NIM : 01190180
E-Book PPSMBK
Melalui e-book yang disusun oleh Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI ini, fokus
perhatiannya adalah pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Bagaimana masyarakat bahkan
gereja yang kurang memerhatikan kebutuhan ABK dan menyediakan kebutuhan mereka
selayaknya manusia biasa. Perlu diketahui bahwa ABK merupakan singkatan dari Anak
Berkebutuhan Khusus yakni anak yang memiliki keterbatasan baik keterbatasan fisik, intelektual,
mental, sensorik, ganda atau multi, dan lain-lain. Dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut,
seorang anak tidak bisa berlaku seperti manusia normal lainnya.
Dalam e-book ini juga dikatakan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus di Mata Allah:
“Mereka Juga Adalah Mahakarya Allah”. Sebagai manusia yang juga dicipitakan oleh Allah
sendiri, ABK pun merupakan ciptaan yang unik dan pastinya Allah mempunyai rencana
tersendiri bagi mereka dengan keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena Allah saja menciptakan
Anak Berkebutuhan Khusus dan memiliki rencana tersendiri bagi hidup mereka, maka gereja
pun harus mampu menerima kehadiran mereka di tengah jemaat.
Dalam Bab 1, dijelaskan bahwa gereja seharusnya menjadi “rumah” bagi semua orang
tanpa pandang bulu. Maka dari itu, Anak Berkebutuhan Khusus pun seharusnya diterima dan
disambut oleh gereja karena mereka pun ciptaan Allah dan sama berharganya dengan manusia
lainnya. Gereja memang sepatutnya bertugas mengembangkan jemaatnya baik yang
berkebutuhan khusus dan yang tidak. Namun, pada kenyataannya, Anak Berkebutuhan Khusus
belum sepenuhnya mendapat tempat di gereja. Masih banyak gereja yang kurang menyadari
betapa pentingnya menyediakan kebutuhan bagi Anak Berkebutuhan Khusus walaupun dalam
setiap gereja, jumlahnya tidak banyak atau disebut sebagai minoritas. Salah satu penyebab
kurangnya ABK mendapat perhatian dari gereja adalah karena berkembangnya stigma yang tidak
baik tentang ABK di tengah jemaat. Masih banyak jemaat yang berpikir bahwa ABK sebaiknya
tidak dilibatkan di dalam gereja dan bersifat mengganggu juga memiliki kecenderungan
membuat kekacauan dalam ibadah. Stigma-stigma negatif seperti ini harus dihindari dan dihapus
oleh gereja karena balik ke penjelasan awal bahwa gereja merupakan rumah bagi semua orang
tanpa terkecuali. Stigma seperti ini juga membuat para ABK beserta orangtuanya tidak terlalu
memercayai gereja. Sebaliknya, justru gerejalah harus menjadi sarana luar pertama bagi para
ABK agar mereka merasa diterima dan disambut lalu percaya bahwa meskipun mereka memiliki
perbedaan dengan manusia lainnya, mereka tetaplah berharga di mata Allah dan sama nilainya
dengan manusia lainnya.
Gereja yang mengerti bahwa perlunya kebutuhan akan fasilitas untuk para ABK adalah
gereja yang mengerti pula bahwa ABK berhak bersekutu di gereja dengan jemaat lainnya. Untuk
ABK, diperlukan pula guru yang baik dalam mengajar karena ABK merupakan anak yang unik.
Dalam Bab 3 bahwa dalam hal mengajar ABK, dasar pertama yang harus dilakukan adalah
mengajar dengan hati. Di Bab ini dijelaskan bahwa “hati” menunjuk pada keutuhan diri manusia
secara intelektual, emosi, dan perilaku. Guru yang mengajar dengan hati berarti paham akan
siapa yang akan diajarkannya dan menyiapkan dirinya secara intelektual, emosi, dan perilaku
untuk mengerti murid seperti apa yang diajarnya dan bagaimana caranya agar murid mampu
sampai pada tahap “paham” dengan baik oleh pengajarannya.
Sebagai Guru Sekolah Minggu, mengajar bukan hanya sekedar memenuhi tanggung
jawab yang diberikan gereja, tetapi mengajar adalah bentuk respon atas panggilan Tuhan
terhadap Guru Sekolah Minggu tersebut. Tindakan atas respons tersebut dilakukan dengan
pertimbangan hati dan nurani bukan karena desakan apalagi paksaan. Mengajar dengan hati juga
artinya guru mengenal dengan baik anak yang diajarnya, apalagi jiak itu seorang ABK. Jika
seorang pengajar mengenal baik anak yang diajarnya, pastinya ia juga akan menemukan cara
terbaik untuk mengajar anaknya, khususnya ABK. Pengenalan yang baik juga menghantarkan
pada relasi yang baik anatara pengajar dan anak yang diajarnya. Jika telah tercipta suatu relasi
yang baik antara pengajar dan ABK yang diajarnya maka akan tercipta pula suatu kondisi yang
aman dan nyaman bagi ABK untuk lebih terbuka kepada pengajarnya karena adanya perasaan
diterima.
Mengajar dengan hati juga berarti berempati dengan melihat situasi dari perspektif orang
lain dan berusaha memahaminya. Dengan adanya empati, pengajar akan dapat mengambil
keputusan secara objektif dan bersikap reflektif sehingga dapat memperlakukan setiap anak
dengan baik, baik anak dengan kebutuhan khusus dan yang tidak. Dan juga, mengajar dengan
hati tentunya membutuhkan keterampilan di mana pengajar harus benar-benar cara-cara seperti
apa saja yang harus diperlakukan kepada ABK, karena seperti yang kita tahu ABK pun memiliki
keunikan-keunikan khusus yang tidak bisa disatukan. Pengajar harus mampu mengeksplorasi
berbagai metode dalam mengajar ABK agar pesan dan apa yang diajarkan sampai sesuai dengan
kekhususan ABK itu sendiri.
Pengajaran pada ABK, khususnya ASMBK, tentunya tidak mudah. Yang pertama kali
harusnya dilakukan adalah gereja sendiri menerima mereka dengan memfasilitasi mereka dengan
fasilitas khusus bagi mereka agar mereka merasa diterima. Tidak berhenti pada fasilitas, gereja
juga harus mampu menyediakan Guru Sekolah Minggu yang memenuhi persyaratan dan bisa
mengajar para ASMBK dengan baik dan pesan-pesan firman Tuhan tetap sampai di mereka.
Kadarmanto
Dalam bukunya, Kadarmanto pun mengutip Sara Little yang menjelaskan di dalam
bukunya bahwa mengajar mesti dilakukan sebagai wujud pelayanan yang responsive yang
artinya memberikan kebebasan pada peserta didik untuk memahami suatu konsep sesuai dengan
kemampuannya dan memberikan respon atas apa yang dimengertinya. Ini berarti, apapun yang
ditemukan peserta didik dalam proses menerima pengajaran, haruslan ia hargai dan yakini bahwa
temuan tersebut akan berguna bagi hidupnya dan sesuai dengan apa yang dicarinya. Dijelaskan
juga bahwa pijakan awal dari proses mengajar adalah kepercayaan. Kepercayaan inilah yang
natinya akan membawa kepada suatu perubahan di mana yang berperan penting adalah peserta
didik bukan lagi sang pengajar.
Sebagai pengajar penting unutk menrancang sebuah rencana mengajar yang membuat
peserta didik secara bertahap tertarik akan apa yang diajarkan oleh pengajar lalu mendapatkan
temuan-temuan baru yang nanti direlasikan dengan kehidupannya. Untuk menwujudkan ini,
pengajar harus mampu mengajarkan peserta didik dengan pendekatan yang tepat yang
memancing peserta didik dan membuat peserta didik secara aktif mengekspresikan apa yang
didapatkannya dalam proses pengajaran.
Ciri-ciri metode yang digunakan hendaknya:
Perlu juga bagi pengajar untuk mengetahui berbagai Ragam Mengajar sebagai dasar memilih
metode yang akan digunakan, Seperti berikut;
Andalas
Bab 3, Christiani
Keluarga
Keluarga tidak selalu tentang kesempurnaan di mna ada ayah, ibu, anak laki-laki, dan
anak perempuan. Komposisi manusia dalam keluarga pastinya berbeda-beda, entah itu hanya ibu,
atau hanya ayah, dengan satu anak, dua anak, tiga anak, dan bermacam komposisi lainnya. Dan
walaupun variasinya begitu banyak, seorang anak dalam keluarga tetaplah berada dalam keluarga
yang utuh. Tiap keluarga adalah keluarga yang utuh.
Guru Sekolah Minggu dalam suatu gereja haruslah secara tepat menjelaskan apa itu
keluarga khususnya kepada anak-anak yang diajarkannya. Suatu keluarga yang utuh dan
harmonis tidak boleh dideskripisikan secara subjektif dengan syarat harus ada ayah, ibu, anak
laki-laki, atau anak perempuan. Suatu keluarga adalah keluarga yang utuh bahkan jika terjadi
perceraian di antara orangtuanya sekalipun.
Pernikahan merupakan perjanjian antara suami dan istri (ayah dan ibu) yang berkeinginan
untuk hidup bersama dengan bahagia. Dua orang yang berakhir menikah memang berakhir
bahagia bila berakhir dengan orang yang membuatnya bahagia, namun dengan menikah,
kebahagiaan tidaklah berlangsung selamanya. Selama pernikahan pun mereka masih bisa
memiliki masalah, perbedaan pendapat, konflik, dll. Permasalahan yang sangat besar dapat
menghasilkan keputusan untuk bercerai dari pasangan yang seharusnya bahagia selamanya.
Dalam pernikahan yang melibatkan anak akan sulit menjelaskan suatu perceraian kepada sang
anak jika anak masih terlalu kecil untuk mengerti. Guru Sekolah Minggu hanya diharapkan
mampu menjelaskan perceraian sebagai isu realita yang benar-benar terjadi dengan tidak
menyatakan bahwa perceraian adalah bentuk dosa sehingga membawa pemikiran negatif akan
perceraian terhadap anak.
Archibald Hart mengkategorikan dampak perceraian orangtua pada anak secara usia anak:
a. Anak Balita: Anak Bawah Lima Tahun biasanya belum terlalu mengerti secara kognitif
tentang perceraian orangtuanya, namun bisa merasakannya walau tidak secara utuh dan
jelas.
b. Anak 5-8 Tahun: Biasanya sudah mulai mengerti apa yang terjadi pada orangtuanya yang
bercerai, namun belum cukup dewasa untuk menghadapinya.
c. Anak 9-12 Tahun: Biasanya sudah semakin memahami apa yang terjadi pada
orangtuanya yang bercerai, dan emosi yang kerap ditunjukkan adalah kemarahan. Dan
ada perasaan terasingkan.
d. Remaja 12 Tahun ke atas: Sudah sangat memahami alasan orangtuanya bercerai,
sehingga mengerti dan tidak menyalahkan keputusan perceraian orangtuanya itu. Namun,
dampak besar bagi remaja ada di dalam dirinya secara mendalam dan mengalami
ketakutan.
Peran gereja menjadi peran yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak ketika mengalami
perceraian orangtua. Gereja seharusnya menjadi tempat pertama bagi anak untuk bersandar.
Gereja semestinya menjadi komunitas penyembuh, dengan tidak menghakimi orangtua yang
bercerai. Jika gereja menghakimi orangtuanya, sama saja dengan gereja menaruh pemikiran
negatif dan dendam di anak terhadap orangtuanya. Dengan begitu, gereja tidak lagi menciptakan
damai bagi anak itu. Jemaat tidak perlu ikut campur akan keputusan orangtua melainkan fokus
menerima sang anak di komunitas seperti biasanya seperti keadaan di mana orangtuanya belum
bercerai. Jemaat harus berusaha meyakinkan sang anak bahwa sang anak hadir oleh karena kasih
dan cinta dari orangtuanya dan ia bukanlah suatu kesalahan atau membawa malapetaka.
Perceraian orangtua murni karena masalah antara ayah dan ibunya bukan karena kehadirannya.
Dalam menghadapi perceraian, yang ditantang bukan hanya keluarga yang terdampak,
namun gereja juga. Gereja ditantang untuk mampu terus mengarahkan sang anak agar tetap
dalam jalan yang benar dengan memberikan pengertian bahwa kehadirannya masih sama berarti
dan bernilai dengan kondisi di mana orangtuanya belum bercerai. Guru Sekolah Minggu harus
berhati-hati dalam berkata-kata dan mengajar anak dengan kondisi seperti ini. Pengajar harus
bisa menciptakan suatu tempat aman bagi anak untuk mencurahkan keluh kesahnya dan terbuka
akan perasaan yang dirasakannya dan juga memberi pengertian bahwa apa yan dirasakannya itu
penting dan harus dikeluarkan.