginjal takikardia, mengarah ke bradikardia, fibrilasi/
 Disfungsi regulasi endokrin takikardia ventrikel, gelombang T tinggi,
Kondisi klinis terkait gelombang P datar, kompleks QRS tumpul,
 Gagal ginjal blok jantung mengarah asistole)
 Anoreksia nervosa  Monitor tanda dan gejala hiponatremia (mis.
 Diabetes mellitus Disorientasi, otot berkedut, sakit kepala,

 Penyakit chron membrane mukosa kering, hipotensi postural,

 Gastroenteritis kejang, letargi, penurunan kesadaran)

 Pankreatitis  Monitor tanda dan gejala hypernatremia (mis.


Haus, demam, mual, muntah, gelisah, peka
 Cedera kepala
rangsang, membrane mukosa kering, takikardia,
 Kanker
hipotensi, letargi, konfusi, kejang)
 Trauma multiple
 Monitor tanda dan gejala hipokalsemia (mis.
 Luka bakar
Peka rangsang, tanda chvostek (spasme otot
 Anemia sel sabit
wajah), tanda trousseau, kram otot, interval QT
memanjang)
 Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia (mis.
Nyeri pada tulang, haus, anoreksia, letargi,
kelemahan otot, segmen QT memendek,
gelombang T lebar, kompleks QRS lebar,
interval PR memanjang)
 Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia
( mis. Depresi pernapasan, apatis, tanda
chvostek, tanda trosusseau, konfusi dan
disritmia)
 Monitor tanda dan gejala hipermagnesemia
( mis. Kelemahan otot, hiporefleks, bradikardia,
depresi SSP, letargi, koma, depresi)
Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah ditetapkan.

5. Evaluasi Keperawatan
1. Evaluasi Formatif
Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien,
terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan.
2. Evaluasi Sumatif
Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsi dan analisis mengenai
status kesehatan klien terhadap waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus


Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan :
Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat
PPNI: Jakarta Selatan.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan.
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai