Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN MOTIVASI SANTRI

TERHADAP KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA INGGRIS


DI Mts. Al-KHAIRAAT KOTA GORONTALO
Fifi Deswari Fitriyani Junus
17706251007
Program Studi Linguistik Terapan, Universitas Negeri Yogyakarta
Email: fifijunus93.2017@student.uny.ac.id

ABSTRAK

Kemampuan berbicara atau speaking merupakan salah satu penilai yang penting
dalam proses pengajaran dan penguasaan bahasa Inggris. Dalam realitanya,
kemampuan bahasa Inggris masih cukup susah dipelajari dan dikuasai oleh siswa
utamanya siswa sekolah menengah pertama. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi hal tersebut diantaranya yakni self efficacy (kepercayaan diri) dan
motivasi siswa. Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana hubungan kedua faktor
afektif siswa ini terhadap kemampuan berbicara bahasa Inggris. Metode penelitian
yang digunakan yakni penelitan korelasional. Dengan melibatkan 67 siswa/santri Mts.
Tsanawiyah Al-Khairaat Kota Gorontalo sebagai sample dari 222 siswa/santri sebagai
populasi. Penarikan sample menggunaana tekni acak (random sampling) tetapi secara
bertingkat sesuai jenjang kelas demi mempertimbangkan homogenitas. Instrument yang
digunakan yakni angket untuk tingkat sefl efficacy dan motivasi siswa/santri dan nilai
semester I khusus pada kemampuan berbicara/speaking. Teknik analisis data
menggunakan analisis korelasi ganda (multiple correlation). Hasil penelitian
menunjukan hasil yang positif dan signifikan masing-masing α 0,760 dan 0,497 pada
taraf signifikan 0,01 antara self efficacy dan motivasi terhadap kemampuan berbicara
bahasa Inggris santri di Mts. Tsanawiyah Al-Khairaat Kota Gorontalo.

Kata kunci: Self efficacy, motivasi, Kemampuan berbicara bahasa Inggris, korelasi
ganda

A. PENDAHULUAN
Tujuan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
menyatakan bahwa setiap negara tak terkecuali dengan Indonesia mempunyai fokus
yang jelas dalam mencerdaskan setiap masyarakatnya. Menjadi salah satu penopang
yang kuat dalam meningkatkan kualitas suatu negara, pendidikan harus dijalankan
semaksimal mungkin. Pemerintah telah banyak melakukan usaha dalam peningkatan
kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Hadirnya berbagai lembaga pendidikan
formal maupun nonformal diharapkan mampu merealisasikan tujuan pendidikan
Nasional tersebut. Lembaga - lembaga pendidikan ini berkewajiban untuk melayani
masyarakat dalam hal pendidikan karena dianggap mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat untuk keberlangsungan kehidupannya di masa yang akan datang terkhusus
bagi pelajar.
Menjadi salah satu penopang yang kuat dalam meningkatkan kualitas suatu negara,
pendidikan harus dijalankan semaksimal mungkin. Pemerintah telah banyak melakukan
usaha dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Hadirnya berbagai
lembaga pendidikan formal maupun nonformal diharapkan mampu merealisasikan
tujuan pendidikan Nasional tersebut. Lembaga-lembaga pendidikan ini berkewajiban
untuk melayani masyarakat dalam hal pendidikan karena dianggap mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk keberlangsungan kehidupannya di masa yang akan datang
terkhusus bagi pelajar.
Salah satu lembaga pendidikan tersebut yakni pondok pesantren. Kehadiran podok
pesantren di Indonesia tidak terlepas dari sejarah yang melatar belakanginya. Hal ini
menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia.
Pondok pesantren di Indonesia berkembang pesat setelah kemerdekaan Indonesia dan
bertahan sampai saat ini. Perkembangan ini ikut serta mempengaruhi struktur dan
kurikulum pondok pesantren. Sebagai dampak dari hal ini, di dalam pondok pesantren
juga didirikan sekolah atau yang dikenal dengan sebutan madrasah. Madrasah ini kurang
lebih sama dengan sekolah-sekolah formal pada umumnya hanya saja pengajaran
keagaman cukup mendominasi. Sehingga, ada beberapa pondok madrasah yang
mengintegrasi dua kurikulum yakni kurikulum agama serta kurikulum negara
(Departemen Pendidikan Nasional) secara bersamaan dalam menjalankan proses belajar
mengajara.
Penerapan kurikulum nasional (Depniknas) di pondok pesantren menjadi tantangan
tersendiri untuk pihak-pihak terkait seperti para pengurus pondok pesantren/ madrasah,
para guru serta santriwan dan santriawati. Secara jelas, pondok pesantren/ madrasah
sebagai lembaga pendidikan yang ada di Indonesia baru mendapatkan pengakuan
secara yuridis pada tahun 2003 dengan dirumuskannya UU Sisdiknas yang diterbitkan
pada masa reformasi (Anwar, 2011: 35). Secara tidak langsung, pengakuan yang
didapatkan memberikan tanggungjawab yang lebih terutama pada pondok
pesantren/madrasah yang ikut serta mengimplementasikan kurikulum negara
(Depdiknas) pada proses pengajarannya. Dalam hal ini berkaitan dengan semua sistem
pendidikan negara yang diajarakan secara bersamaan dengan kurikulum agama. Tidak
hanya itu, dengan perkembangan zaman saat ini yang ikut serta memberikan tuntukan
mental menjadi pribadi yang berkualitas dan mampu bersaing bagi para lulusan dan
santri.
Banyak solusi yang mampu dilakukan untuk peningkatan kualitas para santri salah
satu dengan penguasaan bahasa asing. Pembelajaran bahas asing dilingkungan pondok
pesantren bukanlah hal yang baru. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam sistem
pendidikan di podok pesantren/madarasah sudah berakar kuat dengan bahasa asing.
Bahasa asing yang dimaksud yakni penguasaan dan penggunaan bahasa Arab. Bahasa
Arab merupakan salah saru ciri kekhasan serta menjadi prasyarat akan tingkat
keberhasilan proses pembelajaran yang telah dijalankan. Hal tersebut dikuatkan dengan
berbagai literatur pembelajaran berbahasa arab yang mendominasi sumber belajar para
santri di pondok pesantren. Disamping itu, pengajaran bahasa arab yang tersistematis
berdasarkan level kemampuan santri, memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan
yang ada di podok pesantren khususnya dalam penggunaan bahasa Arab. Pengajaran
tentang seluk beluk ilmu kebahasaan arab antara lain; nahwu, sharaf, balaghah
menjadikan salah satu aspek ketercapaian penguasaan bahasa arab yang terbilang cepat.
Sehingga pemahaman tentang penguasaan bahasa asing khususnya di lingkungan
pondok pesantren hanya terbatasi pada bahasa Arab.
Dengan berbagai fenomena yang dihadapi saat ini, kemudian telah terintegrasi
antara kurikulum agama dan kurikulum negara (Depdiknas) dan paradigma berfikir yang
mulai memandang bahwa penguasaan bahasa asing tidak terbatsi pada bahasa Arab
tetapi juga bahasa Inggris. Alasan yang paling kuat yakni bahasa Inggris menjadi satu-
satunya bahasa asing yang wajib diajarkan pada jenjang pendidikan menengah pertama.
Dengan peraturan ini, menjadi suatu keharusan pihak pondok peantren/madrasah
mengajarkan bahasa Inggris. Kesadaraan akan pentingnya bahasa Inggris dan
keterbukaan berbagai pihak di dalam lingkungan pondok pesantren menjadikan bahasa
Inggris menjadi sama posisi dengan bahasa Arab dalam pengajarannya. Dimana santri
diajari atau mempelajari bahasa Inggris kurang lebih memiliki tujuan akhir yang sama
agar dapat menggunakan bahasa target tersebut secara lisan dan tulisan dengan bebas,
benar, tepat an fasih untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang memiliki bahasa
asing tersebut.
Ketika santri dihadapkan dengan pembelajaran bahasa Inggris tentu tidaklah mudah,
berbagai hambatan dan tantangan yang harus dihadapi santri. Mulai dari fakta bahwa
bahasa Inggris memiliki struktur kebahasaan yang jauh berbeda dengan bahasa Arab,
peranan guru yang kurang memadai untuk membantu santri dalam penguasaan bahasa
Inggris hingga permasalah psikologi santri ketika dihadapkan dengan mata pelajaran
bahasa Inggris. Dari beberapa alasan ini, hambatan yang berkaitan dengan masalah
psikologi ini memiliki peranan yang sangat penting sebagai dasar dalam belajar
termasuk dalam belajar bahasa asing. Dimana dalam mempelajari bahasa Inggris, faktor
- faktor psikologi seperti rasa malu, kecemasan, kurang motivasi dan kepercayaan diri
(self-efficacy) serta faktor lainnya mempunyai pengaruh pada proses penguasaan bahasa
seseorang dalam hal ini santri (Kreshan, 2003).
Di pondok pesantren Al-Khairaat kota Gorontalo misalnya, pembelajaran bahasa
Inggris merupakan salah satu pelajaran yang wajib diajarkan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa santri khususnya para santari dijenjang sekolah pemengah
pertama atau dikenal dengan Madrasah Tsanawiyah memiliki jawaban yang sama. Rata-
rata dari santri merasa ada keraguan bahkan ketakutan tersendiri ketika dihadapkan
dengan pelajaran bahasa Inggris. Sesuai dengan pengakuan para santri bahwa mereka
merasa malu ketika mencoba berbicara dalam bahasa Inggris karena takut mengalami
banyak kesalahan dalam mengucapkannya dan pasti akan ditertawakan oleh teman-
teman lain. Rasa takut yang dirasakan menandakan tingkat kecemasan yang tinggi
dialami para santri dalam belajar bahasa Inggris. Perasaan takut dalam berbahasa Inggris
dikarenakan kurang atau bahkan tidak ada rasa keyakinan akan diri sendiri (self-
effecacy) oleh para santri. Hal ini sejalan dengan pendapat Ardani (2004) menyatakan
bahwa salah satu faktor akan kecemasan berbahasa Inggris karena pikiran-pikiran tidak
rasional yang didasari oleh keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri (self-efficacy),
yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang berhubungan erat dengan kecakapan dan
kelancaran berbahasa Inggris. Maka, self-efficacy menjadi salah satu faktor yang hadir
dalam kecemasan para santri dalam berbicara dalam bahasa inggris.
Selain itu, dugaan-dugaan santri ketika ketika rasa tidak percaya diri muncul yakni
respon negatif yang ditujukan padanya, hal ini menimbulkan dampak yang kurang baik
dari segi motivasi belajar para santri. Mengulang pernyataan salah satu santri “yaa malu
aja bu kalo bicara pakai bahasa inggris, nanti malah diketawaiin temen-temen”, secara
jelas membuktikan bahwa krisis akan motivasi juga hadir mempengaruhi dalam hal ini.
Kurangnya motivasi yang didapatkan oleh para santri meningkatkan kecemasan dalam
berbahasa Inggris. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa baik self-effcacy dan motivasi
merupakan dua faktor memiliki andil yang cukup besar dalam ketercapaian kemampuan
berbicara dalam pengajaran bahasa Inggris yang ada di pondok pesantren Al-Khairaat
Kota Gorontalo.

B. KAJIAN TEORI
Self Efficacy
1. Konsep Self-efficacy
Konsep awal mengenai self efficacy (kepercayaan diri) dikemukakan pertama
kali oleh Albert Bandura. Self-efficacy dinyatakan sebagai bentuk kepercayaan atas
kemampuan untuk dapat mengorganisir dan melaksanakan suatu tindakan yang
diperlukan demi ketercapaian hasil daripada suatu usaha (Bandura1997). Harapan –
harapan terhadap kepercayaan diri ini mengacu pada keyakinan seseorang akan
kemampuan dirinya sendiri untuk melakukan berbagai tindakan berdasarkan level
yang terlah ditentukan. Lebih lanjut Bandura menyatakan bahwa self-eficacy
mengarah pada keyakinan seseorang tentang apa yang mampu dan tidak mampu
dilakukan oleh pribadi tertentu (dalam Schunk, 2012).
Self-efficacy merupakan faktor personal yang menjadi mediator atau perantara
dengan faktor perilaku dan fakror lingkungan dalam suatu interaksi. Sehingga self
efficacy memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pola pikir, respon dan
emosional dalam mengambil sebuah keputusan. Sehingga keberhasilan pelaksanaan
suatu pekerjaan dapat ditentukan dengan self efficacy. Selain itu, self efficacy menjadi
salah satu faktor prekdiktor akan kecakapan dari berbagai bentuk prestasi seseorang
(Bandura, 2006). Tidak hanya keberhasilan, self efficacy juga meliputi evaluasi diri
seseorang akan kompetensi atau kemampuan untuk menyelesaikan tugas, mengatasi
berbagai hambatan serta mampu mencapai tujuan yang diinginkan (Bandura dalam
Baron & Byme, 2004). Sebagai bagian daripada proses kognitif seseorang self
efficacy dapat berupa ukuran pengendalian atas fungsi diri seseorang dalam suatu
interaksi dilingkungannya. Jadi sefl efficacy merupakan keyakinan atas sanggup atau
tidaknya seseorang dalam melakukan perilaku tertentu yang sama sekali tidak
mengarah pada motoriknya (Feist & Feist, 2006).
Self efficacy dikelompokkan ke dalam tiga dimensi yang berbeda, yakni
kepercayaan diri dengan lingkungan atau sosial tertentu, kepercayaan untuk mengatur
diri sendiri dan kepercayaan diri dilingkungan akademik. Ketiga dimensi dari self
efficacy ini memiliki peranannya masing-masing. Hal yang menarik berkaitan dengan
pedagogik maka kepercayaan diri dilingkungan akademik menjadi dimensi yang
perlu ditelaah lebih lanjut. Self efficacy akademik merupakan yakinan seseorang
dalam hal ini santri bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk melakukan tuagas
akademik untuk meningkatkan level kemampuan yang santri miliki sebelumnya.
Dimana keyakinan ini terlihat dari bagaimana santri mampu mengerjakan tugas
sekolahnya, dapat mengatur aktivitas belajarnya, demi mewujudkan cita-cita yang
diinginkan santri atau harapan yang dari orang lain baik keluarga maupun para
teman-temannya (Baron dan Byne, 2004).
Self efficacy akademik ini dengan tujuan yang terarah, jelas dan spesifik dapat
meningkatkan pemahaman santri akan prestasi akademik yang harus dicapainya
hingga sampai di masa yang akan datang (Bandura dalam Alwisol, 2011).
Pemahaman ini, menjadi tolak ukur santri untuk memilih aktivitas yang mereka
inginkan (Schunk dalam Santrock, 2008). Sehingga kemampuan dalam memahami
self efficacy akademik dimensi yang sangat penting dalam pengembangan diri santri
berdasarkan aktivitas – aktivitas belajar yang telah mereka pilih sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka bisa disimpulkan bahwa self efficacy
merupakan suatu bentuk keyakinan yang dimiliki oleh seseorang mengenai
kompetensi ataupun kemampuan akan dirinya sendiri. Kemampuan disini diartikan
yakni dapat mengambil dan mengatur suatu bentuk tindakan dalam menyelesaikan
suatu tuagas, mengatasi hambatan dan kesulitan demi ketercapain suatu tujuan. Jika
dipandang dari sisi self efficacy akademik maka hal tersebut berkaitan erat dengan
kepercayaan diri santri atas kemapuannya dalam mencapai prestasi atau hasil yang
baik dalam akademik yang ditempuhnya.

2. Aspek-aspek Self-efficacy
Dalam pemahaman tentang self efficacy maka ada berbagai aspek yang terkait
di dalamnya yakni; Outcome expectasy, efficacy expectancy dan oucome value
Bandura dalam Smet, 1994). Outcome exppectancy merupakan kemampuan
seseorang untuk dapat mengarahkan perilakunya terhadapat pencegahan atas suatu
masalah. Expectancy dapat diantikan bahwa dugaan seseorang bahwa beberapa
penguatan khus atau serangkaian penguatan ayang akan terjadi dalam situasi tertentu
(feist & Feist, 2006). Sedangkan outcome expectancy adalah keefektifan perilaku
dalam menghasilkan hasil yang diinginkan (Maddux, Sherer, Roggers, 1982). Hal ini
menyatakan bahwa aspek outcome expectancy memiliki dampak pada perilaku
sesorang.
Efficacy expectancy dalah suatu mentuk keyakinan bahwa seseorang pasti
akan mampu berhasil dalam mencapai suatu harapan perdasarkan tindakan apa yang
telah dilakukan. Dimana keyakinan berkaiatan erat dengan kesanggupan seseorang
terhadap tidakn yang akan atu telah dilakukan. Outcome value adalah nilai yang
merupakan konsekuenasi yag ditimbulkan oleh tidakan yang telah dilakukan oleh
seseorang. Dimana seseorang memandang suatu tindakan tersebut dengan
konsekuensi yang positif dan negatif. Maka ketika seseorang dengan hasil outcome
value yang positif maka seseorang tersebut akan mempertahankan tidakan yang telah
dilakukan begitupun sebaliknya jika outcome value yang negatif yang didapatkan
maka secara otomatis sseorang tersebut tidak akan melakukan tindakan yang sama
(Feist & Feist, 2006).
Aspek-aspek ini turut dipengaruhi oleh beberapa alasan sebagai yang
digunakan dalam memperoleh, mempelajari dan mengembangkan self efficacy.
Pertama, pengalaman keberhasilan dan pencapaian prestasi. Hal ini cukup penting
karena berdasarkan pada kehidupan seseorang. Seseorang yang mencapai suatu
prestasi dalam hidupnya tentu akan terdorong untuk meningkatkan keyakinan akan
sefl-efficacy-nya. Sedangkan pengalaman keberhasilan seseoranh meningkatkan cara-
cara yang telah dilakukan sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan, seperti
meningkatkan ketekunan, keuletan dan kegigihan untuk mengatasi kesalahan dan
kesulitan untuk meninimalisir tingkat kegagalan. Kedua, pengalaman orang lain,
yakni dengan berkaca atau mengamati suatu tindakan atau dan pengalaman orang lain
menjadi bahan pelajaran di diri sendiri. Hal ini secara tidak langsung meningkatkan
self-efficacy. Jika orang lain mencapai kebehasilan dengan cara yang kurang lebih
sama dengan diri seseorang maka akan timbul persaan bahwa dirinya juga mempu
mendapatkan kapasitas dan kesuksesan yang sama (Bandura dalam Luthans, 2007).
Ketiga, persuasi verbal yakni ketika seseorang mendapatkan sugesti akan
kepercayaan akan dirinya sendiri untuk dapat menyelesaikan masal-masalah yang
dihadapi atau akan dihadapi nantinya. Keempat, keadaan fisiologi dan psikologi yakni
hadirnya situasi yang menimbulkan kondisi yang emosional dalam diri seseorang
yang mempengaruhi self efficacy-nya. Kondisi fisiologi dan psikologi diantaranya
adalah kegelisan, kepanikan, goncangan, serta kondisi fisik yang lemah menjadikan
hal tersebut sebagai isyarat sesuatu yang kurang baik.

3. Komponen self efficacy


Berbicara mengenai kepercayaan diri (self efficacy) seseorang tentu memiliki
perbedaan dan tingkatan yang berbeda-beda setiap individu. Perbedaan self afficacy
tersebut terletak pada tiga komponen utama yakni, magnitude, streng, generality
(Bandura, 1997). Ketiga komponen ini memiliki implikasi yang penting dalam
mempengaruhi kepercayaan diri (self efficacy) seseorang. Implikasi yang ditimbulkan
memberikan berbagai perbedaan akan perfoman seseorang dari suatu tindakan
tertentu. Ketiga hal tersebut, lebih jelas diuraikan sebagai berikut.
Magnitude (tingkat kesulitan), komponen ini berkaitan dengan level kesulitan
dari setiap masalah yang dihadapi seseorang. Maka hal ini berkaitan erat dengan
bagaiman seseorang mampu memilih perilaku berdasarkan ekpektasi diri dalam
menanggapi suatu masalah dengan berbagai tingkaan kesulitan yang ikut hadir di
dalamnya. Dapat diasumsikan bahwa sesorang akan berupaya semaksimal mungkin
untuk menyelesaikan suatu tantangan yang dipersepsikan dapat atau mudah
dilaksanakan. Namun akan berusaha menghindari kondisi atau situasi yang sekiranya
tidak dapat dilakukan oleh seseorang. Dengan dua keadaan yang ditimbulkan, ketika
suatu masalah tersebut dapat ditanganinya dengan mudah maka seseorang tersebut
memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi dalam masalah yang dihadapi. Seperti
contoh, dalam mengejakan soal bahasa Inggris kita mampu memprediksikan soal
mana saja yang mudah dan yang susah kita jawab. Jika ternyata seseorang tersebut
lebih banyak tidak dapat menjawab soal bisa menjadi salah satu aspek yang
mempengaruhinya adalah rendahnya tingkat self efficacy yang berkaitan dengan
kepercayaan diri dalam menghadapi suatu masalah. Solusi yang dapat ditawarkan
yakni untuk memperbaiki hal ini adalah mecari situasi atau kondisi yang bisa melatih
diri seseorang ketika dihadapkan dengan berbagai level kesulitan. Tingkatan kesulitan
yang diberikan dapat menjadi satu bentuk pengalaman bagaimana memecahkan
ssetiap masalah pada setiap tingkatannya.
Strength (kekuatan keyakinan), kekuatan yang dimaksud berkaitan dengan
seberapa kuat keyakina yang hadir dalam diri seseorang akan kemampuan yang
dimilikinya. Harapan dan ekspektasi yang mantap dan kuat akan keyakinan diri
mendorong seseorang berusaha dengan sekuat tenaga demi mencapai tujuan yang
diinginkan walaupun dengan minimnya pengalaman terhadap suatu yang akan
dihadapi. Namun sebaliknya, dengan harapan dan ekspektasi yang penuh keraguan
dan lemah dari seseorang dapat mengakibatkan mudah tergoyahkan bahkan tidak mau
mencoba sebelum melakukan sesuatu hal. Sebagai contoh, ketika seseorang
mengalami kesulitan dalam berbicara dengan bahasa Inggris, ketika seseorang
tersebut keyakinan yang kuat dan diwujudkan dengan usaha yang tekun maka lambat
laun kemampuan berbicara/speaking akan meningkat secara bertahap. Walaupun
dalam proses ini banyak tantangan yang sulit bahkan belum pernah ditemui
sebelumnya. Komponen ini bisa diarikan sebagai bentuk kemantapan seseorang
terhadap kepercayaan dirinya. Sehingga dapat menentukan seberapa besar jiwa
bertahan dan sifat ulet yang dimiliki oleh seseorang.
Generality (generalitas), generalitas dimaksudkan yakni seberapa luas
keyakinan diri seeorang terhadap kemampuan yang dimiliki. Seseorang merasa yakin
akan kemampuannya tergantung bagaiman pemahaman diri akan kemampuan yang
dimiliki. Pemahaman kemampuan diri yang dimaksud meliputi kemampuan yang
terbatas hanya pada suatu situasi atau serangkaian situasi yang lebih bervariasi dan
luas cakupannya. Variasi yang dimaksud akan terarahkan pada penilaian tenang self
efficacy yang telah diterapkan. Dengan memiliki kepercayaan diri terhadap suatu
aktifitas atau hampir semua aktifitas maka seseorang dapat menilai tinkat self efficacy
yang dimiliki. Semakin banyak nya keyakinan diri yang diterapkan pada setiap
kondisi yang dihadapi mengartikan bahwa semakin tinggi pula self-efficacy yang ada
pada seseorang. Hal tersebut dapat dinilai dari seberapa yakin seseorang melalui
berbagai kondisi dan aktifitas dengan berbagai fungsi tertentu. Berbagai kondisi yang
dimaksudkan diantaranya kemiripan suatu aktifitas, perasaan yang hadir ketika
melakukan suatu tindakan atu perilaku, ciri situasi dan kondisi yang dihadapi dan
karakterisitk individu-individu yang terlibat dalam situasi tertentu.

4. Proses Self-efficacy
Kepercayaan diri (self-efficacy) seseorang tidak serta merta muncul dengan
sendirinya, kepercayaan diri terdapat dalam setiap tindakan seseorang melalui
beberapa proses yakni; Proses motivasional, proses kognitig, proses afektif dan
proses selektif (Bandura, 1997:116). Proese tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a) Proses motivasional, proses ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan diri dan
usaha yang akan dilakukan. Seseorang sdengan tingkat kepercayaan diri yang
tinggi secara tidak langsung ikut meningkatkan berbagai usaha yang diperlukan
untuk mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan. Maka, sense of personal
efficacy atau kepekaan dari seseorang sangat diperlukan dalam hal ini.
b) Proses kognitif, proses ini menyatakan bahwa kepercayaan diri yang tinggi
berkaitan erat dengan pola pikir seseorang baik yang bersifat membantu maupun
mengehambat tingkat kepercayaan diri. Proses kognitif mimiliki pengaruh yang
kurang lebih sama dengan pada proses motivasi. Dimana semakin mantap dan
kuat keyakinan akan pandangan atau pola pikir terhadap sesuatu maka semakin
kuat juga usaha yang akan dikerahkan didalam ketercapaian tujuan yang
diinginkan.
c) Proses afektif, dimana kepercayaan diri terhadap berbagai tekanan yang diterima
terhadap situasi yang bersifat mengancam diri seseorang. Dengan kepercayaan
diri yang berpandangan bahwa dapat mengatasi segala kesulitan dan hambatan
yang akan ditemui dalam berbagai situasi yang mengancam, tidak akan mudah
merasa cemas, terganggu dan tergoyahkan kepercayaan dirinya.
d) Proses selektif, dimana kepercayaan diri berkaitan dengan penentuan pilihan dari
seseorang akan suatu lingkangan. Pemilihan lingkungan diperlukan agar
seseorang mampu mengatur kepercayaan diri yang tinggi dengan dukungan oleh
lingkungan yang bersifat pro dalam meningkatan sefl efficacy seseorang. Karena
terbentuknya suatu lingkungan tidak terlepas hadirnya individu dalam suatu
masyarakat. Dengan menetukan pilihan, seseorang mampu meningkatkan
kemampuan atas kepercayaan diri, minat serta hubungan sosial dengan individu
lainnya dalam suatu lingkungan tertentu (Bandura, 1997).

5. Faktor-faktor dalam self-efficacy


Self efficacy atas kemampuan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu
tindakan uuntuk mencapai suatu tujuan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam
konteks pedagogik dilihat dari sisi santri beberapa faktor yang mempengaruhi
kepercayaan dirinya dalam menyelsaikan tugas yang diberikan. Faktor ini dipandang
sebagai penentu keberhasilan tindakan (self efficacy) dari seseorang, tetapi juga
merupakan faktor kegagalan dalam mencapai suatu keberhasilan (Azwar, 1996).
Dalam ranah akademik, dapat disimpulkan nenerpa faktor antara lain sebagai berikut:
1). Tugas yang dihadapi santri, tingkat kesukaran yang kiranya mereka temui
menuntuk kinerja yang sulit dan usha yang berat dalam menyikapinya. 2) Insentif
eksternal, pemberian reward dan pujian yang diberikan orang lain baik itu dari teman
sekelas, guru dan juga orang tua sebagai bentuk refleksi atas kompetensi dan
penguasaan (competence contigen insentif) materi dan tugas yang baik dari para
santri. 3) Status dan peran seseorang dalam hal ini santri dalam lingkungan sekolah,
sangat memberikan pengaruh terhadap penghargaan diri orang lain dan kepercayaan
dirinya sendiri. 4) Informasi mengenai kemampuan diri santri. Pemberian informasi
seperi ini mampu meningkatkan atau menurutkan rasa kepercayaan diri santri dalam
proses pengajaran.

Motivasi
1. Definisi Motivasi
Sebagaian besar ahli mendefinisikan motivasi sebagai suatu bentuk
keberhasilan dan kegagalan dalam menghadapi tugas yang diberikan. Teori-teori
motivasi yang muncul banyak berkenaan dengan berbagai faktor yang mendorong
suatu perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Tindakan yang diambil
tidak lain karena keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan yang didasari atas
kebutuhannya (Hamid, 1997: 97-98). Dalam lingungan pedagogik yang berkaitan
dengan penggunaan bahasa asing, motivasi hadir sebagai aspek keberhasilan baik dari
segi hasil dan prestasi belajar santri. Motivasi dinyatakan sebagai penggerak
semangat santri dalam membangkitkan kreativitas dan mendorong semua
kemampuan yang ada untuk mencapai prestasi yang maksimal (Mc. Clelland, 1967).
Selain itu, motivasi sebagai bentuk usaha keras santri untuk mempertahankan
kecakapan diri semaksimal mungkin pada setiap aktivitas dengan menjadikan
keunggulan diri sebagai bahan pembanding (Heckhausen, 1967). Standar keunggulan
yang dimaksudkan yakni prestasi atas diri sendiri ataupun orang lain.
Motivasi dianggap sebagai prestasi adalah kecenderungan sikap yang selalu
berusaha untuk meraih keberhasilan demi ketercapaian tujuan yang diinginkan
(Chaplin, 1982). Seseorang dengan motivasi yang tinggi akan mengerjakan suatu
tugas secara optimal dan bersungguh-sungguh karena mengharapkan hasil yang
terbaik melebihi dengan melebihi standar yang telah ditentukan. Motivasi yang hadir
atas dasar harapan yang tinggi dalam meraih sebuah keberhasilan mengesampingkan
rasa takut akan kegagalan yang mungkin bisa saja terjadi (Mc. Clelland, 1987).
Ditambahkan lagi oleh Mc. Clelland bahwa seseorang dengan motivasi yang
seperti ini akan merasa senang apabila memenangkan suatu persaingan. Seseorang
tersebut siap dan berani menerima resiko sebagai konsekuensi dari usaha yang telah
dilakukan dalam mencapai tujuannya.
Bentuk daripada motivasi juga berupa rasa kepedualian terhadap persaingan
dan keinginan untuk terus bisa berada disituasi dengan standar keunggulan tertentu
berupa hasil prestasi yang telah dimiliki atau prestasi yang dimiliki orang lain
(Atkinson, 1997). Hal ini menjadikan seseorang dalam mempertahankan tingkah laku
tertentu untuk mencapai standar unggulan tersebut. Dalam proses belajar mengajar
standar keunggulan yang dimaksudkan yakni standar prestasi. Standar prestasi
sebagai bentuk penilaian atas serangkaian kegiatan yang telah dilakukan oleh santri.
Maka, santri yang menginginkan prestasi sesuai standar yang telah ditetapkan akan
berusaha menilai sejauh mana upaya yang telah dilakukan dapat mencapai kriterian
dari standar keunggulan tersebut. Dalam pandangan Heckhausen bahwa motivasi
sebagai bentuk dorongan diri seseorang untuk meningkatkan kualitas setinggi
mungkin dalam segala aktivitas dengan standar keunggulan tertentu sebagai
pemdingnya. Dalam proses aktivitas tersebut ada dua kemungkinan hasil akhir yang
didapatkan yakni berhasil atau gagal. Maka ada tiga standar keunggulan yang
menjadi acuan berhasil atau tidaknya suatu usaha, yakni: 1) tugas, tugas sebagai
media dalam mengukur sebagaimana usaha yang mendorong seseorang mampu
menyelsaikan tugas dengan baik. 2) pribadi sendiri, hal ini berkaitan dengan sejauh
mana kemampuan seseorang untuk mampu berusaha mendapatkan prestasi yang lebih
tinggi lagi dari prestasi sebelumnya. 3) orang lain, posisi orang lain dijadikan sebagai
pembanding akan kemampuan, usaha serta prestasi yang mereka dapatkan dengan
apa yang seseorang dapatkan.
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan definisi motivasi
merupakan suatu dorongan atau usaha yang berasal dari dalam diri sendiri atau luar
diri sendiri untuk dapat mengembangkan kreativitas disertai dengan kemampuan
yang dimiliki untuk ketercapaian tujuan dalam hal ini berkaitan dengan standar
prestasi yang diinginkan.

2. Karakteristik Motivasi
Dalam mencapai standar prestasi yang ditetapkan, maka santri diharapkan
mampu memotivasi dirinya untuk melakukan usaha dengan semaksimal mungkin
agar tercapai tujuan yang diinginkan serta diharapkan. Sehingga sebagai guru atau
pengajar dituntut mampu mengidentifikasi karakteristik dari pada movasi agar dapat
membantu santri mencapai standar prestasi akademik. Mc. Clelland (1978)
memberikan beberapa karateristik dalam motivasi seseorang dalam hal ini santri,
dijabarkan dalam uraian sebagai berikut:
a) Mempunyai tanggung jawab
Santri dengan kesadaran bertanggung jawab sudah pasti memberikan
motivasi terhadap dirinya. Bertanggung jawab akan kewajibannya sebagai santri
dengan mengerjakan segala tugas yang diberikan sehingga mendapatkan nilai
yang bagus dapat meningkatkan motivasi santri. Dengan pencapaian hasil
prestasi yang baik, mendorong santri untuk berusaha lebih giat lagi untuk
meningkatkan kualitas dirinya di dalam kelas.
b) Menetapkan standar unggulan
Santri diharapkan mampu menetapkan standar. Standar ini berdasarkan
keberhasilan dan kemampuan diri sendiri atau berdasarkan standar yang dibuat
oleh orang lain. Dengan harapan menetapkan standar akan ketercapaian sesuatu,
santri mampu menguasai secara tuntas materi ajar untuk menjapai prestasi yang
diinginkan.
c) Kreatif
Santri dengan motivasi yang tinggi pasti akan berusaha agar dapat
mencapai tujuannya. Usaha yang dilakukan tidak hanya dengan kegigihan dan
keuletannya tetapi dibarengi dengan kreatifitas yang dimilikinya. Kreatif yang
dimaksud yakni menggunakaan berbagai cara dan gaya belajar untuk sampai
pada hasil prestasi belajar yang tinggi.

d) Memiliki cita-cita
Dengan cita-cita yang dimiliki santri akan berusaha dalam belajar dan
memiliki semangat serta motivasi dalam mencapai cita-cita yang diharapkan.
Hal-hal yang dilakukan seperti menyelesaikan tugas tepat, selalu fokus dalam
belajar, selalu berusaha mencari solusi terbaik ketikan menjumpai kesulitan
dalam prose belajar serta disiplin waktu. Dengan menerapkan beberapa hal ini
maka dapat meningkatkan prestasi belajar santri. Dengan standar prestasi yang
dimiliki tersebut cita-cita yang diharapkan akan lebih mudah direalisasikan
e) Antisipasi diri
Antisipasi diri disini diartikan usaha yang dilakukan santri untuk
menghindali kesulitan atau kegagalan dalam belajar. Usaha yang dilakukan
berkaitan erat dengan kemampuan santri dalam menejemen waktu dalam proses
belajar. Menejemen dimaksudkan agar kira santri dapat mengidentifikasi dari
awal kesulitan atau hambatan yang mungkin akan ditemui yang dapat
memberikan dampak yang tidak baik pada prestasi belajarnya.

f) Perencanaan
Santri yang memiliki motivasi akan melakukan setiap kegiatan belajar
sebaik mungkin. Hal ini berkaitan dengan kemampuan perencanaan santri
tersebut. Dimana perencanaan kegiatan belajar dimaksudkan untuk melatih
kesadaran belajarnya untuk meminimalisir kesulitan yang akan dihadapinya.
Perencanaan ini juga menjadikan karakter santri yang bukan memiliki motivasi
saja tapi kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai santri demi peningkatan
kualitas hidupnya di masa datang.

3. Faktor-Faktor dalam Motivasi


Santri dengan motivasi yang ada dalam diri tercermin dari tindakan-
tindakan yang dilakukannya. Sikap dan sifat yang ditunjukan seperti memiliki
tingkat kepercayaan diri yang lebih, dapat mempertanggungjawabkan segala
tindakan yang dipilihnya, mampu membuat perencanaan yang baik dan efesien,
mampu memperhitungkan resiko yang mungkin akan ditemui, serta menejemen
waktu yang tepat dapat dikategorikan santri yang memiliki motivasi. Beberapa
tindakan ini menjadi tolak ukur keberhasilan akademik santri dan diharapkan
mampu mensukseskannya di masa datang.
Berbagai tindakan yang ditunjukkan sebagai bentuk refleksi dari motivasi
yang dimiliki santri tidak terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya
(Mc. Clelland, 1978). Faktor-faktor dalam motivasi antara lain adalah sebagai
berikut:
a) Aspirasi dan cita-cita
Memiliki aspirasi atau cita-cita memberikan semangat belajar dan
mengarahkan segala aktivitas dalam prose belajar santri. Menggapi cita-cita
atau merealisasikan apresiasi diri membutuhkan waktu yang tidak terbilang
singkat bahkan dipengaruhi oleh aspek tertentu hal tersebut dapat terlaksana
sepanjang hayat. Aspek-aspek tersebut antara lain diikuti oleh
perkembangan kognitif, moral, kepribadian serta kemampuan berbahasa
sehingga hal ini memperkuat motivasi belajar santri untuk mewujudkannya.
b) Kemampuan yang dimiliki
Kemampuan menjadi salah satu faktor yang secara tidak langsung
memberikan pengaruh yang begitu signifikan terhadap motivasi seseorang.
Walaupun suatu prestasi belajar harus ditempuh dengan kemampuan yang
memadai tetapi akan tidak memberikan pengaruh jika kemampuan tersebut
tidak dilatih. Maka sangat diharapkan ketika santri memiliki kemampuan
yang memadai tidak lantas dibiarkan. Karena dengan kemampuan yang pasti
mencapai grade yang tinggi, menjadikan santri minim dalam tindakannya.
Maka, pengajaran moral menjadi kunci utama yang harus diajarkan dan
setiap santri harus mendapatkan porsi yang sama dalam memahami suatu
nilai.
c) Kondisi santri
Kondisi yang dimaksudkan meliputi kondisi jasmani dan rohani yang
santri yang mempengaruhi motivasi belajar. Ketika jasmani maupun rohani
seseorang terutama santri dalam keadaan yang kurang baik akan
memberikan dampak negatif pada santri. Dampak utama yang sangat begitu
telihat santri akan mengalami kesulitan dalam hal memusatkan pikiran atau
berkonsentrasi dengan pelajaran.
d) Lingkungan santri
Lingkungan santri berkaitan dengan kondisi atau situasi santri dimana
dia menetap. Lingkungan yang dimaksudkan berupa keadaan alam,
pergaulan dan kehidupan masyarakat yang ada disekitar temapat tinggal
santri. Kondisi yang baik atau buruk suatu lingkungan sangat mempengaruhi
motivasi belajar santri. Jika baik dan mendukung akan suatu program
pengajaran dalam hal ini pembelajaran bahasa Inggris kondisi lingkungan
tempat tinggalnya kemungkinan besar baik juga motivasi santri dalam
belajar begitupun sebaliknya. Karena santri merupakan bagian dari anggota
suatu masyarakat maka lingkungan cukup memberikan pengaruh.
e) Pembelajaran.
Pembelajaran sebagai faktor motivasi dimaksudkan bagaimana prose
belajar mengajar memiliki andil dalam peningkatan motivasi belajar santri.
Perkembangan yang terjadi hampir disetiap lini kehidupan memberikan
dampak yang cukup besar terhadap proses pembelajaran. Perubahan-
perubahan yang terjadi juga ikut dialami oleh santri. Kondisis yang tercipta
dari perubahan dan perkembangan zaman dapat mendinamiskan motivasi
belajar santri. Pemanfaatan berbagai perkembangan diadosi serta
dikembangkan sesuai dengan lingkuan belajar santri mampu meningkatkan
mottivasi belajar santri karena hal tersebut begitu familiar dengan
lingkungan pergaulannya sehari-hari
f) Pengajar/Guru
Menjadi tuntutan dan tanggungjawab seorang guru untuk belajar
sepanjang hanyat melalui tugas profesionalnya sebagai guru. Dalam hal
meningkatkan motivasi santri bisa dikatakan gurulah yang merupakan role
model untuk menciptakan motivasi diri pada santri. Setiap tindak tanduk
guru sudah merupakan contoh atau teladan bagi para peserta didik. Kualitas
yang mempuni dalam mengimplementasikan konseptual pendidikan kedalam
situasi kelas yang bersifat faktual menjadikan guru mampu meningkatkan
motivasi belajar santri demi ketercapaian prestasi belajar yang telah
ditetapkan.

4. Fungsi Motivasi
Berdasarkan definisis yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli maka tidak dapat
diragukan lagi bahwa motivasi memiliki fungsi yang sangat penting untuk kehidupan
seseorang. Dalam ranah akademik, motivasi mendorong timbulnya tingkah laku atau
mempengaruhi tingkah laku santri terhadap tugasnya sebagai pembelajar. Dengan
motivasi yang dimiliki oleh santri mampu meningkatkan hasil belajar secara optimal.
Maka motivasi akan menentukan intensitas serta kesanggupan santri terhadap usaha
belajar yang akan dijalaninya. Terdapat tiga fungsi dalam motivasi yang sebagai
berikut:
a) Mendorong santri untuk melakukan atau berbuat sesuatu, bisa diartikan motivasi
sebagai penggerak motivasi santri untuk mampu berusha semaksimal mungkin
untk mendapatkan prestasi belajar yang memuaskan. Motivasi ini secara tidak
langsung menjadi penggerak dai setiap kegiatan santri dalam pembeajaran.
b) Sebagai penentu arah dalam melakukan atau berbuat sesuatu, bisa ddianalogikan
motivasi sebagai kompas penentu arah. Penentu arah yang dimaksudkan yakni
arah tujuan yang seharusnya dilalui demi ketercapain suatu tujuan. Dalam kontek
akadei, arah diartikan sebagai serangkaian kegiatan belajar yang harus
diselesaikan santri. Sedangkan tujuan yakni hasil atau prestasi belajar yang
dicapai oleh santri.
c) Menyeleksi perbuatan terhadap sesuatu, ketika santri dihadapkan oleh berbagai
hal yang harus dicapainya dalam proses pembelajaran maka menyeleksi
perbuatan harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memfokuskan serangkaian
kegiatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

Kemampuan berbicara
Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu fungsi bahasa yang sangat krusial adalah sebagai media penyampaian
maksud dari seseorang ke orang lain. Maka tuntutan dengan kemampuan berbahasa
yang baik menjadi hal yang harus dikuasai. Menguasaan bahasa yang baik dapat
memudahkan kita dalam mengungkapkan perasaan, pikiran dan maksud kepada orang
lain. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan tujuan kita melalui
berbahasa yakni secara lisan maupun tulisan. Dari kedua cara penyampaian ini, hal
pertama yang kita pahami ketika berbicara tentang berbahasa maka cenderung pada
kemampuan secara lisan atau berbicara. Kemampuan atau keterampilan berbicara,
hakikatnya adalah keterampilan memproduksi suatu arus sistem bunyi yang
artikulatif untuk penyampaian kehendak, berkaitan dengan kebutuhan perasaan dan
suatu keinginan kepada seseorang atau orang lain (Iskandarwassid & Suhendar, 2009:
241).
Berbicara dalam hal ini berkaitan dengan tujuan untuk mengungkapkan
keinginan telah diperoleh sejak dini bahkan masih bayi (menangis). Terus mengalami
peningkatan sesuai dengan perkembangan fisiologi hingga sampai pada kemampuan
berbicara seperti pada anak usia kelas menengah ke atas. Sebagai tambahan bahwa
berbicara merupakan suatu bentuk aktivitas untuk memberikan penjelasan kepada
seseorang akan situasi tertentun dan aktivitas tertentu pula (Nunan, 1991: 23). Tiada
lain tujuannya kemabli lagi bahwa berbicara merupakan cara kita berkomunikasi
dalam kehidupan sehari-hari (Tarigan, 1990: 8). Dengan alasan bahwa bahasa sebagai
media yang memudahkan segala aktivitas dalam kehidupan, maka tuntutan atas
kemampuan berbahasa yang mempuni menjadi hal yang perlu ditingkatkan. Tuntukan
atas kemampuan berbahasa ini juga berlaku disemua bahasa yang ada di dunia
termasuk bahasa Inggris. Berbicara atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
speaking menjadi salah satu kemampuan berbahasa yang sangat funsional dalam
berkehidupan sehari-hari. Tidak heran ketika seseorang mempelajari berbagai suat
bahasa asing termasuk dalam hal ini adalah bahasa Inggris maka kemampuan
berbicaralah kadang menjadi patokan atas ketercapaian pembelajaran bahasa Inggris.
Maka pentingnya meningkatkan kemampuan berbicara/speaking siswa utamanya
dalam bahasa Inggris.

C. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dugunakan merupakan penelitan kuantitatif non eksperimental.
Mengapa demikian karena data yang dikumpulka berupa agka dan menggunakan ilmu
statistik dalam pengolahan data (Sugiyono, 2009). Metode analisis data yang digunakan
dalam pengolahan data berupa analisis korelasi. Analisis korelasional merupakan analisi
data yang tidak hanya mendeskripsikan fenomena dari setiap variabel tetapi
mengungkapkan ada tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti. Variabel yang
terlibat dalam peneliatian ini adalah variabel independen berupa self efficacy (X1),
motivasi (X2) dan variabel dependen yakni kemampuan berbicara siswa dalam
pembelajaran bahasa Inggris.
Populasi merupakan wilyah generalisaberupa objek dan subjek yang memiliki
karakteristik dan kualitas yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan analisis yang
nantinya dapat ditarik sebuah kesimpulan (Sugiyono, 2009: 117). Dalam penelitian ini
seluruh siswa Mts. Al-khairaat Kota Gorontalo tahun ajaran 2017-2018 dijadikan dipilih
sebagai populasi dalam penelitian. Sampel merupakan bagian dari populasi (Sugiyono,
2009:118), dimana memilikimkarakter yang sama sehingga dapat mewakili seluruh
populasi. Jumlah sampel yang digunakan yakni 67 siswa dari total populasi seluruh
siswa sebanyak 222 siswa. Pengambilan sampel menggunakan teknik acak atau dikenal
dengan random sampling. Penarikan acak sampel dilakukan secara bertingkat sesuai
dengan jenjang siswa dengan kriteria homogen yang dimiliki setiap jenjang, yakni
dengan menarik 1 kelas dari setiap jenjang baik dari kelas VII, VIII dan IX.
Prosedur penelitian adalah tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan dalam
menyelesaikan penelitian. Tahap pertama yakni menentukan populasi dan sample,
instrumen, dan validitas dan reliabilitas. Kemudian pada tahap kedua yakni penyebaran
angket sebagai data dalam penelitian dan kemudian mengolah data dan menyusun
laporan penelitian. Untuk penelitian ini, hasil uji reliabilitas pada kemampuan berbicara
siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris menggunakan rumus alpha cronbach dengan
hasil yang didapatkan senilai 0,845 untuk instrumen self efficacy dan senilai 0,852
untuk isntrumen motivasi. Uji validitas yang digunakan yakni uji validitas sejalan
(concuren validity) dimana mempertanyakan bagaimana keterkaiatan karakteristik suatu
bidang yang menjadi subjek dengan karakteristik bidang-bidang yain yang sejenis
dengan bukti-bukti yang emperik (Nurgiyantoro dkk, 2015: 416). Teknik korelasi
ganda atau sering disebut dengan multiple correlation yang digunakan untuk melihan
hubungan antar variabel yang terdapat dalam penelitian. Konsep uji korelasi ganda atau
multiple correlation digunakan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara
beberapa baik itu variabel independen dan variabel dependen. Analisis ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara beberapa variabel independen secara bersamaan
dengan terhadap variabel dependen (Nurgiyantoro dkk, 2015: 171).
D. HASIL PENELITIAN

Tabel Correlations

Kemampuan Self efficacy


Motivasi
berbicara (Kepercayaan
santri
santri diri) santri

Kemampuan Pearson Correlation 1 ,038 ,084


berbicara santri Sig. (2-tailed) ,760 ,497

N 67 67 67

Self efficacy Pearson Correlation ,038 1 ,594**


(Kepercayaan diri) Sig. (2-tailed) ,760 ,000
santri
N 67 67 67

Motivasi santri Pearson Correlation ,084 ,594** 1

Sig. (2-tailed) ,497 ,000

N 67 67 67

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari table hasil analisis korelari ganda berdasarkan penghitungan statistik SPSS
versi 22.00 for windows. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
dan juga positif antara self efficacy dan motivasi terhadapa kemampuan berbicara
bahasa Inggris santri di Mts. Alkahairaat Kota Gorontalo. Berdasarkan hasil analisis
diperoleh bahwa hubungan antara self efficacy dengan kemampuan berbicra santri
dengan person correlation 0,760 dengan besaran significan di 0,01. Hasil ini
menyimpulkan bahwa terdapath hubungan yang positif yang signifikan antara sefl
efficacy dan kemampuan berbicara santri. Maka, dapat diasumsikan bahwa semakin
semakin tinggi nilai tinggat self efficacy santri maka hal tersebut memiliki pengaruh
yang positif terhadap kemampuan berbicara bahasa Inggris santri. Hal yang sama juga
ditunjukkan oleh hasil analisis hubungan antara motivasi dan kemampuan berbicara
bahasa Inggris santri. Dengan diperolehnya nilai person correlation 0,497 dengan
besaran signifikan di 0,01 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan
juga signifikan antara motivasi dan juga kemampuan berbicara bahasa Inggri santri.

Analsis korelasi ganda tersebut terdapat hubungan yang positif dan juga signifikan
akan tetapi memiliki sedikit perbedaan dari jumlah nilainya. Perbedaan tersebut terlihat
jelas dengan hasil korelasi yang didapatkan antara self efficacy terhadap kemampuan
berbicara lebih tinggi 0,270 dibandingkan dengan hubungan antar motivasi terhadap
kemampuan berbicara bahasa Inggris santri. Hal ini mengartikan bahwa self efficacy
menjadi hal yang sangat penting untuk pengajar menyadari betapa pentingnya
pembentukan self efficacy terhadap siswa/santri. Sehingga dengan kepercayaan diri
makan akan timbul kesadaran untuk melakukan berbagai usaha untuk mampu
mendapatkan hasil yang baik di dalm proses pembelajaran. Disamping itu, dengan
tingkat self efficacy yang tinggi menghindarkan santri akan kecemasan dalam hal ini
kecemasan dalam berbicara/speaking.speaking. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Bandura (1997) bahwa tingkat self efficacy ang dimiliki oleh siswa/santri dapat
mempengaruhi kecemasan dalam melaksakan ataupun menyelesaikan tugasnya.

E. KESIMPULAN
Hasil korelasi antara variabel-variabel terkait menandakan bahwa adanya
korelasi yang positif dan juga signifikan dengan nilai 0,760 dan 0,594 antara sefl
efficacy dan motivasi terhadap kemampuan berbicara bahasa Inggris santri. Hal ini
menandakan semakin tinggi tingkat sefl efficaci dan motivasi siswa terhadap
pembelajaran bahasa Inggris secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan
berbicara dalam bahasa Inggris santri. Demikian pula sebaliknya rendahnya tingkat self
efficacy maupun motivasi santari dalam belajar bahasa Inggris dapat memberikan
dampak yang negatif terhadap kemampuan berbicara terlebih lagi dalam bahasa Inggris.
Salah satu dampak negatif yang juga berkaitan erat dengan tingkat self efficacy adalah
kecemasan yang dialami siswa dalam proses pembelajarab bahasa Inggris.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, peningkatan kemampuan beribicara
dalam bahasa Inggris dalah sesuatu hal yang tidak mudah untuk santri di jenajang
sekolah menegah pertama. Terlebih lagi, di jenjang sekolah dasar mereka belum pernah
mendapatkan pengajaran bahasa Inggris. Hal ini lebih menjadikan ketercapaian
kemampuan berbicara santri semakin susah untuk sampai kepada tahap bisa bahkan
lancar. Sehingga, sebagai guru harus menyadari hal ini, ketika siswa dengan rentan usia
jenjang sekolah menengah pertama antara 12-15 tahun masih sangat mudah terpengaruh
dan dipengaruhi. Menciptakan suasana kelas yang nyaman dengan lebih banyak
memberikan ruang gerak yang cukup kepada santri sekiranya mampu membangkitkan
motivasi serta meningkatkan self efficacy yang dimiliki. Penggunaan metode ataupun
strategi mengajar juga merupakan hal yang perlu diperhatikan, dimana menghadirkan
pengajaran yang memberikan kesempatan yang besar untuk santri berinteraksi dan juga
mengurangi ketegangan dalam kelas sangat membantu meningkatkan self efficacy dan
motivasi santri.
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2010). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.


Anwar, Ali. (2011). Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ardani, Rahayu. ( 2004). Hubungan Pola Pikir Positif Dengan Kecemasan Berbicara Dalam
Bahasa Inggris. Jurnal Psikologi UNDIP 1 (2).
Atkinson. (1997). Pengantar psikologi (Terjemahan Oleh Agus Dharma). Jakarta: Erlangga.
Azwar, S. (1996). Efikasi Diri dan Prestasi Belajar Statistika pada Mahasiswa. Jurnal
Psikologi. No. I. 33-40.
Bandura, A. (1997). Self Efficacy The Exercise Of Control. New York: W.H Freeman and
Company.
Bandura, A. (2006). Guide for constructing self-efficacy scales. In F. Pajares & T. Urdan
(Eds.), Self-efficacy beliefs of adolescents. Greenwich, CT: LAP-Information Age
Publishing.
Baron, R.A. & Donn B. (2004). Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hamid, Fuada Abdul.(1997). Prose Belajar Mengajar Bahasa. Jakarta:
Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Mengembangkan LPTK
Heckhausen, H. (1967). The anatomy of achievement motivation. New York : Academic
Press
Iskandarwassid & sujadar, dadang. (2008). Starategi pembelajaran bahasa. PT. Remaja
Rosdakarya: Bandung.
Krashen, S. (2003). Explorations in Language Acquisition and Use: The
Taipei Lectures. Portsmouth, NH: Heinemann.
Maddux, J, E, Sherer, M, Rogers, R, W.(1982). Self efficacy expectancy and Outcome
Expectancy : Their Relationship and their effects on behavioural intentions.
Cognitive therapy and research. Vol.6, 277-211
Mc.Clelland, C . D. (1987). Human motivation. New york : Cambridge University Press.
Nunan, David. 1991. Research Methods in Language Learning. Cambridge: Cambridge
University Press.
Nurgiyantoro, Burhan, Gunawan, Marzuki. (2015). Statistik Terapan: untuk Penelitian Ilmu
Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Santrock, J. W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Schunk, D.H. (2012). Learning Theories An Educational Perspective. Boston: Publishing as
Allyn & Bacon 501.
Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Bandung.2009
Tarigan, H. Guntur. 1990. Prinsip-prinsip Dasar Metode Riset Pengajaran dan
Pembelajaran Bahasa. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai