Anda di halaman 1dari 38

Penyusunan dan analisis Peta

Ketahanan dan Kerentanan


Pangan (Peta FSVA)

FOOD SECURITY AND VUNERABILITY ATLAS

Ketersediaan informasi ketahanan pangan yang  akurat,


komprehensif, dan tertata dengan baik sangat penting untuk
mendukung upaya pencegahan dan penanganan kerawanan
pangan dan gizi, karena dapat memberikan arah dan rekomendasi
kepada pembuat keputusan dalam penyusunan program,
kebijakan, serta pelaksanaan intervensi di tingkat pusat dan
daerah. Penyediaan informasi  diamanahkan dalam UU No 18/
2012 tentang Pangan dan PP No 17/2015 tentang Ketahanan
Pangan dan Gizi yang mengamanatkan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk
membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi
Pangan dan Gizi yang terintegrasi. Informasi tersebut dituangkan
dalam Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security
and Vulnerability Atlas – FSVA).

FSVA merupakan peta tematik yang menggambarkan visualisasi


geografis dari hasil analisa data indikator kerentanan terhadap
kerawanan pangan. FSVA disusun menggunakan sembilan
indikator yang mewakili tiga aspek ketahanan pangan, yaitu
ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. FSVA
memberikan rekomendasi kepada pembuat keputusan dalam
penyusunan kebijakan dan program intervensi baik di tingkat pusat
dan daerah dengan melihat indikator utama yang menjadi pemicu
terjadinya kerentanan terhadap kerawanan pangan.

FSVA 2018 menunjukkan sebanyak 335 kabupaten (81 persen)


berada dalam status tahan pangan, sementara kota sebanyak 91
Kota (93 persen) dikategorikan tahan pangan. Jika dibandingkan
dengan FSVA edisi sebelumnya (FSVA 2015), telah terjadi
peningkatan status ketahanan pangan wilayah di 177 kabupaten.
Kabupaten rentan pangan yang naik peringkat sebanyak 75
kabupaten (19%) dan kabupaten tahan pangan yang naik peringkat
sebanyak 102 kabupaten (26%).

Ringkasan Eksekutif
Peta Komposit dan Individu

Peta Ketahanan & Kerentanan Pangan 2018

https://investor.id/business/indeks-ketahanan-pangan-indonesia-masih-rendah

Indeks Ketahanan Pangan Indonesia Masih Rendah


Jumat, 18 September 2020 | 22:29 WIB Ridho Syukra
(ridho.syukra@beritasatumedia.com )

JAKARTA, investor.id - Meskipun sektor pertanian Indonesia tumbuh selama


pandemi dan berkontribusi cukup besar terhadap PDB nasional namun Indeks
Ketahanan Pangan Indonesia masih berada di bawah Singapura. Berdasarkan
Indeks Ketahanan Pangan Global, Singapura menduduki peringkat pertama
sementara Indonesia berada di peringkat ke 62 dari 113 negara. Guru Besar
Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa mengatakan, sebagian besar produk
pangan dari Singapura berasal dari impor karena Singapura bukan negara
agriculture tetapi Singapura pintar mengelola manajemen pangannya. Sementara
Indonesia yang merupakan negara agriculture masih mempunyai mimpi ingin
mewujudkan ketahanan pangan. “90% pangan yang dikonsumsi Singapura
merupakan impor tetapi mereka bisa maju dengan ketahanan pangannya
sehingga bisa disimpulkan bahwa ketahanan pangan tidak ada kaitannya dengan
kapasitas produksi dalam negeri yang melimpah,” ujar dia dalam Webminar
Pataka, di Jakarta, belum lama ini. Guru Besar Fakultas Pertanian IPB yang juga
Ketua Umum AB- 2TI Dwi Andreas Santosa. Foto: bloombergindonesia.tv Jika
dilihat berdasarkan tren, indeks ketahanan pangan Indonesia memang terus
mengalami perbaikan, pada tahun 2015, indeks ketahanan pangan Indonesia
berada pada peringkat 73 dan naik menjadi peringkat ke 62 pada tahun 2019.
“Positifnya ada peringkat terus naik tetapi masih berada di bawah urutan 50 dan
Indonesia perlu memperbaiki tata kelola pangan,” ujar dia. Sejumlah faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan suatu negara adalah ketersediaan pangan yang
mencukupi dan kapasitas masyarakat dalam mengaksesnya. Kalau bicara masalah
ketersediaan, Indonesia merupakan gudang atau pusat produksi mulai dari beras,
jagung tetapi persoalan utama yang dihadapi adalah mafia pangan yang masih
bermain. Mafia pangan inilah yang menyebabkan ketahanan pangan Indonesia
tidak jalan atau stagnan, setiap tahun ada saja bermunculan mafia pangan yang
baru. Ia mengatakan untuk menciptakan ketahanan pangan maka dibutuhkan
lintas sektor dan satu pemikiran, ia juga mengapresiasi langkah pemerintah yang
membangun food estate di Kalimantan Tengah. Food estate bisa dijadikan solusi
atau jawaban dari masalah ketahanan pangan di Indonesia yang masih belum
terwujud dan Indonesia belum ada kata terlambat untuk mengejar ketertinggalan.
Kunci keberhasilan dari Food Estate adalah koordinasi dan tidak bermain belakang
dan Food Estate ini menjadi harapan satu satunya bagi Indonesia untuk
mewujudkan ketahanan pangan. Jika ketahanan pangan sudah terwujud maka
Indonesia akan menjadi negara sejahtera dan tidak perlu lagi impor. Impor tidak
dilarang namun bisa dijadikan sebagai opsi kedua jika kondisi negara sudah
darurat. Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul "Indeks Ketahanan Pangan


Indonesia Masih Rendah"

Read more at: http://brt.st/6NXZ

Indeks Ketahanan Pangan


https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/634

Nama Indeks Ketahanan Pangan


Indikator

Konsep Indeks yang digunakan untuk mengetahui ketahanan


Definisi pangan suatu daerah. Indeks ini terdiri dari 3 dimensi
yaitu dimensi ketersediaan pangan,
keterjangkauan/akses pangan dan pemanfaatan pangan.

Rumusan
Kegunaan -Mengetahui ketahanan pangan suatu daerah

Interpretasi Jika indeks ketahanan pangan< (μ-1,0 σ) maka daerah


tersebut kurang tahan pangan; Jika (μ-1,0 σ) < indeks
ketahanan pangan < (μ+1,0 σ), maka daerah tersebut
cukup tahan pangan; Jika indeks ketahanan pangan ≥
(μ+1,0σ), maka daerah tersebut memiliki tahan pangan
yang tinggi

Ada Tiga Faktor Indeks Ketahanan Pangan


Turun

https://fin.co.id/2020/09/18/ada-tiga-faktor-indeks-ketahanan-pangan-turun/

18 September 2020

JAKARTA – Daya beli yang masih rendah akibat


pandemi Covid-19 yang berkepanjangan diperkirakan
akan berdampak pada penurunan indeks ketahanan
pangan pada akhir 2020 nanti.
Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Produk
Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian sebagai
penyumbang tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional pada kuartal II/2020, yakni 16,24 persen dan
secara tahunan berkontribusi 2,19 persen.

Pengamat pertanian sekaligus Guru Besar IPB University


Dwi Andreas Sentosa mengatakan pelemahan daya beli
masyarakat mengakibatkan angka kemiskian akan
bertambah baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Nah, kondisi demikian, Dwi Andreas memperkirakan


indeks ketahanan pangan akan lebih rendah
dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 62,2 persen.

“Saya perkirakan indeks ketahanan pangan tahun ini


akan terjun di angka 50. Bahkan hingga di tahun 2021,”
ujarnya dalam video daring terkait Resesi Ekonomi dan
Pengaruhnya terhadap Ketahanan Pangan, kemarin
(17/9).

Dwi Andreas menyebutkan ada tiga faktor yang


menyebabkan indeks ketahanan pangan turun. Pertama,
penurunan produktivitas padi yang terjadi setiap tahun
berpengaruh terhadap stok beras.

Lalu kedua, kapasitas masyarakat untuk mengakses


pangan mengalami penurunan. Terakhir, karena
kapasitas masyarakat turun, maka kualitas pangan ikut
terdampak menurun. “Jadi agregat dari tiga faktor
tersebut yang membuat indeks ketahanan pangan juga
ikut turun,” katanya.
Kendati demikian, Dwi Andreas memastikan krisis
pangan seperti yang diingatkan oleh Organisasi Pangan
Dunia (FA) tidak akan terjadi di Indonesia. Ini karena
ketersediaan pangan, terutama kebutuhan utama beras
relatif cukup besar, bahkan di pasar internasional.

“Penurunan indeks ketahanan pangan ini bukan


disebabkan faktor ketersediaan (pangna), akan tetapi
kemampuan akses pangan masyarakat,” jelasnya.

Soal sektor pertanian tumbuh positif dibandingkan sektor


lainnya. Menurut Dwi Andreas lantaran pola panen padi
yang mengalami pergeseran satu bulan. “Pola panen
padi selama ini puncak panen terjadi pada Februari
hingga Maret, tapi tahun ini menjadi April hingga Mei,”
ucapnya.

Untuk kuartal ketiga ini, dia memproyeksikan terjadi


penurunan yang cukup tajam, bahkan penurunan masih
terjadi pada kuartal keempat. Hal ini karena pola
produksi pangan, terutama padi memang dari tahun ke
tahun seperti itu di mana pada kuartal keempat akan
lebih rendah dari kuartal ketiga dan kedua.

“Jadi kuartal ke kuartal akan turun, tapi Produksi


Domestik Pertanian masih ditolong dengan devisa dari
kelapa sawit,” tuturnya.

Kesempatan yang sama, anggota Komisi IV DPR RI


Mindo Sianipar berpandangan, dampak pandemi Covid-
19 telah menyebabkan bertambahnya angka
pengangguran di Tanah Air karena terkena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Mereka yang tidak bekerja pada
akhirnya banyak yang memilih untuk pulang ke kampung
halamannya. Untuk itu, dia berharap pemerintah daerah
(pemda) dapat menyerap tenaga kerja khususnya di
sektor pertanian.

“Dalam kondisi pandemi, jangan disamakan bantuan ke


masyarakat seperti mengatasi banjir dengan bantuan
berton-ton beras yang langsung habis, tapi bagaimana
memanfaatkan dan optimalkan pern desa. Intinya,
negara harus harus hadir dalam memberikan stimulus
desa,” ujarnya.

Sebelumnya, Staf Subdit Pengelolaan Konsumsi Gizi


Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan
Kartika Wahyu Dwi Putra mengatakan, indeks ketahanan
pangan akan mengalami penurunan di berbagai daerah.
Hal ini diakibatkan pandemi Covid-19 yang
berkepanjangan, sehingga menyebakan inflasi, kesulitan
akses pangan, hingga kenaikan harga pangan.

“Kita tahu di April ini inflasinya mencapai 2,7 persen. Di


2,7 persen ini makanan ataupun minuman sudah 5,3
persen terjadi kenaikan harga pangan. Dengan inflasi
juga hampir 1,1-3,8 juta orang jatuh ke dalam garis
kemiskinan. Sekitar 56,5 persen merupakan pekerja
informal,” ujarnya. (din/fin)

Indeks Ketahanan Pangan Diprediksi Turun


http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/indeks-ketahanan-pangan-diprediksi-turun
UMUM | 17 Sep 2020 05:07:38 PM

Jatim Newsroom- Pandemi Covid-19 yang belum kunjung reda membuat berbagai sektor
mengalami penurunan. Meski sektor pertanian pada semester pertama 2020 mengalami
pertumbuhan, namun indeks ketahanan pangan pada akhir tahun diprediksi akan turun,
karena menurunnya daya beli masyarakat.

Guru Besar IPB University, Prof. Dwi  Andreas Sentosa mengatakan, pandemi Covid-19
menyebabkan daya beli masyarakat mengalami penurunan. Bahkan diiperkirakan statistik
kemiskinan juga akan meningkat, bukan hanya di perkotaan, tapi juga perdesaan.  

“Kondisi ini juga membuat nilai abosolut atau indeks ketahanan pangan tahun ini lebih
rendah dari tahun 2019 sebesar 62,2.  Tahun indeks ketahanan pangan akan lebih rendah
dari angka tersebut. Saya perkirakan angkanya akan terjun di angka 50. Bahkan hingga
tahun depan,” tutur Dwi Andreas dalam keterangan persnya terkait  Resesi Ekonomi dan
Pengaruhnya terhadap Ketahanan Pangan, Kamis (17/9).

Karena itu Dwi Andreas menilai, ada tiga faktor yang menyebabkan indeks ketahanan
pangan turun. Pertama, produksi padi yang turun dari ke tahun, sehingga berpengaruh
terhadap ketersediaan beras. Kedua, kapasitas masyarakat untuk mengakses pangan
masyarakat turun. Ketiga, karena kapasitas masyarakat turun, membuat kualitas pangan
juga menurun.  “Agregat dari tiga faktor itu membuat indeks ketahanan pangan juga  turun,”
ujarnya.

Meski indeks ketahanan pangan turun, namun Dwi Andreas melihat krisis pangan tidak akan
terjadi di Indonesia. Sebab, dari sisi stok pangan, khususnya beras relatif cukup besar,
bahkan di pasar internasional. “Indeks ketahanan pangan ini bukan karena faktor
ketersediaan, tapi kemampuan akses pangan masyarakat,” tuturnya.

Dwi Andreas mengakui, sektor pertanian memang tumbuh positif  dibandingkan yang lain.
Namun pertumbuhan tersebut karena pola panen padi yang mengalami pergeseran satu
bulan.  “Jika selama ini puncak panen terjadi  Februari-Maret, tahun ini menjadi April-Mei,”
katanya.
Pertanyaannya bagaimana dengan kuartal ketiga? Dwi Andreas memastikan bakal terjadi
penurunan . Meski penurunannya pada kuartal kedua tidak terlalu besar dari kuartal
pertama. Namun penurunan akan terjadi cukup tajam di kuartal ketiga, bahkan pada kuartal
keempat akan turun lagi.

“Jadi quarter to quarter akan turun, tapi pertumbuhan PDB pertanian masih ditolong dengan
devisa dari kelapa sawit,” ujarnya. Namun lanjut Dwi Andreas, jika melihat pola produksi
pangan, khususnya padi, memang pola pertumbuhan dari tahun ke tahun seperti itu, quarter
keempat akan lebih rendah dari quarter ketiga dan kedua.

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI, Mindo Sianipar mengatakan, dampak pandemi
Covid-19 membuat banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga membuat
masyarakat yang semula tinggal di kota kembali ke desa. “Pertanyaannya, mampukah desa
untuk meneriam beban tersebut,” ujarnya.

Untuk itu Mindo berharap, pemerintah harus mendorong agar daya tahan desa meningkat.
Jadi dalam kondisi pandemi, jangan disamakan bantuan ke masyarakat seperti mengatasi
banjir dengan bantuan berton-ton beras yang langunsg habis.

“Kegiatannya harus membantu pedesaan. Bagaimana memanfaatkan dan optimalkan peran


desa. Jadi tanpa stimulan ke desa, maka ketahanan pangan akan makin menurun. Intinya
negara harus hadir dalam memberikan stimulus desa,” tegasnya. (jal)

Ketahanan Pangan Indonesia Semakin Membaik


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/06/04/ketahanan-pangan-indonesia-semakin-
membaik

Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security


Index/GFSI) 2012-2019
TAHUN INDEKS KETAHANAN
PANGAN GLOBAL (GFSI)
2012 46,80
2013 45,60
2014 46,50
2015 46,70
2016 50,60
2017 51,30
2018 54,80
2019 62,60

Sumber : The Economist Intelligence Unit,


Indeks Ketahanan Pangan Indonesia (GFSI)

Penulis: Dwi Hadya Jayani


Editor: Safrezi Fitra
 4/6/2020, 12.50 WIB
Ketahanan pangan Indonesia semakin membaik dari tahun ke
tahun. Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security
Index/GFSI) pada tahun lalu sebesar 62,6. Angka ini membaik dari
tahun sebelumnya yang sebesar 54,8. Skor ini membawa Indonesia ke
posisi 62 dunia, naik dari tahun sebelumnya yang di posisi 65.
Sepanjang 2012-2019, tren ketahanan pangan Indonesia cenderung
menunjukkan perbaikan.
ADVERTISEMENT

Penilaian GFSI terdiri dari empat aspek.  Pertama, Indonesia


mendapatkan skor sebesar 70,4 untuk Affordability. Kedua,
mendapatkan skor 61,3 untuk availability. Ketiga, mendapatkan 47,1
untuk quality and safe.
 

(Baca: Di ASEAN, Ketahanan Pangan Indonesia Di Bawah


Vietnam)
 

Sebagai informasi, affordability aspek yang mengukur kemampuan


konsumen untuk membeli makanan. Availability aspek mengukur
kecupukan pasokan pangan nasional, risiko gangguan pasokan,
kapasitas negara untuk mendistribusikan pangan, dan upaya penelitian
untuk memperluas hasil pertanian. Quality and safe berkaitan dengan
kualitas dan keamanan standar nutrisi dan pengawasan impor.
BKP: Indeks ketahan pangan
sempat turun saat pandemi
COVID-19
 Senin, 30 November 2020 23:01 WIB

https://www.antaranews.com/berita/1869076/bkp-indeks-ketahan-pangan-
sempat-turun-saat-pandemi-covid-19

Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian


Pertanian Agung Hendriadi mengatakan, indeks ketahanan pangan nasional
sempat turun menjadi 40,10, dari sebelumnya 44,10, dalam dua bulan pertama
pandemi COVID-19.

"Ada kekagetan dari masyarakat yang mengurangi konsumsi pangan mereka.


Namun, kemudian terjadi peningkatan indeks ketahanan pangan dari April
sampai Agustus," kata Agung melalui siaran pers dari LOCALISE SDG's
Indonesia yang diterima di Jakarta, Senin.

Agung mengatakan pemerintah daerah berkoordinasi dengan pemerintah


pusat dan sejumlah pemangku kepentingan lain harus mengupayakan
pemanfaatan pangan lokal secara masif.

Pemanfaatan pangan lokal bisa disesuaikan dengan kebudayaan pangan lokal


daerah, misalnya ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang, dan sorgum.

"Setiap provinsi terbiasa mengonsumsi komoditas karbohidrat nonberas


tertentu. Kita perlu mendorong peningkatan produksi komoditas tersebut dan
mengolahnya sehingga bisa dikonsumsi secara masif," tuturnya.

Menurut Agung, pemerintah tidak menafikan pandemi COVID-19 yang


berkepanjangan dapat menimbulkan krisis pangan di Indonesia. Karena itu,
sejumlah upaya telah dilakukan, misalnya program perluasan areal tanam
baru.

Salah satu contoh program perluasan areal tanam baru adalah 165.000
hektare di Kalimantan Tengah yang bisa digunakan untuk menanam padi,
jagung, bawang merah, dan cabai.

Sekretaris Jenderal Persatuan Pemerintah Kota dan Daerah Asia Pasifik


(UCLG ASPAC) Bernadia Irawati Tjandradewi mengatakan penyaluran pangan
yang belum merata di Indonesia bisa menjadi permasalahan yang lain.

"Distribusi pangan yang belum merata di Indonesia dikhawatirkan


menyebabkan kelebihan dan kekurangan komoditas pangan di sejumlah
daerah yang terdampak secara logistik akibat pandemi maupun perubahan
iklim," katanya.

Menurut Bernadia, krisis pangan di Indonesia maupun dunia bisa terjadi tidak
hanya karena pandemi COVID-19, tetapi juga karena perubahan iklim global.

"Sistem logistik pangan dan rantai pasok pangan yang terganggu bisa
menyebabkan masyarakat kehilangan akses pangan," tuturnya.

LOCALISE SDG's adalah sebuah program kolaborasi antara UCLG ASPAC


bersama Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) yang didanai
Uni Eropa. Tujuan program tersebut adalah peningkatan kapasitas pemerintah
daerah untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's) di
16 provinsi dan 14 kota di Indonesia. (T.D018)

Pewarta: Dewanto Samodro


Editor: Tunggul Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2020
Rabu, 16 Oktober 2019 19:44 WIB

Indeks Ketahanan Pangan Indonesia Meningkat Tajam

Pengamat Ekonomi Politik Pertanian Universitas Trilogi, Muhamad Karim


menilai selama pemerintahan Jokowi-JK, kinerja pembangunan sektor
pertanian memiliki indikator nyata yang bisa dinilai langsung masyarakat.

Melansir data The Economist Intelligence Unit (EIU), capaian indeks ketahanan


pangan Indonesia menuai hasil yang luar biasa. Pada 2018 indeks ketahanan
pangan Indonesia naik menjadi 54,8. Angka ini menjadikan peringkat
ketahanan pangan Indonesia naik cukup signifikan dari 72 pada 2014 menjadi
65 di 2018 dari total 113 negara.

"Inilah capaian tertinggi indeks ketahanan pangan Indonesia dalam sejarah


pembangunan pertanian. Selama pemerintahan Jokowi-JK, total skor
ketahanan pangan di semua aspek berada di angka 47,7 pada 2014 dan
meningkat secara konstan menjadi 54,8 pada 2018," ungkap Karim di Jakarta,
Rabu (16/10/2019).

Baca Juga: IPB: Kebijakan Amran Mampu Jaga Produksi dan Harga


Pangan Stabil

Penilaian indeks ketahanan pangan terdiri dari empat


aspek. Pertama, affordability terkait dengan cara memotong rantai pasok yang
panjang. Kedua, availability yaitu, terjaganya penawaran. Ketiga, quality and
safety terkait kualitas dan keamanan standar nutrisi dan pengawasan
impor. Keempat, natural resources and resilience terkait dengan lahan dan
produksi pangan.

Ketahanan pangan Indonesia dari aspek keterjangkauan memperoleh skor 55,2


di peringkat 63 dari 113 negara. Kemudian skor dari aspek ketersediaan 58,2 di
peringkat 58, dari aspek kualitas dan keamanan memperoleh skor 44,5 di
peringkat 84 serta dari faktor sumber daya alam memperoleh skor 43,9
menempati peringkat 111.

"Capaian indeks ketahanan pangan tersebut merupakan prestasi bagi para


pelaku pembangunan pertanian. Pemerintah pun turut mensyukuri prestasi ini.
Apalagi pembangunan pertanian memiliki banyak tantangan," tegas Karim.

Menurut alumini IPB ini, Indonesia memiliki kekuatan lahan yang luas dan
subur, serta letak geografis yang menguntungkan sehingga sebagai wilayah
tropis, aneka jenis tanaman dapat tumbuh subur menjadi kekuatan dari
Indonesia.

Namun, di sisi lain, Indonesia juga menghadapi tantangan peningkatan laju


pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 2,5 juta setiap tahunnya. "Artinya, ke
depan dibutuhkan strategi khusus untuk bisa meningkatkan ketahanan pangan
nasional," ujarnya.

Karim pun mengapresiasi peningkatan ketahanan pangan yang turut


berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Selama lima tahun ini terlihat
kenaikan nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar usaha pertanian (NTUP).
Bahkan, NTP September 2019 tercatat 103,88, padahal Mei 2015 hanya
100,02.

"NTP dan NTUP umumnya digunakan sebagai indikator untuk melihat


membaiknya daya beli atau kesejahteraan petani. Peningkatan dua item
tersebut menandakan dalam beberapa tahun terakhir ini, daya beli dan
kesejahteraan petani terus membaik," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementan, Ketut
Kariyasa mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Pertanian ( Kementan )
terus berupaya meningkatkan produktivitas sektor pangan, seperti
pengembangan lahan suboptimal, pemberian bantuan sarana dan prasarana
pertanian untuk petani, serta program upaya khusus (Upsus) padi, jagung, dan
kedelai. 

Menurut Ketut, kerja keras yang dibangun selama ini pun berhasil
meningkatkan produksi pangan dalam negeri yang berdampak langsung pada
menurunnya inflasi secara drastis. Penurunan ini bisa dilihat melalui data 2014,
tercatat 10,57%. Di 2017 angkanya turun fantastis menjadi 1,26% dan menjadi
inflasi terendah dalam sejarah Indonesia.

"Pada September tahun ini Indonesia bahkan mengalami deflasi bahan


makanan sebesar 1,97% dan pada Agustus 2019 kelompok pangan mengalami
deflasi 0,19%. Ini membuktikan pasokan atau produksi pangan dalam negeri
membaik, "katanya.

Selain berhasil meningkatkan ketahanan pangan, Kariyasa memaparkan,


kebijakan pangan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman  juga diikuti dengan
peningkatan volume dan nilai ekspor yang cukup drastis selama 2014-2018.

Tercatat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013, ekspor produk
pertanian Indonesia masih sekitar 33,5 juta ton. Lalu pada 2014 dan 2016
meningkat menjadi 36,1 juta ton dan 40,4 juta ton. Pada 2017 dan 2018
kembali meningkat menjadi 41,3 juta ton dan 42,5 juta ton.

"Kalau dibandingkan 2013, jumlah ekspor produk pertanian 2018 meningkat  


lebih dari 9 juta ton atau 26,9%. Dan yang cukup menarik untuk diperhatikan,
selama periode 2014-2018, total volume ekspor pertanian mencapai 195,7 juta
ton, sehingga ada akumulasi tambahan volume ekspor selama periode tersebut
sekitar 28,3 juta ton," jelasnya.

Nilai ekspor produk pertanian juga terus meningkat. Pada 2013, nilai ekspor
produk pertanian Indonesia sebesar Rp320,9 triliun. Sementara pada 2014 dan
2016 meningkat menjadi Rp368,4 triliun dan Rp375,5 triliun.

Baca Juga: Dorong Petani Ke Industri Pangan, Kementan Bentuk SP3T


Nilai ekspor produk pertanian berlanjut meningkat pada 2017 dan 2018 menjadi
Rp 442,3 triliun dan Rp415,9 triliun. Selama 2014-2018, total nilai ekspor
produk pertanian Indonesia mencapai Rp1.957,5 triliun.

Ketut menegaskan, akumulasi tambahan nilai ekspor pertanian yang dihasilkan


selama 2014-2018 terhadap 2013 mencapai Rp352,58 triliun. Akumulasi
tambahan ini lebih besar (109,8%) dari  nilai ekspor 2013 yang hanya sebesar
Rp320,9 triliun.

"Beberapa kebijakan dan program terobosan juga dilakukan Kementan dalam


memacu ekspor produk pertanian, seperti kebijakan mempermudah proses
eskpor, perbaikan sistem layanan karantina, membangun kawasan pertanian
berbasis keunggulan komparatif dan budaya, peningkatan efisiensi biaya
produksi, dan daya saing melalui modernisasi pertanian, serta melakukan
diplomasi untuk memperluas jenis komoditas dan tujuan pasar ekspor ke
negara-negara baru," tegasnya.

The Global Food


Security Index
The Global Food Security Index considers the
core issues of affordability, availability, and
quality across a set of 113 countries. The index
is a dynamic quantitative and qualitative
benchmarking model, constructed from 34
unique indicators, that measures these drivers
of food security across both developing and
developed countries.
This index is the first to examine food security
comprehensively across the three
internationally established dimensions.
Moreover, the study looks beyond hunger to
the underlying factors affecting food insecurity.
The GFSI now includes an adjustment factor
on natural resources and resilience. This
category assesses a country’s exposure to the
impacts of a changing climate; its susceptibility
to natural resource risks; and how the country
is adapting to these risks.

Indexing three core issues in 113 countries with an


optional risk adjustment factor:

Core index Risk factor


issues
Affordability Natural resources
and resilience

Availability

Quality and Safety


Indonesia
62
62.6score
Explore the impact of GFSI's natural resources &
resilience category

Figures are from annual baseline model


(December 2019).
FREE
Download the index
December 2019 Model

(Excel file 4mb)


score / 100

Strengths (9)
 100
Presence and quality of food safety net programmes
 100
Nutritional standards
 97.1
Change in average food costs
 View all strengths
Challenges (4)
 0.7
Public expenditure on agricultural R&D
 10
Gross domestic product per capita (US$ PPP)
 18.9
Protein quality
 View all challenges
General Information
Indonesia vs. all index countries

 GDP($PPP)
3,753 billion
 Population
265.3 million
 Land Area
1,811,570 sq km
 Prevalence of undernourishment
8.3 %
 Intensity of food deprivation
53 kcal/person/day
 Human Development Index
0.69 Rating 0-1

Low   High

58
category rank
AFFORDABILITY
70.4 category score

Indicator score
score

% difference from average


97.1+0.7%89.9+6.4%10-7.8%86.4+10.8%100+25.7%50-13.9%
48
category rank
AVAILABILITY
61.3 category score

Indicator score
score

% difference from average


64.9+4.1%0.7-4.3%46.2-2.9%94.8+13.6%55.6+6%25-13.5%88.2+6.2%84.4-0.5%

84
category rank
QUALITY AND SAFETY
47.1 category score

Indicator score
score

% difference from average


19-36.8%100+32.6%37.7-22.6%18.9-28.1%92+9.5%

Food Security Index data tool

 Indonesia
 Asia & Pacific
 All index countries
FREE
Download the index
December 2019 Model
(Excel file 4mb)
LONGITUDEOVERALL SCORE (0-100)-180°-120°-60°0°60°120°180°0102030405060708090100

                                                                                                                                                                                   
Longitude
Longitude                                                                                    
Overall score
Overall score                                                                           
Population
Population                                                                                    
Neutral
Neutral
Horizontal axis Vertical axis Bubble size Bubble brightness

Explore the impact of GFSI's


natural resources & resilience
category
supported by

The EIU
 EIU.com
The Economist Group
 The Economist
Privacy
 Privacy policy
 Cookies
 Terms of use
Indeks Ketahanan
Pangan Indonesia
Melesat Tahun Ini
Kamis, 1 November 2018 17:21 WIB

https://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/01/indeks-ketahanan-pangan-indonesia-
melesat-tahun-ini

Upaya pemerintah untuk wujudkan ketahananan pangan dinilai telah


berbuah hasil positif. Dalam kajian yang dirilis oleh The Economist
Intelligence Unit (EIU), Global Food Security Index (GFSI) atau Indeks
Ketahanan Pangan, Indonesia berada di peringkat 65 dengan score
54,8. Posisi ini meningkat dibandingkan posisi tahun 2015 yang
berada di posisi ke-74.
“Dalam kurun waktu empat tahun, posisi Indonesia terus membaik.
Pada tahun 2016 posisinya meningkat menjadi 71 dengan score 53,6.
Pada tahun 2017, posisi Indonesia kembali membaik dan berada
pada peringkat 69,” ungkap Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian (Pusdatin) Kementerian Pertanian I Ketut Kariyasa, dalam
keterangan pers, Kamis (1/11/2018).
Membaiknya posisi dan indeks ketahanan pangan Indonesia ini akibat
membaiknya posisi tiga pilar yang membentuknya, yaitu pilar
keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), dan kualitas
dan keamanan (quality and safety).
Pada aspek keterjangkuan terhadap pangan, posisi Indonesia naik
dari 68 pada tahun 2017 menjadi 63 pada tahun 2018.
Peringkat Indonesia pada aspek kualitas dan keamanan pangan pada
tahun 2018 juga meningkat dan menduduki posisi 84. Pada tahun lalu
Indonesia berada pada posisi 86 untuk aspek ini.
“Hal yang sangat mengagetkan adalah pada aspek ketersediaan
pangan. Tidak hanya peringkat, tapi skornya juga mengalami
peningkatan tajam. Secara posisi, ketersediaan pangan kita
meningkat. Pada tahun 2017 peringkat kita 64, naik menjadi peringkat
58 pada tahun 2018. Skornya juga mengalami kenaikan yang sangat
tajam, yaitu 3,8 poin, dari skor 54,4 menjadi skor 58,2,” papar
Kariyasa.
Pada aspek ketersediaan pangan, posisi Indonesia juga berada di
atas Philipina (peringkat 63 dengan score 55,6), Thailand (peringkat
65 dengan score 54,7), Vietnam (peringkat 72 dengan score 53,9)
dan Myamar (peringkat 78 dengan score 51,4).
Peningkatan posisi ketahanan pangan Indonesia, disebut Kariyasa,
tidak terlepas dari sinergi semua pihak dan upaya keras yang telah
dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi-JK yang diterjemahkan dalam
bentuk program-program terobosan pembangunan pertanian oleh
Kementerian Pertanian dalam empat tahun terakhir ini.
“Terus membaiknya peringkat dan indeks ketahanan pangan
Indonesia di tingkat global merupakan bukti keseriusan pemerintah
dalam mewujudkan kedaulatan pangan,” tandas Kariyasa. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Indeks Ketahanan Pangan


Indonesia Melesat Tahun Ini, https://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/01/indeks-
ketahanan-pangan-indonesia-melesat-tahun-ini.

Editor: Content Writer


Indeks Ketahanan Pangan

https://www.bps.go.id/news/2015/05/06/110/indeks-ketahanan-pangan.htm

Sensus Pertanian (ST2013) telah dilaksanakan oleh BPS dengan beberapa perubahan dari ST
sebelumnya. Perubahan tersebut antara lain cakupan, unit pencacahan, konsep rumah tangga
pertanian, populasi komoditi pertanian, bahkan petugas serta kuesioner. Beberapa tahapan mulai dari
pencacahan lengkap usaha pertanian, dilanjutkan pencacahan rinci dengan Survei Pendapatan Rumah
Tangga Usaha Pertanian (SPP) serta Survei Struktur Ongkos Komoditas Pertanian Strategis dalam
setiap subsektor pertanian telah dilaksanakan demi menyediakan data statistik berkualitas untuk
kesejahteraan petani yang lebih baik. 

Seiring proses berjalan, diseminasi hasil ST2013 juga dilakukan secara bertahap mulai dari
angka sementara, angka tetap, dan populasi menurut subsektor. Untuk melengkapinya, BPS juga
menyajikan beberapa analisis berdasarkan hasil ST2013 seperti analisis potensi pertanian hasil
pendataan lengkap ST2013, analisis sosial ekonomi petani serta analisis profil subsektor unggulan.
Upaya ini merupakan bagian tanggung jawab BPS menyediakan informasi strategis bagi pemerintah
untuk pengambilan kebijakan dalam hal statistik pertanian. 

Banyak informasi berguna yang bisa didapat dari ST2013, salah satunya mengenai pangan.
Sesuai amanat Undang-undang Republik Indonesia No 18 tahun 2012 tentang pangan maka negara
berkewajiban mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Sehubungan dengan itu,
Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik (DAPS) berusaha memanfaatkan secara optimal data
ST2013 tersebut, salah satunya dengan menyusun Indeks Ketahanan Pangan (IKP). Menggelar sebuah
workshop bertajuk Analisis Sosial Ekonomi Rumah Tangga Usaha Pertanian di Jakarta tanggal 15–18
Oktober 2014, Margo Yuwono, Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik dan tim DAPS
menyampaikan pemanfaatan data ST2013 untuk penghitungan IKP. 

Data IKP dapat menjelaskan ketahanan pangan suatu daerah. Indeks ini disusun dari tiga
dimensi yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Data
untuk penghitungan bersumber dari hasil SPP. Keterbatasan data pada survei ini menyebabkan IKP
dihitung melalui pendekatan skoring jawaban-jawaban pada kuesioner yang dikelompokkan menjadi
tiga dimensi. Keterbatasan itu pula menyebabkan dimensi ketersediaan pangan hanya diwakili oleh
aspek kecukupan pangan. Dimensi keterjangkauan/akses pangan diwakili aspek keterjangkauan fisik,
ekonomi, dan sosial. Sementara untuk dimensi pemanfaatan pangan diwakili oleh dua aspek, yaitu
aspek kecukupan asupan serta aspek kualitas air. 

Aspek kecukupan pangan dilihat dari tiga indikator yaitu kecukupan persediaan pangan, tidak
kekurangan pangan ,dan ketakutan kekurangan pangan. Indikator tersebut diperoleh dari kuesioner
SPP dengan pemberian skor. 

Aspek keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial diperoleh dari tiga indikator yaitu indikator
pangan yang diproduksi di kecamatan, indikator tidak mengalami kesulitan menjangkau pembelian
serta indikator harga pembelian tidak tinggi. 

Aspek kecukupan asupan dideteksi dari indikator tidak ada balita yang kurang gizi atau berat
badan yang rendah serta indikator tidak adanya balita yang meninggal karena sakit. 

Aspek kualitas air diwakili oleh indikator sumber air minum utama dan indikator sumber air
untuk memasak. Semakin baik kualitas air yang dimanfaatkan rumah tangga akan menghindarkan
anggota rumah tangga mengalami kesehatan yang buruk. 

Masing-masing aspek dibuat skoring kemudian dikonversikan dalam persentase. IKP


diperoleh dari rata-rata persentase ketiga dimensi yang telah dihitung. Dengan batasan satu standar
deviasi, dibuatlah pengkategorian IKP daerah yaitu Kurang Tahan Pangan, Cukup Tahan Pangan dan
Tahan Pangan Tinggi. 

Alhasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan kurangnya ketahanan pangan rumah tangga
pada beberapa provinsi. Secara umum, nilai IKP Kawasan Timur Indonesia masih tertinggal
dibandingkan Kawasan Barat Indonesia. Perbandingan antarpulau menunjukkan hanya Pulau Jawa
yang nilainya di atas rata-rata nilai IKP Nasional. IKP Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Tanaman
Pangan mempunyai nilai paling tinggi dibandingkan subsektor lainnya karena berkaitan dengan
ketersediaan pangan. Di sisi lain tidak ada perbedaan IKP yang signifikan antar jenis pendapatan
rumah tangga. Artinya, dengan pendapatan sebesar apapun bukan hal yang sulit bagi RTUP untuk
mendapatkan bahan pangan.
Seberapa Kuat Ketahanan Pangan Indonesia?

Bagaimana Sebenarnya Ketahanan Pangan Indonesia. tirto.id/Sabit

Oleh: Scholastica Gerintya - 26 Februari 2019

Ketahanan pangan tak cuma soal impor atau narasi swasembada, tapi
bagaimana negara seperti Singapura justru dianggap punya indeks
ketahanan pangan yang mumpuni. tirto.id –

“Jika pembangunan pangan kami dapat dikatakan mencapai keberhasilan,


maka hal itu merupakan kerja raksasa dari suatu bangsa secara
keseluruhan,” kata Soeharto seperti dikutip dari buku Beribu Alasan Rakyat
Mencintai Pak Harto (2006) karya Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Adi Sage
(hlm. 92). Persoalan pangan memang jadi isu yang selalu menggelinding
setiap pemerintahan yang berkuasa. Persoalan impor, swasembada,
hingga narasi ketahanan pangan seolah saling berkelindan. Pada Pilpres
2019, isu ketahanan pangan juga menjadi barang dagangan masing-
masing capres dan cawapres. Kubu Jokowi dan Prabowo mengangkat isu
ketahanan pangan, mulai persoalan impor beras dan jagung, harga bahan
pangan, hingga infrastruktur pendukung swasembada pangan. Baca juga:
Generasi Milenial Doyan Membuang Makanan Makanan di Indonesia:
Banyak yang Membutuhkan, Banyak yang Membuang Ketahanan Pangan,
berdasarkan definisi Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian
Pertanian, adalah suatu kondisi terpenuhinya pasokan pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan. Hal ini tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat. Definisi mirip-mirip juga jadi pijakan Badan Pangan
Dunia (FAO), bahwa ketahanan pangan terjadi saat semua orang,
sepanjang waktu punya akses fisik dan ekonomi terjaga kebutuhan dan
nutrisi pangan untuk kehidupan yang sehat dan aktif. Ketahanan pangan
menjadi salah satu fokus negara-negara di dunia tak hanya Indonesia. Ini
karena produktivitas suatu negara berkaitan dengan kebutuhan pangan
warganya yang tercukupi. Indeks ketahanan pangan global Global Food
Security Index/GFSI, hasil kerja sama The Economist dan perusahaan
sains bidang pangan Corteva, menunjukkan ketahanan pangan Indonesia
memang ada perbaikan setidaknya sejak 2012. Skor Indonesia di semua
aspek pada 2012 sebesar 46,8 naik menjadi 54,8 pada 2018 (skor tertinggi
100). Tahun lalu, Indonesia menempati posisi 65 di dunia dan kelima di
ASEAN dari 113 negara (Oktober 2018). Posisi teratas masih didominasi
negara-negara maju, Singapura justru berada di posisi teratas. Artinya
ketahanan pangan tak cuma bicara soal sumber daya produksi pangan,
tapi ada aspek-aspek lain.
Pada laporan GFSI, ada empat aspek dalam penilaian indeks ketahanan
pangan, yaitu keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan, juga
sumber daya. Bila ditelisik, skor aspek keterjangkauan pangan Indonesia
adalah sebesar 55,2 (peringkat 63 dari 113 negara). Skor aspek
ketersediaan adalah 58,2; menempati posisi ke-58. Sementara skor aspek
kualitas dan keamanan sebesar 44,5 (peringkat 84) dan skor faktor sumber
daya alam adalah 43,9 (peringkat 111). Secara garis beras, indeks
ketahanan pangan di Indonesia memang membaik. Bagaimana bila
melihatnya secara detail untuk masing-masing daerah? Pemerintah melalui
BKP, Kementerian Pertanian, sudah menyusun Indeks Ketahanan Pangan
(IKP). Ada sembilan Indikator yang merupakan turunan dari tiga aspek
ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan
pangan. Selanjutnya, IKP dikelompokkan dalam enam kelompok, angka
enam paling punya ketahanan pangan dan angka satu sebagai wilayah
yang paling rentan pangan. Berdasarkan skor IKP, mayoritas kabupaten
dan kota di Indonesia memiliki tingkat ketahanan pangan yang baik.
Namun, ada 81 kabupaten (19,47 persen) dan 7 kota (7,14 persen) di
Indonesia yang perlu mendapat prioritas penanganan kerentanan pangan
yang komprehensif. Di tingkat kabupaten, sebanyak 81 wilayah atau 19,47
persen dari 416 kabupaten memiliki skor IKP yang rendah. Artinya, 81
daerah tersebut masuk dalam kelompok IKP 1 sampai 3. Sebaran wilayah
kelompok rentan ini adalah 26 kabupaten (6,25 persen) masuk kelompok 1,
21 kabupaten (5,05 persen) masuk kelompok 2, dan 34 kabupaten (8,17
persen) masuk kelompok 3.

Dari 26 kabupaten kelompok 1, sebanyak 17 kabupaten berada di Provinsi


Papua, 6 kabupaten di Provinsi Papua Barat, 2 kabupaten di Provinsi
Maluku dan 1 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada wilayah
kota, mayoritas wilayah memiliki ketahanan pangan yang baik. Sebanyak
32 kota (32,65 persen) masuk dalam kelompok 5 dan 50 kota (51,02
persen) ada di kelompok 6. Namun, ada 7 kota (7,14 persen) memiliki
tingkat ketahanan pangan yang rentan.
Ada dua kota (2,04 persen) masuk kelompok 1, yaitu Kota Subulussalam di
Aceh dan Kota Tual di Maluku, 2 kota (2,04 persen) masuk kelompok 2,
yaitu Kota Gunung Sitoli di Sumatera Utara dan Kota Pagar Alam di
Sumatera Selatan, dan 3 kota (3,06 persen) yang masuk kelompok 3, yaitu
Kota Tanjung Balai di Sumatera Utara, Kota Lubuk Linggau di Sumatera
Selatan, dan Kota Tidore Kepulauan di Maluku Utara. Beberapa indikasi
rentannya 81 kabupaten dan 7 kota adalah kabupaten dan kota tersebut
sangat tergantung pada pasokan pangan dari wilayah lain untuk memenuhi
kebutuhan pangan penduduknya dan akses yang terbatas terhadap
infrastruktur dasar air bersih. Pengeluaran pangan di wilayah tersebut pun
lebih dari 65 persen terhadap total pengeluaran. Selain itu, tingkat
penduduk miskin dan angka balita stunting atau kerdil tergolong tinggi. Di
wilayah Papua masih memiliki masalah kekurangan pangan yang serius.
Baca juga: Kementan Akui Masalah Ketahanan Pangan di Pedalaman
Belum Tuntas Pemetaan ketahanan pangan di wilayah-wilayah Indonesia
penting. Dengan mengetahui keadaan pangan di wilayah tersebut, baik
pemerintah atau lembaga lainnya dapat membuat kebijakan yang tepat
sasaran. Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan menarik
lainnya Scholastica Gerintya (tirto.id - Teknologi) Penulis: Scholastica
Gerintya Editor: Suhendra
Rabu, 18 September 2019 08:40 WIB

Keren, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia Terus


Meningkat
https://www.wartaekonomi.co.id/read247195/keren-indeks-ketahanan-pangan-indonesia-terus-
meningkat

WE Online, Jakarta -

Dalam suatu negara, kebutuhan pangan merupakan hak yang harus dipenuhi
oleh setiap warga negara. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia untuk tetap bertahan hidup. Di Indonesia hal tersebut sudah jelas diatur
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Hal ini
menegaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama
dan pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia.
Menurut Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, ketahanan
pangan merupakan kondisi terpenuhinya pasokan pangan dalam suatu negara
hingga titik terkecil yaitu perorangan agar hidup dengan sehat maupun aktif
berkelanjutan ke depannya.
Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga
disebutkan bahwa ketahanan pangan nasional dimulai dari ketahanan pangan
tingkat rumah tangga. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pangan harus dapat
diakses dengan mudah bagi rumah tangga.
Berdasarkan data dari The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2014
hingga 2018, indeks ketahanan pangan di Indonesia mengalami kenaikan yang
cukup signifikan. Pada tahun 2014 mencapai 46,5 indeks dan di tahun 2018
mencapai 54,8 indeks. Indeks ketahanan pangan di Indonesia terlihat membaik
sepanjang tahun 2014 hingga 2018.

Selain itu, sepanjang tahun 2014 sampai 2018 indeks ketahanan pangan secara
global menurut data dari Global Food Security Index (GFSI) Indonesia berada
pada peringkat ke 65 dunia dan peringkat ke-5 di ASEAN.
Baca Juga: Kadin: Sektor Pangan Penyumbang Tertinggi PMDN Rp7 Triliun
Penilaian indeks ketahanan pangan terdiri dari empat aspek.
Pertama, affordability terkait dengan cara memotong rantai pasok yang panjang.
Kedua, availability yaitu, terjaganya penawaran. Lalu ketiga, quality and
safety terkait kualitas dan keamanan standar nutrisi dan pengawasan impor dan
keempat natural resources and resilience terkait dengan lahan dan produksi
pangan.
Ketahanan pangan Indonesia dari aspek keterjangkauan memperoleh skor 55,2
berada di peringkat 63 dari 113 negara. Kemudian skor dari aspek ketersediaan
58,2 (peringkat 58), dari aspek kualitas dan keamanan memperoleh skor 44,5
(peringkat 84) serta dari faktor sumber daya alam memperoleh skor 43,9
(peringkat 111).
Capaian indeks ketahanan pangan tersebut merupakan prestasi bagi pemerintah
terutama Kementerian Pertanian. Pemerintah sudah berusaha untuk
memperlihatkan capaiannya secara perlahan pada ketahanan pangan. Patut
diapresiasi untuk pemerintah karena dengan banyaknya tantangan salah satunya
selalu meningkatknya laju pertumbuhan penduduk tiap tahunnya sekitar 2,5 juta
orang, pemerintah mampu memantapkan ketahanan pangan.
Dengan memiliki lahan yang luas dan subur, letak geografis yang beruntung
karena di wilayah tropis mengakibatkan aneka jenis tanaman dapat tumbuh
subur menjadi kekuatan dari Indonesia. Hal-hal tersebut sudah dibuktikan
dengan membaiknya indeks ketahanan pangan secara nasional maupun global.

Mengatasi
kendala
perbaikan
kesehatan ibu
dan anak di pulau
Komodo
Asupan ikan laut, sumber nutrisi penting terhambat karena
mitos lokal
https://forestsnews.cifor.org/65284/mengatasi-kendala-
perbaikan-kesehatan-ibu-dan-anak-di-pulau-komodo

Rabu, 29 Apr 2020

Penangkapan ikan skala kecil dapat memberi manfaat baik dari segi
pemenuhan nutrisi maupun ekonomi bagi perempuan. Sayangnya, meski
di beberapa daerah persediaan ikan melimpah, kekurangan gizi kerap
terjadi. Hal ini seringkali disebabkan karena keterbatasan ekonomi serta
pantangan sosial untuk mengonsumi ikan.

Ikan adalah sumber asam lemak, mikronutrien dan mineral, serta


menyediakan hampir 20 persen protein hewani bagi sepertiga populasi
penduduk bumi. Bagi masyarakat di pesisir pantai, ikan menyediakan
kurang lebih 90 persen kebutuhan protein hewani.

Indonesia – negara penghasil ikan laut terbesar kedua di dunia – kurang


lebih 54 persen konsumsi ikan menyumbang total kebutuhan protein
hewani nasional. Nelayan skala kecil menyumbang hingga 95 persen dari
total produksi ikan tangkapan serta memberi pekerjaan kurang lebih 2,6
juta orang di tingkat rumah tangga (skala kecil) yang masih menggunakan
kapal kecil dan alat tangkap non-mekanis.

Terlepas besarnya suplai ikan di laut, ditemukan tingginya tingkat


kerawanan pangan pada masyarakat pesisir di 17.000 kepulauan Indonesia.
Kerawanan pangan ini mencakup lebih dari 36 persen anak di bawah usia
5 tahun (balita) dan 20 persen penduduk dewasa.

“Kita perlu meningkatkan pemahaman terhadap akses pangan padat


nutrisi, terutama bagi komunitas pesisir pedesaan, dan bagaimana
distribusi pangan tersebar ke rumah – rumah terutama rumah tangga
dengan tingkat rentan,” kata Emily Gibson, Ph.D. kandidat doktor di
Lembaga Penelitian untuk Lingkungan dan Mata Pencaharian Universitas
Charles Darwin Australia, yang memimpin penelitian keanekaragaman
pangan dan konsumsi ikan di Indonesia, diterbitkan dalam jurnal online
PLOS ONE.
Baca jugaDietary diversity and fish consumption of mothers and
their children in fisher households in Komodo District, eastern
Indonesia

Selain menilai kualitas pangan bagi perempuan dan anak, penelitian ini
berfokus pada tiga komunitas di kabupaten Komodo, provinsi Nusa
Tenggara Timur.

Para peneliti mempelajari bagaimana kelaparan dan kekurangan gizi dapat


terjadi dengan memeriksa pola konsumsi oleh rumah tangga dan peran
jender dalam ketahanan nutrisi lokal.

“Hanya karena ikan banyak tersedia atau dapat dipanen, bukan berarti
ikan-ikan ini akan dikonsumsi di tingkat rumah tangga atau produsen,
banyak faktor lain yang menentukan bagaimana uang yang diperoleh dari
hasil tangkapan ikan ini akan digunakan, dan itu terkadang tidak
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan padat nutrisi,” kata Gibson,
yang melakukan penelitian kolaboratif dengan Terry Sunderland, ilmuwan
asosiasi Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan profesor
di Fakultas Kehutanan di Universitas British Columbia di Kanada.

Konsumsi makanan bergizi dan beragam, termasuk ikan padat nutrisi,


sangat penting bagi perempuan pada usia reproduksi serta pada anak-anak
dan bayi, karena perempuan memiliki kebutuhan nutrisi yang lebih tinggi
saat masa kehamilan dan menyusui, dan anak-anak memiliki kebutuhan
nutrisi yang tinggi di seribu hari pertama pertumbuhan mereka.

Baca jugaThe Influence of Forests on Freshwater Fish in the


Tropics: A Systematic Review

“Pertumbuhan janin yang buruk berhubungan dengan kondisi kekurangan


gizi, menyebabkan kemampuan akademis yang lebih rendah, dan memicu
konsekuensi antargenerasi,” kata Gibson.

Para peneliti menemukan bahwa ikan adalah sumber protein hewani yang
paling sering dikonsumsi oleh para ibu, dengan sekitar 90 persen
mengonsumsinya setiap hari. Ikan juga merupakan sumber protein hewani
yang paling sering dikonsumsi oleh anak-anak, dengan 58 persen
mengonsumsinya di musim hujan dan 80 persen mengonsumsinya di
musim kemarau.

Namun, para peneliti menemukan bahwa lebih dari tiga perempat bayi
(usia 6-11 bulan) tidak mengonsumsi ikan. Hanya 12,5 persen yang
mengonsumsinya di musim hujan dan hanya 20 persen yang
mengonsumsinya di musim kemarau.

Pemahaman akan mitos

Ditemukan bahwa banyak ibu tidak memberikan ikan untuk bayi dan
anak-anak mereka karena diyakini dapat menyebabkan alergi atau sakit
perut.

Sementara, beberapa perempuan tidak mengonsumsi ikan karena alergi


atau kekhawatiran tentang potensi keracunan zat merkuri, dan yang
lainnya menganggap hal ini adalah tabu bagi wanita yang sedang
menyusui untuk mengonsumsi ikan kakatua, baronang, landak laut, dan
kerang. Dalam beberapa kasus, hal ini terjadi karena jenis-jenis ini
dipercaya dapat menyebabkan sakit perut pada anak usia menyusui.

Keyakinan ini kemudian diturunkan turun temurun sehingga apabila


seorang wanita mengonsumi jenis-jenis ini, maka dapat dikatakan ia
mengambil resiko tersebut. Gibson menjelaskan bahwa para ibu menunda
mengkonsumsi jenis-jenis ikan ini sampai anak mereka berhenti menyusui,
dapat memakan nasi atau hingga anak-anak mereka dapat berjalan.

“Kita perlu memahami bagaimana mitos ini dapat menyebabkan beberapa


jenis pangan padat gizi tidak dikonsumsi secara merata pada tingkat rumah
tangga, terutama sebagai makanan pelengkap bagi anak-anak dalam
memenuhi kebutuhan gizi dan mendorong pertumbuhan dan
perkembangan kognitif bagi anak-anak,” kata Gibson. “Beban waktu bagi
para ibu mungkin menyulitkan mereka untuk menyiapkan ikan, atau
mereka mungkin tidak memiliki akses ke peralatan untuk memproses,
mengeringkan maupun menyimpan ikan secara aman.”

Alasan di balik harus ditingkatkannya pengetahuan tentang gizi dan


kesehatan di kalangan ibu dan komponen masyarakat lainnya – seperti
para tetua dan para ahli pengobatan tradisional – termasuk mengatasi
kesalahpahaman dan ketakutan adalah untuk meningkatkan keseluruan
keragaman pangan, sehingga dapat mengurangi tingkat kelaparan yang
tidak terdeteksi dan dapat mencapai tujuan ketahanan pangan nasional dan
internasional yang telah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan PBB, tambahnya.

Meski para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang mengonsumsi


makanan yang beragam memiliki ibu yang juga mengonsumsi makanan
yang beragam dan bergizi, namun hal ini hanya dilakukan oleh kurang dari
seperempat ibu-ibu di daerah tersebut. Seringkali, konsumsi pangan di
daerah ini hanya didasarkan pada satu atau dua makanan pokok saja dan
berisiko menyebabkan kekurangan mikronutrien. Ditemukan juga hampir
50 persen anak-anak pertumbuhannya terhambat.

Faktor ekonomi juga memainkan peran penting yang menyebabkan


keterbatasan keragaman pangan. Ketersediaan lauk ikan, daging, sayuran
atau sambal sambal didasarkan pada apakah perempuan, yang juga
memikul tanggung jawab untuk memberi makan keluarga mempunyai
daya beli. Seringkali para ibu mengurangi porsi makan mereka atau saat
paceklik mengirim anak-anak mereka untuk makan bersama kerabat.

Mencari Solusi

Melalui Gerakan Nasional untuk Mempercepat Peningkatan Gizi,


Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan pemenuhan
gizi, kata Gibson.

“Kami memberi rekomendasi meningkatkan dukungan melalui program


peningkatan kebun rumah tangga atau bagi komunitas perempuan
mengembangkan produk pangan padat nutrisi dari jenis-jenis lokal untuk
dijual kepada para ibu di lingkup komunitas mereka,” kata Gibson.

“Respon lintas-sektor dan tingkatan di seluruh sistem pangan Indonesia


dapat dimulai dengan menyalurkan air bersih dan meningkatkan sanitasi,
memberikan dukungan sosial, serta mendukung mata pencaharian pada
masyarakat pesisir pedesaan, karena hal ini pasti akan berdampak terhadap
pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat,” tambahnya.
Sejauh ini, banyak program di Kabupaten Komodo telah difokuskan pada
konservasi laut dan penciptaan mata pencaharian alternatif yang ditujukan
untuk meminimalisir tekanan yang dirasakan oleh para nelayan.

“Namun, akan lebih baik untuk membangun hubungan dan sinergi pada
seluruh program sektoral untuk mencapai pemenuhan gizi yang lebih
baik.”

Anda mungkin juga menyukai