Anda di halaman 1dari 4

TUGAS: FINAL

PEMERINTAHAN DAN POLITIK LOKAL

OLEH

MITRA

C1G118039 (A)

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
HASIL REVIEW MENDEMOKRATISASIKAN KESEJAHTERAAN : MENGELOLA
AKSES, STRATEGI, DAN KAPASITAS KONTROL PUBLIK

Demokrasi dan kesejahteraan seharusnya menjadi keniscayaan yang tidak perlu


diperdebatkan lagi. Tetapi, ada jalan panjang dan berliku yang harus ditempuh untuk
menghubungkan keduanya. Pengelolaan kesejahteraan adalah proses politik yang ditentukan oleh
konstruksi relasi kekuasaan. Karena itu, demokratisasi seyogianya juga peka terhadap struktur
dan praktik kekuasaan yang selama ini menentukan distribusi kesejahteraan. Ketika elit
menggunakan populisme, patronase, dan primordialisme sebagai strategi untuk menentukan
siapa yang berhak mengakses sumber-sumber daya, yang terutama dituntut dari publik adalah
kapasitas representasi dan kontrol untuk menyeimbangkan relasi kekuasaan. Buku ini mengajak
pembaca melihat demokrasi dan demokratisasi dari arah yang berlawanan, dengan melihat
praktik-praktik kontekstual yang perlu dan bisa dilakukan dari berbagai penjuru untuk
menjadikan kesejahteraan sebagai isu politik. Yang ingin digalang bukan hanya merangkul
berbagai segmen pro-demokrasi, melainkan juga berbagai pengalaman dan keterampilan untuk
mempercepat perguliran ke arah itu. Buku ini adalah kumpulan narasi tentang perjuangan aktor-
aktor pro-demokrasi mempolitisasikan demokrasi dengan beragam strategi demi mengarahkan
demokratisasi kepada kesejahteraan. Kelima belas kasus dari berbagai daerah menunjukkan
bahwa demokrasi yang mensejahterakan tidak mungkin terwujud tanpa kontrol publik atas
pengelolaan kesejahteraan. Kita ketahui ada juga demokrasi yang menyejahterakan Setelah 20
tahun reformasi bergulir, demokrasi di Indonesia belum memberikan dampak yang signifikan
terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Demokrasi masih dinikmati segelintir elite dan
belum secara sistemik menyentuh jantung persoalan rakyat, terutama dalam upaya mengentaskan
kemiskinan dan ketimpangan. Meski menurun, jumlah penduduk miskin masih di kisaran 10
persen dari jumlah penduduk. Ketimpangan pun belum beranjak jauh dengan rasio gini masih di
kisaran 0,39.

Ada dua hal utama agar demokrasi dapat berjalan dengan baik dan memberi dampak bagi
kesejahteraan, yakni kebebasan dan penegakan hukum. Dua hal ini harus berjalan beriringan, di
mana kebebasan harus dipayungi oleh supremasi hukum. Penegakan hukum harus menjadi
panglima dan jangan pernah pandang bulu.

Sejak zaman kemerdekaan, Indonesia telah mengalami sedikitnya empat periode


demokrasi. Pada era 1945 hingga 1965, demokrasi parlementer mewarnai panggung politik dan
pemerintahan Indonesia. Sebagai periode awal demokrasi, tentu Indonesia masih dalam tahap
belajar. Model politik aliran yang mewarnai panggung politik nasional membuat partai-partai
politik, yang tumbuh bak jamur, justru terpecah belah.
Pada era ini untuk pertama kali Indonesia melakukan pemilihan umum yang diikuti lebih dari 29
partai. Namun, partai-partai tersebut masih mencari bentuk dan sekadar ingin meraih kekuasaan.
Kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari demokrasi belum bisa diwujudkan.

Perpecahan partai-partai dan golongan di era demokrasi parlementer akhirnya melahirkan


Demokrasi Terpimpin pada 1959-1965. Kekuasaan presiden pada era ini sangat besar hingga
akhirnya muncul perseteruan politik ideologis antara pemerintah, masyarakat, dan tentara, yang
berujung pada munculnya gerakan 30 September 1965. Demokrasi terpimpin tidak hanya gagal
menjaga persatuan bangsa, namun juga belum mampu menyejahterakan rakyat. Kondisi tersebut
melahirkan periode Demokrasi Pancasila (1965-1988) dengan era pemerintahan Orde Baru.
Secara konseptual dan ideologis, demokrasi Pancasila memunculkan harapan bagi perwujudan
keadilan sosial bagi rakyat. Tiga komponen utama demokrasi menjadi andalan, yakni penegakan
kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum; mewujudkan keadilan sosial; dan
pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dalam implementasinya, sistem demokrasi Pancasila banyak diselewengkan. Penegakan


hukum yang masih tebang pilih justru menjadi momok bagi masyarakat. Peran militer sangat
dominan ketimbang institusi sipil, sementara fungsi dan peran partai politik dikebiri. Intervensi
pemerintah terhadap partai politik sangat dominan. Campur tangan pemerintah dalam proses
pemilihan umum sangat besar dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Keamanan dan
ketertiban yang diwujudkan bukan berdasarkan kesadaran masyarakat, tetapi karena ketakutan.

Seiring berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998, era Demokrasi Pancasila pun
meredup dan Indonesia memasuki era reformasi. Rakyat yang selama ini sulit untuk
mengemukakan pendapat dan berkumpul semakin berani mengekspresikan perasaan mereka.
Partai politik, yang pada era Orde Baru hanya dua ditambah satu golongan, pun kembali
bermunculan. Namun, keruntuhan Orde Baru hanya melahirkan euforia kebebasan (freedom),
tanpa ada konsep yang jelas ke arah mana demokrasi akan dibawa dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial.

Kini, setelah 20 tahun reformasi, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat, masih


perlukah kita melaksanakan sistem demokrasi dengan ideologi Pancasila. Pertanyaan-pertanyaan
itu diwujudkan dari adanya gerakan-gerakan sebagian anggota masyarakat yang ingin mengubah
ideologi dan sistem pemerintahan. Apalagi, saat ini demokrasi yang dijalankan di Indonesia
tertantang untuk bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Jawaban atas pertanyaan
itu, Indonesia masih sangat membutuhkan demokrasi dengan Pancasila sebagai ideologi yang
bisa mempersatukan berbagai perbedaan. Namun, kita tentu ingin agar ada pembenahan dan
peningkatan kualitas demokrasi di Tanah Air. Demokrasi seharusnya tidak hanya bicara tentang
kebebasan yang saat ini mengarah pada keblabasan. Semua orang seolah bisa berbicara dan
bertindak apa saja tanpa ada tanggung jawab moral dan hukum. Berbagai model demokrasi yang
pernah dijalani Indonesia gagal karena hukum belum menjadi panglima. Kuncinya adalah
penegakan hukum sebagai penyeimbang dari kebebasan dan kekuasaan. Jangan biarkan hukum
semakin pandai memilih bulu, yang hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, atau
cenderung berpihak kepada kelompok dan golongan tertentu. Hukum harus benar-benar menjadi
panglima yang bisa menciptakan keadilan. Pembenahan perangkat hukum, mulai dari undang-
undang, institusi, hingga aparat penegak hukum, menjadi kunci dalam mewujudkan negara
hukum.

Peningkatan kualitas demokrasi yang bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat juga tidak
terlepas dari perbaikan sistem dan institusi politik agar bisa melahirkan pemimpin-pemimpin
yang benar-benar peduli terhadap kepentingan rakyat dan bisa menciptakan keadilan sosial.
Sistem pemilu harus bisa memberikan kesempatan yang besar kepada anak bangsa yang
memiliki visi, misi, dan konsep membangun bangsa, bukan kepada orang-orang yang sekadar
memiliki popularitas dan “isi tas”. Penguasaan segelintir elite yang memiliki kekuasaan dan
kekuatan finansial membuat demokrasi di internal partai mandek. Agar tidak dikuasai orang-
orang tertentu, secara institusi partai politik harus memiliki dana yang memadai. Selain melalui
iuran anggota, bantuan anggaran dari negara juga bisa menjadi solusi dalam upaya partai
melahirkan pemimpin-pemimpin yang mumpuni. Meski demikian, partai juga dituntut untuk
bertanggung jawab dalam setiap penggunaan uang negara tersebut. Pendidikan dan seleksi
kepemimpinan di internal partai politik harus dilakukan dengan baik dan menerapkan prinsip-
prinsip demokrasi. Jangan sampai partai mengusung calon-calon pemimpin di semua tingkatan
dan lembaga hanya karena memiliki “darah biru” politik atau kekuatan finansial yang besar
dengan mengabaikan kompetensi dan rekam jejak.

Negara kesejahteraan adalah konsep pemerintahan ketika negara mengambil peran


penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga
negaranya. Konsep ini didasarkan pada prinsip kesetaraan kesempatan, distribusi kekayaan yang
setara, dan tanggung jawab masyarakat kepada orang-orang yang tidak mampu memenuhi
persyaratan minimal untuk menjalani kehidupan yang layak. Istilah ini secara umum bisa
mencakup berbagai macam organisasi ekonomi dan sosial. Sedangkan politik figur itu sendiri
merupakan Infrastruktur politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan
lembaga-lembaga kirmasyaralcatan yang dalam aktivitasnya dapat mempengaruhi, baik langsung
atau tidak langsung, lembaga-lembaga kcnegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya
masing-masing. Kita ketahui bahwa peluang adalah sesuatu yang bisa kita capai dan
kemungkinan untuk berhasil sangat besar, dan tantangan adalah sesuatu halangan yg membuat
kita berjuang lebih keras/giat lagi, hambatan adalah sesuatu masalah yg timbul saat
berwirausaha.

Anda mungkin juga menyukai