Anda di halaman 1dari 13

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Madeline Leininger


Madeleine Leininger lahir pada tanggal 13 juli 1925 di Sutton, Nebraska,
Amerika Serikat. Beliau adalah seorang ahli teori keperawatan perintis, yang
pertama kali muncul pada tahun 1961. Ia mengembangkan konsep keperawatan
transkultural, membawa peran faktor budaya dalam praktek keperawatan ke
dalam diskusi tentang bagaimana yang terbaik untuk mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan.
Beliau menerima gelar diploma dalam keperawatan dari St Anthony's
School of Nursing di Denver, Colorado. Pada tahun 1950, ia memperoleh B.S.
dari St Scholastica (Benedictine College) di Atchi, Kansas. Dan pada tahun
1954 meraih M.S. di Nurs kesehatan jiwa dan mental dari Universitas Katolik
Amerika di Washington, DC. Pada tahun 1965, ia dianugerahi gelar Ph.D.
dalam antropologi budaya dan sosial dari Universitas Washington, Seattle
(Tomey dan Alligood, 2001). Leininger adalah pendiri gerakan keperawatan
transkultural dalam pendidikan penelitian dan praktek (tahun 1950an).

B. Konsep Teori Keperawatan Transkultural

Keperawatan transkultural merupakan suatu area utama dalam


keperawatan yang berfokus pada studi komparatif dan analisis tentang budaya
dan subbudaya yang berbeda di dunia yang menghargai perilaku caring,
layanan keperawatan, nilai-nilai, keyakinan tentang sehat sakit, serta pola-pola
tingkah laku yang bertujuan mengembangkan body of knowledge yang ilmiah
dan humanistik guna memberi tempat praktik keperawatan pada budaya tertentu
dan budaya universal. Teori keperwatan transkultural menekankan pentingnya
peran perawat tentang memahami budaya klien. Pemahaman yang benar pada
diri perawat mengenai budaya klien, baik individu, keluarga, kelompok,
maupun masyarakat dapat mencegah terjadinya culture shock dan culture
imponsition. Culture shock terjadi saat pihak luar (perawat) mencoba
mempelajari atau beradaptasi secara efektif dengan kelompok budaya tertentu
(klien). Sedangkan culture imponsition adalah kecenderungan tenaga kesehatan
(perawat) baik secara diam-diam maupun terang-terangan, memaksakan nilai-
nilai budaya, keyakinan, dan kebiasaan atau perilaku yang dimilikinya kepada
individu, keluarga, atau kelompok dari budaya lain karena mereka meyakini
bahwa budayanya lebih tinggi dari pada budaya lain.

Leininger menggambarkan teori keperawatan transkultural sebagai


matahari terbit, sehingga disebut juga sebagai sunrise model. Model matahari
terbit ini melambangkan keperawatan dalam transkultural yang menjelaskan
bahwa sebelum memberikan asuhan keperawatan pada klien

4
(individu, keluarga, kelompok, komunitas, lembaga), perawat terlebih dahulu
harus mempunyai pengetahuan mengenai pandangan dunia tentang dimensi dan
budaya serta struktur sosial yang berkembang diberbagai belahan dunia maupun
masyarakat dalam lingkup yang sempit.

Dimensi budaya dan struktur sosial tersebut menurut Leininger


dipengaruhi oleh tujuh faktor, yaitu :

5
1. Teknologi
2. Agama dan falsafah hidup
3. Sosial dan kekerabatan
4. Nilai budaya dan gaya hidup
5. Politik dan hukum
6. Ekonomi
7. Pendidikan

Faktor-faktor tersebut merupakan totalitas dari suatu keadaan, situasi,


atau pengalaman yang memberikan arti bagi perilaku manusia, interpretasi, dan
interaksi sosial dalam tatanan fisik, ekonomi, sosial politik, dan atau struktur
kebudayaan. Semua faktor tersebut berbeda pada setia negara atau area, sesuai
dengan kondisi masing-masing daerah, dan akan mempengaruhi pola atau cara
dan praktik keperawatan. Semua langkah perawatan tersebut ditujukan untuk
memelihara kesehatan holistik, penyembuhan penyakit, dan persiapan
menghadapi kematian. Oleh karena itu, ketujuh faktor tersebut harus dikaji oleh
perawat sebelum memberikan asuhan keperawatan pada klien sebab masing-
masing faktor memberi pengaruh terhadap ekspresi, pola, dan praktik
keperawatan (care ekspresion, patterns, dan practices). Dengan demikian, tujuh
faktor tersebut besar kontribusinya terhadap pencapaian kesehatan secara
holistic atau kesejahteraan manusia, baik pada level individu, keluarga,
kelompok, komunitas, maupun institusi, diberbagai sistem kesehatan. Jika
disesuaikan dengan proses keperwatan, ketujuh faktor tersebut masuk pada
level pertama yaitu tahap pengkajian.

Peran perawat pada transcultrutal nursing theory adalah menjembatani


antara sistem perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan system
perawatan professional melalui asuhan keperawatan. Oleh karena itu perawat
harus mampu membuat keputusan dan rencana tindakan keperawatan yang akan

6
diberikan kepada masyarakat. Jika disesuaikan dengan proses keperawatan, hal
tersebut merupakan tahap perencanaan tindakan keperwatan.

Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien harus tetap


memperhatikan tiga prinsip asuhan keperawatan yaitu :

1. Culture care preservation atau maintenance, yaitu prinsip membantu,


memfasilitasi, atau memperhatikan fenomena budaya guna membantu
individu menentukan tingkat kesehatan dan gaya hidup yang diinginkan.
2. Culture care accommodation atau negotiation, yaiu prinsip membantu,
memfasilitasi, atau memperhatikan fenomena yang ada, yang
merefleksikan cara-cara untuk beradaptasi, bernegosiasi, atau
mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup individu atau
klien.
3. Culture care repatterning/restructuring, yaitu prinsip merekonstruksi atau
mengubah design untuk membantu memperbaiki kondisi kesehatan dan
pola hidup klien kearah yang lebih baik.

Hasil akhir yang diperoleh melalui pendekatan keperawatan transkultural


pada asuhan keperawatan adalah tercapainya culture congruen nursing care
health and well being, yaitu asuhan keperawatan yang kompeten berdasarkan
budaya dan pengetahuan kesehatan yang sensitiF, kreatif, serta cara-cara yang
bermakna guna mencapai tingkat kesehatan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

C. Paradigma Keperawatan Transkultural


Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural
sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam
terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya
terhadap empat konsep keperawatan yaitu,

7
1. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-
nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan
pilihan dan melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia
memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setia
saat dimanapun dia berada.
2. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan
suatu keyakina, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang
digunakan untu menjaga dan memelihara keadaan seimbang/seha yang
dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat
mempunyai tujuan yang sama yaitu mempertahankan keadaan sehat
dalam rentang sehat sakit yang adaptif.
3. Lingkungan
Adalah keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan,
kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan ini dipandang sebagai
totalitas kehidupan dimana klien dan budayanya saling berinteraksi. 3
bentuk lingkungan yaitu,
a. Lingkungan fisik
Adalah lingkungan alam seperti daerah khatulistiwa, pegunungan,
dan iklim.
b. Lingkungan sosial
Adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan
sosialisasi individu, keluarga atau kelompok kedalam masyarakat
yang lebih luas. Dalam lingkungan sosial, individu harus mengikuti
struktur dan aturan yang berada di lingkungan tersebut.
c. Lingkungan simbolik

8
Adalah keseluruhan bentuk dan symbol yang menyebabkan
individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni riwayat
hidup, dan bahasa.
4. Keperawatan
Suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang
diberikan klien dengan latar belakang budayanya. Strategi yang
digunakan adalah,
a. Strategi 1 : Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang
telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga
setiap pagi.
b. Strategi 2 : Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan
untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang
lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar
dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai
pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan
sumber protein hewani lain.
c. Stategi 3 : Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi
gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok.
Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih
menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.

9
D. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger
and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen
yang ada pada "Sunrise Model" yaitu :
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau
mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi
klien
tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical
factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang
amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi
yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya,
bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus
dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan,
cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan
dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama
lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam
keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.

10
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan
oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-
norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan
terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada
faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala
keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang
dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan
aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang
berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang
boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera
sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat
diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya
asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota
keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin
tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung

11
oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat
belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat
pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk
belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga
tidak terulang kembali.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang
budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi
keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa
keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan
transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi
sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan
sistem nilai yang diyakini.
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah
suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan
adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah
melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang budaya klien
(Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam
keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu :
a. Mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan
b. Mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang
menguntungkan kesehatan
c. Merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan
dengan kesehatan.

12
4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan
atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan
dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.

Dengan memiliki pengetahuan tentang perspektif budaya pasien


memungkinkan perawat untuk memberikan perawatan yang tepat dan
efektif. Sebagai contoh, pada kasus pasien yang menolak untuk diberikan
tranfusi darah dengan alasan agama, perawat yang mempunyai
kompetensi budaya akan memahami dan mengatasi masalah pasien
tersebut dengan masalah keanekaragaman budaya.

Perawat mungkin menghadapi pasien dari berbagai budaya dalam praktek


sehari-hari dan tidak mungkin perawat dapat memahami seluruh
keanekaragaman budaya. Namun, perawat dapat memperoleh
pengetahuan dan skill dalam komunikasi transkultural untuk membantu
memfasilitasi perawatan individual yang didasarkan pada praktek-praktek
budaya. Perawat yang terampil dalam komunikasi transkultural akan lebih
siap untuk memberikan perawatan yang kompeten secara budaya untuk
pasien mereka.

Baru-baru ini penelitian kualitatif menunjukkan bahwa masalah


komunikasi adalah alasan utama perawat tidak dapat memberikan
perawatan yang kompeten dalam budaya (Boi, 2000, Cioffi, 2003).
Perawat menyampaikan bahwa mereka tidak nyaman dengan pasien dari
budaya lain selain mereka sendiri karena hambatan bahasa. Lebih penting

13
lagi, para perawat menjelaskan bahwa mereka tidak dapat memahami
isyarat-isyarat lain yang digunakan oleh para pasien untuk
berkomunikasi. Perawat menyampaikan memerlukan pendidikan dan
pelatihan untuk memahami arti isyarat-isyarat komunikasi nonverbal
tertentu yang digunakan oleh kebudayaan yang berbeda, misalnya kontak
mata, sentuhan, diam, ruang dan jarak serta keyakinan terhadap
kesehatan.

Kontak mata adalah alat komunikasi yang penting, juga merupakan


variabel yang paling berbeda diantara banyak budaya (Canadian Nurses
Association, 2000). Perawat Amerika diajarkan untuk mempertahankan
kontak mata ketika berbicara dengan pasien mereka. Berbeda dengan
orang-orang Arab, yang menganggap kontak mata langsung tidak sopan
dan agresif. Demikian pula, penduduk asli Amerika Utara juga
menganggap kontak mata langsung hal yang tidak benar dalam budaya
mereka, menatap lantai selama percakapan menunjukkan bahwa mereka
mendengarkan dengan hati-hati dengan pembicara. Sangat penting bahwa
perawat harus sadar bahwa beberapa makna yang dapat disertakan pada
kontak mata langsung agar dapat berkomunikasi secara efektif dengan
pasien.
E. Kelebihan dan Kekurangan
Teori Transkultural dari Leininger juga memiliki kelebihan dan
kekurangan yaitu,
a. Kelebihan :
1. Teori ini bersifat komprehensif dan holistik yang dapat memberikan
pengetahuan kepada perawat dalam pemberian asuhan dengan latar
belakang budaya yang berbeda.

14
2.  Teori ini sangat berguna pada setiap kondisi perawatan untuk
memaksimalkan pelaksanaan model-model teori lainnya (teori Orem,
King, Roy, dll).
3.  Penggunakan teori ini dapat mengatasi hambatan faktor budaya yang
akan berdampak terhadap pasien, staf keperawatan dan terhadap rumah
sakit.
4.  Penggunanan teori transcultural dapat membantu perawat untuk
membuat keputusan yang kompeten dalam memberikan asuhan
keperawatan.
5.  Teori ini banyak digunakan sebagai acuan dalam penelitian dan
pengembangan praktek keperawatan .
b. Kelemahan :
1. Teori transkultural bersifat sangat luas sehingga tidak bisa berdiri
sendiri dan hanya digunakan sebagai pendamping dari berbagai
macam konseptual model lainnya.
2. Teori transcultural ini tidak mempunyai intervensi spesifik dalam
mengatasi masalah keperawatan sehingga perlu dipadukan dengan
model teori lainnya.
Akhirnya, menurut Leininger, tujuan studi praktek pelayanan kesehatan
transkultural adalah meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia
dalam kaitan dengan kesehatannya. Dengan mengidentifikasi praktek kesehatan
dalam berbagai budaya (kultur) baik dimasa lalu maupun zaman sekarang, akan
terkumpul persamaan-persamaan, sehingga kombinasi pengetahuan tentang
pola praktek transkultural dengan kemajuan teknologi dapat menyebabkan
makin sempurnanya pelayanan perawatan dan kesehatan orang banyak dari
berbagai kultur.

15

Anda mungkin juga menyukai