DAFTAR ISI i
DEPARTEMEN PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Penyusunan SISPRO
di Bidang Transportasi Jalan
TA. 2009
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya
laporan antara ini. Laporan Draf Akhir ini merupakan tahap Ketiga dari seluruh
kegiatan Penelitian Penyusunan SISPRO Dibidang Transportasi Jalan. Materi dalam
laporan ini lebih banyak menguraikan hasil identifikasi pada lokasi studi tentang sistem
prosedur dan operasional di bidang transportasi jalan (bidang perijinan trayek angkutan
dalam kota, perijinan trayek antar kota, manajemen terminal, penanganan kecelakaan
dan jembatan timbang).
Kami sangat mengharapkan adanya kritik adn saran dalam laporan antara ini
untuk dijadikan masukan pada tahap selanjutnya.
Terimakasih
Jakarta, 2009
Kata Pengantar
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB 3 KAIDAH PENYUSUNAN SISPRO ...................................................................................... 3-1
3.1 Kajian UU Lalulintas Jalan............................................................................................ 3-1
3.1.1 Umum ............................................................................................................... 3-2
3.1.2 Perbedaan Secara Substansi] ............................................................................ 3-3
3.2 Standard Pelayanan Minimal Terkait SISPRO Dalam Lingkup Studi .............................. 3-4
3.2.1 Ijin Trayek AKDP ............................................................................................... 3-4
3.2.2 Operasi Terminal ............................................................................................... 3-6
3.3 Evaluasi Perundang-Undangan Terkait SISPRO ........................................................... 3-8
3.4 Evaluasi Peraturan Pemerintah Terkait SISPRO ......................................................... 3-11
3.5 Evaluasi Keputusan Menteri Terkait SISPRO ............................................................. 3-15
3.6 Evaluasi Keputusan Dirjen Perhubungan Darat Terkait SISPRO................................. 3-17
LAMPIRAN ............................................................................................................................................ F
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara mengenai SISPRO ............................................. 2-1
Tabel 2.2 Instansi Terkait Transportasi Jalan ........................................................................................ 2-1
Tabel 2.3 Jumlah Terminal Barang di DKI Jakarta............................................................................... 2-17
Tabel 2.4 Jumlah Terminal Barang di DKI Jakarta ............................................................................... 2-17
Tabel 2.5 Instansi Terkait Transportasi Jalan ..................................................................................... 2-20
Tabel 2.6 Identifikasi SISPRO Transportasi Jalan Saat Ini................................................................... 2-21
Tabel 3.1 Perbedaan Asas UU Lama dan Baru ..................................................................................... 3-1
Tabel 3.2 Ijin Trayek AKDP .................................................................................................................. 3-4
Tabel 3.3 Operasional Terminal............................................................................................................ 3-6
Tabel 3.4 Undang-undang Tentang Lalu Lintas ..................................................................................... 3-9
Tabel 3.5 Rujukan Peraturan PemerintahDalam Penyusunan SISPRO ................................................ 3-11
Tabel 3.6 Keputusan Menteri Perhubungan Yang Akan Dijadikan Rujukan Penyusunan SISPRO ........ 3-15
Tabel 3.7 Keputusan Dirjen Perhubungan Darat Yang Akan Dijadikan Rujukan Penyusunan SISPRO.. 3-17
Tabel 4.1 Isu, Dampak dan Alternatif Pemecahan Manajemen Terminal. ............................................... 4-4
Tabel 4.2 Mekanisme Pengelolaan Terminal......................................................................................... 4-5
Tabel 4.3 Isu, Dampak dan Alternatif Pemecahan Trayek AKDP/AKAP ................................................. 4-7
Tabel 4.4 Analisis SISPRO Perijinan Trayek AKDP/AKAP ..................................................................... 4-8
Tabel 4.5 Alternatif Pemecahan Issue Perijinan Trayek Angkutan Kota................................................ 4-10
Tabel 4.6 Analisis SISPRO Perijinan Trayek Angkutan Kota................................................................ 4-12
Tabel 4.7 Issue dan Alternatif Pemecahan masalah Kelebihan Muatan Angkutan Kendaraan............... 4-13
Tabel 4.8 Analisis SISPRO Kelebihan Muatan .................................................................................... 4-14
Tabel 4.9 Issue dan Alternatif Pemecahan Masalah Penanganan Kecelakaan ..................................... 4-15
Tabel 4.10 Analisis SISPRO Penanganan Kecelakaan........................................................................ 4-16
DAFTAR GAMBAR iv
BAB 1
BAB 1 PENDAHULUAN
Dilihat dari fungsinya, SISPRO berfungsi membentuk sistem kerja & aliran kerja
yang teratur, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan; menggambarkan
bagaimana tujuan pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan peraturan
yang berlaku; menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan kegiatan berlangsung;
sebagai sarana tata urutan dari pelaksanaan dan pengadministrasian pekerjaan harian
sebagaimana metode yang ditetapkan; menjamin konsistensi dan proses kerja yang
sistematik; dan menetapkan hubungan timbal balik antar satuan kerja.
PENDAHULUAN 1-1
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi kegiatan (Medan, DKI Jakarta, Surabaya
dan Batam) terhadap sistem dan prosedur transportasi jalan menunjukkan bahwa
sebagian besar daerah tersebut belum memiliki SISPRO di bidang transportasi jalan.
Belum adanya SISPRO tersebut yang sering menimbulkan berbagai permasalahan di
bidang transportasi jalan, misalnya: pengelolaan terminal yang tidak baik
menyebabkan terminal tidak berfungsi secara optimal, penanganan kelebihan muatan
yang tidak benar menyebabkan kondisi jalan cepat mengalami kerusakan dan lain
sebagainya.
Melalui studi ini akan dilakukan kajian bagaimana suatu kegiatan dapat di susun
secara hirarkhis dan sistematik agar tidak terdapat konflik kepentingan horizontal.
1.2.2 Sasaran
Untuk mencapai tujuan diatas maka sasaran dari kegiatan penelitian sistem
prosedur di bidang transportasi adalah sebagai berikut :
PENDAHULUAN 1-2
1.3 Ruang Lingkup Kegiatan
1.3.1 Lingkup Kegiatan
Wilayah Penelitian yang dijadikan kasus studi ini Meliputi Kota Jakarta Provinsi
DKI Jakarta, Kota Medan Provinsi Sumatera Utara, Kota Surabaya Provinsi Jawa
Timur, dan Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau.
PENDAHULUAN 1-3
8. PP No 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi
9. PP No 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan
10. PP No 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan
11. PP No 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan
12. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 51 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Percontohan Transportasi Jalan
13. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 14 Tahun 2007 tentang Kendaraan
Pengangkut Peti Kemas di Jalan
14. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 53 Tahun 2006 tentang Tarif Dasar
Batas Atas dan Batas Bawah Angkutan Penumpang Antar Kota Antar Propinsi
Angkutan Penumpang Kelas Ekonomi di Jalan dengan Mobil Bus Umum
15. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 51 Tahun 2005 tentang Tarif Batas
Atas dan Batas Bawah Angkutan Penumpang Antar Kota Antar Propinsi Kelas
Ekonomi di Jalan dengan Mobil Bus Umum
16. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 9 Tahun 2004 tentang Pengujian Tipe
Kendaraan Bermotor
17. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 85 Tahun 2004 tentang Tarif Batas
Atas dan Tarif Batas Bawah Angkutan Penumpang Antar Kota Antar Propinsi
Kelas Ekonomi di Jalan Dengan Mobil Bus Umum
18. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 48 Tahun 2004 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penguji Kendaraan Bermotor dan Angka
Kreditnya
19. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 35 Tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum
20. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 31 Tahun 2002 tentang Perubahan
KM No 84 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan
dengan Kendaraan Umum
21. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 30 Tahun 2002 tentang Perubahan
KM No 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan
22. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 1 Tahun 2000 tentang Penetapan
Kelas Jalan di Pulau Sumatera
23. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 84 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Angkutan Umum
24. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas
Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana
Perhubungan
25. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 70 Tahun 1999 tentang Sistem
Informasi Kecelakaan di Jalan Bagi Untuk Daerah Bali dan Sumatera Bagian
Utara
26. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 55 Tahun 1999 tentang Penetapan
Kelas Jalan di Pulau Jawa
PENDAHULUAN 1-4
27. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 5 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan
28. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 31 Tahun 1995 tentang Terminal
Transportasi Jalan
29. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 6 Tahun 1994 tentang Tanda-Tanda
Khusus Bagi Penderita Cacad Tuna Netra dan Cacad Tuna Rungu dalam
Berlalu Lintas di Jalan
30. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 71 Tahun 1993 tentang Pengujian
Berkala Kendaraan Bermotor
31. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 69 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan
32. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 68 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum
33. Keputusan Menteri Perhubungan No KM No.74 Tahun 1990 tentang Angkutan
Peti Kemas di Jalan
34. SE Dirjen Perhubungan Darat No.SE.02/AJ.108/DRJD/2008 tentang Panduan
Batasan Maksimum Perhitungan JBI (Jumlah Berat yang diIzinkan) dan JBKI
(Jumlah Berat Kombinasi yang diIzinkan) untuk Mobil Barang, Kendaraan
Khusus, Kendaraan Penarik berikut Kereta Tempelan/Kereta Gand
35. SE Dirjen Perhubungan Darat No.SE.07/AJ.501/DRJD/07 tentang Penelitian
Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
36. SE Dirjen Perhubungan Darat No.SE.01/AJ.307/DRJD/2004 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Muatan Lebih
PENDAHULUAN 1-5
BAB 2
BAB 2 KAJIAN MANAJEMEN SISPRO DI LOKASI
KEGIATAN
Dari hasil wawancara dengan pihak terkait, sebagaian besar kecelakaan lalu lintas
diakibatkan oleh prilaku sosial pengguna kendaraan bermotor, yang tercermin pada
disiplin dalam melakukan kegiatan lalulintas. Kegiatan-kegiatan lain diluar
keperluan lalulintas juga dapat membawa dampak pada keselamatan dan
kelancaran berlalulintas, misalnya menggunakan daerah manfaat jalan untuk
berdagang, sebagai garasi kendaraan, bengkel dan badan jalan digunakan sebagai
pangkalan kendaraan umum resmi maupun tidak resmi. Sebagai konsekwensi dari
perilaku tersebut, maka di samping dapat menimbulkan kecelakaan lalulintas juga
mengakibatkan tidak efesiennya penggunaan prasarana serta pemborosan waktu
perjalanan sehingga pada gilirannya akan mengakibatkan pengorbanan sosial
(social cost) yang tinggi.
− Dinas perhubungan -
3 Trayek Angkutan Perkotaan Propinsi dan
Kabupaten/kota
PELAKSANA UUPKB
WAKIL PELAKSANA
UPPKB
ADMINISTRASI
1. Menjadikan UPPKB Sibolangit dan UPPKB Aek Kanopan sebagai pilot project
untuk sertifikasi iso bidang pelayanan penimbangan kendaraan bermotor
2. Meningkatkan retribusi denda kelebihan muatan serta pengenaan aspek
pidana untuk memberikan aspek jera terhadap pelanggara (revisi perda
14/2007)
Kepentingan instansi terkait dalam kegiatan SISPRO, antara lain terdiri dari instansi :
a. Kepolisian
Hasil wawancara dengan pihak kepolisian dalam UU LLAJ yang baru menunjukkan
semakin jelasnya pembagian tugas pengaturan lalu lintas,yang selama ini memang
Hanya saja Polisi perlu meningkatkan kualitas SDM dalam pengaturan Lalulintas,
karena disadari pemahaman bidang LLAJ bagi polisi sangat fundamental dalam
melakukan pengaturan lalulintas secara sistemik dan tidak parsial. Diharapkan pula
masyarakat dan para pengguna jalan akan lebih tertib apabila urusan di jalan raya
sepenuhnya menjadi urusan polisi.
b. Dinas Perhubungan
Pendapat hampir seragam dirasakan dari hasil wawancara dengan seluruh jajaran
perhubungan, ada kekhawatiran akan menurunnya kualitas pengaturan lalulintas
seandainya UU No. 22 2009 ini dijalankan dilapangan, karena sumberdaya
dikepolisian memang tidak disiapkan sepenuhnya untuk mengelola lalulintas secara
menyeluruh, pemahaman manajemen lalulintas cenderung parsial, tidak sistemik.
Apalagi terkait citra polisi yang kurang baik dalam setiap tindakan penertiban
pelanggaran lalulintas, yang tentu akan makin menambah citra semakin tidak baik
dan dalam jangka panjang permasalahan lalulintas akan semakin memburuk
kualitasnya.
2.1.3.2 Organda
Dalam draft RUU LLAJ, ada pelarangan bagi dinas perhubungan untuk
mengharuskan bus untuk masuk ke dalam terminal yang tidak tertera dalam trayek,
tetapi setelah menjadi UU, pasal tersebut ternyata hilang. Dampaknya kan sangat
jelas, pengusaha yang memiliki ijin sangat dirugikan dan menambah kemacetan. UU
2.1.3.3 Masyarakat
Sesuai Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 06 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau DINAS PERHUBUNGAN memiliki Kedudukan,
Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi sebagai berikut :
A. Kedudukan
B. Tugas
C. Fungsi
Kepala
Dinas Sekretariat
Sub Bagian
Perencanaan
dan Evaluasi
Gambar 2.2 Kelembagaan dan Organisasi Sektor Perhubungan Kota Batam (Provinsi
Kepulauan Riau)
Bidang
Pengendalian
Sekretariat Bidang Bidang Operasional Bidang Suku Dinas Suku Dinas
Manajemen Angkutan Darat Transportasi Perhubungan Perhubungan
Dan Rekayasa Laut dan Udara Kota Kabupaten
Lalulintas Adminstrasi
SubBagian
Tata Usaha
Seksi Seksi
Seksi Angkutan Keselamatan Kepelabuhan,
Seksi Orang Dalam dan Teknik Penjagaan Laut
Sub Bagian Trayek dan Pantai & Seksi
Manajemen Sarana SubBagian
Perencanaan Manajemen
Lalu Lintas Jasa Maritim Tata Usaha
dan Evaluasi Lalulintas
Seksi Seksi
Seksi Angkutan Pembinaan Rekayasa Seksi
Seksi Orang Luar Penggunaan Seksi Angkutan Lalulintas Prasarana dan
Rekayasa Trayek Lalulintas Perairan dan Sarana
Sub Bagian Perhubungan
Lalulintas Angkutan Jalan Keselamatan
Keuangan
Pelayaran Seksi Angkutan
Darat
Seksi Seksi Seksi
Seksi Angkutan Pengendalian Pengendalian
Sub Bagian Fasilitas Seksi Operasional
Umum dan Barang dan Penggunaan
Transportasi Pengawasan
Pendukung Kereta Api Lalulintas dan
Kepegawaian Udara
Angkutan Jalan Pengendalian
Tugas kepala dinas dan wakil kepala dinas Dinas Perhubungan DKI Jakarta adalah
sebagai berikut :
− Membantu Kepala dinas dalam memimpin pelaksanaan tgas dan fungsi dinas
− Menyelenggarakan koordinas dan pengendalian atas pelaksanaan kebijakan
yang ditetapkan oleh Kepala Dinas;
− Membantu kepala dinas dalam pelaksanaan koordinasi dengan instansi
pemerintah/swasta;
− Membantu kepala Dinas dalam pelaksanaan koordinasi bidang, suku dinas
dan unit pelaksana teknis;
− Membantu kepala dinas daam pelaksanaan monitoring dan pengendalian
lalulintas dan angkutan jalan; dan
− Mewakili kepala dinas apabila kepala dinas berhalangan melaksanakan
tugas.
Kedudukan
− Bidang Angkutan Darat merupakan unit kerja lini dinas Perhubungan dalam
bidang Angkutan Darat;
− Bidang Angkutan Darat dipimpin oleh seorang kepala bidang yang
berKedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada kepala dinas.
Tugas
Seksi angkutan orang dalam trayek, di Kota Jakarta dapat di lihat pada keterangan
berikut ini.
Kedudukan
Tugas
Kedudukan
Fungsi
Kedudukan
Tugas
Dewasa ini, permasalahan lalu lintas yang terjadi di wilayah DKI Jakarta antara
lain disebabkan oleh meningkatnya tekanan terhadap prasarana dan sarana
transportasi yang tidak terlepas dari besarnya intensitas dan mobilitas pergerakan
penduduk dari setiap bagian wilayah ke bagian-bagian wilayah yang lain, di mana pada
dasarnya, hal ini dipengaruhi oleh kuantitas dan frekuensi pergerakan penduduk
urbanmaupun sub-urban. Berdasarkan survey dari "Arterial Road System Development
Study" (ARSDS, 1985) secara rata-rata setiap penduduk Jakarta melakukan 1,68
perjalanan/orang/hari. Ini berarti bahwa jumlah perjalanan harian yang dilakukan oleh
penduduk Jakarta mencapai lebih dari 15 juta perjalanan. Jumlah ini tidak termasuk
perjalanan yang dilakukan oleh penduduk di luar Jakarta yang datang ke atau hanya
melintasi Jakarta.
Pada tahun 1990, jumlah penduduk tercatat yang bermukim di wilayah ini telah
mencapai lebih dari 8,2 juta jiwa. Jumlah ini akan senantiasa meningkat, baik yang
disebabkan oleh pertumbuhan penduduk alamiah, maupun karena migrasiyang terjadi
Dari berbagai macam moda angkutan umum bus, baik yang berskala besar,
menengah maupun kecil, tetap menjadi angkutan yang dekat dengan
masyarakat.Sebagian besar dari pengguna angkutan umum bus adalah “captive transit
riders”,sehingga sulit sekali memisahkan nuansa sosial politis dari angkutan
umumperkotaan. Angkutan umum merupakan suatu bentuk transportasi kota yang
sangat esensial dan komplemen terhadap angkutan pribadi yang tidak dapat
sepenuhnya diupayakan oleh masyarakat kota. Angkutan umum merupakan inti dari
pergerakan ekonomi di kota. Berbagai bentuk moda angkutan umum dengan
karakteristik dan tingkat pelayanan yang diberikan mewarnai perkembangan sistem
angkutanumum kota yang berorientasi kepada kenyamanan dan keamanan sehingga
dapat bersaing dengan angkutan pribadi.
Pola jaringan jalan di wilayah DKI Jakarta secara umum terdiri dari sistem jaringan
jalan lingkar yaitu lingkar dalam (inner ring road) dan lingkar luar (outer ring road)
yang juga merupakan jaringan jalan arteri primer, jaringan radial yang melayani
kawasan di luar inner ring road menuju kawasan di dalam inner ring road dan
jaringan jalan berpola grid di wilayah pusat kota.
Berdasarkan data dari Dinas PU DKI Jakarta dan SITRAMP Jabotabek, kepadatan
jaringan jalan yang direpresentasikan dengan rasio luas jalan dan luas areal
wilayah kelurahan.
D. Terminal
Wilayah DKI Jakarta mempunyai dua jenis terminal yaitu terminal penumpang dan
terminal barang. Terminal penumpang terdiri dari 3 tipe (A, B dan C) yang tersebar
di seluruh wilayah DKI Jakarta. Sedangkan jumlah terminal barang di wilayah ini
hanya tersedia 2 terminal yaitu di Tanah Merdeka dan Pulau Gebang (Tabel 2-3
dan Tabel 2-4).
Diresmikan
No. Nama Terminal Tipe Lokasi Luas (m 2)
Tahun
Diresmikan
No. Nama Terminal Tipe Lokasi Luas (m2)
Tahun
Terminal
1 Tanah Merdeka Jl. Cilincing 50.227,00
Barang
Belum
2 Pulo Gebang 19.240,00
Berfungsi
Terminal yang ada di DKI Jakarta, mempunyai beberapa trayek angkutan baik
antar kota maupun antar propinsi, unruk lebuh jelasnya dapat di lihat pada keterangan
di bawah ini :
Sistem angkutan umum di wilayah DKI Jakarta lebih didominasi oleh sistem bus
yang berbasis jaringan jalan raya. Tingkat pelayanan dari sistem bus ini sangat
tergantung pada kondisi lalu-lintas dan jumlah armada angkutan umum yang
beroperasi. Pada sisi lain kondisi prasarana utama dan penunjang sistem angkutan
umum seperti terminal, halte dan tempat-tempat pemberhentian masih
membutuhkan perhatian ekstra untuk ditingkatkan pengembangannya. Sebagian
besar armada bis yang terdiri dari jenis bis besar, bis sedang dan bis kecil dipasok
oleh beberapa operator yaitu PPD (BUMN) dan Mayasari Bhakti (swasta),
Bianglala, Steady Safe dan operator lain. Sedangkan pelayanan bis sedang
dipasok oleh beberapa koperasi termasuk, Kopaja, Metromini dan untuk pelayanan
bis kecil dipasok oleh Mikrolet dan APK.
Dengan jumlah armada sekitar 5.300 unit bus besar dan sedang, 9.800 unit bus
kecil (mikrolet) yang tersebar pada 358 trayek, dan jumlah penumpang sekitar 5
juta penumpang per hari, Jakarta adalah sebuah pasar yang sangat besar bagi jasa
pelayanan bus. Jasa pelayanan bus yang disediakan oleh operator swasta dan
pemerintah diatur oleh pemerintah. Tarif ditetapkan oleh Pemerintah, sedang izin
trayek dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan. Dari data berdasarkan laporan Dinas
Perhubungan diketahui bahwa jumlah angkutan umum yang melayani wilayah DKI
Jakarta mengalami penurunan pada periode 1995–1999 dan kembali bertambah
pada periode 1999–2002. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh krisis ekonomi
yang dialami Indonesia pada tahun 1997.
Sementara itu pada tahun 2002 berdasarkan data pada Dinas Perhubungan
diketahui bahwa rute yang melayani angkutan di DKI Jakarta didominasi oleh bus
besar, dibanding bus sedang dan bus kecil (hanya mikrolet), kendaraan yang
beroperasi ternyata hanya sekitar 66,2% dari izin yang dikeluarkan, hal ini
menunjukkan bahwa pengeluaran izin suatu trayek belum tentu merupakan suatu
trayek dengan demand yang cukup sehingga pada akhirnya trayek tersebut tidak
berjalann. Cakupan pelayanan direpresentasikan dengan wilayah dengan radius
500 m (maksimum aksesibilitas) dari jaringan trayek. Cakupan wilayah pelayanan
untuk tiap jenis bus menunjukkan distribusi jumlah trayek terhadap jarak
berdasarkan jenis, dimana dari gambar tersebut terlihat bahwa untuk rute bus
besar, distribusi rute terbanyak pada rentang jarak 40–65 km.
Standar dasar untuk angkutan bus telah diatur dalam peraturan pemerintah No.
41/93, tetapi tanpa rincian yang jelas, tidak adanya standar fisik untuk kendaraan
angkutan umum, ditambah lagi dengan sistem pengujian kendaraan yang tidak
benar menimbulkan lemahnya kinerja angkutan umum. Pihak berwenang tidak
mampu memaksa kendaraan yang sudah tidak layak untuk tidak berkerja lagi
karena tidak adanya standar atau pembatasan yang melarang bus-bus tersebut
untuk berkerja.
Hal yang sama juga terjadi pada perilaku pengemudi. Tidak adanya standar mutu
layanan mengakibatkan awak bus memberikan layanan tanpa standar yang jelas.
Pada banyak kasus, persaingan antar penyelenggara memang menghasilkan
layanan yang lebih baik. Namun yang terjadi, persaingan yang ada justru
Selain itu, sistem angkutan umum yang beroperasi saat ini belum merupakan hasil
kajian menyeluruh yang dikaitkan dengan tata ruang, tetapi masih merupakan
turunan dari praktek-praktek tradisional yang dibuka berdasarkan permintaan
menyebabkan kurang efisiennya sistem trayek yang berlaku. Kondisi dan sistem
jaringan di sekitar lokasi terminal kurang diperhatikan sangat mempengaruhi
operasional terminal. Waktu tunggu tinggi untuk masuk terminal, kondisi jalan yang
kurang baik, sistem jaringan yang tidak mendukung, banyaknya pungutan-pungutan
liar, mendorong para pengemudi untuk berinisiatif tidak masuk terminal dan
berhenti di lokasi-lokasi tertentu untuk mengangkut penumpang. Keadaan ini
mendorong timbulnya terminal bayangan yang berimplikasi pada kemacetan lalu
lintas.
Sebagian besar
− Dinas perhubungan Propinsi dan pengelolaan terminal
1 Pengelolaan terminal
Kabupaten/kota. diserahkan ke
pemerintah daerah kota
-
− Dinas perhubungan Propinsi dan
2 Trayek AKDP/AKAP
Kabupaten/kota
-
− Dinas perhubungan Propinsi dan
3 Trayek Angkutan Perkotaan -
Kabupaten/kota
4 Jembatan timbang −
Kepentingan instansi terkait dalam kegiatan SISPRO, antara lain terdiri dari instansi :
1) Kepolisian
Padahal, dalam RUU itu ada keinginan pihak tertentu agar pembuatan Surat Izin
Mengemudi (SIM) dikelola sebuah badan di bawah naungan Departemen
Perhubungan (Dephub). Artinya tidak lagi ditangani polisi. Bahkan sejumlah
anggota Komisi V DPR dikabarkan sudah studi banding ke luar negeri untuk
menggolkan keinginan itu. Namun berkat pantauan sejumlah pihak, termasuk KPK,
akhirnya UU LLAJ disahkan secara mulus.
Meski begitu, kewenangan polisi dalam pembuatan SIM tidak bisa sembarangan
lagi. Petugas yang nakal bisa dikenakan pasal yang berat, yakni bisa menerima
sanksi administrasi, disiplin, dan etika profesi kepolisian. Ini tentunya hukuman
sangat berat, sehingga petugas SIM tentu akan mikir seribu kali untuk bermain-
main dalam pembuatan SIM tersebut. Dikatakan, penggodokan UU ini tergolong
cukup lama, mulai digarap sejak tahun2005, namun akhirnya RUU LLAJ disahkan
dalam sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Amin Iskandar,
Dalam pembahasan RUU ada 764 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Tim
Panja menghasilkan kesamaan pemikiran serta rumusan pemangku kepentingan
khususnya Departemen Perhubungan dan Polri. Undang-undang ini nantinya
berlaku untuk membina dan menyelenggarakan lalu lintas dan angkutan jalan yang
aman, selamat, tertib dan lancar. Penyelengaraannya dilakukan oleh pemerintah,
pemda, pelaku usaha dan masyarakat.
Aturan tersebut dapat di lihat pada penjelasan berikut ini, antara lain :
Pasal 91
Pasal 87
(2) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dibidang penerbitan Surat
Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur
penertiban Surat Izin Mengemudi.
Pasal 89
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau data
pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan
pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas.
Pada tataran yang sederhana, fungsi dan pengawasan oleh jajaran departemen
perhubungan adalah memastikan bahwa seluruh sarana transportasi memiliki
standar kelaikan sesuai aturan. "Makanya di terminal, di tempat pengujian dan
jembatan timbang adalah tempat yang tepat untuk menjalankan tugas.
Khusus mengenai masih tingginya angka kecelakaan di LLAJ, memang disadari hal
itu juga disumbang oleh pertumbuhan jumlah kendaraan dalam periode itu yang
Selama kurang lebih empat tahun itu, ada 2,5 kali peningkatan kejadian
kecelakaan, sedangkan dengan bus hanya 1,5 kalinya. Artinya, naik bus jauh lebih
aman ketimbang sepeda motor. Setidaknya empat langkah yang senantiasa
dikembangkan ke depan agar angka kecelakaan transportasi nasional bisa
dikurangi secara bertahap. Langkah pertama adalah perlunya tata kelola atau
aturan di lapangan yang memberikan ruang yang cukup bagi operator dan regulator
untuk mengembangkan sistem manajemen keselamatan. Kedua, ruang cukup bagi
semua pihak untuk memodernisasi dan revitalisasi sarana dan prasarana
transportasi. Ketiga, langkah signifikan bagi operator dan regulator untuk perbaikan
manajemen operasi. Keempat adalah perbaikan sistem profisiensi dan kompetensi
sumber daya manusia transportasi senantiasa harus dilakukan secara periodik.
Pengesahan itu menyusul kesepakatan yang dicapai oleh pihak-pihak yang terkait
dengan urusan jalan raya yaitu Departemen Perhubungan (Dephub), Departemen
Pekerjaan Umum (DPU), Polri serta Komisi V DPR RI. UU LLAJ yang baru ini lebih
lengkap dan tegas. Urusan keamanan serta keselamatan di jalan menjadi dominan
dalam UU baru yang menggantikan UU LLAJ lama No 14/1992. Demi
meningkatkan keselamatan di jalan, UU baru itu mengharuskan sopir angkutan
umum untuk istirahat setelah 4 jam menyetir. Jika dilanggar, maka sopir akan kena
sanksi atau ditilang. Pada UU baru itu juga disebutkan, waktu kerja pengemudi
angkutan umum dibatasi 8 jam per hari.
Hal ini berbeda dengan UU lama, UU baru ini juga mengamanatkan dibentuknya
Forum LLAJ. Forum ini tak hanya mengawasi pengguna jalan tapi juga aparat
penegak hukumnya. Polisi atau petugas DLLAJ bisa mendapat sanksi administratif
dari Forum LLAJ jika mereka melanggar aturan dalam menjalankan tugas. Hal yang
juga baru dalam UU LLAJ anyar yang terdiri dari 22 bab dan 326 pasal itu adalah,
bahwa nomor polisi (nopol) tidak akan ada lagi. Yang diberlakukan adalah nomor
registrasi kendaraan. Pengesahan RUU LLAJ menjadi UU itu dilakukan secara
aklamasi. Dalam UU LLAJ baru diatur pula mengenai kewajiban pengemudi
angkutan umum memberikan prioritas bagi para pengendara sepeda, pejalan kaki,
penderita cacat dan anak-anak. Sanksi berat dalam UU ini untuk menghapus
catatan selama ini bahwa angkutan jalan merupakan mesin pembunuh nomor satu
di Indonesia. Aturan-aturan dalam UU ini kita buat sampai rinci untuk mencapai
zero accident atau korban jiwa nol. Untuk penjabaran UU LLAJ baru tersebut,
Dephub akan menyiapkan empat Peraturan Pemerintah (PP). Termasuk yang
disiapkan adalah PP tentang Forum LLAJ.
UU No 22/2009 ini juga mengatur tentang pungutan (preservasi jalan) yang selama
ini sering dikenakan oleh pemerintah daerah sebagai retribusi jalan. Sesuai
2.3.5.2 Organda
Dalam draft RUU LLAJ, ada pelarangan bagi dinas perhubungan untuk
mengharuskan bus untuk masuk ke dalam terminal yang tidak tertera dalam trayek,
tetapi setelah menjadi UU, pasal tersebut ternyata hilang. Dampaknya kan sangat
jelas, pengusaha yang memiliki ijin sangat dirugikan dan menambah kemacetan. UU
itu tidak berpihak kepada salah satu pemangku kepentingan yang sangat strategis
yakni angkutan niaga dalam negeri, dalam hal ini angkutan barang dan penumpang.
Di Provinsi Jawa Timur, kegiatan lalulintas dan angkutan jalan (LLAJ) ditetapka
menjadi salah satu dinas, yaitu Dinas LLAJ. Sementara Dinas Perhubungan adalah
berdiri sendiri, yang membawahi beberapa bagian salah satu diantaranya adalah
Bagian Lalulintas Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP). Meskipun
terpisah, kerjasama Dinas Perhubungan dengan Dinas LLAJ masih terus berjalann
terutama dalam rangka mengkoordinasikan transportasi di Jawa Timur.
Dari Wawancara dengan aparat dinas perhubungan dan dinas LLAJ terkait
dengan kewenangan di Bidang LLAJ sesuai dengan peraturan pemerintah No. 38
Tahun 2007 tentang pembagian urusan Pemerintahan yaitu Pemerintah Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota diperoleh informasi bahwa hingga saat ini persiapan
yang dilakukan pada tahap perumusan Struktur Organisasi Dinas Perhubungan
Provinsi Jawa Timur. Dimana Dimungkinkan untuk penyatuan Dinas Perhubungan dan
Dinas LLAJ Provinsi Jawa Timur. Hal ini dilakukan untuk lebih terjaminnya
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah provinsi sesuai
dengan PP/38/2007. Jika tetap terpisah, dikhawatirkan koordinasi kurang efektif
terutama didalam menangani permasalahan lalulintas dan angkitan jalan. Posisi Dinas
LLAJ nantinya di Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur berubah menjadi salah satu
bagina dinas perhubungan yang bertanggung jawab kepada Kepala Dinas
Perhubungan Provinsi Jawa Timur.
Didalam diskusi juga dibahas mengenai aspek SISPRO (yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari standar, norma, pedoman dan kriteria yang ada) yang telah
dijelaskan secara struktural didalam PP/38/2007 adalah merupakan syarat mutlak
didalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
maupun kewenangan kabupaten/kota dan secara teknis didalam dituangkan dalam
peraturan dan kebijakan lainnya. Posisi SISPRO adalah sebagai acuan, karena
SISPRO pada setiap urusan pemerintahan yang diserahkan, hendaklah dijelaskan
secara konkret. Meskipun didalam PP/38/2007 sudah dirumuskan pengertian standar,
kriteria dan norma, sebaiknya dijabarkan lebih lanjut dengan SISPRO dan dokumen
teknis lainnya yang memudahkan pelaksanaan dilapangan.
Kelembagaan dan organisasi perhubungan Kota Surabaya (Provinsi Jawa Timur) dapat di lihat pada bagan alir di bawah ini.
Transportasi jalan merupakan satu kesatuan tatanan yang terdiri dari jaringan
transportasi jalan, kendaraan beserta pengemudinya, peraturan-peraturan, prosedur
dan metoda sedemikian rupa yang membentuk suatu totalitas yang utuh. Pada
kegiatan ini inventarisasi transportasi jalan di fokuskan pada 5 bidang yaitu :
ü Terminal
ü Trayek AKDP/AKAP
ü Trayek Angkutan Dalam Kota
ü Kelebihan Muatan
ü Kecelakaan Lalu Lintas
Dalam draft RUU LLAJ, ada pelarangan bagi dinas perhubungan untuk
mengharuskan bus untuk masuk ke dalam terminal yang tidak tertera dalam
trayek, tetapi setelah menjadi UU, pasal tersebut ternyata hilang. Dampaknya
kan sangat jelas, pengusaha yang memiliki ijin sangat dirugikan dan menambah
kemacetan. UU itu tidak berpihak kepada salah satu pemangku kepentingan
yang sangat strategis yakni angkutan niaga dalam negeri, dalam hal ini
angkutan barang dan penumpang.
Terkait baru saja dikeluarkannya UU No.22 Tahun 2009 ini (awal pertengahan
tahun 2009) dalam penyusunan SISPRO bidang transportasi jalan ini, akan dirasakan
mengalami lompatan peraturan/kebijakan, yaitu dari undang-undang terus pada aspek
operasional. Sehingga dapat dipahami bahwa kegiatan SISPRO ini merupakan suatu
kegiatan pengembangan bagi SISPRO yang telah ada dan pembangunan SISPRO
baru dengan nafas dan semangat seperti yang telah ada dan menjadi asas UU No. 22
tahun 2009, yang dapat dikatakan berbeda cukup signifikan dengan asas-asas yang
dipakai dalam UU Lama No.14 tahun 1992.
Secara lebih rinci perbedaan substansi kedua UU tersebut akan dibahas dalam
subbab berikut, dimana substansi tersebut akan sangat memberikan landasan norma
dan standard bagi penyusunan SISPRO pada kegiatan ini.
3.1.1 Umum
Secara umum perbedaan penting dan fundamental dari uu 14/1992 dengan revisi
uu tersebut adalah :
Oleh karenanya revisi UU ini Unik sebab secara per-UU belum ada (tidak satupun
UU di negara ini yang membagi kewenangan sektor dalam tingkat UU). Lazimnya
pembagian kewenangan tersebut pada tingkat PP. Dalam UU no.14 1992 semua
pembagian kewenangan ada pada tingkat PP.
b. Revisi UU Ini Secara Tegas Telah Mengatur Dan Hak Dan Kewajiban Serta Sanksi
Bagi Penyelenggaraan LLAJ
Hal ini secara positif sebab secara jelas telah mengatur akuntabilitas para
penyelenggara LLAJ. Sebagai contoh : pemberi ijin trayek jika dalam proses
d. Revisi UU ini mengatur penyelenggaraan LLAJ sangat rinci, sehingga jumlah pasal
lebih dari 300 pasal, sedangkan UU 14/1992 hanya mengatur hal : bersifat pokok
sedangkan hal yang rinci diatur dalam PP.
Perbedaan secara substansi kajian UU Lalu lintas, dapat dilihat pada penjelasan
berikut ini :
Secara substansi sebagaimana tersebut diatas, revisi ini relatif lebih baik
dibanding UU 14/1992. Namun jika dibandingkan dengan Naskah Revisi UU
sebagaimana disampaikan oleh presiden (naskah awal) memang revisi UU ini secara
susbstansi dapat dikatakan terjadi kemunduran, hal ini antaralain :
1. Pemberian Ijin Trayek a. Jumlah Pemberian hari kerja Persyaratan pemberian izin trayek angkutan antar
angkutan antar kota untuk pemberian izin trayek kota dalam propinsi :
Dalam Propinsi diterima atau ditolak setelah
memperhatikan pertimbangan, − Persyaratan administrasi :
selamabat – lambatnya dalam 1. Memiliki Surat ijin Usaha Angkutan
waktu 14 hari (empat belas)
hari kerja setelah permohonan 2. Memiliki atau menguasai kendaraan
diterima secara lengkap bermotor yang laik jalan yang dibuktikan
dengan STNK dan Buku Uji.
3. Memiliki atau menguasai fasilitas
penyimpanan/pool kendaraan bermotor yang
dibuktikan dengan gambar lokasi dan
bangunan serta keterangan mengenai
pemilikan atau penguasaan.
4. Memiliki atau bekerjasama dengan pihak lain
yang mampu menyediakan fasilitas
pemeliharaan kendaraan bemotor sehingga
dapat merawat kendaraannya untuk tetap
dalam kondisi laik jalan.
− Persyaratan Teknis :
1. Pada Trayek yang dimohon masih
memungkinkan untuk penambahan jumlah
kendaraan, didasarkan pada :
o Survai faktor muatan pada trayek
dimaksud
o Laporan realisasi angkutan dari
b. Evaluasi trayek angkutan Hasil evaluasi pejabat pemberi ijin trayek dilakukan
antar kota dalamProvinsi secara periodik (setiap 1 tahun) untuk mengetahui
trayek yang terbuka dan tertutup yang ditetapkan
dengan SK Gubernur
Kewenangan wajib
No Jenis Standard Pelayanan Minimal Keterangan
Kabupaten/Kota
b. Evaluasi trayek angkutan antar Hasil evaluasi pejabat pemberi ijin trayek dilakukan
kota dalam Provinsi secara periodik (setiap 1 tahun) untuk mengetahui
trayek yang terbuka dan tertutup yang ditetapkan
dengan SK Gubernur
d. Sumber Daya Manusia (SDM) − Persyaratan SDM untuk memproses Ijin Trayek
untuk memproses/ mengurus AKDP :
permohoonan ijin trayek
angkutan AKDP 1. Sekurang-kurangnya pernah mengikuti
DIKLAT manajemen angkutan
2. Sekurang-kurangnya 1 (satu) ahli Lalulintas
3. Memiliki pengalaman di bidang LLAJ
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun.
4. Terdapat 1 orang yang mengerti
komputerisasi.
f. Tempat Pengurusan Ijin Trayek − Harus ada loket/ tempat khusus pelayanan
AKDP pengurusan ijin Trayek AKDP
Undang-Undang No.14 Tahun 1992 tentang lalulintas dan angkutan jalan (LLAJ) yang
saat ini telah digantikan UU LLAJ terbaru yaitu UU No 22 Tahun 2009, tampaknya
perlu dibahas pada tahap awal evaluasi ini untuk dijadikan pembanding dalam rangka
studi penyusunan SISPRO dibidang transportasi jalan. Dari hasil identifikasi dan kajian
yang telah dilakukan, UU/14/1992 masih relevan digunakan untuk pelaksanaan LLAJ
sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah seperti sekarang ini.
1. Penyusunan dan Penetapan rencana umum jaringan UU No.14 tahun 1992 tentang LLAJ pada
transportasi jalan kab/kota pasal 6
2. Pemberian Izin Penyelenggaraan dan Pembangunan UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
Fasilitas Parkir pada pasal 11
3. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalulintas pada pasal 25
di jalan Kabupaten/Kota
4. Penetapan Lokasi Terminal Penumpang Type C
5. Pengesahan Rancang Bangun Terminal Penumpang
Type C
6. Pembangunan Pengoperasian terminal penumpang
Type A, Type B dan Type C
7. Pembangunan Terminal Angkutan Barang UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
pada pasal 9
8. Pengoprasian Terminal Angkutan Barang UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
pada pasal 9 dan pasal 10
9. Penyusunan Jaringan Trayek dan Penetapan UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
Kebutuhan Angkutan dengan wilayah Layanan Dalam pada pasal 36 dan 37.
Satu Kab/Kota
10. Penyusunan dan Penetapan kelas jalan pada UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
jaringan jalan kabupaten/kota pada pasal 7
11. Pemberian Izin Trayek angkutan pedesaan/angkutan
kota
12. Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
barang pada jaringan jalan kab/kota pada pasal 3,5 dan 6.
13. Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
wilayah kabupaten/kota. pada pasal 36 dan 37.
14. Pemberian Rekomendasi Operasi Angkutan Sewa UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
pada pasal 12,36 dan 37.
15. Pemberian Ijin Usaha Angkutan Pariwisata UU No.14 Tahun 1992 tentang LLAJ
Terkait dikeluarkannya UU baru No. 22 Tahun 2009 yang belum disertai dengan Peraturan pemerintah , dibawah ini diberikan
beberapa peraturan pemerintah yang akan dijadikan rujukan penyusunan SISPRO dengan catatan tidak bertentangan dengan Undang-
undang.
Terkait dikeluarkannya UU baru No. 22 Tahun 2009 yang belum disertai dengan Keputusan Menteri Perhubungan, dibawah ini
diberikan beberapa Keputusan Menteri Perhubungan yang akan dijadikan rujukan penyusunan SISPRO dengan catatan tidak
bertentangan dengan Undang- undang.
Tabel 3.6 Keputusan Menteri Perhubungan Yang Akan Dijadikan Rujukan Penyusunan SISPRO
KM Perhubungan Sebelum KM Perhubungan Setelah
No SISPRO Keterangan
UU LLAJ 22/2009 UU LLAJ 22/2009
1 Terminal § KM No. 31 Tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Sebagian Besar
Jalan Daerah belum
menyusun SISPRO
terkait terminal
2 Trayek § KM No. 84 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Sebagian Besar
AKDP/AKAP/KOTA Angkutan Orang Di Jalan dengan Kendaraan Umum Daerah telah
§ KM No. 89 Tahun 2002 tentang Mekanisme Penetapan menyusun SISPRO
Tarif dan Formula Perhitungan BOK Bus Antar Kota terkait trayek Antar
Kelas Ekonomi AKKE Kota Antar Propinsi
§ No KM 35 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang Di Jalan
Terkait dikeluarkannya UU baru No. 22 Tahun 2009 yang belum disertai dengan Keputusan Dirjen Perhubungan Darat, dibawah ini
diberikan beberapa Keputusan Dirjen Perhubungan Darat yang akan dijadikan rujukan penyusunan SISPRO dengan catatan tidak
bertentangan dengan Undang- undang.
Tabel 3.7 Keputusan Dirjen Perhubungan Darat Yang Akan Dijadikan Rujukan Penyusunan SISPRO
No SISPRO SK Dirjen HUBDAT Sebelum UU LLAJ 22/2009 SK Dirjen HUBDAT Sesudah UU LLAJ 22/2009 Keterangan
METODOLOGI 3-17
BAB 4
BAB 4 ANALISIS SISTEM DAN PROSEDUR
Yang Dimaksud dengan analisa prosedur kerja ini adalah segenap rangkaian
aktivitas menelaah dan menyempurnakan pedoman kerja, rak kerja, rangkaian kerja,
tata cara, formulir dan peralatan dari seluruh kerja ketatausahaan yang dilakukan
dalam suatu organisasi. Adapun yang menjadi tujuan pelaksanaan analisa prosedur
tersebut adalah untuk mencapai efisiensi pekerjaan yang seoptimal mungkin dalam
organisasi untuk kepentingan analisa, maka perlu adanya gambaran secara tertulis
dari suatu prosedur kerja yang didalamnya memuat nama prosedur, tujuan pembuatan
prosedur, prinsip-prinsip yang menjadi landasan penyusunan prosedur, satuan
organisasi yang bersangkutan, aktivitas yang dilakukan formulir yang digunakan dalam
prosedur, fasilitas, mesin serta peralatan yang dipakai.
2) Analisis Tugas
Melalui analisa tugas ini tugas-tugas dapat dibakukan, sehingga dapat dibuat
pelaksanaan tugas yang baku. Setidaknya ada dua manfaat analisis tugas dalam
penyusunan sistem operasional prosedur yaitu membuat penggolongan pekerjaan
yang direncanakan dan dilaksanakan serta menetapkan hubungan kerja dengan
sistematis.
Analisis yang akan dilakukan bersifat kualitatif dimana akan dilihat keterkaitan
antara permaslahan/isu dan dampak yang ada dan kemudian dicoba memberikan
alternatif pemecahan secara umum untuk kemudian dikaitkan dengan SISPRO terkait.
Dimana SISPRO terkait tersebut akan dianalisis lebih mendalam baik keberadaannya
dan tingkat efektivitas dari pemberlakuan SISPRO apabila telah ada dan dijadikan
pedoman dalam operasionalisasi kegiatan di lingkungan perhubungan.
Kondisi dan sistem jaringan di sekitar lokasi terminal kurang diperhatikan sangat
mempengaruhi operasional terminal. Waktu tunggu tinggi untuk masuk terminal,
kondisi jalan yang kurang baik, sistem jaringan yang tidak mendukung, banyaknya
pungutan-pungutan liar, mendorong para pengemudi untuk berinisiatif tidak masuk
terminal dan berhenti di lokasi-lokasi tertentu untuk mengangkut penumpang. Keadaan
Hasil kajian beberapa studi menunjukkan bahwa belum ada jadwal terencana
yang disiapkan ataupun dilaksanakan untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan. Lebih
buruk lagi adalah waktu operasional,dimana layanan bus pertama dan terakhir tidak
ditentukan dengan jelas. Banyaknya rute-rute yang berbasis di terminal, menambah
tekanan operasional terminal. Bahkan pada kasus-kasus tertentu,
kapasitasnyaberlebih. Headway rata-rata 20 menit pada jam-jam sibuk terasa terlalu
lama sehingga layanan yang lebih frekuentif sangat dibutuhkan. Akses ke layanan bus
terdekat adalah 300 m, tetapi ini masih harus ditelitilebih lanjut. Layanan yang ada
masih memberikan rute perpindahan yang tinggi (58%). Hal ini membuat para
penumpang tidak mau membayar penuh untuk setiap perpindahan. Waktu tempuh
setiap busmeningkat dari 2 jam (1990) menjadi 2,3 jam. Hal ini menujukkan adanya
penurunan kecepatan (rata-rata 10,6 km/jam). Pembahasan mengengai permasalahan
di dalam pengaturan sistem angkutan umum bus kota dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Dasar
No SISPRO KegiatanPokok Yang Dilakukan Kegiatan Rinci Peraturan Pihak Terkait
Temuan Lapangan
Turunan UU
1 Terminal 1. Penetapan Lokasi (A,B,C) 1.1 Studi Kebutuhan Pengembangan Terminal 1. Undang-undang Nomor 13 - Pelanggaran dalam Dinas
2. Perencanaan Operasi 1.2 Kajian Kelayakan Terminal Tahun 1980, tentang Jalan bentuk tidak Perhubungan,
3. Pelaksanaan operasi 1.3 Penetapan Calon Lokasi (Lembaran Negara Tahun menggunakan BPLH, Hubdat
4. Pengawasan Operasi 1.4 Penetapan Lokasi Terpilih 1980 Nomor 83, Tambahan terminal sebagai Dephub
5. Penyediaan Fasilitas 1.5 Penetapan Ijin Prinsip/Lokasi Lembaran Negara Nomor transit .
a. Utama 1.6 Pembuatan MasterPlan 3186);
b. Penunjang 1.7 Pembuatan DED - Lokasi yang tidak
c. Penyandang Cacat 1.8 Kajian AMDAL 2. Undang-undang Nomor 8 sesuai aspirasi
1.9 Ijin Pembangunan Tahun 1981, tentang Hukum pengguna
1.10 Pelaksanaan Pembangunan Acara Pidana (Lembaran
1.11 Uji Operasi Negara Tahun 1981 Nomor 76, - Keterbatasan
1.12 Ijin Operasi Tambahan Lembaran Negara Kapasitas
Nomor 3209); Terminal.
2.1 Penataan pelataran terminal menurut rute atau
jurusan 3. Undang-undang Nomor 14
2.2 Penataan Fasilitas Penumpang Tahun 1992, tentang Lalu
2.3 Penataan arus lalu lintas pengawasan terminal Lintas dan Angkutan Jalan
2.4 Penyajian daftar rute perjalanan dan tarif (Lembaran Negara Tahun
angkutan ; 1992 Nomor 49, Tambahan
2.5 Penyusunan jadwal perjalanan berdasarkan Lembaran Negara Nomor
kartu pengawasan; 3480);
2.6 Pengaturan jadwal petugas di terminal;
2.7 Evaluasi sistem pengoperasian terminal. 4. Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999, tentang
3.1 Pengaturan tempat tunggu dan arus kendaraan Pemerintahan Daerah
umum di terminal; (Lembaran Negara Tahun
3.2 Pemeriksaan kartu pengawasan dan jadwal 1999 Nomor 60, Tambahan
perjalanan; Lembaran Negara Nomor
3.3 Pengaturan kedatangan dan pemberangkatan 3839);
kendaraan menurut jadwal yang telah
ditetapkan; 5. Peraturan Pemerintah Nomor
3.4 Pemberitahuan tentang pemberangkatan dan 41 Tahun 1993 tentang
kedatangan kendaraan umum kepada Angkutan Jalan (Lembaran
penumpang; Negara Tahun 1993 Nomor 59,
3.5 Pengaturan arus lalu lintas di daerah Tambahan Lembaran Negara
pengawasan terminal; Nomor 3527);
3.6 Pencatatan dan pelaporan pelanggaran;
3.7 Pencatatan jumlah pelanggaran. 6. Peraturan Pemerintah Nomor
42 Tahun 1993, tentang
4.1 Tarif angkutan; Pemeriksaan Kendaraan
5.1 Proses Pengadaan Barang dan Jasa Sesuai 7. Peraturan Pemerintah Nomor
Keppres 80 44 Tahun 1993, tentang
Kendaraan dan Pengemudi
(Lembaran Negara Tahun
1993 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor
3530);
SISPRO perijinan trayek yang disusun oleh pusat dan yang ada dan
dikembangkan didaerah apabila ditinjau berdasarkan UU no. 22 tahun 2009 dan dari
hasil pengamatan dilapangan, isu yang banyak diangkat adalah mekanismen
tender/lelang dimana merupakan salah satu mekanisme dari asas transparansi dan
akuntabel, yang belum bisa dijalankan seperti yang ada dalam amanat Undang-
Undang No. 22 tahun 2009 tetang LLAJ Pasal 174 ayat 2.
Sehingga belum adanya jaminan standard layanan yang ada dan timbulnya
berbagai permasalahan ikutan lainnya, dimana angkutan umum memiliki peran cukup
besar dalam pembangunan perekonomian kota. Issue-issue utama dalam sistem
angkutan umum berkaitan denganrendahnya mutu layanan dalam bentuk keamanan,
kenyamanan, kelayakan, kemudahan, dan efisiensi. Sistem pengelolaan dan
operasional yang kurang baik serta belum adanya peraturan standar pelayanan bagi
angkutan umum merupakan penyebab utama buruknya kualitas pelayanan. Kondisi ini
mendorong masyarakat untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi demi
kenyamanan dan keamanan.
Standar dasar untuk angkutan bus telah diatur dalam peraturan pemerintah No.
41/93, tetapi tanpa rincian yang jelas, tidak adanya standar fisik untuk kendaraan
angkutan umum, ditambah lagi dengan sistem pengujian kendaraan yang tidak benar
menimbulkan lemahnya kinerja angkutan umum. Pihak berwenang tidak mampu
memaksakendaraan yang sudah tidak layak untuk tidak berkerja lagi karena tidak
adanya standar atau pembatasan yang melarang bus-bus tersebut untuk berkerja.
Dasar
No SISPRO KegiatanPokok Yang Dilakukan Kegiatan Rinci Peraturan Temuan Pihak Terkait
Turunan UU Lapangan
2 Trayek 1. Perijinan Usaha 1.1 Pengajuan Ijin oleh pengguna jasa
AKDP/AKAP 2. Perijinan Modifikasi 1.2 Pengisian Formulir KM Menhub No. 49 Mekanisme Dinas
3. Perijinan Trayek/Perluasan 1.3 Melengkapi Syarat- syarat Tahun 2005 tentang Tender masih Perhubungan,
4. Pemberian Kartu 1.4 Verifikasi Data Sistem Transportasi belum berjalann BAPPEDA/
Pengawasan/Perpindahan Trayek 1.5 Penerbitan Kartu Izin Usaha Nasional Dinas Tata
5. Penetapan Status Kendaraan 1.6 Pengesahan (SISTRANAS) Informasi Status Ruang.
6. Peremajaan Kendaraan 1.7 Penetapan Trayek (baru)
7. Pengalihan Kepemilikan KM Menhub No. 84 Belum
8. Advis Trayek Antar Kota 1.1 Pengajuan Ijin oleh pengguna jasa Tahun 1999 tentang transparan.
9. Izin Insidentil 1.2 Pengisian Formulir Penyelenggaraan
10. Dispensasi Angkutan Barang Untuk 1.3 Melengkapi Syarat- syarat Angkutan Orang Di
Melalui Jalan Terlarang 1.4 Verifikasi Data Jalan dengan
1.5 Penerbitan Kartu Izin Usaha Kendaraan Umum
1.6 Pengesahan
1.7 Penetapan
Analisis yang akan dilakukan bersifat kualitatif dimana akan dilihat keterkaitan
antara permaslahan/isu dan dampak yang ada dan kemudian dicoba memberikan
alternatif pemecahan secara umum untuk kemudian dikaitkan dengan SISPRO terkait.
Dimana SISPRO terkait tersebut akan dianalisis lebih mendalam baik keberadaannya
dan tingkat efektivitas dari pemberlakuan SISPRO apabila telah ada dan dijadikan
pedoman dalam operasionalisasi kegiatan di lingkungan perhubungan.
− Kebijakan pemerintah
mencukupi biaya − Perbaikan operasional bus dari
untuk menjagatarif bus − Sistem pendapatan bus penyewaan bus menjadi sistem
agar tetap rendah seperti borongan, WAP baru (sistem gaji)
Dasar
No SISPRO Kegiatan Pokok Yang Dilakukan Kegiatan Rinci Pihak Terkait
Peraturan Turunan UU Temuan Lapangan
KM Menhub No. 49 Tahun Mekanisme Tender
1 Trayek 1. Perijinan Usaha 1.8 Pengajuan Ijin oleh 2005 tentang Sistem masih belum berjalann Sebagian
AKDP/AKAP pengguna jasa Transportasi Nasional Besar Daerah
2. Perijinan Modifikasi Telah
1.9 Pengisian Formulir (SISTRANAS)
3. Perijinan Trayek/Perluasan Informasi Status Menyusun
1.10Melengkapi Syarat- syarat KM Menhub No. 84 Tahun Trayek (baru) Belum
4. Pemberian Kartu transparan. Dinas
Pengawasan/Perpindahan Trayek 1.11Verifikasi Data 1999 tentang Perhubungan,
Penyelenggaraan Angkutan BAPPEDA/
5. Penetapan Status Kendaraan 1.12Penerbitan Kartu Izin Usaha Orang Di Jalan dengan Dinas Tata
Kendaraan Umum Ruang.
6. Peremajaan Kendaraan 1.13Pengesahan
7. Pengalihan Kepemilikan 1.14Penetapan
8. Advis Trayek Antar Kota
9. Izin Insidentil
10. Dispensasi Angkutan Barang Untuk
Melalui Jalan Terlarang
Beberapa isu penting yang berkembang terkait kebijakan kelebihan muatan ini
adalah bahwa secara operasional tidak berjalann efektif dikarenakan beberapa
permasalahan yang secara umum tidak adanya ketegasan dalam memberlakukan
aturan kapasitas minimal angkutan.
Tabel 4.7 Issue dan Alternatif Pemecahan masalah Kelebihan Muatan Angkutan Kendaraan
Dasar
No SISPRO KegiatanPokok Yang Dilakukan Kegiatan Rinci Peraturan Pihak Terkait
Temuan
Turunan UU
Lapangan
1 Kelebihan 1. Uji Muatan 1.1 Melakukan Pengawasan Dinas
Muatan 2. Pengurangan Muatan Kendaraan Angkutan Barang Keputusan Perbedaan Perhubungan,
3. Pemberian Sanksi Pelanggaran pada Jalur Jembatan Timbang Menteri Persepsi Kelebihan Kepolisian
1.2 Melakukan Kegiatan Perhubungan Muatan (Toleransi
Penimbangan Kendaraan dan No.KM 5 Tahun Kelebihan Muata)
Angkutannya 1995 tentang
1.3 Verifikasi Kelebihan Muatan Penyelenggaraan Keterbatasan
1.4 Penetapan Status Kelebihan Penimbangan Lahan/Gudang
Muatan Kendaraan
Bermotor di Jalan Dampak tidak
2.1 Inventarisasi Kembali Kapasitas tegasnya
Gudang penetapan sanksi
2.2 Menentukan Metode Penurunan
Barang
2.3 Melakukan Proses Penurunan
Barang
2.4 Identifikasi Barang Yang
Diturunkan
2.5 Pencatatan Identitas Barang
3.1 Inventarisasi dan Identifikasi
Operator Angkutan
3.2 Pemberian Sanksi Kelebihan
Muatan
3.3 Proses Denda dan Administrasi
lainnya
KegiatanPokok Dasar
Kegiatan
No SISPRO Yang Pihak Terkait
Rinci Kebijakan Temuan Lapangan
Dilakukan
1 Kecelakaan 1. Identifikasi Penyebab 1.1 Bekerjasama Dengan Keputusan Direktur Belum adanya Dinas Perhubungan, PU, Kepolisian,
Kecelakaan Kepolisian dan Jenderal Perhubungan Standardisasi Data
Rumah Sakit dalam Darat Nomor : Kecelakaan
2. Evakuasi Evakuasi , Identifikasi Sk.1763/Aj.501/Drjd/2
3. Inventarisasi dan Inventarisasi 003 Tentang Petunjuk
Penyebab, Jenis dan Teknis Tanggap Koordinasi belum
a. Jenis Kecelakaan Jumlah Korban dalam Darurat Kecelakaan optimal antara
b. Jumlah Korban Kecelakaan Kendaraan Bermotor kepolisian dan
Angkutan Penumpang dishub berdampak
1.2 Pembentukan Tim Direktur Jenderal
Peneliti dan pada perbedaan
Perhubungan Darat data
Investigasi
SE Dirjen Kecelakaan akibat
1.3 Koordinasi dan No.SE.07/AJ.501/DRJ
Stendardisasi Data kerusakan
D/07 ttg Penelitian prasarana signfikan
Kecelakaan Kecelakaan Lalu
Lintas Jalan
SE Dirjen
No.SE.07/AJ.501/DRJ
D/07 ttg Penelitian
Kecelakaan Lalu
Lintas Jalan
Dalam Bahasan berikut akan dijelaskan konsep secara utuh dan menyeluruh dari
konsep SISPRO yang akan disusun yang diharapkan memenuhi kaidah- kaidah
penyususan SISPRO seperti yang telah dibahas dalam subba sebelumnya diatas,
yang secara rinci pula membahas bab per bab dan persubbabnya sehingga sesesuai
dengan hierarki dalam konsep SISPRO yang telah diusulkan dan dibahas serta
disetujui dalam mekanisme rapat dan diskusi dengan tim teknis maupun pengarah.
Untuk lebih jelasnya, konsep dokumen SISPRO dapat di lihat pada keterangan berikut
ini :
1. Tujuan
Bagian sub Bab Tujuan ini Berisi Tujuan dari Dokumen SISPRO yang ada,
menjelaskan tujuan secara rinci hal–hal yang ingin dicapai dari adanya SISPRO
tersebut.
2. Ruang Lingkup
3. Acuan
Mencantumkan kebijakan dan peraturan yang menjadi rujukan atau dasar yang
diaju dalam menyusun SISPRO sehingga memiliki legitimasi secara geberik
ataupu spesifik bagi pelaksanaan SISPRO yang ada sehingga bersifat mengikat
bagi instansi atau lembaga pelaksana.
4. Definisi
6. Dokumentasi
7. Distribusi/Tembusan
Dalam Prosesnya setiap kegiatan dan proses yang ada perlu diketahui dan
dipantau oleh pihak-pihak berwenang sebagai penanggung jawab akan dijelaskan
dalam subbab distribusi dan tembusan ini.
8. Diagram Alir
Untuk memperjelas proses yang berjalann dan kegiatan yang ada akan
digambarkan diagram alir sebagai visualiasi sistematis proses secara mekanistis
sehingga diharapakann memudahkan pemahaman pihak-pihak yang terlibat dan
terkait dalam proses tersebut.
Pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas, dapat di lihat
pada penjelasan berikut ini.
5.1 Kesimpulan
Untuk beberapa alasan tersebut diatas maka dalam kegiatan studi ini dihasilkan
beberapa SISPRO terkait ruang lingkup studi yang diharapkan menjadi dokumen
akademis bagi masukan tersusunnya perturan pelengkap UU LLAJ No.22 Tahun 2009,
berupa Peraturan Keputusn Menteri dan peraturan lainnya, beberapa SISPRO tersebut
antaralain :
Sistem dan Prosedur pada setiap urusan yang dikembangkan dalam studi ini
belum cukup memiliki legitimasi hukum yang kuat karena belum adanya peraturan
dibawah undang–undang yang menjelaskan secara lebih detail.
1. Ibnu Syamsi, Efisiensi, Sistem dan Prosedur Kerja –Bumi Aksara, 2007.
2. Edward K Morlok, Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi,
AirLangga, 1984.
3. Iskandar Indranata, Trampil dan Sukses Melakukan Audit Mutu Internal : ISO
9001:2000 Berdasarkan ISO 19011:2002, ALFABETA, 2006.
4. Balitbang DEPHUB, Studi Kebutuhan Standard Norma, Pedoman, Kriteria dan
SISPRO di Bidang Transportasi Jalan, 2008.
5. Dirjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan, Kajian Perumusan
Pembentukan Dewan Keselamatan Transportasi Jalan, 200
6. Situs Perhubungan Pusat dan Daerah serta berbagai media elektronik/Cetak
lannya.
7. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1678 tahun
1991 tentang Prosedur Pelayanan Perijinan Angkutan dengan Kendaraan
Bermotor Umum di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
8. PERDA Provinsi Sumatera Utara Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Pengendalian
Kelebihan Muatan Angkutan Barang
9. Peraturan Gubernur Sumatera Utara No 14 2007 tentang pengendalian
kelebihan muatan angkutan barang.
10. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 15 Tahun 2007
Tentang Retribusi Ijin Penyelenggaraan Angkutan orang dijalan dengan
kendaraan umum.
11. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 15 Tahun 2007 Tentang
Retribusi Ijin Penyelenggaraan Angkutan orang dijalan dengan kendaraan
umum.
12. Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.061.1-433.K/tahun 2002.
13. UU No 22 Tahun 2009 Tentan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
14. UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
15. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
16. UU No 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
17. PP No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
18. PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
19. PP No 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal
20. PP No 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi
21. PP No 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan
DAFTAR PUSTAKA C
22. PP No 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan
23. PP No 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan
24. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 51 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Percontohan Transportasi Jalan
25. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 14 Tahun 2007 tentang Kendaraan
Pengangkut Peti Kemas di Jalan
26. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 53 Tahun 2006 tentang Tarif Dasar
Batas Atas dan Batas Bawah Angkutan Penumpang Antar Kota Antar Propinsi
Angkutan Penumpang Kelas Ekonomi di Jalan dengan Mobil Bus Umum
27. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 51 Tahun 2005 tentang Tarif Batas
Atas dan Batas Bawah Angkutan Penumpang Antar Kota Antar Propinsi Kelas
Ekonomi di Jalan dengan Mobil Bus Umum
28. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 9 Tahun 2004 tentang Pengujian Tipe
Kendaraan Bermotor
29. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 85 Tahun 2004 tentang Tarif Batas
Atas dan Tarif Batas Bawah Angkutan Penumpang Antar Kota Antar Propinsi
Kelas Ekonomi di Jalan Dengan Mobil Bus Umum
30. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 48 Tahun 2004 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penguji Kendaraan Bermotor dan Angka
Kreditnya
31. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 35 Tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum
32. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 31 Tahun 2002 tentang Perubahan
KM No 84 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan
dengan Kendaraan Umum
33. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 30 Tahun 2002 tentang Perubahan
KM No 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan
34. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 1 Tahun 2000 tentang Penetapan
Kelas Jalan di Pulau Sumatera
35. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 84 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Angkutan Umum
36. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas
Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana
Perhubungan
37. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 70 Tahun 1999 tentang Sistem
Informasi Kecelakaan di Jalan Bagi Untuk Daerah Bali dan Sumatera Bagian
Utara
38. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 55 Tahun 1999 tentang Penetapan
Kelas Jalan di Pulau Jawa
39. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 5 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan
40. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 31 Tahun 1995 tentang Terminal
Transportasi Jalan
DAFTAR PUSTAKA D
41. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 6 Tahun 1994 tentang Tanda-Tanda
Khusus Bagi Penderita Cacad Tuna Netra dan Cacad Tuna Rungu dalam
Berlalu Lintas di Jalan
42. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 71 Tahun 1993 tentang Pengujian
Berkala Kendaraan Bermotor
43. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 69 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan
44. Keputusan Menteri Perhubungan No KM 68 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum
45. Keputusan Menteri Perhubungan No KM No.74 Tahun 1990 tentang Angkutan
Peti Kemas di Jalan
46. SE Dirjen Perhubungan Darat No.SE.02/AJ.108/DRJD/2008 tentang Panduan
Batasan Maksimum Perhitungan JBI (Jumlah Berat yang diIzinkan) dan JBKI
(Jumlah Berat Kombinasi yang diIzinkan) untuk Mobil Barang, Kendaraan
Khusus, Kendaraan Penarik berikut Kereta Tempelan/Kereta Gand
SE Dirjen Perhubungan Darat No.SE.07/AJ.501/DRJD/07 tentang Penelitian
Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
47. SE Dirjen Perhubungan Darat No.SE.01/AJ.307/DRJD/2004 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Muatan Lebih.
DAFTAR PUSTAKA E
LAMPIRAN
Diagarm Alir
LAMPIRAN F
LAMPIRAN G
LAMPIRAN H
SISPRO Perijinan Ijin Angkutan AKAP
SISPRO Kelebihan Muatan
LAMPIRAN I
LAMPIRAN J
Tabel Lampiran UULLAJ Lama dan UULLAJ Baru
No SISPRO Peraturan UU Lama UU LLAJ 14/1992 Peraturan UU BaruUU LLAJ 22/2009 Keterangan
1 Terminal (Bab IV Prasarana) (Bagian Keempat Terminal) Sebagian Besar Daerah belum menyusun SISPRO
terkait terminal
Bagian Pertama Paragraf 1
Jaringan Transportasi Jalan Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal
§ Pasal 9 -10 § Pasal 33-42
Pasal 9
(1) Untuk menunjang kelancaran mobilitas orang maupun arus barang Pasal 33
dan untuk terlaksananya keterpaduan intra dan antar moda secara
lancar dan tertib, di tempat-tempat tertentu dapat dibangun dan (1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan
diselenggarakan terminal; antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal.
(2) Pembangunan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.
dilaksanakan oleh pemerintah dan dapat mengikutsertakan badan
hukum Indonesia;
Pasal 34
(3) Penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh pemerintah; (1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya
dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.
(4) Ketentuan mengenai pembangunan dan penyelenggaraan terminal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur (2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kendaraan yang dilayani.
Pasal 10 Pasal 35
(1) Pada terminal sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dapat Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat
dilakukan kegiatan usaha penunjang; membangun Terminal barang sesuai dengan peratur an perundang-undangan.
(2) Kegiatan usaha penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau warga negara
Indonesia; Pasal 36
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan lain dalam izin trayek.
Paragraf 2
Penetapan Lokasi Terminal
Pasal 37
(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan
bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:
a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang W ilayah Provinsi,
dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan
lintas;
d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f. permintaan angkutan;
g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
i. kelestarian lingkungan hidup.
LAMPIRAN K
No SISPRO Peraturan UU Lama UU LLAJ 14/1992 Peraturan UU BaruUU LLAJ 22/2009 Keterangan
Paragraf 3
Fasilitas Terminal
Pasal 38
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan
keselamatan dan keamanan.
(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal
wajib melakukan pemeliharaan.
Paragraf 4
Lingkungan Kerja Terminal
Pasal 39
(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.
(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan
digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.
(3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah
kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi.
Paragraf 5
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal
Pasal 40
(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
a. rancang bangun;
b. buku kerja rancang bangun;
c. rencana induk Terminal;
d. analisis dampak Lalu Lintas; dan
e. analisis mengenai dampak lingkungan.
(2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan; dan
c. pengawasan operasional Terminal.
Pasal 41
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar
pelayanan yang ditetapkan.
(2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerj a,
pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah.
LAMPIRAN L
No SISPRO Peraturan UU Lama UU LLAJ 14/1992 Peraturan UU BaruUU LLAJ 22/2009 Keterangan
2 Trayek AKDP/AKAP/KOTA Bagian Kedua Paragraf 3 Sebagian Besar Daerah telah menyusun SISPRO
terkait trayek Antar Kota Antar Propinsi
Angkutan Orang Dengan Kendaraan Umum Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek
d. angkutan lintas batas negara yang merupakan angkutan orang yang e. angkutan perdesaan.
melalui lintas batas negara lain.
Pasal 143
Pasal 37 Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud
(1) Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum sebagaimana dalam Pasal 140 huruf a harus:
dimaksud dalam Pasal 36, dapat dilaksanakan dengan trayek tetap a. memiliki rute tetap dan teratur;
dan teratur atau tidak dalam trayek;
b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan
(2) Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek antarkota dan lintas batas negara; dan
tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan dalam jaringan trayek; c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan
perdesaan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 144
Pasal 38 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan:
(1) Pengangkutan orang dengan kendaraan umum untuk keperluan a. tata ruang wilayah;
pariwisata, dilakukan dengan memperhatikan ketentuan undang-
undang ini; b. tingkat permintaan jasa angkutan;
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud c. kemampuan penyediaan jasa angkutan;
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e. kesesuaian dengan kelas jalan;
f. keterpaduan intramoda angkutan; dan
g. keterpaduan antarmoda angkutan.
Pasal 145
(1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144
disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek.
(2) Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terkoordinasi dengan instansi terkait.
(3) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jaringan trayek lintas batas negara;
b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi;
c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi;
d. jaringan trayek perkotaan; dan
e. jaringan trayek perdesaan.
(4) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling
lama 5 (lima) tahun.
LAMPIRAN M
No SISPRO Peraturan UU Lama UU LLAJ 14/1992 Peraturan UU BaruUU LLAJ 22/2009 Keterangan
Pasal 146
(1) Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan
kawasan perkotaan.
(2) Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi;
b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu
provinsi; atau
c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota.
Pasal 147
(1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian antarnegara.
(2) Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 148
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1)
dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota antarprovinsi dan perkotaan yang
melampaui batas 1 (satu) provinsi;
b. gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota dalam provinsi dan
perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat
persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana d an Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; atau
c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 149
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh:
a. bupati untuk kawasan perdesaan yang menghubungkan 1 (satu) daerah kabupaten;
b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1 (satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah
provinsi; atau
c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk
kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi.
Pasal 150
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur
dengan peraturan pemerintah.
3 Trayek Angkutan Kota Sama Sama Sebagian Besar Daerah telah menyusun SISPRO
terkait trayek Antar Kota Antar Propinsi
4 Kecelakaan Bagian Kedua Berdasarkan UU terbaru Fungsi dan Tugas Terkait
Kecelakaan lebih banyak ditangani POLRI.
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 203
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
LAMPIRAN N
No SISPRO Peraturan UU Lama UU LLAJ 14/1992 Peraturan UU BaruUU LLAJ 22/2009 Keterangan
(2) Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:
a. penyusunan program nasional k egiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 204
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen
keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
(2) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu
Lintas ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 205
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2) dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat,
melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi
informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 206
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
meliputi:
a. audit;
b. inspeksi; dan
c. pengamatan dan pemantauan.
(2) Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia .
(3) Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(4) Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(5) Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
(6) Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan secara
berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(7) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau
penegakan hukum.
Pasal 207
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jal an
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
LAMPIRAN O
No SISPRO Peraturan UU Lama UU LLAJ 14/1992 Peraturan UU BaruUU LLAJ 22/2009 Keterangan
BAB XIV
KECELAKAAN LALU LINTAS
Bagian Kesatu
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 226
(1) Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui:
a. partisipasi para pemangku kepentingan;
b. pemberdayaan masyarakat;
c. penegakan hukum; dan
d. kemitraan global.
(2) Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola
penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
(3) Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
Paragraf 1
Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 227
Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib melakukan
penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:
a. mendatangi tempat kejadian dengan segera;
b. menolong korban;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;
d. mengolah tempat kejadian perkara;
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;
f. mengamankan barang bukti; dan
g. melakukan penyidikan perkara.
Pasal 228
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 2
Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 229
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas :
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang
LAMPIRAN P
No SISPRO Peraturan UU Lama UU LLAJ 14/1992 Peraturan UU BaruUU LLAJ 22/2009 Keterangan
Pasal 230
Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Pertolongan dan Perawatan Korban
Pasal 231
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib:
a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
b. memberikan pertolongan kepada korban;
c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
(2) Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia terdekat.
Pasal 232
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib :
a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas;
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 4
Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 233
(1) Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data Kecelakaan Lalu Lintas.
(2) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik.
(3) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang
berasal dari rumah sakit.
(4) Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
5 Kelebihan Muatan Pasal 22 Paragraf 4
(1) Untuk keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat
dan angkutan jalan ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai :
Pasal 180
a. rekayasa dan manajemen lalu lintas;
b. gerakan lalu lintas kendaraan bermotor; (1) Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c
diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
c. berhenti dan parkir; Jalan dengan rekomendasi dari instansi terkait.
d. penggunaan peralatan dan perlengkapan kendaraan bermotor
yang diharuskan, peringatan dengan bunyi dan sinar; (2) Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c
diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
e. tata cara menggiring hewan dan penggunaan kendaraan tidak Jalan.
bermotor di jalan;
LAMPIRAN Q
No SISPRO Peraturan UU Lama UU LLAJ 14/1992 Peraturan UU BaruUU LLAJ 22/2009 Keterangan
f. tata cara penetapan kecepatan maksimum dan/atau minimum (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan
kendaraan bermotor; barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana
g. prilaku pengemudi terhadap pejalan kaki; dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
h. penetapan muatan sumbu kurang dari muatan sumbu terberat
yang diizinkan;
i. tata cara mengangkut orang dan/atau barang serta
penggandengan dan
penempelan dengan kendaraan lain;
j. penetapan larangan penggunaan jalan;
k. penunjukan lokasi, pembuatan dan pemeliharaan tempat
pemberhentian untuk kendaraan umum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
LAMPIRAN R