Anda di halaman 1dari 5

CARA PEMBAGIAN WARIS

JIKA PEWARIS DAN SALAH SEORANG AHLIWARISNYA MENINGGAL


BERSAMAAN

Oleh : ICANG WAHYUDIN (Pengadilan Agama Padang)

A. Latar belakang

Artikel ini dilatarbelakangi oleh kasus atau musibah yang banyak menelan korban jiwa
seperti kecelakaan pesawat, gempa bumi, longsor dan lain sebagainya yang boleh jadi diantara
korban-korban tersebut mempunyai hubungan kewarisan. Dalam kasus tersebut seringkali tidak
diketahui siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu dari yang lain. Dalam artikel ini
akan dianalisa mengenai cara pembagian warisan apabila meninggal orang-orang yang
mempunyai hubungan kewarisan dan tidak diketahui siapa diantara keduanya yang terlebih
dahulu meninggal dunia. Tidak termasuk dalam ruang lingkup pembahasan ini jika telah diketahui
siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu.

B. Analisa

Terhadap kasus tersebut diatas akan ditemukan dua pendapat yang berbeda tentang
penyelesaian pembagian harta warisannya. Dua pendapat tersebut dikemukakan oleh Mazhab
Hanbali dan Jumhur. Menurut pendapat yang populer dikalangan Mazhab Hanbali bahwa
diantara orang yang meninggal dan tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu serta
keduanya ada hubungan kewarisan, maka keduanya saling mewarisi (orang pertama mewarisi
yang lain dan sebaliknya) disamping juga mewarisi ahli waris yang masih hidup secara nyata.
Cara yang ditempuh oleh Mazhab Hanbali dalam menyelesaikan kasus tersebut ditempuh
dengan dua tahap yaitu cara fiktif dan secara riil. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan beserta
contohnya sebagai berikut : 1
Amir dan anaknya Ali meninggal dalam suatu kecelakaan, Amir meninggalkan harta yang
akan dibagikan kepada ahliwarisnya (setelah dikeluarkan kewajibannya) senilai 24 juta, dan Ali
(belum menikah) meninggalkan harta yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya senilai 8 juta.
Ahliwaris Amir adalah isterinya (Hasanah), ibunya (Zubaidah), serta dua anak Hasan dan Ali
(yang meninggal bersamanya). Sedangkan ahliwaris Ali adalah ibunya (Hasanah), saudara
kandungnya (Hasan), dan ayahnya Amir (yang meninggal bersama dengannya).
Langkah pertama menyelesaikan secara fiktif : Pembagian harta Amir adalah : isterinya 1/8
karena ada anak, ibunya 1/6 karena bersama dengan anak, dan dua orang anaknya mendapat
sisa. Dengan demikian isterinya (Hasanah) mendapat 1/8 x 24.000.000,- = Rp. 3.000.000,- ;
ibunya (Zubaidah) memperoleh 1/6 x 24.000.000,- = Rp.4.000.000,-; dua orang anaknya (Hasan
dan Ali) mendapat sisa Rp. 24.000.000,- dikurang Rp.7.000.000,- = Rp. 17.000.000,- dibagi dua
jadi masing-masing memperoleh Rp. 8.500.000,-
Penyelesaian pembagian harta Ali adalah : ibunya mendapat 1/3 karena Ali tidak
mempunyai anak, saudara kandungnya terhijab oleh ayahnya, dan ayahnya mendapat sisa. Jadi
Ibunya (Hasanah) memperoleh 1/3 x 8.000.000,- = Rp. 2.666.667,- dan ayahnya (Amir)
memperoleh sisa Rp. 8.000.000,- dikurang Rp. 2.666.667,- = Rp.5.333.333,-.
Harta Amir yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya secara riil (nyata) akan berubah
karena pembagian secara fiktif diatas. Harta Amir yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya yang
masih hidup ketika ia meninggal berjumlah Rp. 24.000.000,- (harta semula) dikurangi hak waris
Ali Rp. 8.500.000,- kemudian ditambah Rp. 5.333.333,- (waris yang diperoleh dari Ali) sehingga
seluruhnya berjumlah Rp. 20.833.333,-.
1
Sedangkan harta Ali yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya yang masih hidup ketika ia
meninggal dunia berjumlah Rp. 8.000.000,- (harta asal) diambil Rp.5.333.333,- (sebagai hak waris
ayahnya) kemudian ditambah Rp. 8.500.000,-(warisan yang diperoleh dari ayahnya), sehingga
keseluruhannya berjumlah Rp. 11.166.667,-.
Tahap kedua pembagian harta warisan masing-masing secara nyata kepada masing-masing
ahliwarisnya yang masih hidup. Harta Amir yang akan dibagikan sebesar Rp. 20.833.333,-
ahliwarisnya terdiri dari seorang isteri (Hasanah), seorang ibu (Zubaidah), dan seorang anak
(Hasan). Isterinya mendapat 1/8 karena ada anak, ibunya mendapat 1/6 karena ada anak, dan
anaknya mendapat sisa, sehingga isterinya menerima 1/8 x Rp.20.833.333,-= Rp. 2.604.166,- ;
ibunya 1/6 x 20.833.333,- = 3.472.222,- dan satu orang anak laki-laki mendapat sisa sebesar
Rp.14.756.944,-.
Harta Ali yang akan dibagikan secara nyata kepada ahliwarisnya yang masih hidup adalah
Rp.11.166.667,-, ahliwarisnya terdiri dari ibu (Hasanah) dan saudara laki-laki kandung (Hasan).
Ibunya mendapat 1/3 karena tidak ada anak dan saudara kandung mendapat sisa. Dengan
demikian ibunya akan menerima 1/3 x 11.166.667,- = Rp. 3.722.222,- dan saudara laki-laki
kandungnya memperoleh sisa sebesar Rp. 7.444.445,-. Dari hasil mewarisi keduanya maka
Zubaidah memperoleh 3.472.222,-; Hasanah memperoleh Rp.6.326.388,-; dan Hasan
memperoleh Rp.22.201.389,-.

Pendapat Mazhab Hanbali ini didasari oleh beberapa dalil antara lain :

1. Hadis yang diriwayatkan dari Iyas bin Abdullah al-Muzni 2:

"‫ "ير ث بعضھم بعضا‬: ‫ سئل عن قو م وقع عليھم بيت فقا ل‬:‫روى اياس بن عبد المز ني ان النبي ص م‬

Artinya : Dari Iyas bin Abdullah al-Muzni ia berkata : sesungguhnya Nabi SAW ditanya
tentang suatu kaum yang meninggal karena tertimpa bangunan rumah, maka nabi menjawab
“sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain”( Ahmad).

2. Perkataan asy-Sya’bi3

‫ فكتب في ذلك الى‬, ‫ فجعل اھل البيت يموتون عن اخرھم‬,‫ وقع الطاعون بالشام عام عمواس‬: ‫قا ل الشعبي‬
. ‫ فامر عمر ان يورثوا بعضھم من بعض‬, ‫عمر‬

Artinya : Asy-Sya’bi berkata : telah terjadi wabah penyakit “Tha’un” di Syam pada tahun (18 H)
di kampung “amawas” yang mengakibatkan seisi rumah meninggal, kemudian ditulis surat kepada
Umar bin Khatab RA, kemudian Umar memerintahkan dalam suratnya untuk mewarisi sebagian
mereka atas sebagian yang lain.

Atsar diatas berkenaan dengan musibah wabah penyakit radang paru-paru, pes dan
lain-lain yang terjadi di kampung Amawas. Wabah penyakit ini merupakan peristiwa
pertama dalam sejarah islam yang tarjadi pada tahun 18 H. Wabah ini menewaskan
25.000 muslimin termasuk Gubernur Syam pada waktu itu yakni Abu Ubaidah bin
Jarrah dalam usia 53 tahun. Kemudian peristiwa ini diberitakan kepada Umar bin
Khatab, lalu beliau menggantikan posisi Gubernur Syam dengan Yazid bin Abi
Syofyan.
Atsar senada juga ditemukan dalam Sunan ad-Darami : 4

2
‫)اخبرنا( جعفر بن عون انا ابن ابي ليلى عن الشعبي ان بيتا في الشام وقع على قوم فورث عمر بعضھم من‬
.‫بعض‬

Artinya : Dikhabarkan kepada kami dari Ja’far bin ‘Aun Abi Laila dari Asy-Sya’bi bahwa
terjadi atas kaum yang menginap (menetap) di Syam (wabah) yang mengakibatkan meninggalnya
penduduk, maka Umar bin Khatab menjadikan sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain.

3. Hadis dari Ali bin Abi Thalib : 5

.‫)حدثنا( ابو نعيم عن سفيان عن حريش عن ابيه عن علي انه ورث اخوين قتال بصفين احدھما من االخر‬

Artinya : Diriwayatkan kepada kami dari Abu Nu’man dari Syofyan dari Harits dari Bapaknya
dari Ali bahwa sesungguhnya dia (Ali) mewarisi dua orang yang gugur dalam perang siffin salah
satunya dari yang lain.

Selain dalil riwayat yang dikemukakan diatas, kelihatan dari cara pembagian yang dilakukan
Mazhab Hanbali terhadap kasus tersebut, bahwa Mazhab Hanbali juga menggunakan logika
berfikir sebagai alasannya. Dengan tidak diketahuinya secara pasti siapa yang terlebih dahulu
meninggal, demi kehati-hatian, jangan sampai hak seseorang terlewatkan maka ditempuh dua
tahap pembagian yaitu secara fiktif dan secara riil sebagaimana contoh diatas. Kehati-hatian
diperlukan karena berkaitan dengan kepastian hukum yang dalam hal ini menyangkut hak
seseorang yang berkenaan dengan kewarisan sehingga perlu diperhitungkan secara pasti.
Adapun menurut Jumhur dalam kasus ini mereka tidak saling mewarisi dan harta mereka
(yang meninggal) diwariskan kepada ahliwaris mereka masing-masing yang masih hidup dengan
alasan :
Atsar dari Rabi’ah bin Abi ‘Abdi al-Rahman yang terdapat dalam kitab Imam Malik :6

‫ فلم‬.‫من قتل يوم الجمل و يوم صفين و يوم الحرة ثم كان يوم قديد‬... ‫ربيعة عن بن ابي عبد الرحمن قا ل‬
.‫ اال من علم انه قتل قبل صاحبه‬. ‫يورث احد منھم من صاحبه شيئا‬

Artinya : Dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman ia berkata ... Orang-orang yang gugur pada perang
jamal, siffin, dan hurrah, kemudian pada perang qudaid tidak saling mewarisi sesuatupun diantara
mereka dari sahabatnya kecuali yang diketahui gugurnya seseorang dari sahabatnya (HR. Malik).

Atsar senada juga diriwayatkan Sa’id, beliau berkata :7

‫حدثنا اسماعيل بن عياش عن يحي بن سعيد ان قتل يوم اليمامة وقتل صقين و الحرة لم يورث بعضھم من‬
. ‫بعض ورثوا عصبتھم االحياء‬

Artinya : Diriwayatkan dari Isma’il bin ‘Iyas dari Yahya bin Sa’id bahwa orang yang gugur dalam
perang yamamah, siffin dan hurrah sebagian mereka tidak mewarisi sebagian yang lain tapi diwarisi
kepada ‘asabahnya yang masih hidup.

Riwayat lain dari Na’in bin Khalid dari ‘Abdul ‘Aziz Muhammad dari Ja’far bin
Muhammad dari ayahnya bahwa Ummu Kultsum dan puteranya Zaid meninggal dalam perang
Uhud, maka tidak saling mewarisi diantara mereka. 8 Disisi lain jumhur menolak hadits yang
diriwayatkan dari Iyas bin Abdullah al-Muzny dengan alasan bahwa hadis tersebut berasal dari
Iyas sendiri dan bukan dari Nabi SAW.9 Menanggapi perbedaan pendapat tersebut Ibnu Muflih
3
dalam kitabnya al-Mubdi’ fi Syarh al-Mugni’ menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan
diantara mereka saling mewarisi lebih baik. Insya’ Allah.10

Dengan memperhatikan cara penyelesaian pembagian warisan yang dilakukan oleh Mazhab
Hanbali, jelas terdapat perbedaan yang jauh dengan pendapat Jumhur ulama. Perbedaan ini
bukan disebabkan oleh perbedaan prinsip-prinsip kewarisan, akan tetapi lebih disebabkan oleh
dua faktor yaitu dalil yang menjadi hujjah oleh Mazhab Hanbali serta kehati-hatian (ihtiat) dalam
menentukan hak seseorang yang perlu di perhitungkan dengan cermat.

Menanggapi kevalidan hadis yang menjadi hujjah bagi Imam Ahmad bin Hanbal, penulis
menganalisa berdasarkan kitab al-Mu’tamad fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal dimana dalam
kitab tersebut disebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibrahim asy-Sya’bi tersebut dha’if, karena
sanadnya tidak berhenti sampai asy-Sya’bi.11 Kehujjahan Imam Ahmad bin Hanbal terhadap
hadis ini dapat dipahami karena beliau menggunakan hadis dla’if sebagai metode istimbathnya.

Imam Ahmad bi Hambal hanya membagi hadis ke dalam dua bagia saja yaitu hadis shahih
dan hadis dla’if. Hadis dla’if yag dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal bukanlah hadis dla’if
menurut pengetian jumhur ulama. Sehingga hadis dla’if yang dimaksud Imam Ahmad bukan
hadis batil.

Dikaitkan dengan metode istimbath yang dipakai oleh Imam Ahmad bin Hanbal, maka
akan kelihatan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal lebih cenderung kepada riwayat yang berasal dari
sahabat dekat Nabi SAW yakni Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana diketahui
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak mengambil riwayat dari sahabat dekat Nabi atau
salaf. Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa menurut Imam Ahmad pendapat yang menyatakan
diantara mereka saling mewarisi adalah pendapat yang paling kuat.

Dari perbedaan pendapat tentang alasan yang menjadi hujjah tersebut tentu saja berbeda
pula dengan cara penyelesaiannya. Menurut Prof. DR. H. Amir Syarifuddin pendapat yang
menyatakan bahwa diantara mereka saling mewarisi lebih melihat aspek kehati-hatian jangan
sampai hak seseorang terlewatkan karena kurang diperhitungkan, sedangkan pendapat yang
menyatakan diantara mereka tidak saling mewarisi melihat secara praktis terutama keduanya
sudah tidak ada dan tidak mungkin dibuktikan kepastian hak masing-masing.12

Sebagaimana yang telah disinggung diatas, bahwa permasalahan ini muncul karena tidak
diketahuinya siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu. Untuk mengetahui siapa
yang meninggal terlebih dahulu dapat diperoleh dari kesaksian dibawah sumpah atau dengan
metode yang lebih modern yaitu dengan toksikologi dengan cara autopsi mediko legal yang
merupakan bagaian dari ilmu kedokteran forensik (forensic medicine).13 Untuk membuktikan
siapa diantara dua orang yang meninggal terlebih dahulu, maka dokter juga berperan untuk
membuktikan atau menguatkan dugaan tentang kebenaran sesuatu yang dalam hal ini berkenaan
dengan pemeriksaan jenazah. Pemriksaan ini dilakukan terhadap mayat dengan pemeriksaan
dalam maupun pemeriksaan luar. Antara forensik dengan dengan toksikologi pada hakikatnya
sama, hanya saja toksikologi lebih mengarah kepada analisa kimia. Akan tetapi tanpa pemeriksaan
toksikologis, maka visum et repertum tidak berarti.14

4
WALLOHU 'ALAM BISSOWAB.

RUJUKAN :

1 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Ke-1 h.316
2 Ibnu Qudamah, Al-Mughni wa Asy-Syarhu al-Kabir, (Makkah : al-Maktab al-Tijariyah, tt), Juz,VII, h. 187
3 Ibnu Muflih, al-Mubdi’ fi Syarh al-Mugni’ (Beirut : al-Maktab al-Islami,1982), Cet. Ke-1., h.228
4 Ad-Darami, Sunan ad-Darami, (Beirut : Dar al-Fikr, tt) Juz. II, h. 379
5 Ibid.
6 Malik bin Annas, Al-Muwatta’, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h. 328
7 Ibnu Qudamah, op.cit., h.187
8 Ad-Darami, op.cit., h. 379
9 Ibnu Qudamah, op.cit. h.192
10 Ibu Muflih, op.cit, h. 230
11 Asy-Syaibani dan Ibnu Duyan, Al-Mu’tamad fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut : Dar al-Jair, 1991), Cet.

1, h. 98
12 Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Fara’id, (Padang : IAIN “IB” Press,1999) Cet. Ke-1, h. 104
13 P. Vijay Cadha, Bahan Kuliah Forensik dan Toksikologi, Alih Bahasa Johan Hutauruk, (Jakarta : Widya Mdika, 1995),

h. 3
14 Abdul Mun’im Idris dkk, (ed), Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta : Gunung Agung, 1985), Cet. Ke-2, h.9

Anda mungkin juga menyukai