Anda di halaman 1dari 7

Kajian Kitab Matan Bin’na

Diajukan sebagai salah satu tugas kelompok pada mata kuliah bahtsul kutub semester V

Dosen : Hadi Mardi .,Lc.,M.Hum

Oleh :
Adji Husaeni 41032124141006
Lalah Fauziah 4103212414026
Aldi M.Shidiq 4103212414010
Hafid Daulatul islam 4103212414003

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2016
NASAKH

Arti Nasakh

Nasakh menurut bahasa artinya “menghapus “dan sering diartikan “memindahkan”.

Menurut Istilah, nasakh ialah : “Menghapus hukum syara’ dengan dalil yang datang
kemudian.”

Yang dibatalkan disebut mansukh, sedang yang membatalkan disebut nasikh.

SYARAT-SYARAT NASAKH
1) Yang dinasakh (mansukh) itu hukum syara, yang bukan sesuatu yang zatnya memang
diwajibkan, seperti wajib iman kepada Allah dan juga bukan sesuatu yang diharamkan
karena zatnya, seperti kufur. Karena kewajiban beriman kepada Allah dan larangan
kufur itu tidak akan dinasakh.
2) Nasikh (yang menghapus ) harus dalil-dalil syara’ kalau bukan dalil syara’ tidak dapat
disebut nasakh. Yang bukan dalil syara , tetapi dapat menghapus tuntutan hukum,
misalnya Mati. Akan tetapi, mati tidak dapat disebut nasikh sebab tidak adanya
hukum terhadap orang yang sudah mati ini dapat diketahui oleh akal tanpa petunjuk
syara.
3) Mansukh itu tidak terikat oleh waktu yang tertentu, seperti : “Makan dan minumlah
kamu sehingga terang/tampak olehmu putih dari benang hitam, ialah fajar”
Penjelasan : meski makan dan minum tidak diperbolehkan setelah tiba waktu fajar
pada bulan puasa, tetapi yang demikian tidak dapat disebut nasakh sebab hukum yang
pertama dengan sendirinya akan hilang, jika waktu yang tertentu telah habis.
4) Nasikh, harus lebih kuat dari pada mansukhnya atau sekurangnya sama, jangan
kurang dari itu karena lemah yang tidak akan dapat menghapuskannya yang
kuat.karena itu hadist mutawatir dapat menasakh (menghapus ) hadist ahad, tetapi
sebaliknya hadist ahad tidak dapat menaskh hadist mutawatir.
5) Nasikh harus munfashil (terpisah ) dari mansukhnya dan datangnya terkemudian dari
mansukhnya sebab kalau berturut-turut seperti syarat, sifat dan istisna tentu bukan
nasakh, tetapi takhshish.
IJMA

ARTI IJMA
Ijma menurut bahasa artinya “Sepakat”, setuju atau “sependapat”, sedang menurut
istilah ialah : “Kebulatan pendapat semua ahli Ijtihad umat Muhammad sesudah wafat
pada suatu masa , tentang suatu perkara (Hukum)

PEMBAGIAN IJMA
a. Ijma qauli (Ucapan ): yaitu ijma dengan cara para ulama ijtihad menetapkan
pendapatnya, baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan
persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada masanya. Ijma ini disebut juga
Ijma’ qath’i
b. Ijma sakuti (diam) : ialah ijma dengan cara para ulama ijtihad tidak
mengeluarkan pendapat atas mujtahidin lain. Ijma ini disebut juga ijma
dhanni.

QIYAS

ARTI QIYAS :

Qiyas menurut bahasa artinya “mengukur sesuatu dengan lainnya dan


mempersamakannya.

Menurut Istilah, qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan
hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya
persamaan di antara keduanya.

KEDUDUKAN QIYAS

Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar’iyah yang keempat sesudah al-Qur’an ,hadist,
dan ijma.
RUKUN QIYAS

a. Ashal (pangkal) yang menjadi ukuran/tempat menyerupakan (musyabbah) bih=


tempat menyerupakan.
b. Far’un (cabang), yang diukur (musyabah = yang diserupakan ).
c. Illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
d. Hukum, yang ditetepkan pada far’i sesudah tetap pada ashal.

MACAM-MACAM QIYAS

Qiyas ini ada empat macam : (1) Qiyas Aulawi, (2) Qiyas Musawi, (3) Qiyas Dilalah,
dan Qiyas Syibh.

a. Qiyas Aulawi = ialah yang illatnya sendiri menetapkan adanya hukum, sementara
cabang lebih pantas menerima hukum dari pada ashal.
Contoh : haramnya memukul ibu bapak yang diqiyaskan kepada haramnya memaki
mereka, dilihat dari illatnya ialah “menyakiti”
b. Qiyas Musawi ialah illatnya sama dengan illat qiyas aulawi, hanya hukum yang
berhubungan dengan cabang (far’i) itu setingkat denga hukum ashalnya.
Contoh : Memakan harta benda anak yatim kepada membakarnya, dilihat dari segi
illatnya ialah sama-sama melenyapkan.
c. Qiyas Dilalah (menunjukan ) ialahnya yang illatnya tidak menetapkan hukum, tetapi
menunjukan juga adanya hukum.
Contoh : menetapkan wajibnya zakat harta kepada anak-anak yatim dengan wajibnya
zakat harta orang dewasa, dengan alesan kedua-duannya merupakan harta yang
tumbuh.
d. Qiyas syibh (menyerupai ) adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara
kedua pangkal ke mana yang paling banyak menyemai.
Contoh : seperti budak yang dibunuh, dapat ditetapkan dengan orang yang merdeka
karena sama-sama keturunan Adam.
ISTID-LAL

A. Istid-lal menurut bahasa, artinya mencari dalil, dan menurut istilah ialah
mempergunakan alasan yang bukan berupa qur’an atau hadist , bukan pula ijma’ atau
Qiyas.

Istid-lal ini bermacam-macam , diantaranya istish-hab, maslahat mursalah, saddudz


dzara-i’, istihsan, mazhab sahabat, syariat sebelum islam, dan dalalah iqtiran.

B. Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan
sampai yang akan datang selama tidak terdapat yang mengubahnya.

Contoh : seorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di waktu ini, ia
harus berpegang kepada tidak berwudhu sebab ini yang diyakininya.

C. Maslahat Mursalah : ialah memelihara maksud sya’ra dengan jalan menolak segala
yang merusakkan makhluk.
D. Saddudz dzara’i adalah menghindarkan sesuatu perbuatan yang tidak dilarang oleh
syara, tetapi sebenarnya perbuatan itu dapat mendatangkan kerusakan, mislanya
melarang orang minum seteguk minuman keras, pedahal seteguk itu tidak
memabukan. Larangan semacam ini untuk menutupi jalan agar jangan sampai minum
banyak.
E. Syariat sebelum islam ialah syariat agama yang ada sebelum timbul islam, seperti
agama Nabi Isa, Musa, Ibrahim, dan lainnya.
F. Dalalah iqtiran dalil yang menunjukan bahwa sesuatu sama hukumnya dengan sesuatu
yang disebut bersama-sama.

IJTIHAD

Ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum sya’ra


dengan jalan menentukan dari kitab dan sunnah.
Adapun orang yang berijtihad disebut mujtahid, yaitu ialah ahli fiqih yang menghabiskan
seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum
agama dengan jalan istinbath dari Qur’an dan sunnah.

TAQLID

Taqlid ialah : “Menerima pendapat orang lain pedahal tidak mengetahui alasannya “

Syarat-syarat taklid dibagi dua :

1. Syarat orang yang bertaqlid : adalah orang awam yang tidak mengerti cara-cara
mencari hukum sya’ra. Ia tidak boleh mengikuti orang alim yang mengamalkan.
2. Soal-soal yang ditaklidi : terhadap hukum akal tidak boleh bertaqklid kepada
orang lain, seperti mengetahui ada Zat pencipta alam ini serta sifat-sifatnya karena
jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut Ialah dengan akal yang semua
manusia milikinya.

ITTIBA

Ittiba artinya mengikuti, sedang menurut Istilah Menerima perkataan orang lain dan kamu
mengetahui dari mana sumber alasan tersebut. Dan ittiba menurut syara diperintah.

TARJIH

Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih mana dalil yang
kuat di antara dalil-dalil yang tampaknya berlawanan.

Tarjih digunakan sesudah tidak dapat lagi ditetapkan hukum dangan jalan jama.

Contohnya, sebagaimana kita dapati hadist yang menurut lahirnya berlawanan sebagai
berikut :

A. Dari ibn Abbas ia pernah berkata : Rasulullah Subhana Wata’alla, telah menikahi
Maimunah, saat nabi Subhana Wata’alla. Dalam keadaan ihram haji. (H.R.Muslim)
B. Dari Yazid ibn-al-Asham, ia berkata : “Maimunah binti al-Harist telah menceritakan
kepadaku bahwa Rasullah saw. Menikahinya, saat beliau dalam halal (tidak dalam
ibadah haji)

Kedua riwayat tersebut kelihatannya bertentangan, pada riwayat pertama, Nabi nikah
dalam keadaan ihram haji, sedang pada riwayat kedua, beliau nikah saat tidak menjalani
ibadah haji.

Anda mungkin juga menyukai