Anda di halaman 1dari 3

RESUME WEBINAR

Analisis sosial menyoal OmnibusLaw

Omnibuslaw adalah UU yang menjadi kontroversi sejak dulu, menyoal omnibuslaw terhadap dampak
sosial. Omnibuslaw menjanjikan lapangan pekerjaan dan melancarkan investasi masuk ke Indonesia.
Analisis sosial, melihat lingkungan terlebih dahulu. UU OmnibusLaw Cipta Kerja dinilai akan
merugikan rakyat Indonesia, terutama buruh atau pekerja, anti-lingkungan hidup, mengabaikan
HAM, dan lain-lain. alih-alih memikirkan nasib petani dan nelayan yang kehilangan sumber
penghidupannya, RUU Cipta Kerja justru memfasilitasi keserakahan dan korupsi banyak investor
hitam dengan bantuan oligarki. Oligarki adalah persekutuan antara pengusaha dan pejabat
pemerintah/aparat keamanan yang menggunakan berbagai cara untuk merampas sumber
penghidupan masyarakat, dengan dalih pengadaan lahan untuk "kepentingan umum" tanpa
indikator yang bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas.
Niat pembenahan regulasi yang digadang-gadang dengan RUU Omnibus Cipta Kerja justru akan
menciptakan lebih banyak penyumbatan dalam implementasi karena simplifikasi yang dilakukan
hanya membabat ujung belaka tanpa perencanaan yang terintegrasi dengan agenda pembangunan.
Pada tanggal 5 Oktober 2020, DPR RI mengesahkan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dalam rapat
paripurna. Sejak pertama kali diusulkan, Omnibus Cipta Kerja telah menuai kontroversi di kalangan
serikat pekerja dan kelompok masyarakat karena memuat pasal-pasal yang mengancam hak pekerja.
Proses penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai sejumlah kelompok masyarakat kurang terbuka dan
kurang transparan. Pembahasan yang dilakukan tertutup saat hari libur dan waktu pengesahan yang
lebih cepat dari yang dijadwalkan memicu protes. Pembahasan yang dilakukan sejak awal dengan
minim konsultasi melanggar hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik dan hak atas informasi.

 dikatakan omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang
menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan
besar yang berfungsi sebagai payung hukum (umbrella act). Dan ketika peraturan itu diundangkan
berkonsekuensi mencabut beberapa aturan hasil penggabungan dan substansinya selanjutnya
dinyatakan tidak berlaku, baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan.

Opini yang menilai omnibus law berbenturan dengan sistem hukum nasional memang cukup
beralasan. Pasalnya, konsep yang diadopsi Perpres Nomor 91 Tahun 2017 itu merupakan kebijakan
yang lazim digunakan dalam membuat regulasi di Amerika Serikat dan negara-negara yang
menganut sistem common law. Sebaliknya di Indonesia pembuatan aturan mengacu pada sistem
civil law yang banyak dipraktikkan di negaranegara Eropa Kontinental.

Pun, konsep yang populer diterapkan di negara-negara Anglo Saxon itu tidak dikenal dalam tata cara
pembuatan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akibatnya, kebijakan
perizinan berusaha terintegrasi yang berbasis omnibus law itu rentan mengalami uji materi (judicial
review) dan dipersoalkan di rapat paripurna DPR.

Namun secara yuridis formil penerapan konsep omnibus law masih relevan dan bisa diterapkan di
Indonesia dengan berbagai alasan. Pertama, kebijakan itu sejalan dengan beberapa asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, baik secara teoritis maupun normatif, sebagaimana
ditetapkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Ambil contoh, asas kepastian hukum yang mengamanatkan materi muatan peraturan
perundangundangan harus dapat mewujudkan kepastian hukum dan memberikan perlindungan
hukum bagi investor dalam berinvestasi. Asas itu selaras dengan kebijakan perizinan yang berbasis
Perpres Nomor 91 Tahun 2017 karena dapat mengatasi, setidaknya meminimalisir, keruwetan yang
seringkali dialami investor lokal dan asing dalam berinvestasi di daerah maupun di Pusat akibat
banyaknya regulasi yang harus dipatuhi oleh investor.

Dalam arti, substansi Perpres Nomor 91 Tahun 2017 membuat proses perizinan menjadi lebih
mudah, transparan, akuntabel, dan ekstra cepat. Sebab, proses perizinan diawasi dan dikawal oleh
satuan tugas (satgas) secara berjenjang yaitu satgas nasional, satgas kementerian/ lembaga,
provinsi, kabupaten/kota, satgas leading sector, dan satgas pendukung.

Selain itu, perizinan hanya dilayani melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), adanya standar
perizinan, dan perizinan terintegrasi secara elektronik.

Proses perizinan tersebut sejalan pula dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan yang
mengamanatkan setiap peraturan perundangundangan memang dibutuhkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebab, mendorong investor lokal dan asing berinvestasi di berbagai sektor
dan mendongkrak kinerja pemerintah, sektor swasta, dan para pemangku kepentingan terkait
lainnya (stakeholders) dalam rangka mewujudkan pembangunan perekonomian negara yang
berkeadilan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara substansi, Perpres Nomor 91 Tahun 2017 mendukung pula tiga landasan keberlakuan
peraturan perundang- undangan. Pertama, dasar filosofis yang menghendaki hukum (peraturan)
mampu menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Kedua, dasar
sosiologis yang berkaitan dengan kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi/ diinginkan masyarakat
(investor).

Terakhir, dasar yuridis yang mengamanatkan adanya kepastian hukum dalam berinvestasi. Dengan
kata lain, penerapan konsep omnibus law memiliki beberapa kelebihan dalam mengatasi sengketa
peraturan di Indonesia dan permasalahan iklim investasi.

Sebab, konsep itu menyatukan kebijakan pemerintah pusat dan daerah, memotong mata rantai
birokrasi, dan mengatasi konflik peraturan perundang-undangan sehingga pada gilirannya proses
perizinan menjadi lebih terpadu, cepat, efisien dan efektif.

Pun, meningkatkan koordinasi antarinstansi terkait, serta adanya jaminan kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. Selain itu, Indonesia juga pernah mengeluarkan
kebijakan yang berkonsep seperti omnibus law. Ambil contoh, Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan
MPR RI tahun 1960 yang mengatur perihal TAP MPR apa saja yang dinyatakan berlaku dan tidak
berlaku.

Contoh lainnya adalah penggabungan beberapa materi muatan undang-undang yang diatur dalam
UUD 1945, seperti UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang berdampak
mencabut UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, dan UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Selain itu, beberapa ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
Demikian halnya UU Nomor 13 Tahun tentang Ketenagakerjaan yang mencabut 6 Ordonansi dan 9
UU. Namun, ketentuan Perpres Nomor 91 Tahun 2017 masih dominan membahas pembentukan
satuan tugas (satgas) dan fungsi satgas secara berjenjang --mulai satgas nasional, satgas
kementerian/lembaga, provinsi, kabupaten/kota hingga satgas leading sector dan satgas pendukung
di daerah. Namun belum mengatur teknis pelaksanaan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi
secara elektronik atau online single submission (OSS).

Karena itu, perlu segera dibuat regulasi teknis yang dapat disusun dan ditetapkan secara cepat dan
mudah seperti peraturan pemerintah (PP), misalnya.

Secara substansi PP tersebut hendaknya meregulasi ruang lingkup pengaturan, jenis perizinan yang
diperlukan, pemohon perizinan dan siapa yang berwenang menerbitkan izin berusaha, serta
bagaimana proses perizinan berusaha di pusat dan di daerah direalisasikan.

Pun, ketentuan pembayaran biaya perizinan dan instansi yang berhak menerima, fasilitas dan
pengawasan perizinan, reformasi perizinan berusaha di setiap sektor yang ditawarkan ke investor,
keberadaan sistem OSS, kewenangan dan pembiayaan lembaga OSS. Hal lainnya yang perlu diatur
adalah pemberian insentif dan disinsentif kepada instansi pusat maupun daerah, pemberian sanksi
dan penyelesaian masalah, serta hambatan perizinan OSS.

Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik
ini, diperlukan upaya kompilasi peraturan perundang-undangan penerapan sistem OSS --mulai
Perpres Nomor 91 Tahun 2017 dan PP teknis pelaksanaan sistem OSS hingga berbagai UU sektoral
dan aturan turunannya-- ke dalam ketentuan payung (umbrella act) yang berbentuk TAP MPR yang
secara hirarkis lebih tinggi dari UU. Namun upaya itu harus dibarengi upaya identifikasi dan
klasifikasi secara komprehensif mengenai perturan apa saja yang perlu dibatalkan.

Hal itu untuk menghindari pembatalan peraturan yang diperlukan dalam menjaga keseimbangan
pembangunan. Logika di balik keharusan melakukan identifikasi dan klasifikasi peraturan itu adalah
kompleksnya permasalahan yang dihadapi dan banyak faktor yang harus dipertimbangkan sebelum
perizinan berusaha terintegrasi berbasis elektronik ini diterapkan secara penuh.

Karena itu, penerapan sistem OSS harus dilakukan secara bertahap agar koordinasi dan singkronisasi
antarpemerintah pusat (kementerian/ lembaga) dengan pemerintah daerah berjalan optimal
sehingga pelayanan perizinan berusaha dapat lebih terintegrasi dengan waktu penyelesaian dan
biaya perizinan yang jelas.

Dalam konteks demikian, pemerintah dan DPR serta para pemangku kepentingan terkait dituntut
senantiasa bekerjasama dan bahu membahu mewujudkan penerapan sistem OSS untuk mengatasi,
minimal mengurangi kondisi perizinan berusaha yang belum kondusif.

Kemampuan memenuhi tuntutan tersebut, selain mempermudah dan mempercepat proses


perizinan berusaha secara nasional, citra Indonesia sebagai negara tempat berinvestasi yang aman
dan menjanjikan bagi investor lokal maupun asing semakin terdongkrak dan memicu animo mereka
berinvestasi.

Anda mungkin juga menyukai