Kelompok 3 (Teori-Teori Etika)
Kelompok 3 (Teori-Teori Etika)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi
Dosen Pengampu : Ayu Oktaviani, SE, M.Si, Ak, CA
PRODI S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Teori - Teori Etika ini tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari ibu
Ayu Oktaviani, SE, M.Si, Ak, CA pada mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi, prodi S1
Akuntansi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang teori-teori
etika bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Ayu Oktaviani, SE, M.Si, Ak, CA selaku
dosen mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.
Penulis
[1]
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................... 3
A. Latar Belakang........................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 3
C. Tujuan Makalah......................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 4
A. Etika Absolut Versus Etika Relatif ........................................................................... 4
B. Perkembangan Perilaku Moral................................................................................... 4
C. Beberapa Teori Etika................................................................................................. 7
D. Etika Abad Ke-20....................................................................................................... 10
E. Teori Etika dan Paradigma Hakikat Manusia ........................................................... 12
BAB III PENUTUP............................................................................................................... 14
A. Kesimpulan................................................................................................................ 14
B. Saran........................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 16
[2]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada banyak ketidaksamaan pandangan mengenai apakah etika bersifat absolut atau
bersifat relatif. Teori etika menyediakan kerangka yang dapat digunakan untuk memastikan
benar tidaknya keputusan moral. Keputusan moral yang diambil bisa menjadi beralasan
(memiliki moral reasoning) berdasarkan suatu Teori Etika. Namun sering terjadi benturan-
benturan yang diakibatkan karena pada kenyataannya banyak terdapat teori etika, yag
mengakibatkan penilaian berbeda-beda sebagai akibat dari tidak adanya kesepakatan oleh
semua orang. Terdapat banyak sekali penjelasan mengenai hubungan antara usia dengan
perkembangan moral anak manusia.
Teri Deontologi sering disebut sebagai etika kewajiban karena berpendapat bahwa tugas
merupakan moral dasar dan tidak tergantung pada konsekuensi yang ditimbulkan, yang
terdiri dari teori hak (rights), keadilan (Justice), perhatian (care), dan keutamaan (Virtue).
Teori Teleologi berpandangan bahwa suatu tindakan benar atau salah tergantung pada
konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Teori ini sering juga disebut dengan
pendekatan konsekuensialis. Teori Etika Utlitiarianisme berakar dari teori Teleologi dan
sering digunakan untuk menilai kebijakan pemerintah dan komoditas publik. Dari berbagai
teori etika yang berkembang, terdapat perbedaan antar teori etika yang ada, serta tantangan
ke depan dalam perkembangan etika sebagai ilmu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami dapat menyusun rumusan masalahnya sebagai
berikut :
1. Jelaskan mengenai etika absolut dan etika relatif serta perbedaan dari kedua teori
tersebut?
2. Jelaskan tentang perkembangan perilaku moral?
3. Jelaskan tentang beberapa teori etika?
4. Jelaskan tentang etika pada abad ke-20?
5. Jelaskan mengenai teori etika dan paradigma hakikat manusia?
C.Tujuan Makalah
Tujuan yang ingin kami capai dalam penyusunan makalah ini antara lain :
1. Mengetahui tentang etika absolut dan etika relatif serta perbedaan dari kedua teori
tersebut.
2. Mengetahui tentang perkembangan perilaku moral.
3. Mengetahui tentang beberapa teori etika.
4. Mengetahui tentang etika pada abad ke-20.
5. Mengetahui mengenai teori etika dan paradigma hakikat manusia.
[3]
BAB II
PEMBAHASAN
[4]
1. Perilaku moral (moral behavior), yaitu perilaku yang mengikuti kode moral kelompok
masyarakat tertentu.
2. Perilaku di luar kesadaran moral (unmoral behavior), yaitu perilaku yang menyimpang
dari harapan kelompok sosial yang lebih disebabkan oleh ketidakmampuan yang
bersangkutan dalam memahami harapan kelompok sosial.
3. Perilaku tidak bermoral (immoral behavior), yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan
harapan sosial, karena tidak setuju dengan standar sosial atau kurang memiliki rasa wajib
menyesuaikan diri dengan harapan sosial.
Perkembangan moral menurut beberapa teori, antara lain :
1. Menurut teori Psikoanalisa
Perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat
dan sebagai kematangan dari sudur organic-biologik. Seseorang telah mengembangkan
aspek moral bila telah menginternalisasikan aturan-aturan atau kaidah-kaidah kehidupan
di dalam masyarakat, dan dapat mengaktualisasikan dalam perilaku yang terus menerus,
atau dengan kata lain telah menetap.
2. Menurut teori Psikologi Belajar
Perkembangan moral dipandang sebagai hasil rangkaian stimulus maupun respon
yang dipelajari oleh anak, antara lain berupa hukuman (punishment) dan pujian (reward)
yang sering dialami oleh anak.
3. Menurut Lawrence Kohlberg
Tahapan perkembangan teori moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya teori moral
individu berdasarkan perkembangan penalaran teori moralnya. Teori perkembangan
moral kohlberg yang dikemukakan oleh Psikolog Kohlberg menunjukan bahwa
perbuatan moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan
hal hal lain yang berhubungan dengan norma kebudayaan (Sunarto, 2013:176). Selain itu
Psikolog Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku
moral (Moral Bahavior). Dalam perkembangannya Psikolog Kohlberg juga menyatakan
adanya tingkat tingkat yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Tingkat Teori
perkembangan moral Kohlberg adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral individu dari
segi proses penalaran yang mendasarinya bukan dari perbuatan moral.
4. Menurut Piaget
Perkembangan moral berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan individu,
sehingga seharusnya bila perkembangan kecerdasan telah mencapai kematangan, maka
perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangan. Perkembangan moral
berlangsung dalam 2 tahap, yaitu tahap realisme moral dan tahap moralitas dengan
analisis.
Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg terdiri dari 3 tingkat, yang masing-
masing tingkat terdapat 2 tahap, yaitu :
1. Tingkat Pra Konvesional (Moralitas Pra-Konvensional)
Pada masa pertama ini, individu sangat tanggap terhadap aturan aturan budaya,
misalnya aturan aturan baik atau buruk, salah atau benar, dsb. Individu akan mengaitkan
aturan aturan tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas perbuatan yang
dilakukan. Individu juga menilai aturan aturan tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari
yang menerapkan aturan aturan tersebut. Pada masa prekonvensional ini dibagi menjadi
dua masa yaitu :
- Masa Punishment and Obedience Orientation
Pada masa ini, secara umum individu menganggap bahwa konsekuensi yang
ditimbulkan dari suatu perbuatan sangat menentukan baik buruknya suatu perbuatan
[5]
yang dilakukan, tanpa melihat sisi individunya. Perbuatan perbuatan yang tidak
diikuti dengan konsekuensi dari perbuatan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang
buruk.
- Masa Instrumental Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
Pada masa ini, suatu perbuatan dikatakan benar apabila perbuatan tersebut mampu
memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun individu lain, serta perbuatan
tersebut tidak merugikan. Pada masa ini hubungan antar individu digambarkan
sebagaimana hubungan timbal balik dan perbuatan terus terang yang menempati
kedudukan yang cukup penting.
2. Tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional)
Pada masa perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga,
kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu perbuatan yang
terpuji. Pada masa ini, usaha individu untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui
keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan
baik antara diri dengan individu lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada masa
konvensional ini dibagi menjadi dua masa yaitu :
- Masa Interpersonal Concordance atau Good Boy/ Good Girl Orientation
Pandangan individu pada masa ini, perbuatan yang bermoral adalah perbuatan yang
menyenangkan, membantu, atau perbuatan yang diakui dan diterima oleh individu
lain. Jadi, setiap individu akan berusaha untuk dapat menyenangkan individu lain
untuk dapat dianggap bermoral.
- Masa Law and Order Orientation
Pada masa ini, pandangan individu selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan
aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Perbuatan bermoral dianggap
sebagai perbuatan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan
terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu
satunya tertib sosial yang ada.
3. Tingkat Post-Konvensional (Moralitas Post-Konvensional)
Pada masa ketiga ini, terdapat usaha dalam diri individu untuk menentukan norma
norma dan prinsip prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus
mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan
individu dengan kelompok. Pada masa ketiga ini, di dalamnya mencakup dua masa
perkembangan moral, yaitu :
- Masa Social Contract, Legalistic Orientation
Masa ini merupakan masa kematangan moral yang cukup tinggi. Pada masa ini
perbuatan yang dianggap bermoral merupakan perbuatan yang mampu merefleksikan
hak-hak individu dan memenuhi ukuran ukuran yang telah diuji secara kritis dan
telah disepakati oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, masa ini dianggap masa yang
memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Masa ini sangat memungkinkan
individu melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan norma
norma dan pendapat pribadi individu. Pada masa ini, hukum atau aturan juga dapat
dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.
- Masa Orientation of Universal Ethical Principles
Pada masa yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum
atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Tetapi, hal tersebut lebih dibatasi
oleh kesadaran individu dengan dilandasi prinsip prinsip etis. Prinsip prinsip tersebut
dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip prinsip
umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.
Tahap-tahap Perkembangan Moral Anak Menurut Kohlberg
Tingkat (Level) Sublevel Ciri Menonjol
Tingkat I 1. Orientasi pada hukuman Mematuhi peraturan untuk
(Preconventional) menghindari hukuman
[6]
Menyesuaikan diri untuk
Usia < 10 tahun 2. Orientasi pada hadiah
memperoleh hadiah/pujian
Tingkat II Menyesuaikan diri untuk
3. Orientasi anak baik
(Conventional) menghindari celaan orang lain
Usia 10-13 tahun Mematuhi hukum dan peraturan
sosial untuk menghindari kecaman
4. Orientasi otoritas
dari otoritas dan perasaan bersalah
karena tidak melakukan kewajiban
Tingkat III Tindakan yang dilaksanakan atas
(Postconventional) dasar prinsip yang disepakati
5. Orientasi kontrak sosial
Usia > 13 tahun bersama masyarakat demi
kehormatan diri
Tindakan yang didasarkan atas
prinsip etika yang diyakini diri
6. Orientasi prinsip etika
sendiri untuk menghindari
penghukuman diri
[7]
hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya
sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu
suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain
dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang
dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Bila seseorang belajar sampai larut
malam, atau mandi agar badan menjadi bersih, maka itu adalah tindakan yang dapat
dikatakan dilandasi oleh kepentingan diri, namun tidak dianggap sebagai tindakan
berkutat diri. Jadi, perbedaan antara tindakan berkutat diri (egoisme psikologis) dengan
tindakan untuk kepentingan diri (egoisme etis) adalah pada akibatnya terhadap orang
lain. Dengan perbedaan pemahaman seperti di atas, jelas bahwa paham egoisme
psikologis dilandasi oleh ketamakan sehingga tidak dapat dikatakan tindakan tersebut
bersifat etis.
Alasan yang mendukung teori egoisme antara lain :
- Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri.
- Pandangan terhadap kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan
moralitas akal sehat.
Alasan yang menentang teori egoisme etis, antara lain :
- Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. Kita
memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai
kepentingan-kepentingan yang bertabrakan.
- Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Egoisme etis dapat dijadikan sebagai
pembenaran atas timbulnya rasisme.
2. Utilitarianisme
Utilitarianisme sebagai teori etika dipelopori oleh David Hume (1711-1776),
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan Jhon Stuart
Mill (1806-1873). Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata
Inggris utility yang berarti bermanfaat (Bertens, 2000). Menurut teori ini, suatu tindakan
dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the
greatest happiness of the greatest number). Perbedaan paham utilitarianisme dengan
paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat
dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari
sudut pandang kepentingan orang banyak (kepentingan orang banyak). Paham
utilitarianisme ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan,
atau hasilnya).
b) Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting
adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan,
c) Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
3. Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban (Bertens,
2000). Paham ini dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan kembali mendapat
dukungan dari filsuf abad ke-20, Anscombe dan suaminya, Peter Geach (Rachels, 2004).
Paradigma teori deontologi ini sangat berbeda dengan paham egoisme dan
utilitarianisme, yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan
memberikan manfaat baik bagi individu maupun orang banyak. Selain itu terdapat teori
yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan
tersebut disebut teori teleologi. Pada paham deontologi justru mengatakan bahwa etis
tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi,
atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjadi
pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan.
[8]
Kant berpendapat bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan demi kewajiban itu
sendiri, bukan karena keinginan untuk memperoleh tujuan kebahagiaan, bukan juga
karena kewajiban moral iu diperintahkan oleh Tuhan. Moralitas hendaknya bersifat
otonom dan harus berpusat pada pengertian manusia berdasarkan akal sehat yang
dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti kewajiban moral mutlak itu bersifat rasional.
Untuk memahami lebih lanjut tentang paham deontologi ini, sebaiknya dipahami terlebih
dulu dua konsep penting yang dikemukakan Kant, yaitu konsep imperative hypothesis,
yang artinya perintah-perintah (ought) yang bersifat khusus yang harus diikuti jika
seseorang mempunyai keinginan yang relevan. Dan imperative categories, yang artinya
kewajiban moral yang mewajibkan kita begitu saja tanpa syarat apa pun.
4. Teori Hak
Immanuel Kant sebenarnya mengajukan dua pemikiran pokok. Disamping teori
deontologi dengan imperative categories-nya, ia juga mengemukakan apa yang
kemudian dikenal dengan teori hak (right theory). Menurut teori hak, suatu tindakan atau
perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan HAM.
Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari deontologi (teori
kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Teori hak sebenarnya
didsarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat dan semua manusia
mempunyai martabat yang sama.
Hak asasi manusia didasarkan atas beberapa sumber otoritas, yaitu :
a) Hak hukum (legal right), adalah hak yang didasarkan atas sistem/yurisdiksi hukum
suatu negara, di mana sumber hukum tertinggi suatu negara adalah Undang-Undang
Dasar negara yang bersangkutan.
b) Hak moral atau kemanusiaan (moral, human right), berkaitan dengan kepentingan
individu sepanjang kepentingan individu itu tidak melanggar hak-hak orang lain.
c) Hak kontraktual (contractual right), mengikat individu-individu yang membuat
kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing
kontrak.
Teori hak atau yang lebih dikenal dengan prinsip-prinsip HAM mulai banyak
mendapat dukungan masyarakat dunia termasuk dari PBB. Piagam PBB sendiri
merupakan salah satu sumber hukum penting untuk penegakan HAM. Dalam Piagam
PBB disebutkan ketentuan umum tentang hak dan kemerdekaan setiap orang. PBB telah
mendeklarasikan prinsip-prinsip HAM universal pada tahun 1948, yang lebih dikenal
dengan nama Universal Declaration of Human Rights. (UdoHR). Pada intinya dalam
UdoHR diatur hak-hak kemanusiaan, antara lain mengenai kehidupan, kebebasan dan
keamanan, kebebasan dari penahanan, peangkapan dan pengasingan sewenang-wenang,
hak memperoleh memperoleh peradilan umum yang bebas, independen dan tidak
memihak, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, menganut agama, menentukan
sesuatu yang baik atau buruk menurut nuraninya, serta kebebasan untuk berkelompok
secara damai. Indonesia juga telah mempunyai Undang-Undang tentang Hak Asasi
Manusia yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999. Hak-hak warga negara yang
diatur dalam UU ini (dalam Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi, 2007), antara lain :
a) Hak untuk hidup
b) Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
c) Hak untuk memperoleh keadilan
d) Hak untuk kebebasan pribadi
e) Hak atas rasa aman
f) Hak atas kesejahteraan
g) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan
h) Hak wanita
[9]
i) Hak anak
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Teori keutamaan berangkat dari manusianya (Bertens, 2000). Teori ini tidak lagi
mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pertanyaan mengenai sifat-sifat
atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai manusia
utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina. Bertens (200)
memberikan contoh sifat keutamaan, antara lain : kebijaksanaan, keadilan, dan
kerendahan hati. Sedangkan contohnya dalam pelaku bisnis, sifat utama yang perlu
dimiliki antara lain : kejujuran, kewajaran (fairness), kepercayaan dan keuletan.
6. Teori Etika Teonom
Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir
yang ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk
memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen,
yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh
kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Sebagaimana teori etika yang
memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan untuk mencapai tujuan
tertinggi yang bersifat mutlak. Moralitas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralitas
itu dikatakan dengan tujuan tertinggi umat manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak
tidak dapat diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat
mutlak melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.
Dengan menggunakan model ini, dapat dipahami mengapa sampai saat ini telah
berkembang beragam teori dengan argumentasi/sudut pandang penalaran yang berbeda.
Kunci penjelasan semua teori terletak pada paradigma/pola pikir etikawan dalam memaknai
hakikat manusia. Paradigma/pemahaman tentang hakikat manusia akan menentukan tujuan
hidup atau nilai-nilai yang ingin dicapai.
Nilai-nilai tersebut melatarbelakangi setiap paham/teori etika dan normal moral yang
ada. Teori dan norma moral ini selanjutnya menjadi pedoman dalam setiap tindakan yang
dilakukan. Tindakan-tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang akan membentuk
kebiasaan; kebiasaan akan membentuk karakter; dan karakter akan menentukan seberapa
efektif nilai-nilai yang diharapkan dapat tercapai. Nilai-nilai yang telah direalisasi akan
menjadi bahan refleksi untuk mengkaji kembali paradigma sebagai manusia dan tujuan
hidup yang ingin direalisasikan.
Tantangan ke Depan Etika sebagai Ilmu
Etika sebagai filsafat telah dikenal sejak zaman sebelum masehi. Etika sebagai ajaran
moral telah menjadi bagian tak terpisahkan dari semua agama sejak agama itu hadir. Namun
sebagai ilmu, etika masih kalah mapan bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya seperti
ilmu fisika, ilmu ekonomi, dan lain-lain.
Ilmu etika ke depan hendaknya didasarkan atas paradigma manusia utuh, yaitu suatu pola
pikir yang mengutamakan integrasi dan keseimbangan pada :
a. Pertumbuhan PQ, IQ, EQ, dan SQ.
b. Kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan Tuhan.
c. Keseimbanagn tujuan lahiriah (duniawi) sengan tujuan rohaniah (spiritual).
Etika harus dimaknai sebagai pedoman perilaku menuju peningkatan semua kecerdasan
dan kesadaran manusia secara utuh, yaitu pertumbuhan dan pemenuhan kebetuhan fisik
(PQ), kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan sosial (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dari uraian mengenai cara membangun manusia utuh yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya semua teori etika yang pada awal kemunculannya bagaikan
potongan-potongan terpisah dan berdiri sendiri, ternyta dapat dipadukan karena sifatnya
[13]
yang saling melengkapi. Inti dri hakikat manusia utuh adalah keseimbangan, yang bisa
diringkas sebagai berikut :
a. Keseimbangan antara hak (teori hak) dan kewajiban (teori deontologi).
b. Keseimbanagn tujuan duniawi (teori teleologi) dan rohani (teori teonom).
c. Keseimbangan antara kepentingan individu (teori egoisme) dan kepentingan masyarakat
(teori utilitarianisme).
d. Gabungan ketiga butir di atas akan menentukan karakter seseorang (teori keutamaan).
e. Hidup adalah suatu proses evolusi kesadaran.
[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu antara lain :
Etika absolut dapat didefinisikan sebagai paham etika yang menekankan bahwa prinsip
moral itu universal, berlaku untuk siapa saja dan dimana saja. Tokoh berpengaruh
pendukung paham etika absolut antara lain Immanuel Kant dan James Rachels.
Etika relatif adalah prinsip atau nilai moral yang ada dalam masyarakat yang berbeda dan
untuk situasi yang berbeda pula. Diantara tokoh-tokoh berpengaruh mendukung paham
etika relatif ini adalah Joseph Fletcher (dalam Suseno 2006), yang terkenal dengan teori
etika situasionalnya
Perkembangan moral (moral development) merupakan hal yang mencakup
perkembangan pikiran, perasaan, dan perilaku menurut aturan atau kebiasaan mengenai
hal-hal yang seharusnya dilakukan seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain
(Hurlock). Teori moral adalah sikap dan perilaku individu yang didasari oleh nilai nilai
hukum yang berada di lingkungan tempat dia hidup.
Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg terdiri dari 3 tingkat, yaitu :
Tingkat Pra Konvesional (Moralitas Pra-Konvensional), Tingkat Konvensional
(Moralitas Konvensional), dan Tingkat Post-Konvensional (Moralitas Post-
Konvensional)
Terdapat berbagai teori etika yang berkembang, beberapa teori yang berpengaruh, antara
lain : egoisme, utilitarianisme, deontologi, teori hak, teori keutamaan (Virtue Theory) dan
teori etika teonom
Selain itu, untuk memperkaya pemahaman tentang berbagai teori etika dan pemikiran
moral berkembang, dijelaskan esensi dari beberapa pemikiran moral yang berpengaruh
yang muncul pada abad ke-20 sebagai tambahan atas beberapa paham/teori etika yang
telah sebelumnya. Ringkasan ini diambil dari buku Etika Abad Kedua puluh karangan
Fransz Magnis-Suseno (2006). Seperti, (1) Arti Kata "Baik" Menurut George Edward
Moore, (2) Tatanan Nilai Max Scheller, (3) Etika Situasi Joseph Fletcher, (4)
Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch, (5) Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederic
Skinner, (6) Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas, serta (7) Kegagalan Etika
Pencerahan Alasdair Macintyre.
Dari uraian mengenai cara membangun manusia utuh yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya semua teori etika yang pada awal kemunculannya
bagaikan potongan-potongan terpisah dan berdiri sendiri, ternyta dapat dipadukan karena
sifatnya yang saling melengkapi. Inti dri hakikat manusia utuh adalah keseimbangan,
yang bisa diringkas sebagai berikut :
a) Keseimbangan antara hak (teori hak) dan kewajiban (teori deontologi).
b) Keseimbanagn tujuan duniawi (teori teleologi) dan rohani (teori teonom).
c) Keseimbangan antara kepentingan individu (teori egoisme) dan kepentingan
masyarakat (teori utilitarianisme).
d) Gabungan ketiga butir di atas akan menentukan karakter seseorang (teori keutamaan).
e) Hidup adalah suatu proses evolusi kesadaran.
B. Saran
[15]
Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi teori-teori etika yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Tentu
saja, masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dari makalah kami ini. Jika ada
kritik dan saran yang ingin disampaikan kepada kami, silahkan sampaikan, karena kami
sangat terbuka terhadap saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga kami bisa lebih
baik lagi dalam membuat makalah dikesempatan berikutnya.
Apabila ada terdapat kesalahan dari kami dalam menyampaikan materi ini, kami
memohon agar dapat memaafkan dan memakluminya, karena kami adalah manusia biasa
yang tak luput dari salah, lupa, dan dosa. Seperti kata pepatah ”Tak ada gading yang tak
retak”, dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
[16]
DAFTAR PUSTAKA
Sukrisno Agoes dan I Cenik Ardana. 2011. Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan Membangun
Manusia Seutuhnya. Jakarta: Salemba Empat.
https://dosenpsikologi.com/teori-perkembangan-moral-kohlberg
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/dr-rita-eka-izzaty-spsi-msi/f-perkembangan-
moral-kuliah-pp1-0509.pdf
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132318570/pendidikan/TEORI+ETIKA.pdf
[17]