Anda di halaman 1dari 5

PUCUK-PUCUK HARAPAN

“Ampun! Sakit! Sudah cukup!” aku berteriak.


“Srek! Srek! Srek! Srek! Grejeg!” benda perak it uterus menyiksaku.
“Sudah! Kumohon, berhenti! Aku mohon!”
“Sreet! Gert! Sreeet! Grejeg!”
“Ampun! Berhenti! Suda cukup runcing, kok!” seruku memelas.
“Grejeg, sreet, sreet!”
“Aaaah!” aku memekik sekuat tenaga.
* * *
“Eui, bangun! Bangun!” teriak Murai.
“Hah? Mengapa? Ada apa?” jawabku bingung, sambil masih terengah-engah.
“Kamu mimpi buruk lagi! Apa mimpinya masih sama?” tanya Murai.
“Ya, masih tentang masa kecilku dulu.” Jawabku lemas.
“Astaga! Sudah lupakan saja mimpimu itu. Lihat, sudah fajar!” seru Murai.
Kulihat sang surya mencul di ufuk timur. Sinarnya yang begitu menyilaukan melambai padaku.
Beberapa pancarannya jatuh mengenai rumah-rumah penduduk di sekeliling perkebunan, menghasilkan
siluet yang unik dan khas. Sinarnya juga jatuh menerpa sungai kecil di sampingku ini. Airnya yang
bening bagai Kristal sungguh memanjakan penglihatanku. Aku tersenyum melihat pemandangan indah
yang selalu kulihat setiap pagi ini. Udara pegunungan begitu segar dan embun-embun yang menetes
melengkapi keindahan ini.
Hari ini, bibit-bibit baru akan ditanam. Berarti, akan tumbuh teman-teman baru! Aku sangat
kegirangan membayangkan hal ini. Aku terasing di sini karena dahulu aku jatuh di dekat gubuk Pak
Ujang. Gubuknya sudah agak reyot dan sangat sederhana. Hanya ada satu jendela kaca dan satu pintu
pendek. Tapi, setiap hari gubuk ini selalu diisi sukacita dan kebahagiaan serta hangatnya suasana keluarga
jendela kaca dan satu pintu pendek. Tapi, setiap hari gubuk ini selalu diisi sukacita dan kebahagiaan serta
hangatnya suasana kekeluargaan. Jadi, meski aku kesepian. Aku bisa melongok ke dalam lewat jendela.
Dan menyaksikan kegiatan mereka. Jaka dan Mina belum bangun. Terlihat di depan, ada Pak Ujang dan
Bu Ia sedang menikmati teh dan kue balok sambil bercakap-cakap pelan. Walau hanya dengan sarapan
sederhana, mereka tampak begitu bahagia. Aku salut melihatnya. Mereka begitu berbeda dibanding
manusia-manusia lain yang kulihat.
“Hei, Putri Malu! Tumben sekali, kamu bangun terlambat!” sapaku sambil menoleh ke arahnya.
“Aku sudah bangun dari tadi! Tapi air embunmu menetes terus ke kepalaku! Jadinya, daunku
menutup terus!” jawab Putri sambil merenggut.
“Hahaha! Maafkan aku, Putri. Semalam udaranya dingin sekali. Jadinya pagi ini aku berembun
terus. Manusia menyebutnya dengan gutasi*.” Ujarku panjang lebar.
“Ya sudahlah, tidak apa-apa. Hei, omong-omong soal manusia lihat di sana! Ada dua manusia
datang menghampiri kita!” seru Putri.
Benar saja. Ada dua manusia tengah berjalan ke arahku. Mereka tidak terlihat senang. “Hei, salah
satu dari mereka adalah Pak Ujang!” Dan yang satu lagi, namanya adalah Pak Asep, jika aku
tidak salah.
Mungkin mereka ingin berteduh di bawah dahanku.
“Pak, apakah tidak mubazir bila perkebunan ini digusur? Meski hanya sebagian tapi saya pikir
akan sangat disayangkan, Pak” Pak Ujang membuka pembicaraan.
“Keputusan saya sudah bulat, Pak! Tanah ini sudah tidak potensial lagi! Bapak sendiri tahu, hasil
panen kita sudah menurun hampir tiga puluh persen!” tegas Pak Asep.
“Tapi Pak! Tunggu dulu! Bagaimana masa depan para pegawai di sini termasuk saya, Pak?”
“Bapak-bapak, Ibu-ibu silakan saja bekerja di pabrik yang nanti akan didirikan!”
“Tapi Pak! Nanti kehadiran pabrik-pabrik ini akan merusak alam!” tanya Pak Ujang memelas.
“Pokoknya keputusan saya ini sudah mutlak! Selamat pagi.” Jawab Pak Asep sambil melenggang
pergi.
“Pak, tunggu! Pak, dengarkan saya dulu, Pak!” panggil Pak Ujang seraya mengejar Pak Asep
yang tak sedikit pun menoleh.
Setengah batangku tenggelam di dalam pikiran tentang percakapan tadi. Tapi aku tak begitu
gundah memikirkannya. Toh belum tentu terjadi. Yang paling penting sekarang adalah aku mau
mendengar nyanyian ritual para pemetik teh yang begitu indah, yang selalu menghias pagiku.
“Petik yang hijau muda,.
petik yang hijau muda,
kumpulkan di kantongmu!
Biarlah kita gembira menuai,
hasil panen kita!
Hasil dari benih yang dahulu ditabur,
sambil berurai air mata,
kini harus dirayakan dengan gembira!”
Indah bukan? Nyanyian inilah yang selalu menyemangatiku tiap pagi. Aku tidak bisa
membayangkan bila senandung ini tiba-tiba lenyap dari kehidupanku. Aku akan mati.
Temaram senja sudah tiba. Warnanya mirip dengan seduhan teh Pak Ujang tadi pagi. Kini para
pemetik teh sudah meninggalkan baju kerja mereka. Tapi, nyanyian tradisi itu masih berdenging di
telingaku. Tidak ada suatu apapun yang buruk dapat terjadi di saat seperti ini, bukan?
Tapi aku salah. Salah besar karena kena undian, aku mendengar bunyi gemuruh aneh dari arah
luar perkebunan. Aku khawatir, entah mengapa.
“Aduh, Euis, itu suara apa!” pekik Putri Malu.
“Aku tidak tahu! Murai, coba kau terbang dan lihat benda apakah gerangan yang begitu bising!”
pintaku kepada Murai yang baru saja memberi makan anak-anaknya.
“Baiklah. Euis, tolong jaga anak-anakku, ya!” jawabnya. Tak lama kemudian, dia segera kembali.
“Gawat! Gawat! Gawat! Ada truk besar berjalan menuju perkebunan selatan!” pekiknya panik.
“Ah, yang benar?” Berarti, truk itu datang dari barat? Dari jalan raya? Untuk apa?” aku bingung.
“Ya, untuk menghancurkan kebun bagian selatan! Kamu ini bagaimana!” sambar Putri gemas.
“Sudahlah, truk itu kan tidak pergi ke arah kita.” Ujar Murai, mencoba menenangkanku.
“Tapi teman-temanku akan mati! Kita harus melakukan sesuatu!” bentakku panik.
“Tapi apa! Kamu itu pohon teh, Euis! Kamu kan tidak bisa berpindah tempat. Maaf bila
ucapanku tidak membantu, tapi memang itu kenyataannya.” Balas Merpati.
Truk jahanam itu berjalan makin dekat ke arah teman-temanku yang ada di bagian selatan. Aku
bisa mendengar rintihan jeritan bahkan teriakan kesakitan teman-temanku, semak-semak teh yang masih
muda. Aku juga mendengar senandung duka Putri Malu yang begitu lirih.
“Dia sudah menghadapi
ribuan pencobaan lebih dari bayanganmu
dari rasa sakit saat batangnya diruncingkan,
hingga tiap pemetikan pucuk.
Dia selalu tersenyum melewati semuanya.
Sering matanya mengerjap, sembunyikan air mata
yang hampir jatuh...
Sering dia membayar, untuk sampah
yang tak pernah dimilikinya.
Dan angin baru yang tak bersuara
masih berdengung saat sang Bulan terbit
masih berdenging ditelinganya.
Dia adalah tanaman yang kuat...
dia sangat kuat!
Mengapa kau merusaknya?
Mengapa kau membunuhnya?”
Histeria malam itu selalu terngiang, hingga hampir tidak pernah aku bermimpi indah. setiap pagi,
aku selalu lelah karena semalaman mengigau dan berteriak. Bahkan mimpi buruk itu mulai merasuki
kehidupanku. Jangan kira kekejaman malam itu hanya terjadi sekali. Hampir setiap malam truk itu datang
membunuh keluargaku. Tiap hari, kian kecil perkebunan itu jadinya. Banyak bangunan besar berasap bau
mulai dibangun di atas tubuh-tubuh terkulai dan mati. Tubuh saudaraku, keluargaku, dan teman-temanku.
Hidupku jadi begitu melelahkan.
Tapi, mimpi buruk itu tidak hanya menghantuiku seorang. keluarga Pak Ujang, Putri Malu,
Murai, semua kena imbasnya. Akanku mulai dari Pak Ujang. Kini gubuknya yang reyot makin reyot saja.
Jaka dan Mina sudah tidak sekolah lagi. Ibu Ina kini berjualan opak*. Jaka harus membantu Pak Ujang
bekerja di pabrik. Tapi, nasib Minalah yang paling buruk. Dahulu, dia adalah kembang desa diperkebunan
ini. Setiap kali ada pementasan, Mina selalu diundang untuk menari dengan gemulainya. Kini, tentu Mina
masih tetap menari. Tapi di tempat yang tidak semestinya. Dia harus menari Jaipongan untuk menghibur
para pekerja pabrik di jam-jam istirahat. Mina selalu tersenyum menghadapi semuanya. Senyumnya
adalah topeng terindah yang pernah kulihat. Aku selalu melihat senyum palsunya dibalut riasan tebal dan
kostum meriah. Tapi aku tahu, jauh di dalam hatinya tercabik-cabik. Aku prihatin melihatnya.
Sekarang, tentang Pak Ujang. kerutan di keningnya bertambah banyak dan dalam. Seakan,
selaksa keputusasaan dan kekhawatiran terpatri di sana. Pekerjaannya juga tidak ada habisnya. Dari
bekerja di pabrik sampai membuat kuda-kudaan untuk tarian Kuda Lumping Mina. Dia tidak pernah
bekerja lebih keras dari itu, selama ini.
Aku belum selesai. Aku belum memberitahumu tentang perkebunan. Atau lebih tepat, kompleks
pabrik dan kejahatan! Bangunan-bangunan raksasa itu mengeluarkan cairan hijau lengket dan merusak
tanah! Sebagian bahkan dialirkan ke sungai kristalku. Kini sungai itu tak lebih dari sungai sampah. Tanah
jadi begitu keras dan air tanah terasa hambar. Tidak semanis dulu lagi.
“Suatu hari, Murai bertanya, “Euis! Ke mana perginya semua darahmu!”
“Darah?” Lalu aku melihat kea rah daun-daunku. “Aah! Putih!” pekikku.
“Iya, kamu sakit apa, sih?” tanya Murai khawatir.
“Kamu juga sakit! Biasanya kamu selalu bangun sebelum fajar, kini kamu bangun siang. Satu
lagi, dalam sehari biasanya kamu bisa bolak-balik dua ratus kali demi member makan anak-
anakmu tapi sekarang kamu hampir tidak pernah ke luar sarang. Ada apa?” tanyaku panjang
lebar.
Setelah lama merenung, Murai menjawab,” pernapasanku tak sekuat dulu lagi, Euis.”
Aku terdiam. “Aku juga sepertinya sakit parah. Mungkin ini yang disebut oleh manusia sebagai
klorosis*, ucapku.
“Aku juga sepertinya akan segera mati!” Tiba-tiba Putri Malu berbicara.
“Iya, tanahnya memang keras sekali! Aku sampai terengah-engah hanya karena mencari air. Apa
akarmu itu cukup kuat, Put?” jawabku.
“Tentu tidak! Akarku kan kecil! Jadi, selama ini aku hidup dari tetesan embun-embunmu itu.
Tapi sekarang, ke mana perginya embun-embun itu?” tanya Putri.
“Suhu udara makin panas akibat asap pabrik, Put. Jadi, gutasiku semakin berkurang. Maaf, ya.”
Jawabku murung.
“Yah sudahlah. Tidak apa.” balasnya datar. Lalu Putri jatuh terlelap. Dan esok paginya, dia tidak
bangun lagi. Putri sudah pergi, dan begitu juga Murai.
“Euis, aku harus pergi.” ujarnya tiba-tiba.
“Mengapa? Nanti aku kesepian ...kumohon jangan!” jawabku memelas.
“Udaranya bisa membunuhku dan anak-anakku , Euis. Aku harus pergi!” tambahnya sambil
terisak lirih.
“Lalu aku bagaimana?” tanyaku mengemis harapan.
“Aku akan coba mengunjungimu sesekali. Sampai jumpa!” ucapnya sambil menangis.
Bayangan Murai yang sedang terbang menjadi kabur. Wajahku basah dibanjiri air mata. Kering
rasanya air mataku.
Besoknya, seseorang menebangku, dan aku jatuh ke aliran sungai yang kotor itu. Aku dibawa
arus ke sebuah kolam raksasa berwarna biru. Aku terombang-ambing di sana lama sekali. Lalu aku
dibawa arus masuk lagi ke sebuah sungai. Seperti biasa, aku dibawa arus. Lalu aku terdampar di sebuah
tempat yang begitu akrab. Ya! Perkebunan teh! Tapi ada yang berbeda. Orang-orang di sini berkulit hitam
legam dan ada setitik cat di kening mereka. Kemudian ada seseorang yang membawa benda perak
menakutkan itu, dan mulai menancapkannya ke batangku dan dahanku yang botak.
Mimpi itu datang lagi. Ingatan tentang masa kecilku membanjiri otakku.
“Aduh, sudah!” teriakku saa pisau perak itu memotongku dari cabng itu.
“Ibu! Tolong aku! Ibu!” pekikku kencang.
“Kamu harus kuat, Nak!” jawab Ibu.
Begitu kamu selesai dipotong, kamu akan menjadi sebuah tanaman yang mandiri! Doa Ibu selalu
menyertaimu!” balas Ibuku.
Aku dibawa pergi oleh tangan gosong ini. Aku diruncingkan begitu rupa dan dimasukan ke dalam
karung. Sseorang membawa kami dan menanam kami di tanah. Tapi sial, karungnya berlubang dan aku
jatuh menggelinding menjauhi teman-temanku yang sudah tertanam. Lama aku berbaring di sana. Sampai
akhirnya, Pak Ujang datang dan menanamku di tanah tempat aku jatuh. Karena aku hanya sendirian dan
terjebak jauh dari kawananku, para pekerja tidak pernah memetik pucuk-pucukku. Hingga aku tumbuh
menjadi pohon. Dan di sinilah aku. Dipotong-potong agar semak-semak teh yang baru bisa tumbuh.
Senang rasanya, bisa menjadi berguna dan harapan bagi tanaman lain.
“Sungguh cara yang indah untuk mati.” pikirku.

Catatan:
*gutasi : keluarnya air dari daun tanaman akibat cuaca yang ekstrem (sangat dingin)
*opak : sejenis kerupuk yang agak keras, terbuat dari beras atau ketan.
*klorosis : peristiwa berkurangnya produksi klorofil pada tanaman akibat kondisi tanah yang
buruk, dan minimnya kandungan mineral dalam tanah. (seperti penyakit anemia pada manusia)
*klorofil : zat hijau daun.
Karya Aurora
SMPK 1 BPK PENABUR BANDUNG
Sekarang tentang Pak Ujang kerutan di keningnya bertambah banyak dan dalam. Seakan , selaksa
keputusasaan dan kekhawatiran terpatri di sana Pekerjaannya juga tidak ada habisnya. Dari bekerja di
pabrik sampai membuat kuda-kudaan untuk tarian Kuda Lumping Mina. Ia tidak bekerja lebih keras dari
itu, selama ini.

Aku belum selesai. Aku belum memberi tahumu tentang perkebunan. Atau lebih tepat, kompleks
pabrik dan kejahatan! Bangunan- bangunan raksasa itu mengeluarkan cairan hijau lengket dan merusak
tanah! Sebagian bahkan dialirkan ke sungai kristalku. Kini sungai itu tak lebih dari sungai sampah. Tanah
jadi begitu keras dan air tanah terasa hambar. Tidak semanis dulu lagi.

Suatu hari, Murai bertanya “ Euis! Kemana perginya semua darahmu!”

“ Darah?” Lalu aku melihat kea rah daun-daunku. “ Aah! Putih! “ pekikku.

“ Iya, Kamu sakit apa, sih?” tanya Murai khawatir.

“ Kamu juga sakit? Biasanya kamu bangun sebelum fajar, kini kamu bangun siang. Satu lagi, dalam
sehari biasanya kamu bisa bolak-balik dua ratus kali demi member makan anak- anakmu

Anda mungkin juga menyukai