Anda di halaman 1dari 31

0

Tim Penyusun Kajian

Kajian Menyoal Paradigma Rancangan Perubahan


Undang-Undang Bank Indonesia
disusun oleh:

1. Adelia Susanto
2. Aqshal Adzka
3. Christina C Intania
4. Glenn Tanny
5. Kevin Daffa Athila
6. Muhammad Aqshal
7. Sukma Hadi Wijaya
8. Tariq Hidayat Pangestu

1
Daftar Isi
TIM PENYUSUN KAJIAN ................................................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................................................... 2

EXECUTIVE SUMMARY ....................................................................................................................................................... 3

PENGANTAR......................................................................................................................................................................... 4

KONSEP INDEPENDENSI BI ............................................................................................................................................ 5

KONSEP PENGAWASAN BANK ....................................................................................................................................... 8

KONSEP KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL .........................................................................................................10

PEMBENTUKAN DEWAN MONETER: TINJAUAN HISTORIS DAN PERMASALAHANNYA .........................12

IMPLIKASI SOBEKNYA INDEPENDENSI BANK INDONESIA ...............................................................................17

PENGALIHAN KEWENANGAN PENGAWASAN BANK DARI OJK KE BI ............................................................19

PROBLEMATIKA PENGHAPUSAN BSBI ....................................................................................................................22

HAK BICARA DAN HAK SUARA DALAM RAPAT DEWAN GUBERNUR ............................................................23

PERLUASAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA ................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................................................................27

2
Executive Summary

Paska reformasi dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang


kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
semangat yang di bawa adalah independensi dan akuntabilitas Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter. Namun, wacana akan dibentuknya RUU Perubahan terhadap Undang-Undang Bank
Indonesia beberapa materi muatannya perlu diberikan catatan karena berpotensi mengganggu
dua hal tersebut. Beberapa ketentuan dalam RUU a quo yang menjadi suatu diskursus yang
problematika diantaranya mengenai pembentukan kembali Dewan Moneter yang secara
keanggotaan peran eksekutif sangatlah besar. Dengan kewenangan yang sangat besar dalam
hal kebijakan moneter kekhawatiran akan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipaksakan
kepada Bank Indonesia yang secara historis berdampak buruk pada perekonomian nasional
akan berulang. Ditambah lagi dalam Rapat Dewan Gubernur, pemerintah yang sebelumnya
hanya memiliki hak bicara sebagai suatu implementasi fungsi konsultatif pada perubahan ini
juga diberikan hak suara dalam menetapkan kebijakan umum di bidang moneter. Catatan
lainnya akan dipaparkan mengenai bagaimana konsep kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
yang dalam konstruksi RUU ini peran pemerintah sangatlah besar. Poin perubahan selanjutnya
adalah mengenai pengawasan terhadap bank yang pada status quo secara mikroprudensial
menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali dialihkan kepada Bank Indonesia.
Padahal hadirnya OJK sebagai pengawas kegiatan jasa keuangan, salah satunya perbankan
adalah meweujudkan pengawasan secara menyeluruh dan terpadu. Kemudian pada poin
perubahan selanjutnya adalah dihapuskannya Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) yang
secara original intent dibentuk dalam rangka membantu DPR dalam melaksanakan fungsi
pengawasan di bidang tertentu terhadap BI untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi,
transparansi, dan kredibilitas BI. Terakhir, mengenai tugas dan wewenang Bank Indonesia
yang diperluas membuat peran BI sebagai otoritas moneter menjadi kabur akibat kurang
jelasnya tugas dan wewenangnya serta kurangnya independensi dari BI akibat terlalu banyak
turut campur dalam penentuan kebijakan fiskal.

3
Pengantar

Isu akan adanya RUU BI sudah santer beredar sejak awal bulan September 2020. Hal
ini dikarenakan beredarnya naskah sementara Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (UU BI), sudah mengalami tiga kali perubahan,1 yang sudah
sampai tahap pembahasan di Badan Legislasi DPR. Naskah sementara yang beredar tersebut
berisi usulan awal dan memiliki nomor serta tahun terbit. Namun, sebenarnya usulan revisi UU
BI pertama kali muncul saat rapat antara Baleg, Panitia Perancang UU DPD, bersama
Kementerian Hukum dan HAM pada 2 Juli 2020.2 Dalam rapat tersebut terdapat keputusan
yang tidak diperhatikan yaitu permintaan dari pemerintah agar RUU 21/2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas dan sebagai gantinya dimunculkan revisi
kedua UU 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Prof. Hendrawan Supratikno, seorang
anggota Badan Legislasi DPR, pada awal September lalu mengatakan kepada media bahwa
draft RUU tersebut hanyalah rancangan awal. Singkatnya draft tersebut belum mendapatkan
masukan dari lembaga lainnya. Tujuannya dilakukan revisi RUU BI tersebut adalah megatur
ulang kerangka, esensi, dan batas-batas independensi bank sentral. Di sisi lain, Sri Mulyani,
pada saat konferensi pers virtual (4/9) menegaskan bahwa saat ini pemerintah belum membahas
inisiatif revisi UU tersebut karena inisiatif revisi RUU tersebut berasal dari DPR.3
Munculnya wacana revisi UU BI ditanggapi secara langsung oleh Gubernur Bank
Indonesia Perry Warjiyo, ia tak memberi jawaban pasti apakah Bank Indonesia akan menerima
atau menolak revisi UU BI tersebut. Namun, ia memilih untuk mempercayakan revisi UU BI
seperti yang sudah diterangkan Presiden Joko Widodo kepada koresponden asing bahwa
pemerintah menjamin independensi Bank Indonesia, terlepas dari respon negatif yang
diberikan oleh para investor.4 Respon lainnya diberikan oleh Fraksi Golkar yang tidak
menyetujui revisi UU BI, Fraksi Golkar menyuarakan agar parlemen saat ini tidak membahas
revisi UU BI karena revisi UU BI belum pernah dibahas sekalipun dalam forum formal maupun

1
JDIH BPK, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia”,
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45332/uu-no-23-tahun-1999, diakses pada 4 Desember 2020.
2
Rizki, Mochammad Januar, “14 Poin Perubahan dalam RUU BI yang Dikhawatirkan Hilangkan Independensi
Bank Sentral”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f4f6aad8fcca/14-poin-perubahan-dalam-ruu-bi-
yang-dikhawatirkan-hilangkan-independensi-bank-sentral/, diakses pada 24 November 2020
3
Thomas, Vincent Fabian, “Sri Mulyani Klaim Pemerintah Belum Bahas RUU BI Inisiatif DPR”,
https://tirto.id/sri-mulyani-klaim-pemerintah-belum-bahas-ruu-bi-inisiatif-dpr-f3uw, diakses pada 24 November
2020
4
Thomas, Vincent Fabian, “Perry Warjiyo Angkat Bicara RUU BI yang Direspon Negatif”, https://tirto.id/perry-
warjiyo-angkat-bicara-ruu-bi-yang-direspons-negatif-pasar-f4Dc, diakses pada 24 November 2020
4
informal di Komisi XI yang bertugas sebagai komisi keuangan dan perbankan DPR. Adanya
ketidaksatuan suara antara internal DPR dan pemerintah ini menunjukkan bahwa sebenarnya
DPR dan pemerintah belum memiliki keseriusan untuk melakukan revisi pada UU BI karena
masih simpang siur kesepakatan antara satu pihak dan pihak lainnya. 5
Setidaknya terdapat lima poin dalam revisi UU BI yang dikhawatirkan menghilangkan
independensi bank sentral. Poin-poin tersebut yaitu:
a. Pembentukan Dewan Moneter yang beranggotakan OJK, Bank Indonesia, dan
Menteri Keuangan untuk membantu bank sentral merencanakan dan menertibkan
kebijakan moneter
b. Mengalihkan kewenangan pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
ke Bank Indonesia
c. Penghapusan Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI)
d. Pemberian hak kepada Menteri Keuangan untuk ikut dalam rapat dewan Gubernur
Bank Indonesia
Poin-poin tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam kajian kali ini.

Konsep Independensi BI

Seperti yang dapat kita ketahui di sini bahwa, Bank Indonesia merupakan tiang utama
dalam stabilitas ekonomi yang ada di Indonesia, yang mana institusi ini bekerja secara
independen dan mandiri untuk menunjang ketiga pilar tersebut agar menguatkan rupiah dalam
praktik perekonomian baik yang berdampak ke dalam negeri maupun luar negeri. Makna
independensi sendiri memiliki banyak spektrum yang tidak dapat kita interpretasi secara pasti,
bagaimana sebuah “Bank Sentral” ini dapat bekerja sendiri, atau mungkin membuat kebijakan
sendiri yangmana suatu lembaga independensi ini tak lepas dari undang-undang dari legislatif
bagaiman suatu institusi independen ini dapat bergerak.6 Seperti dapat kita tinjau dari Pasal 4
ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Bank Indonesia merupakan
lembaga independen, yang mana dapat kita ketahui juga bahwa suatu legislasi undang-undang

5
Setiawan, Kodrat, “Fraksi Golkar Tidak Setujui Revisi UU BI”, https://bisnis.tempo.co/read/1388109/fraksi-
golkar-tidak-setuju-revisi-uu-bank-indonesia, diakses pada 24 November 2020
6
Ottmar Issing, “Central Bank Independence – Economic and Political Dimensions”, Cambridge University
Press, No. 196, April 2006, hlm. 67-68
5
juga tidak lepas dari faktor politik saat proses perancangannya. 7 Lalu, bagaimana konsep
independensi itu sendiri dalam Bank Indonesia?
Dalam konstitusi, masalah independensi dari Bank Indonesia sendiri tidak diatur secara
rigid. Di mana menurut ketentuan dalam Pasal 23D UUD NRI 1945 menyatakan bahwa
mengenai Independensi dari bank sentral, in casu Bank Indonesia, diatur dengan undang-
undang.8 Maknanya bahwa independensi dari Bank Indonesia sendiri secara politis dapat
ditentukan serta dimungkinkan untuk diubah sesuai dari kehendak para pembentuk undang-
undang, in casu Presiden bersama DPR. Apabila meninjau dari Pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 4
ayat (2) UU BI, BI memiliki kewenangan dalam bekerja yang sudah diatur dalam undang-
undang dengan berperan sebagai lembaga independen yang memiliki hak untuk mengerjakan
kewenangan tersebut tanpa ada intervensi atau bantuan dari pihak eksternal.9 Pasal 7 (2) UU
BI juga menyatakan bahwa:
“Bank Indonesia melaksankaan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang
perekonomian”10
Dalam independensi tersebut, Bank Indonesia juga harus memberikan pertanggungjawabannya
kepada elemen masyarakat luas agar kinerja Bank Indonesia dalam mengatur bidang moneter
negara dapat mencapai tujuannya dengan baik. Alasan Bank Indonesia sendiri harus
independen tidak lepas dari tiga hal, yaitu mencegah adanya campur tangan politik dan
pengaruh eksternal, bertujuan merealisasikan tujuan utamanya yaitu menjamin stabilitas harga
untuk mencegah adanya kepentingan tidak penting yang mengacu pada tujuan yang tidak jelas,
serta menjaga kerangka kebijakan moneter untuk menjaga stabilitasnya tersebut.11 Seperti kita
ketahui, pada periode-periode lalu, gejolak politik serta pihak-pihak luar berusaha menguasai
dan mengintervensi Bank Indonesia sampai dirilisnya UU BI, di mana BI diatur dan

7
Vide Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
8
Lihat ketentuan dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9
Vide Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
10
Vide Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
11
Ibid, hlm. 69
6
diamanatkan dalam undang-undang tersebut.12 Lalu, bagaimana marwah independensi yang
seharusnya dimiliki oleh Bank Indonesia? Sejatinya, independensi tidak dapat kita tafsirkan
bahwa Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan lembaga negara lainnya, seperti suatu klausa
sebab akibat, eksistensi Bank Indonesia sebagai suatu lembaga independen melahirkan suatu
tanggung jawab untuk melakukan check and balance dengan lembaga lainnya. Di mana Bank
Indonesia dapat menjadi lembaga yang ikut serta dalam pembahasan ekonomi yang ada
sangkut pautnya dengan Bank Indonesia, serta dapat berpendapat dan memberikan
pertimbangan tentang tindakan pemerintah yang menyangkut anggaran negara dan tugas serta
wewenang Bank Indonesia.13 Seperti yang dapat kita lihat dari Pasal 41 ayat (1) UU BI bahwa
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur merupakan usulan dari Presiden
dengan persetujuan dari DPR, di mana pada Pasal 41 ayat (3) jika DPR tidak menghendaki
maka Presiden wajib mengajukan calon baru yang sekiranya piawai. Dengan faktor-faktor yang
sudah disebutkan, Bank Indonesia merupakan suatu lembaga yang bergerak secara independen
yang sudah memiliki kewenangan sendiri tanpa ada intervensi eksternal khususnya politik.
Dapat ditarik garis bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga independen, yang secara
struktural tidak berada dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di Indonesia,
dapat dan harus bekerja secara mandiri dalam membangun dan menetapkan kebijakan moneter
yang berguna untuk menunjang perkembangan dan kesinambungan ekonomi yang ada di
Indonesia. Kinerja Bank Indonesia sudah diatur dalam hukum positif yang di mana Bank
Indonesia diberi hak secara mandiri untuk melaksanakan tugasnya tersebut tanpa ada intervensi
dari pihak lain yang akan mengganggu kinerja dari Bank Indonesia itu sendiri. Akan tetapi,
karena tindakan Bank Indonesia merupakan tindakan yang krusial yaitu dalam ekonomi makro
yang dapat berdampak bagi masyarakat luas, Bank Indonesia juga masih membutuhkan
keputusan Presiden dan/atau DPR untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat luas,
yangmana dapat disimpulkan bahwa konsep independensi Bank Indonesia terletak dalam
implementasi kebijakan serta perannya sebagai stabilitator ekonomi untuk menunjang
kehidupan rakyat banyak. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri juga bahwa sebagai pengambil

12
Lely Savitri Dewi, “Kajian Independensi Bank Indonesia dalam Kedudukannya sebagai Bank Sentral Menurut
Tinjauan Hukum Berdasarkan UUBI Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, Coopetition, Vol.9, No.1,
Mei 2018, hlm. 45
13
Febriansyah Fredi Alsabah, Siluh Putu Dawisni Manik Pinatih, “Analisis Yuridis tentang Independensi Bank
Indonesia Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia”, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 1, Februari 2014, hlm. 3-4
7
keputusan yang vital tersebut, Bank Indonesia masih membutuhkan pertimbangan Presiden
dan/atau DPR agar tujuannya dapat diimplementasikan dengan baik.

Konsep Pengawasan Bank

Dalam praktiknya, bank berfungsi untuk menghimpun dana masyarakat dan dapat
diklasifikasikan sebagai direct investment bagi para nasabah untuk mendapatkan profit dari
bunga yang diberikan oleh bank. Bank dipercaya oleh masyarakat untuk menghimpun dana
karena dalam kehidupan sehari-hari mudah untuk digunakan seperti pada halnya kartu ATM.
Masyarakat akan mudah melakukan transaksi tanpa harus memegang uang secara tunai untuk
dibawa ke mana-mana dan secara praktis uang tersebut tersimpan dalam kartu ATM tersebut.
Akan tetapi, harus diperhatikan juga proses bekerja dalam bank itu sendiri. Mungkin dari para
karyawan, pimpinan, ataupun direksi dari bank yang melakukan tindakan menyimpang yang
dapat mengganggu kesehatan bank serta dapat menyebabkan kehancuran pada bank itu sendiri.
Seperti kasus yang sedang terjadi yaitu hilangnya uang Winda Lunardi sekitar Rp 22 Miliar
pada PT. Maybank Indonesia.
Sejatinya, independensi suatu lembaga menurut hukum diukur dari empat aspek yaitu
independensi institusional, fungsional, organisasional, dan finansial. Lebih lanjut,
independensi institusional disebut sebagai political atau goal independence yang mana terpisah
dari lembaga eksekutif atau pemerintah dan memiliki tujuan yang tidak terpengaruhi pihak
eksternal.14 Dalam Pasal 24 UU Nomor 23 Tahun 1999,15 disebutkan Bank Indonesia
merupakan lembaga yang berwenang dalam mengawasi jalannya bank, yang diatur juga pada
Pasal 8 poin c UU a quo bahwa Bank Indonesia memiliki tugas untuk mengatur dan mengawasi
bank. Seperti kita ketahui juga, Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki haknya pada
pengawasan bank umum yang ada di masyarakat. Pengawasan oleh Bank Indonesia juga
memiliki dua prinsip, yaitu macro-economic supervision yang berarti pengawasan dilakukan
dalam rangka mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan
menjaga kestabilan moneter dan prudential supervision yaitu pengawasan yang mendorong
bank secara individual agar tetap sehat dan dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan

14
Sulistyandari, “Lembaga dan Fungsi Pengawasan Perbankan di Indonesia”, Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 2,
Juni 2012, hlm. 233
15
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
8
baik.16 Jika kita lihat pada fungsi/tugas pengaturan dan pengawasan oleh Bank Indonesia kala
itu, Bank Indonesia mengawasi dalam 4 (empat) kelompok besar yaitu pengaturan,
pengawasan, perizinan, dan pemberian saksi yang diimplementasikan yaitu berupa tindakan
hukum sepihak yang berupa keputusan yang ditujukan untuk umum/keputusan yang bersifat
umum dan tugas Bank Indonesia memberikan izin usaha bank merupakan tindakan hukum
sepihak.17 Akan tetapi, dengan dirilisnya UU 3/2004 atas perubahan UU 23/199918, lembaga
pengawasan bank dilakukan oleh OJK (yang kemudia diciptakan tahun 2011) dengan
penjelasan Pasal 34 (1) UU a quo bahwa terdapat lembaga pengawasan jasa keuangan yang
independen baik terhadap sektor perbankan dan sektor ekonomi lainnya. Yang di mana akan
berperna sebagai supervisory board dan berkoordinasi dengan Bank Indonesia sebagai bank
sentral.
Setelah perubahan tersebut, pengawasan sektor perbankan diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) untuk menggantikan tugas dari Bank Indonesia, yang diatur dalam UU
21/2011 tentang OJK.19 Pasal 5 UU a quo sudah menjelaskan bahwa OJK berfungsi untuk
melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan. Yang
selanjutnya diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9 UU a quo yang terlihat lebih spesifik
diatur dibanding pengawasan oleh Bank Indonesia pada UU 23/1999. Pada Pasal 7 UU OJK
disebutkan bahwa OJK memiliki kewenangan sendiri dalam bertindak mengawasi bank umum
yang ada di Indonesia.20 Terdapat pelimpahan kekuasaan dari Bank Indonesia kepada OJK
sebagai lembaga independen yang dapat berfungsi untuk mengawasi sektor keuangan. Akan
tetapi, pada Pasal 40 (1) UU OJK mengatakan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan dapat dilakukan secara independen tanpa ada pemberitahuan kepada OJK. Tentu
hal ini cukup kontradiktif mengingat sudah terdapat pelimpahan kekuasaan yang ada dari Bank

16
Ahmad Solahudin, “Pemisahan Kewenangan Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam
Pengawasan Bank”, Jurnal IUS, Vol. 3, No. 7, April 2015, hlm. 112-113
17
Sulistyandari, op. cit. hlm. 231
18
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357)
19
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5253)

20
Vide Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

9
Indonesia kepada OJK yang mana seharusnya hanya terdapat satu lembaga independen dalam
sektor pengawasan.

Konsep Kebijakan Moneter dan Fiskal

Kebijakan moneter diartikan sebagai instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral dalam bentuk pengaturan likuiditas untuk mengatur jumlah uang yang
beredar di masyarakat.21 Pada hakikatnya, kebijakan moneter merupakan suatu instrumen BI
yang bertujuan untuk mencapai kestabilan tingkat harga melalui kebijakan kredit ketat,
pembelian/penjualan surat berharga, penetapan giro wajib minimum, dan imbauan moral.
Tujuan ini sesuai dengan yang sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia.22 Kestabilan mata uang tersebut tercermin dari perkembangan harga barang
dan/atau jasa serta tingkat inflasi di suatu negara berdasarkan jumlah uang beredar di
masyarakat.23 Kebijakan moneter dibagi menjadi dua. Pertama, moneter ekspansif, sebuah
instrumen moneter yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar. Kedua,
moneter kontraktif, sebuah instrumen moneter yang berfungsi untuk menurunkan jumlah uang
yang beredar.24
Sementara itu, konsep kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan perekonomian yang
dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri keuangan, dalam perannya untuk
mengelola, mengarahkan, dan menstabilisasi kondisi perekonomian suatu negara kepada arah
yang lebih baik.25 Adapun tujuan dari kebijakan fiskal merupakan tercapainya kestabilan
perekonomian nasional, strategi untuk mengatasi penganguran, mewujudkan keadilan sosial
dan distribusi pendapatan, dan mendorongnya laju investasi serta kesempatan kerja yang luas.26
Pengklasifikasikan kebijakan fiskal terbagi menjadi dua jenis. Pertama, fiskal ekspansif, yakni

21
Perry Warjiyo, Solikin (2003). Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat Pendidikan Dan Studi Kebankstralan
Bank Indonesia. hlm. 2.
22
Vide Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
23
BI, “Tujuan Kebijakan Moneter”, https://www.bi.go.id/id/moneter/tujuankebijakan/Contents/Default.aspx,
diakses pada 23 November 2020.
24
Simorangkir, Iskandar. "Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia: Suatu kajian dengan pendekatan
game theory." Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 9.3 (2007): 5-30.
25
Jurnal.id, Jurnal Entrepreneur, Pengertian Kebijakan Fiskal dan Tujuannya,
https://www.jurnal.id/id/blog/pengertian-kebijakan-fiskal-dan-tujuannya/, diakses pada 23 November 2020.
26
Ibid.
10
serangkaian tindakan fiskal melalui instrumen perpajakan dan/atau pengeluaran pemerintah
guna menstabilisasi perekonomian. Hal ini dimaksudkan agar suatu negara tetap memiliki
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan progresif dan baik.27 Kedua, fiskal kontraktif, yakni
instrumen fiskal guna mengurangi daya beli masyarakat dengan kebijakan perpajakan dan/atau
pengeluaran pemerintah agar tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat penganguran tetap
terkendali pula.28
Menilik dari jenis dan tujuan daripada kedua kebijakan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa latar belakang dan tujuan dari kedua kebijakan tersebut pada hakikatnya memiliki
perbedan. Kebijakan moneter terfokus pada kebijakan BI untuk mengendalikan stabilitas harga
melalui instrumen giro wajib minimum, pembelian/penjualan surat berharga, kebijakan kredit
ketat, dan imbauan moral.29 Sementara itu, kebijakan fiskal lebih terkait dengan rencana
pemerintah untuk menstabilisasi perekonomian negara secara makro demi terwujudnya
pertumbuhan ekonomi, rendahnya tingkat penganguran, iklim investasi yang baik, dan
menghindari resesi ekonomi.30 Oleh karena itu, kedua kebijakan tersebut sebaiknya tidak
dilaksanakan oleh pihak yang sama demi menghindari penyatuan fungsi dalam pelaksanaan
instrumen kebijakan.
Sebagai contoh, apabila kedua kebijakan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah, besar
kemungkinan bahwa tujuan daripada kebijakan moneter tidak akan tercapai dengan efektif. Hal
ini dikarenakan adanya potensi pemanfaatan instrumen moneter oleh pemerintah demi
mendukung pelaksanaan kebijakan fiskal yang merupakan kebijakan pemerintah.31 Dengan
adanya eksistensi Dewan Moneter di mana terdapat komposisi pemerintah di dalamnya,
dikhawatirkan akan terjadi penyelewengan fungsi moneter yang akan mengakibatkan tidak
efektifnya pelaksanaan instrumen moneter untuk menstabilisasi harga mengingat pada saat
yang sama terdapat potensi banyaknya kepentingan politik yang dapat mengintervensi

27
Yuniwinsah, Fadhliah, and Ali Anis. "ANALISIS KAUSALITAS KEBIJAKAN FISKAL EKSPANSIF,
KEBIJAKAN MONETER EKSPANSIF DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA", Jurnal Kajian
Ekonomi dan Pembangunan 2.1 (2020).
28
Ibid.
29
Sudirman, I. Wayan, and SU SE. Kebijakan Fiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal. Prenada Media, 2017.
30
Ibid.
31
Sabirin, Syahril. "Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter-Perbankan dan Independensi
Bank Indonesia." Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional:“Strategi Pemulihan Ekonomi Era
Pemerintahan Baru. 2000.
11
kebijakan sektoral pemerintahan.32 Maka dari itu, independensi lembaga, dalam hal ini adalah
Bank Indonesia sangat krusial dalam melaksanakan tugasnya untuk mengendalikan jumlah
uang beredar guna mencapai tujuan instrumen moneter, yakni stabilisasi tingkat harga. Selain
itu, hal ini demi menunjang efektivitas berkelanjutan dari kebijakan fiskal agar tetap mendapat
fokus utama dari pemerintah selaku pembuat kebijakan.33 Perihal lain yang perlu
dipertimbangkan adalah mengingat dapat digunakannya instrumen moneter demi kepentingan
politik, misalnya mendorong pertumbuhan ekonomi secara berlebihan. Hal ini dapat
berdampak buruk dalam jangka panjang bagi negara. Oleh sebab itu, independensi Bank
Indonesia adalah fundamental dalam pelaksanaan kebijakan moneter.34

Pembentukan Dewan Moneter: Tinjauan Historis dan Permasalahannya

Dewan Moneter berawal di Indonesia pada tahun 1953 berdasarkan Undang-Undang


No. 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Dewan
Moneter dipimpin oleh Menteri Keuangan dan beranggotakan Menteri bidang ekonomi dan
Gubernur Bank Indonesia.35 Dewan Moneter merupakan bagian dari Pimpinan Bank Indonesia,
yang terdiri dari Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasehat.36 Dewan Moneter, dalam
melaksanakan tugasnya, dibantu oleh Dewan Penasehat.
Tugas dari Dewan Moneter adalah untuk menetapkan kebijakan umum moneter dari
Bank Indonesia dan memberi arahan kepada direksi berkaitan dengan kebijakan bank.37 Dewan
Moneter memastikan pengendalian jumlah uang beredar dan jumlah yang dibutuhkan bisa
seimbang. Dewan Moneter memiliki dua fungsi sebagai executing body, yang berarti
mengeluarkan keputusan yang mengikat sebagai pertanggungjawaban akhir dari pemerintah,
dan coordinating body, yaitu mengkoordinir fungsi yang mempengaruhi kondisi moneter untuk

32
Kompas.id, ‘RUU BI Mengancam Independensi Bank Sentral”, https://kompas.id/baca/riset/2020/09/09/ruu-
bi-mengancam-independensi-bank-sentral/, diakses pada 24 November 2020.
33
Gusman, Delfina, and MH SH. "Independensi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”." Jurnal Normative (2010).
34
Katadata, “Revisi UU BI ala DPR, Upaya Intervensi Kebijakan Moneter?”, diakses pada 23 November 2020,
https://katadata.co.id/sortatobing/finansial/5f4f6da54fdba/revisi-uu-bi-ala-dpr-upaya-intervensikebijakan-
moneter
35
Mengintip Sejarah Dewan Moneter dan Dampaknya Pada Ekonomi Indonesia | merdeka.com (2020). Available
at: https://www.merdeka.com/uang/mengintip-sejarah-dewan-moneter-dan-dampaknya-pada-ekonomi-
indonesia.html (Accessed: 20 November 2020).
36
Vide Pasal 21 Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia.
37
Vide Pasal 22 Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia.
12
membantu pemerintah dalam hal kebijakan yang berbentuk peraturan pemerintah.38 Dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 1953, keputusan Dewan Moneter diambil dengan suara
terbanyak, anggota Dewan Moneter yang kalah suara dalam satu minggu berhak meminta agar
pokok pertikaian itu diajukan kepada Dewan Menteri untuk diputuskan.39
Adanya Dewan Moneter dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tidak sesuai
dengan pemikiran Mr. Sjafruddin Prawiranegara selaku Gubernur Bank Indonesia pertama.40
Sjafruddin mengatakan bahwa keberadaan Dewan Moneter dalam jajaran pimpinan Bank
Indonesia membuat batas organisatoris antara pemerintah dan Bank Indonesia menjadi tidak
jelas.41 Menurutnya, untuk menghubungkan antara pemerintah dan Bank Indonesia diperlukan
adanya suatu Dewan Koordinasi yang berisikan wakil dari pemerintah dan wakil dari direksi
Bank Indonesia yang berada di luar struktur kepemimpinan bank sentral untuk mencegah
adanya intervensi dari pemerintah dan supaya bank sentral tidak terlalu independent.42 Namun
konsep dewan ini tidak pernah terwujud.43
Pada tahun 1953-1959, Dewan Moneter telah menghasilkan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:44
a. Keputusan Dewan Moneter tentang Tambahan Pembayaran Impor untuk pemasukan
barang impor golongan III (golongan mewah) dan golongan IV, sebesar 200% dan
400%;
b. Keputusan Dewan Moneter yang berisi pengaturan umum tentang pembataasan kredit
oleh badan kredit partikelir;
c. Keputusan Dewan Moneter yang mengatur tentang pendirian cabang bank wajib
dengan persetujuan Bank Indonesia;
d. Menetapkan syarat-syarat umum mengenati penutupan cabang badan kredit.

38
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1953-1959. Jakarta, p.4.
39
Vide Pasal 24 Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia.
40
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1953-1959. Jakarta, p.4.
41
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1953-1959. Jakarta, p.4.
42
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1953-1959. Jakarta, p.4.
43
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1953-1959. Jakarta, p.4.
44
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1953-1959. Jakarta, p.7.
13
Keanggotaan Dewan Moneter beberapa kali berganti seiring pergantian kabinet yang terjadi
saat Indonesia menganut sistem parlementer sampai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
1959.45
Pada tahun 1960 setelah dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1960,
dilakukan pengelompokkan kembali Kabinet Kerja II, dimana intervensi pemerintah dalam
tugas dan tata kerja Bank Indonesia menjadi lebih kuat. Hal ini semakin diperkuat dengan
pengelompokkan Kembali Kabinet Kerja II pada 6 Maret 1962 sampai 13 November 1963
berdasarkan Keputusan Presiden No. 94 Tahun 1962 yang menyebutkan bahwa bidang
keuangan dipimpin oleh seorang Wakil Perdana Menteri yang meliputi urusan pendapatan,
pembiayaan, dan pengawasan; urusan anggaran negara; dan urusan bank sentral. Karena
perubahan struktur ini dan pengangkatan Mr. Soemarno menjadi Menteri Urusan Bank Sentral
yang kemudian menggunakan aparatur Bank Indonesia, maka Dewan Moneter dinonaktifkan
dan wewenangnya untuk menentukan kebijakan moneter dialihkan ke kabinet.46 Pada periode
tahun 1966-1983, Dewan Moneter diadakan kembali dengan otoritasnya di bidang moneter
sehingga Bank Indonesia memiliki independensi yang relatif.47 Dewan Moneter bertugas
menyiapkan kebijaksanaan moneter dan ditetapkan oleh Presiden.48
Pada tahun 1966 terjadi inflasi dan sanering.49 Terjadi devaluasi di tahun 1971 dengan
devaluasi 10%, tahun 1978 dengan devaluasi 50%, tahun 1983 dengan devluasi 38%, dan tahun
1986 dengan devaluasi 47%.50 Inflasi juga terjadi di tahun 1973 sebesar 31%, tahun 1974
sebesar 40%, tahun 1976 sebesar 20%, tahun 1975 sebesar 20%, tahun 1976 sebesar 20%,
tahun 1979 sebesar 16% dan tahun 1980 sebesar 18%.51 Puncak inflasi terjadi di tahun 1998
dengan inflasi sebesar 58%.52 Menurut Anthony Budiawan, Direktur Manajemen Political

45
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1953-1959. Jakarta, p.6.
46
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1959-1966. Jakarta, p.8.
47
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1966-1983. Jakarta, p.4.
48
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1966-1983. Jakarta, p.4.
49
Dewan Moneter Pernah Ada dan Gagal Jalankan Tugas, Ini Sejarahnya (2020). Available at:
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4354101/dewan-moneter-pernah-ada-dan-gagal-jalankan-tugas-ini-
sejarahnya (Accessed: 20 November 2020).
50
Ibid.
51
Ibid.
52
Ibid.
14
Economy and Policy Studies (PEPS), Bank Indonesia akhirnya dibuat independent
dikarenakan trauma krisis tersebut.53
Keberadaan Dewan Moneter sebelum adanya krisis ekonomi di tahun 1997 menjadikan
status dan peranan Bank Indonesia dipandang tidak cocok lagi dalam menghadapi
perkembangan dan dinamika perekonomian nasional dan internasional saat itu dan di masa
yang akan datang.54 Maka dari itu, dirasa dibutuhkan dasar hukum baru yang memberikan
status, tujuan, dan tugas yang sesuai pada Bank Indonesia sebagai bank sentral.55 Pada tahun
1999, ditetapkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dimana
penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter termasuk dalam tiga tugas pokok Bank
Indonesia.56 Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia
berwenang untuk menetapkan sassaran-sasaran moneter dan melakukan pengendalian moneter
dengan: a) operasi pasar terbuka; b) penetapan tingkat diskonto; c) penetapan cadangan wajib
minimu; dan d) pengaturan kredit atau pembiayaan.57 Maka dari itu, efektivitas pelaksanaan
kebijakan mneter menjadi tergantung pada system nilai tukar dan system devisa yang dipilih,
dan Bank Indonesia mendapat kewenangan untuk menjalankan kebijakan nilai tukar dan
pengelolaan cadangan devisa yang sejalan dengan tujuan kebijakan moneter untuk mendukung
sinergi pelaksanaan pembangunan ekonomi.58
Sebelum melakukan analisa pasal terkait, perlu Penulis memberikan disclaimer bahwa sumber
primer berupa RUU Perubahan ini beserta naskah akademiknya tidak dapat ditemukan dalam
kanal-kanal terkait sampai ditulisnya kajian ini. Oleh sebab itu, penulis melihat pasal-pasal
yang diubah melalui Laporan Singkat beserta Dokumen Pendukung Lain oleh Badan Legislasi
DPR-RI. Tertan.ggal 31 Agustus 2020.59 Dalam dokumen tersebut dapat ditemukan bahwa
salah satu materi muatan perubahan dalam RUU ini adalah untuk mengembalikan keberadaan
Dewan Moneter. Secara umum esensi yang hendak dibawa dalam agenda perubahan yang

53
Ibid.
54
Wariyo, P., 2003. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank
Indonesia, p.41.
55
Wariyo, P., 2003. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank
Indonesia, p.41.
56
Vide Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
57
Vide Pasal 10 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
58
Wariyo, P., 2003. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank
Indonesia, p.42.
59
https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/389. Diakses pada 4 Desember 2020.
15
menghadirkan kembali Dewan Moneter dalam kelembagaan bank sentral tak ubahnya adalah
agar pemerintah dapat terlibat secara besar dalam kebijakan-kebijakan moneter yang diambil.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan seperti dalam pasal 7 ayat (3) RUU ini yang
menyatakan bahwa:
“Penetapan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dewan
Moneter”
Adapun ketentuan pasal 7 ayat (2) yang direfer tidak mengalami perubahan melainkan masih
sama dengan materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 yang menyatakan
bahwa:
“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan
kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mendukung
kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian”
Sebelum menganalisa lebih jauh, konstruksi pasal 7 ayat (3) RUU ini yang memberikan
konstruksi bahwa Dewan Moneter menetapkan kebijakan moneter berpotensi bertentangan
dengan pasal 9A ayat (1) RUU ini menyatakan bahwa:
“Dewan Moneter membantu Pemerintah dan Bank Indonesia dalam merencanakan dan
menetapkan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7”
Dari konstruksi pasal 9A ayat (1) tersebut memiliki definisi yang berbeda dimana Dewan
Moneter hanya memiliki tugas “membantu merencanakan dan menetapkan kebijakan
moneter”. Permasalahan selanjutnya dengan konstruksi pasal demikian pemegang otoritas
moneter jika RUU ini disahkan adalah Bank Indonesia dan pemerintah. Hal ini menjadi logis
pula dikarenakan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang melarang
tegas pihak lain termasuk pemerintah melakukan segala bentuk campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas Bank Indonesia selaku otoritas moneter.
Spirit yang ingin dibawa dalam RUU ini, terkhusus dengan adanya Dewan Moneter,
tidak lain adalah untuk mengembalikan intervensi pemerintah terhadap bank sentral. Setelah
tadi secara eksplisit dinyatakan bahwa pemerintah juga berwenang merencanakan dan
menetapkan kebijakan moneter, struktur keanggotaan Dewan Moneter yang menjadi fokus
pembahasan ini juga kuat dengan nuansa eksekutif. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa
ketentuan seperti dalam pasal 9A ayat (3) RUU a quo yang menyatakan bahwa:

16
“Dewan Moneter terdiri dari 5 (lima) anggota, yaitu Menteri Keuangan dan 1 (satu)
orang menteri yang membidangi perekonomian; Gubernur Bank Indonesia dan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia; serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan”
Pasal 9A ayat (4):
“Jika dipandang perlu, Pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri
sebagai anggota penasehat kepada Dewan Moneter”
Pasal 9B ayat (1):
“Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan.”
Premis di awal dapat dibuktikan dengan tiga ketentuan di atas yang mana secara keanggotaan
Dewan Moneter yang merupakan unsur pemerintah terdapat Menteri Keuangan yang juga
sebagai ketua serta seorang menteri bidang perekonomian. Belum lagi dengan
dimungkinkannya menambah penasehat Dewan Moneter juga menjadi domain pemerintah
untuk mengisinya dengan beberapa atau dapat lebih dari satu menteri. Dalam hal ini dengan
strategisnya kewenangan Dewan Moneter dalam kebijakan moneter membawa problematika
tersobeknya tirai independensi bank sentral ini. Hal ini sebenarnya dapat langsung ditangkap
ketika secara historis dahulu dihapuskannya keberadaan Dewan Moneter yang tugas dan
fungsinya digantikan oleh lembaga Dewan Gubernur Bank Indonesia yang diketuai oleh
seorang Gubernur dibantu Deputi Gubernur Senior merupakan satu bentuk ikhtiar penegasan
independensi Bank Indonesia secara organisatoris.60 Bisa saja dengan campur tangan
pemerintah yang berpengaruh langsung pada lemahnya independensi Bank Indoensia
kelemahan-kelemahan yang terjadi di masa lalu dapat kembali terjadi.

Implikasi Sobeknya Independensi Bank Indonesia

“Ketentuan independensi Bank Indonesia paska reformasi mendapat ujian yang berat dari
mereka yang tidak menghendaki terjadinya reposisi Bank Indonesia dalam struktur
ketatanegaraan Republik Indonesia. Mereka berupaya untuk campur tangan terhadap
independensi Bank Indonesia, baik melalui jalur hukum formal dan jalur politik formal, yang
kesemuanya itu bermaksud “mengobok-obok” Bank Indonesia”
-Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012.

60
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 103
17
Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen sebagaimana digariskan pasal 23D
UUD NRI Tahun 1945. Lebih lanjut independensi Bank Indonesia ini sendiri juga ditegaskan
dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa:
“bahwa untuk menjamin keberhasilan tujuan memelihara stabilitas nilai rupiah diperlukan
bank sentral yang memiliki kedudukan yang independen”
Secara historis Undang-Undang tersebut dibentuk sebagai tindak lanjut amanat Sidang
Istimewa MPR yang kala itu masih menjadi lembaga tertinggi negara yang pada intinya
menyatakan dalam rangka pengelolaan ekonomi nasional yang sehat maka diperlukan bank
sentral yang mandri, bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak luar lainnya. 61 Secara
komparatif status independen seperti ini juga mengikuti trend bank sentral di seluruh dunia
kala itu diantaranya bank sentral Inggris, bank sentral Jepang, dan bank sentral Jerman.62
Tujuan utama pemberian status independen Bank Indonesia ini tidak lain, sekurang-kurangnya
dari aspek hukum, agar dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang moneter secara efektif
sekaligus memberikan jaminan kepastian hukum status kelembagaan Bank Indonesia.63
Semangat inilah yang coba dibawa dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 yang
memberikan status independen kepada bank Indonesia agar lebih fokus dalam hal moneter,
perbankan, dan sistem pembayaran.64 Pengaturan seperti ini dapat dibaca dengan melihat
konteks ketika keterlibatan pemerintah dalam tubuh Bank Indonesia besar ekses buruk yang
terjadi juga sama besarnya.
Dengan tidak otonominya Bank Indonesia pada masa lalu menjadikan tugas dan fungsi
yang harus ia laksanakan justru tidak optimal. Salah satu faktor utamanya adalah tak jarang
pada periode orde lama maupun orde baru dengan kuatnya campur tangan pemerintah dalam
hal kebanksentralan menjadikan posisi Bank Indonesia seringkali difungsikan sebagai
subordinatif dari kekuatan dan kekuasaan pemerintah.65 Selain itupula implikasi positif lainnya
dengan adanya independensi ini memberikan suatu corak tidak lagi ada kebijakan pemerintah
yang ditipkan apalagi dipaksakan kepada Bank Indonesia.66 Tanpa bermaksud menganggap

61
Op cit, hlm.99
62
Bambang Murdadi, “Independensi Bank Indonesia di Persimpangan Jalan”, Vol. 9 Np. 1, September 2012,
hlm. 1.
63
M. Dawam Rahardjo, 2001, Independensi Bank Indonesia dalam Kemelut Politik, Pustaka Cidesindo, Jakarta,
hlm. 47-48
64
Didik J Rachbini dkk, 2000, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, Mardi Mulyo, Jakarta, hlm.
15
65
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit., hlm. 100
66
Didik J. Rachbini dan Suwidi Tono, op.cit hlm. 168-169.
18
semua kebijakan pemerintah buruk, terlalu naif jika hal tersebut diutarakan. Namun, dengan
kapasitas pemerintah yang harus fokus megurus kebijakan fiscal ditambah lagi dengan
kemungkinan kencangnya kepentingan-kepentingan politik membuat baying-bayang buruk
intervensi pemerintah berupa kebijakan titipan semakin menganga. Di masa silam hal ini
pernah terjadi, contohnya pada saat pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 Bank Indonesia
mempunyai kewenangan untuk menyalurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Saat itu juga, bank Indonesia merupakan bagian dari
pemerintah. Menyikapi krisis keuangan yang terjadi pada 1997 bantuan diberikan kepada
Bank-Bank yang bermasalah dengan total bantuan sebesar RP. 144,536 triliun dan dalam
tataran praktiknya disalahgunakan hampir sebesar 95,5% atau senilai Rp. 138,442 Tririliun.67
Dalam hal ini, peran pemerintah terkait kebijakan BLBI sangatlah besar karena di masa itu
dalam rezim hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 wewenang BI berada dalam
lingkup kebijakan moneter yang ditetapkan Dewan Moneter yang jelas domain kuat pihak
eksekutif. Dapat disimpulkan konstruksi tersebut adalah dengan tugas pokok Bank Indonesia
yang ‘membantu’ pemerintah dan secara sruktural juga independensinya yang bias
menyebabkan kebijakan yang harusnya ia tetapkan dan laksanakan sebagai bank sentral akan
memiliki berbagai macam rintangan untuk mencapai tujuan.

Pengalihan Kewenangan Pengawasan Bank dari OJK ke BI

Pada akhir masa orde baru, Indonesia memusatkan perkembangan perekonomiannya


pada sektor perbankan (banking centric) yang sebenarnya menyimpan risiko sistemik terhadap
jasa keuangan lain sehingga dapat mengganggu stabilitas finansial negara secara keseluruhan.68
Krisis moneter 1998 menjadi bukti seberapa bahaya ketergantungan suatu negara terhadap satu
sektor ekonomi saja, dalam hal ini Indonesia hanya mengandalkan sektor perbankan.
Krisis ini bermula pasca penerbitan paket deregulasi perbankan pada bulan Oktober
1988 yang mendorong pertumbuhan sektor perbankan seiring dengan semakin mudahnya

67
Nurhayani, “Upaya Penyelesaian BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia”, Jurnal Lex Jurnalica Vol. 4 No.
1, Desember, 2006. Hlm. 31
68
Paripurna Suganda,” Status Hukum dan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan”
19
perizinan di dalam mendirikan bank (liberalisasi perbankan).69 Kebijakan liberalisasi
perbankan ditambah dengan jaminan bahwa setiap pinjaman dijamin pelunasannya oleh
pemerintah melalui Kepres No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Umum mendorong semakin banyak debitur yang mengajukan pinjaman
kepada bank-bank di Indonesia.70 Namun, liberalisasi sistem keuangan yang tidak dibarengi
dengan penguatan budaya kredit yang baik membuat banyak debitur yang mengajukan
pinjaman banyak yang tidak mengembalikan pinjamannya.71 Peningkatan pinjaman macet ini
kemudian meningkatkan kerugian pinjaman yang berakhir pada menurunnya modal bank-bank
tersebut. Dengan modal yang kian menipis, bank-bank tersebut akhirnya terpaksa menolak
pinjaman dari para debitur yang justru benar-benar membutuhkan pinjaman tersebut sehingga
mereka tidak dapat membiayai kegiatan mereka. Hal ini menyebabkan menurunkan daya beli
debitur (masyarakat) yang kemudian berdampak pada menurunnya perekonomian secara
umum.72
Pelemahan ekonomi ini kemudian dipandang sebagai sebuah kesempatan oleh investor
pasar valuta asing yang justru bertaruh untuk mengambil keuntungan dari adanya selisih antara
dolar AS dan rupiah yang sedang terdepresiasi sebesar-besarnya.73 Dengan atau tanpa disadari,
kegiatan ini kian membanjiri pasar valuta asing dengan mata uang rupiah sehingga semakin
mendepresiasi nilai rupiah di antara mata uang lain di dunia. Penurunan nilai mata uang rupiah
ini kemudian berdampak buruk pada perusahaan di Indonesia yang memiliki utang dengan
perusahaan asing sebab utang mereka secara riil meningkat seiring dengan menurunnya nilai
mata uang rupiah sehingga banyak perusahaan bangkrut dan memulangkan para karyawannya
karena tidak mampu untuk membayarnya. Hal ini mendorong krisis yang semakin besar,
mengingat angka pengangguran kemudian meningkat tetapi harga barang pokok juga
meningkat sebagai imbas dari adanya inflasi.
Perlu dicatat bahwa sebelum terjadinya krisis BI, sebagai pengawas perbankan,
menggunakan konsep pengawasan mikroprudensial. Pengawasan mikroprudensial adalah

69
Dupla Kartini, “Perbankan Dalam Pusaran Krisis Moneter”,
https://lipsus.kontan.co.id/v2/perbankan/read/320/Perbankan-dalam-pusaran-krisis-moneter-1997-1998, diakses
25 September 2020.
70
Ibid.
71
Frederic S. Mishkin, 2007, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, Pearson, New York,
hlm. 255
72
Ibid.
73
Ibid.
20
sebuah konsep pengawasan yang hanya berfokus pada penilaian kesehatan finansial dan resiko
dari lembaga-lembaga keuangan, yang dalam hal ini bank, secara individual yang terpisah satu
sama lain.74 Pengawasan mikroprudensial memperhatikan tingkat resiko dari aktivitas-aktivitas
yang dilakukan bank-bank tersebut dan juga yang terpenting adalah memperhatikan apakah
bank-bank tersebut sesuai dengan persyaratan rasio kecukupan modal bank yang sudah
ditentukan BI. Jika tidak memenuhi, maka BI dapat memberikan tindakan korektif agar bank-
bank tersebut dapat meningkatkan modalnya atau menutup bank-bank tersebut.75
Banyaknya debitur yang tidak memenuhi kewajiban pengembalian utangnya
menunjukan adanya kesalahan dalam konsep pengawasan mikroprudensial. Sebab pengawasan
prudensial hanya mengawasi bank-bank secara individual, namun tidak melihat permasalahan
secara utuh. Pengawasan mikroprudensial hanya bertujuan untuk menjaga kesehatan lembaga-
lembaga keuangan dan melindungi nasabah terkait.76 Pengawasan seperti ini berpotensi
mengakibatkan kegiatan yang dilakukan dalam wilayah abu-abu (grey area) oleh grup
konglomerasi yang dapat membahayakan sistem keuangan nasional sebab tidak terdeteksi oleh
lembaga pengawas.77 Hal ini kemudian yang mendasari pembentukan OJK sebagai pengawas
kegiatan jasa keuangan, salah satunya perbankan, secara menyeluruh dan terpadu. 78 Konsep
pengawasan yang menyeluruh dan terpadu oleh OJK inilah yang disebut dengan konsep
pengawasan makroprudensial.79 Pengawasan makroprudensial merupakan konsep yang
kompleks dan multidimensional yang bergerak pada tataran sistem keuangan yang berdampak
pada perekonomian secara luas sebab pengawasan makroprudensial memiliki tujuan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan jangka panjang.80 Maka dari itu konsep pengawasan
makroprudensial oleh OJK ini merupakan jawaban atas krisis maupun potensi krisis yang akan
terjadi sebab pengawasan makroprudensial mengawasi kegiatan jasa keuangan antar bank

74
Ibid.
75
Ibid.
76
Dirk Schoenmaker dan Peter Wierts, “Macroprudential Supervision: From Theory to Policy”, National Institute
Economic Review, Vol. 235, 2016
77
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.
78
Perry Warjiyo, “Indonesia: The Macroprudential Framework and The Central Bank’s Policy Mix”, Paper Riset,
Social Science Research Network.
79
Ibid.
80
Dirk Schoenmaker, Loc. cit.
21
maupun kegiatan jasa keuangan secara menyeluruh sehingga menutup celah-celah yang
tadinya tidak terlindungi oleh pengawasan mikroprudensial.

Problematika Penghapusan BSBI

BSBI dibentuk melalui Pasal 58A UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dalam rangka membantu DPR dalam
melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap BI untuk meningkatkan
akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas BI.81 Adanya pengawasan juga
merupakan implementasi dari check and balances guna mereduksi kemungkinan suatu
lembaga memiliki kekuasaan yang eksesif. Sebelum adanya BSBI, kedudukan BI dirasa terlalu
kuat sebab tidak ada yang mengawasi BI di dalam pengambilan keputusan. Terlebih, BI sebagai
bank sentral juga harus memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan publik (good governance).
Sehingga dengan kata lain BSBI dibentuk agar otoritas moneter ini tidak menjadi otoritas
superbody yang tak tersentuh dengan memastikan bahwa BI tetap independen dan transparan.
Dengan kata lain, independensi yang diamini, dengan adanya check and balances, dapat
diartikan sebagai tanpa intervensi atau kepentingan politik tertentu dan terkoordinir dengan
lembaga lain yang berkedudukan setara. Bertalian dengan hal tersebut, perlu disoroti perubahan
terhadap Pasal 4 ayat (2) UU BI sebagaimana berbunyi sebagai berikut.
"BI adalah lembaga negara yang independen yang berkoordinasi dengan pemerintah
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali
untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini."82
Redaksi dari pasal tersebut mengindikasikan bahwa independensi yang dimaknai adalah yang
terkoordinir dengan badan pemerintahan yang lainnya dimana ini merupakan hal yang cukup
baik. Akan tetapi frasa “kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang
ini” dapat saja menjadi frasa pembenar terkait bolehnya intervensi-intervensi lainnya oleh
pemerintah terhadap BI.

81
Vide Pasal 58A ayat (1) Undan-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
82
Diambil dari hasil laporan Rapat Baleg kepada CNBC, Lidya Julita, “Bocoran Draf RUU BI: Dewan Moneter
Hingga OJK Tak Awasi Bank”, https://www.cnbcindonesia.com/news/20200901152301-4-183599/bocoran-draf-
ruu-bi-dewan-moneter-hingga-ojk-tak-awasi-bank, diakses pada 8 Oktober 2020.
22
Salah satu contoh kasus yang menunjukan kebutuhan BI atas suatu badan pengawas
adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (kasus BLBI). Pada tahun 2013, tiga pejabat
BI dijebloskan penjara terkait kasus BLBI akibat kongkalikong yang dilakukan dalam
pemberian bantuan likuiditas yang merugikan negara sebesar Rp.138,7 triliun. Meskipun
kewenangan yang ada pada BSBI saat ini masih sangat terbatas, tetapi dengan dihapusnya
BSBI bukan tidak mungkin kasus serupa dapat terjadi di kemudian hari. Sehingga diperlukan
suatu penguatan terhadap kewenangan BSBI yang dapat memaksimalkan perannya tanpa harus
menghilangkan badan tersebut secara keseluruhan.

Hak Bicara dan Hak Suara dalam Rapat Dewan Gubernur

Dalam praktiknya, memang antara Bank Indonesia dengan Pemerintah memiliki


hubungan yang cukup erat karena memang pada dasarnya dalam menjalankan kewenangannya
baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal, baik otoritas moneter maupun fiskal, sedikit
banyaknya akan saling bersinggungan. Tidak heran bahwa ini menjadi hal yang layak ketika
kedua pemegang otoritas moneter dan fiskal tersebut untuk saling berkoordinasi dengan baik
agar arah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tidak saling berseberangan. 83 Hubungan
antara Pemerintah dan Bank Indonesia adalah koordinasi yang bersifat konsultatif yang mana
hal ini menjadi konsepsi dasar dalam pengaturan yang ada pada UU BI saat ini. 84 Konsep
koordinasi yang bersifat konsultatif itulah yang menjadi konsepsi dasar dalam setiap
implementasi hubungan tugas dan wewenang dari Bank Indonesia dan Pemerintah selaku
pemegang otoritas moneter dan fiskal. Artinya bahwa sifat konsultatif dari koordinasi tersebut
adalah hanya sebatas konsultasi maupun pertimbangan saja. Implementasi dari adanya
koordinasi yang bersifat konsultatif tersebut adalah dengan adanya ketentuan mengenai Rapat
Dewan Gubernur BI yang ada dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a UU BI. Bahwa dalam pasal
tersebut, menentukan bahwa seorang menteri atau lebih sebagai wakil Pemerintah dapat hadir
dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) dengan hak bicara tetapi tanpa hak suara.85

83
Sugiyono, F.X., 2003, Kelembagaan Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK)
Bank Indonesia, Jakarta, hlm. 22
84
Ibid, hlm. 23.
85
Bank Indonesia, “Hubungan Kelembagaan: Kedudukan Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara”,
https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/hubungan-kelembagaan/negara/Contents/Default.aspx, diakses 24 November
2020.
23
Salah satu muatan perubahan yang diatur dalam RUU BI adalah terkait dengan hak
bicara tanpa hak suara dari Pemerintah pada saat Rapat Dewan Gubernur. Dalam materi
perubahan tersebut, Pemerintah tidak hanya memiliki hak bicara saja, melainkan juga diperkuat
dengan adanya hak suara dalam Rapat Dewan Gubernur tersebut.86 Materi perubahan tersebut
diatur dalam perubahan Pasal 43 ayat (1) huruf a RUU BI, yang berbunyi demikian, “Sekurang-
kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter yang
dihadiri oleh seorang atau lebih Menteri di bidang perekonomian serta Menteri Keuangan
yang mewakili Pemerintah dengan hak bicara dan hak suara”.87 Sehingga berdasarkan
perubahan pasal di RUU tersebut, kini yang mewakili Pemerintah dalam Rapat Dewan
Gubernur tersebut adalah Menteri di bidang perekonomian dan Menteri Keuangan.
Pada sisi lainnya, kewenangan dari Pemerintah yang tidak hanya terkait hak bicara
melainkan juga hak suara ini sedikit banyaknya juga akan mempengaruhi independensi dari
Bank Indonesia terutama dalam hal kewenangannya untuk menetapkan kebijakan umum di
bidang moneter. Turut andilnya peran pemerintah yang memiliki hak suara dalam Rapat Dewan
Gubernur tersebut membawa pada kemungkinan adanya potensi untuk mengancam
perimbangan kedua otoritas tersebut yakni antara otoritas moneter dan otoritas fiskal yang saat
ini terpisah yang di satu sisi ada pada Bank Indonesia dan di sisi lain ada pada Pemerintah.
Adanya potensi percampuran antara kewenangan fiskal dan moneter ini memang bisa
memberikan dampak yang menguntungkan maupun merugikan. Dalam aspek keuntungannya,
memang dalam hal mengeluarkan kebijakan ekonomi nasional akan memberikan keuntungan
tersendiri. Dari segi efektivitas maupun efisiensi dalam hal menetapkan kebijakan ekonomi
nasional memang bisa dibilang lebih mudah dan bisa memperkecil adanya tumpang tindih
antara kedua otoritas tersebut, yakni fiskal dan moneter. Hal ini memang menjadi konsekuensi
logis ketika ranah fiskal dan moneter diintegrasikan ke dalam satu pintu. Sehingga secara
mudahnya dapat mendukung Pemerintah dalam mendorong laju ekonomi ataupun menciptakan
lapangan kerja.88 Namun jika ditinjau dari segi kekurangannya, bahwa hal ini akan berimbas
pada kurang adanya control system dalam hal penetapan kebijakan ekonomi nasional sehingga

86
Lidya Julita dan Cantika Adinda, “Bakal Ikut RDG BI, Pemerintah Punya Hak Suara”,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200831152710-4-183310/bakal-ikut-rdg-bi-pemerintah-punya-hak-
suara, diakses 24 November 2020.
87
Lihat Bahan Rapat Baleg perihal RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, tanggal 31 Agustus 2020.
88
M Fajar Marta, Op. Cit.
24
mekanisme check and balances menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pentingnya
control system ini berkaitan juga dengan fokus utama dari Bank Indonesia terutama dalam hal
untuk menjaga inflasi serta mengontrol pertumbuhan ekonomi nasional. 89

Perluasan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia

Menurut J. Soedradjad Djiwandono, alasan ketentuan dalam RUU BI ini memperluas


tugas dan wewenang BI dikarenakan tugas BI yang saat ini hanya menyangkut kestabilan
moneter saja, yang mana hal tersebut dinilai terlalu sempit sehingga dalam RUU BI ini
diperluas seperti dengan menambahkan tugas BI untuk menunjang pembangunan ekonomi
nasional.90 Pada mulanya memang kewenangan BI yang diatur dalam Pasal 7 UU BI saat ini
hanya terbatas pada tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Namun,
hal tersebut diperluas lagi dalam perubahan Pasal 7 RUU BI yang memberikan tugas dan
wewenang yang tidak hanya sekadar mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, tetapi
juga terkait hal-hal seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja
yang berkelanjutan.91 Hal ini secara tegas dimuat dalam perubahan Pasal 7 ayat (1) yang
menyatakan:
“Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang
berkelanjutan”.92
Memang apabila diperhatikan bahwa perluasan tugas dan wewenang BI ini tidak hanya
meliputi kewenangan dalam aspek moneter melainkan juga sudah masuk ke ranah otoritas
fiskal sehingga memang secara logis hal ini berpotensi untuk terjadinya percampuran antara
kewenangan dari otoritas moneter dengan otoritas fiskal. Hal ini pun lebih lanjut juga
ditegaskan dalam perubahan materi muatan yang diatur dalam Pasal 10 huruf a yang
menyatakan demikian:

89
Ibid.
90
Soedradjad Djiwandono, “Apa yang Diharapkan dari Bank Indonesia”, Harian Kompas, Rubrik Opini, Halaman
6, 17 September 2020.
91
Vincent Fabian Thomas, “Perry Warjiyo Angkat Bicara RUU BI yang direspons Negatif Pasar”,
https://tirto.id/perry-warjiyo-angkat-bicara-ruu-bi-yang-direspons-negatif-pasar-f4Dc, diakses 24 November
2020.
92
Lihat Bahan Rapat Baleg perihal RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, tanggal 31 Agustus 2020.
25
“Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi,
pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja yang ditetapkan”.93
Jika ditinjau dari kedua pasal perubahan tersebut, memang terdapat upaya untuk menghidupkan
kewenangan fiskal kepada Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter. Lantas apakah
hal tersebut memberikan akibat yang menguntungkan ataukah justru dapat menghambat kinerja
dari bank sentral tersebut?
Jika kita telaah baik secara teoritis maupun praktisnya, ketika masih dalam kewenangan
yang terpisah antara otoritas fiskal maupun moneter, sering terjadi permasalahan karena adanya
konflik antara keharusan untuk pencapaian satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.94 Masalah
yang justru akan timbul apabila kedua kewenangan moneter dan fiskal tersebut diintegrasikan
adalah akan berimplikasi pada tidak fokusnya penanganan suatu kebijakan. Sehingga
konsekuensi lebih lanjut justru akan menimbulkan masalah pembentukan kebijakan moneter
dan fiskal yang kurang efektif dan efisien. Implikasi tersebut dapat terjadi dengan
menitikberatkan pada beberapa faktor. Pertama, bahwa peran BI sebagai otoritas moneter
menjadi kabur akibat kurang jelasnya tugas dan wewenangnya; kedua, bahwa fungsi sebagai
otoritas moneter menjadi kurang fokus karena harus terpecah pada kewenangan fiskalnya; dan
ketiga, bahwa kurangnya independensi dari BI akibat terlalu banyak turut campur dalam
penentuan kebijakan fiskal.95

93
Ibid.
94
Sugiyono, F.X., Op. Cit., hlm. 13
95
Ibid.
26
Daftar Pustaka

Ahmad Solahudin, “Pemisahan Kewenangan Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa


Keuangan dalam Pengawasan Bank”, Jurnal IUS, Vol. 3, No. 7, April 2015
Ottmar Issing, “Central Bank Independence – Economic and Political Dimensions”,
Cambridge University Press, No. 196, April 2006.
Lely Savitri Dewi, “Kajian Independensi Bank Indonesia dalam Kedudukannya sebagai
Bank Sentral Menurut Tinjauan Hukum Berdasarkan UUBI Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
Bank Indonesia, Coopetition, Vol.9, No.1, Mei 2018.
Febriansyah Fredi Alsabah, Siluh Putu Dawisni Manik Pinatih, “Analisis Yuridis
tentang Independensi Bank Indonesia Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia”, Kertha
Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 1, Februari 2014.
Sulistyandari, “Lembaga dan Fungsi Pengawasan Perbankan di Indonesia”, Mimbar
Hukum, Vol. 24, No. 2, Juni 2012.
Perry Warjiyo, Solikin (2003). Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat Pendidikan Dan
Studi Kebankstralan Bank Indonesia.
Bank Indonesia, “Tujuan Kebijakan Moneter”,
https://www.bi.go.id/id/moneter/tujuankebijakan/Contents/Default.aspx, diakses pada 23
November 2020.
Yuniwinsah, Fadhliah, and Ali Anis. "Analisis Kausalitas Kebijakan Fiskal Ekspansif,
Kebijakan Moneter Ekspansif dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ", Jurnal Kajian
Ekonomi dan Pembangunan 2.1 (2020).
Sudirman, I. Wayan, and SU SE. Kebijakan Fiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal.
Prenada Media, 2017.
Sabirin, Syahril. "Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter-
Perbankan dan Independensi Bank Indonesia." Makalah Disampaikan Dalam Seminar
Nasional:“Strategi Pemulihan Ekonomi Era Pemerintahan Baru. 2000.
Bank Indonesia, n.d. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode 1966-1983.
Jakarta,
Wariyo, P., 2003. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Jakarta: Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan Bank Indonesia.

27
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta.
Bambang Murdadi, “Independensi Bank Indonesia di Persimpangan Jalan”, Vol. 9 Np.
1, September 2012..
M. Dawam Rahardjo, 2001, Independensi Bank Indonesia dalam Kemelut Politik,
Pustaka Cidesindo, Jakarta.
Didik J Rachbini dkk, 2000, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, Mardi
Mulyo, Jakarta.
Nurhayani, “Upaya Penyelesaian BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia”, Jurnal
Lex Jurnalica Vol. 4 No. 1, Desember, 2006.
Frederic S. Mishkin, 2007, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets,
Pearson, New York, hlm. 255
Dirk Schoenmaker dan Peter Wierts, “Macroprudential Supervision: From Theory to
Policy”, National Institute Economic Review, Vol. 235, 2016.
Perry Warjiyo, “Indonesia: The Macroprudential Framework and The Central Bank’s
Policy Mix”, Paper Riset, Social Science Research Network.
JDIH BPK, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia”, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45332/uu-no-23-tahun-1999, diakses
pada 4 Desember 2020.
Rizki, Mochammad Januar, “14 Poin Perubahan dalam RUU BI yang Dikhawatirkan
Hilangkan Independensi Bank Sentral”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f4f6aad8fcca/14-poin-perubahan-dalam-ruu-bi-
yang-dikhawatirkan-hilangkan-independensi-bank-sentral/, diakses pada 24 November 2020
Thomas, Vincent Fabian, “Sri Mulyani Klaim Pemerintah Belum Bahas RUU BI
Inisiatif DPR”, https://tirto.id/sri-mulyani-klaim-pemerintah-belum-bahas-ruu-bi-inisiatif-dpr-
f3uw, diakses pada 24 November 2020
Thomas, Vincent Fabian, “Perry Warjiyo Angkat Bicara RUU BI yang Direspon
Negatif”, https://tirto.id/perry-warjiyo-angkat-bicara-ruu-bi-yang-direspons-negatif-pasar-
f4Dc, diakses pada 24 November 2020
Setiawan, Kodrat, “Fraksi Golkar Tidak Setujui Revisi UU BI”,
https://bisnis.tempo.co/read/1388109/fraksi-golkar-tidak-setuju-revisi-uu-bank-indonesia,
diakses pada 24 November 2020

28
Kompas.id, ‘RUU BI Mengancam Independensi Bank Sentral”,
https://kompas.id/baca/riset/2020/09/09/ruu-bi-mengancam-independensi-bank-sentral/,
diakses pada 24 November 2020.
Gusman, Delfina, and MH SH. "Independensi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”." Jurnal Normative (2010).
Katadata, “Revisi UU BI ala DPR, Upaya Intervensi Kebijakan Moneter?”, diakses
pada 23 November 2020, https://katadata.co.id/sortatobing/finansial/5f4f6da54fdba/revisi-uu-
bi-ala-dpr-upaya-intervensikebijakan-moneter
Mengintip Sejarah Dewan Moneter dan Dampaknya Pada Ekonomi Indonesia |
merdeka.com (2020). Available at: https://www.merdeka.com/uang/mengintip-sejarah-dewan-
moneter-dan-dampaknya-pada-ekonomi-indonesia.html (Accessed: 20 November 2020).
Dupla Kartini, “Perbankan Dalam Pusaran Krisis Moneter”,
https://lipsus.kontan.co.id/v2/perbankan/read/320/Perbankan-dalam-pusaran-krisis-moneter-
1997-1998, diakses 25 September 2020.
Laporan Rapat Baleg kepada CNBC, Lidya Julita, “Bocoran Draf RUU BI: Dewan
Moneter Hingga OJK Tak Awasi Bank”,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200901152301-4-183599/bocoran-draf-ruu-bi-
dewan-moneter-hingga-ojk-tak-awasi-bank, diakses pada 8 Oktober 2020.
Sugiyono, F.X., 2003, Kelembagaan Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta, hlm. 22
Bank Indonesia, “Hubungan Kelembagaan: Kedudukan Bank Indonesia sebagai
Lembaga Negara”, https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/hubungan-
kelembagaan/negara/Contents/Default.aspx, diakses 24 November 2020.
Lidya Julita dan Cantika Adinda, “Bakal Ikut RDG BI, Pemerintah Punya Hak Suara”,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200831152710-4-183310/bakal-ikut-rdg-bi-
pemerintah-punya-hak-suara, diakses 24 November 2020.
Soedradjad Djiwandono, “Apa yang Diharapkan dari Bank Indonesia”, Harian Kompas,
Rubrik Opini, Halaman 6, 17 September 2020.
Vincent Fabian Thomas, “Perry Warjiyo Angkat Bicara RUU BI yang direspons Negatif
Pasar”, https://tirto.id/perry-warjiyo-angkat-bicara-ruu-bi-yang-direspons-negatif-pasar-f4Dc,
diakses 24 November 2020.

29
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357)
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan

30

Anda mungkin juga menyukai