Anda di halaman 1dari 10

Nama : Durriah Hasibuan

NIM : 0305202084

HADIST DITINJAU DARI SEGI KWANTITAS RAWI


BAB 1 : PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam
setelah kitab suci Al-Qur’an.Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW. Baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan
yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada
manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti
ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya,
berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut
benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. Atau bukan.Ditinjau dari segi
kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Oleh karena itu, tujuan
penulisan makalah ini diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang masing-
masing Hadist Ahad dan Hadist Mutawwatir.
B.Rumusan Masalah
Ditinjau dari Segi Kuantitas Rawi :
1. Apa yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir?
2. Apa saja syarat-syarat Hadits Mutawatir?
3. Apa saja macam-macam Hadits Mutawatir?
4. Apa pengertian Hadits Ahad?
5. Apa saja macam-macam Hadits Ahad?
BAB II : PEMBAHASAN

2.1. Hadits Mutawatir


2.4.1.HaditsMutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya
atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Sedangkan pengertian Hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa
definisi, antara lain sebagai berikut:
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir
sanad, pada setiap tingkat (Thabaqat).
Sementara Nur ad-Din Atar mendefinisika:
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari
kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad
dengan didasarkan pada panca indra”.
2.4.2. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu Hadits dapat ditetapkan
sebagai Hadits Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang
menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkan jumlah tertentu.
Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan
jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang
diberitakan dan mustahil mer eka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut
ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai
jumlah tertentu itu.
Al-Qadhi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi Hadits agar bisa disebut
Hadits mutawatir tidak boleh berjumlah empat. Lebih dari itu lebih baik. Ia
menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan
dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi.
Al-Isthakhary menetapkan yang paling baik minimal 10 orang, sebab jumlah 10
itu merupakan awal bilangan banyak.
Ulama lain menentukan 12 orang, mendasarkan pada firman Allah:

‫وبَ َع ْثنَا ِم ْنهُ ُم ْاثنَ ْي َع َش َر نَقِيبًا‬.


َ
“...Dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin. (QS.Al-Maidah
(5):12)”
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Sesuai dengan firman
Allah:

َ ‫اِ ۡن يَّ ُك ۡن ِّم ۡن ُكمۡ ِع ۡشر ُۡو َن‬


‫صابِر ُۡو َن يَ ۡغلِب ُۡوا ِمائَتَ ۡي ِن‬
ۚ
“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh... (QS. Al-Anfal (8): 65)”
Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu mengalahkan 200 orang kafir. Ada
juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang diperlukan dalam Hadits
mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT.:

‫ك ِم َن ْال ُم ْؤ ِمنِين‬
َ ‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي َح ْسب َُك هَّللا ُ َو َم ِن اتَّبَ َع‬
َ
“Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu.”
(QS. Al-Anfal (8): 64)
Saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini
sesuai dengan Hadits riwayat Al-Thabrany dan Ibn Abbas, ia berkata: “Telah
masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan.
Kemudian Umar masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam.
Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam Hadits
mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai dengan firman Allah SWT.:

‫ين َر ُجاًل لِ ِميقَاتِنَا‬ ْ ‫ َو‬.


َ ‫اختَا َر ُمو َس ٰى قَ ْو َمهُ َسب ِْع‬
ۖ
“Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon
taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami tentukan... (QS. Al-Araf (7):155)
Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan diatas, sebetulnya
bukan merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran
untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah Hadits Mutawatir tersebut
bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya Ilmu Dharuri.
Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tapi melebihi batas minimal yakni 5
orang), asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka
sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadits
mutawatir.
b.Adanya keseimbangan antar perawi pada Thabaqat pertama dengan
Thabaqat berikutnya
Jumlah perawi Hadits mutawatir, antara Thabaqat (lapisan/tingkatan)
dengan thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu Hadits
diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabi’in, dan
selanjutnya hanya diterima oleh 5 tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai Hadits
mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama
dengan thabaqat-thabaqat seterusnya.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada
tiap thabaqat tidaklah terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya
perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.
c.Berdasarkan Tanggapan Pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus berdasarkan
tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita mereka sampaikan itu harus benar-
benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri. Oleh karena itu, bila berita
itu merupakan hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa
lain ataupun hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan Hadits
mutawatir, misalnya berita tentang baharunya alam semesta yang berpijak pada
pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu, maka berita seperti ini tidak
dapat dikatakan Hadits Mutawatir. Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan
menurut hasil pemikiran pada filosof, tidak dapat digolongkan sebagai Hadits
mutawatir.
2.1.3. Macam-Macam Hadits Mutawatir
a.Mutawatir Lafzhi
“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran perawinya
masih dalam satu lafal.”
Contoh:

‫من كذب علي متعمدا فليتبو أمقعده من النار‬.


Artinya: Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah
ia mengambil tempat duduknya dari neraka.
Keterangan:
Menurut Al Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang Sahabat. Al- Nawawi
menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang Sahabat.
Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut
tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini :

)‫من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النا (ابن ماجه‬.
Artinya: “Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang
aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari
neraka.” (Ibnu Majah)
Kemudian ada yang berbunyi seperti ini :

)‫ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم‬.


Artinya :” Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak
pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.”
(Hakim)
Adanya perbedaan pada permulaan hadits mungkin terjadi karena Nabi SAW
mengucapkannya beberapa kali, namun pada dasarnya maknanya sama saja.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadits, diantaranya:
Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Ath-Tajalisy, Abu
Hanifah, Thabarani dan Hakim.
b.Mutawatir Ma’nawiy
Hadits Mutawattir Ma’nawiy merupakan hadits yang dimana susunan redaksinya
berbeda namun pada prinsipnya memiliki makna yang sama.
Contoh:
Adanya hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat kedua tangannya
ketika berdo’a.

‫قال أبو موسى ﻤﺎ ﺭﻔﻊ رسول هللا ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ‬
‫ﺒﻴﺎﺽ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ ﻤﻥ ﺩﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ‬
(‫)رواه البخارى و مسلم‬.
“Abu Musa Al-Ayari berkata bahwa Rasulullah saw tidak mengangkat kedua
tangan beliau dalam berdo’a hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya dan
beliau saw mengangkat tangannya selain dalam do’a shalat istisqa’. (HR Bukhori
dan Muslim)”
c.Mutawatir amali
Hadits mutawatir amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan
oleh Nabi SAW, kemudian diikuti oleh para Sahabat, lalu Tabi’in , dan
seterusnya sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits tentang sholat, jumlah
rakaatnya, dan lain sebagainya. Segala yang menjadi ijma’ di kalangan ulama
dikategorikan sebagai hadits mutawatir amali.
2.2 . Hadits Ahad
2.2.1. Pengertian Hadits Ahad
Secara bahasa kata “ahad” merupakan bentuk plural dari kata “ahad” yang
bermakna satu. Hadits ahad, secara bahasa adalah Hadits yang diriwayatkan oleh
satu orang. Adapun pengertian Hadits ahad secara istilah adalah Hadits yang
tidak memenuhi syarat syarat Hadits mutawatir. Menurut Al Qathan Hadits ahad
adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Dengan demikian berarti
bahwa Hadits ahad adalah Hadits yang sanadnya shahih dan bersambung hingga
sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian
zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.
2.2.2. Macam-macam Hadits Ahad
a.Hadits Masyhur
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari kata syahara yang berarti
mengumumkan dan menjelaskan suatu hal. Dalam penegrtian ini masyhur juga
berarti sesuatu yang terkenal, yang dikenal atau yang populer dikalangan
manusia. Sedangkan secara istilah, Hadits masyhur adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak
mencapai jumlah mutawatir. Lebih lanjut, berdasarkan pada segi lingkungan,
popularitas dan penyebarannya maupun segi frekuensi penggunaannya, Hadits
masyhur ini juga sangat beragam, yaitu
- Hadits mayhur di kalangan muhadditsun

‫ َو َذ ْك َوان‬،‫وع يَ ْد ُعو َعلَى ِر ْع ٍل‬


ِ ‫ت َش ْهرًا بَ ْع َد الرُّ ُك‬
َ َ‫قَن‬.
َ
“Rosululloh mengerjakan qunut selama sebulan yang dilakukan setelah rukuk
untuk mendo’akan suku ri’l dan dzakwan” (Shohih Bukhori, no.1003 Shohih
Muslim, no.677 )
- Hadits Masyhur di kalangan muhadditsu, ulama lain dan juga orang awam

‫ون ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬


َ ‫ال ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ال ُم ْسلِ ُم‬.
“Orang muslim adalah orang yang menyelamatkan orang-orang islam lainnya
dari lisan dan datangnya” (Shohih Bukhori, no.10, 11, 6484 dan Shohih Muslim,
no.40, 41, 42)
- Hadits Mashur dikalangan fuqaha

ُ ‫أَ ْب َغضُ ْال َحاَل ِل إِلَى هللاِ الطَّاَل‬.


‫ق‬
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Alloh adalah perceraian” (Sunan Abu
Dawud, no.2178, Sunan Ibnu Majah, no. 2018 dan Sunan Baihaqi, no.14894)
- Hadits Masyhur di kalangan ahli ushul fiqih

َ َ‫¡ َوالنِّ ْسي‬،َ‫ ُرفِ َع َع ْن أُ َّمتِي ْال َخطَأ‬.


‫ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا َعلَ ْي ِه‬،‫ان‬
“Diangkat dari umatkudari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan
sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” (Sunan Ibnu Majah, no.2043, Shohih
Mustadrok Hakim, no.2601Ibnu Hibban, no.7219, Sunan Daruqutni, no.4351)
- Hadits Masyhur di kalangan ahli bahasa arab

ِ ‫صهَيْب لَو لم يخف هللا لم يَ ْع‬


‫ص ِه‬ ُ ‫نعم ال َعبْد‬
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib, jika saja ia tidak takut pada Alloh, ia tak
akan melakukan maksiat kepaNya” (La Adhla Lah = hadits ini tidak diketahui
asalnya).
- Hadits Masyhur di kalangan umum

‫ال َع َجلَةُ ِم َن ال َّش ْيطَا ِن‬.


“Sifat tergesa-gesa itu darri setan” (Sunan Turmudzi, no.2012)
b.Hadits Aziz
Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat musyabbahah dari kata “azza
ya’izzu”,yang berarti sedikit atau jarang dan kata azza ya’azzu yang berarti kuat
dan sangat. Sedangkan menurut istilah Hadits aziz adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh tingkatan/generasi.
Dengan demikian, suatu Hadits yang pada salah satu thabaqah sanadnya
diriwayatkan oleh dua periwayat, meskipun pada thabaqah lainnya diriwayatkan
oleh banyak periwayat, maka Hadits itu dinamakan Hadits azis. Contoh Hadits
azis adalah :
Hadits yang disebutkan oleh al Hafidz Ibnu Hajar di dalam “Nuzhatun Nadzar”
[hal. 70] yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhan dari Anas radhiyallohu
‘anhu, Rasulullah SAW bersabda :

َ ‫اس أَجْ َم ِع‬


‫ين‬ ِ َّ‫ون أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬
َ ‫اَل ي ُْؤ ِم ُن أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُك‬.
“Salah seorang di antara kalian tidak dianggap beriman (dengan sempurna)
sehingga saya lebih dicintainya melebihi cintanya terhadap orang tuanya,
anaknya dan manusia seluruhnya”
c.Hadits Gharib
Secara bahasa kata “gharib” merupakan sifat musyabbahah yang
bermakna menyendiri. Sedangkan secara istilah, Hadits gharib adalah Hadits
yang diriwayatkan seorang perawi di manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa tiap
Hadits gharib ini tidak disyaratkan harus satu perawi pada setiap tingkatan atau
generasi, akan tetapi cukup satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi. Di
antara contohnya adalah Hadits yang diriwayatkan dari Umar ibn Khattab dari
Rasullullah SAW tentang pentingnya niat sebagai berikut :
Berdasarkan letak terjadinya ke-gharib-an, Hadits model ini dapat dipilih menjadi
tiga kelompok, yaitu :
Gharib matnan wa isnadan (gharib dari segi matan dan sanadnya) artinya bahwa
Hadits tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui satu sanad.
Gharib isnadan la matan (gharib dari segi sanadnya dan tidak matannya). Artinya
Hadits tersebut merupakan Hadits masyhur kedatangannya melalui beberapajalur
dari seorang perawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada
seorang perawi meriwayatkannya dengan jalur lain yang tidak masyhur. Hadits
gharib dalam bentuk ini dinamakan Hadits gharib mutlak disebabkan
diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur yang tidak masyhur.
Gharib matnan la isnadan, yaitu Hadits yan pada mula sanadnya tunggal, akan
tetapi pada tahap selanjutnya masyhur. Sebenarnya Hadits gharib dalam bentuk
ini, jika dicermati, dapat dikelompokan pertama.
Jika ditinjau dari segi ke-ghariban sanadnya, ada sejumlah ulama yang
membaginya menjadi dua kelompok, yaitu :
- Kelompok pertama (Hadits Gharib Mutlak), yaitu Hadits yang ke-gharib-
an sanadnya terjadi pada asal sanadnya, dengan kata lain yang
diriwayatkan oleh rawi secara sendirian pada awal sanadnya.
Contoh hadits Gharib mutlak :

ُ‫ع َوالَ ي ُْوهَب‬ ِ ‫اَل َواَل ُء لَحْ َمةٌ َكلَحْ َم ِة النّ ّس‬
ُ ‫ب اَل يُبَا‬
Artinya : “kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan
dengan jalan keturunan, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya
Abdukllah bin Dinar saja yang meriwayatkan. Abdullah bin Dinar adalah seorang
Tabi’i , seorang hafidh yang kokoh ingatanya.
- Hadits Ghairu Nisbi, yaitu Hadits yang keghariban sanadnya terjadi pada
tengah sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana Hadits gharib mutlak.
Maksutnya, semula diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi dalam asal
sanadnya kemudian secara sendirian diriwayatkan oleh satu orang rawi
dari mereka para perawi tersebut.
Contoh lain hadits gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal
tertentu :

ِ ‫أُ ِم َر نَا أَ ْن نَ ْق َر أَبِفَاتِ َح ِة ْال ِكتَا‬.


)‫ب َو َما تَيَس ََّر(رواه ابو داود‬
Artinya : “kami diperintahkan oleh Rasul SAW agar membaca surat Al-Fatihah
dan surat yang mudah ( dari al-Qur’an )”. ( HR Abu Dawud )
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad Abu Al Walid Al-
Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, Dan said. Semua rawi ini berasal dari
Basrah dan tidak ada yang meriwayatkanya dari kota lain.
BAB III : KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Hadits mutawatir
2. dan hadits ahad.
Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. Mutawatir Lafzhi
2. Mutawatir ma’nawi
3. Mutawatir ‘amali.
Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. Hadist mahsyur
2. Hadist Aziz
3. Hadist Gharib.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada
Azami, M.M., 2003. Memahami Ilmu Hadits. Jakarta: Lentera
Zuhri, Muh. 2003. Hadits Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta :
PT. Tiara Wacana Yogya.
Alawi Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Sulaiman PL, M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta. Gaung Persada
Press.
Sumbulah, Umi. 2010. Ilmu Hadits. Malang, UIN Maliki Press

Anda mungkin juga menyukai