Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KEADAAN UMUM

2.1 Lokasi dan Luas Daerah yang Direncanakan


2.1.1 Lokasi
Kecamatan Ponjong adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara astronomis Kecamatan
Ponjong terletak pada koordinat UTM (Universal Transverse Mercator)
(47212;9194382) di sebelah Timur Laut Kota Wonosari, dengan luas wilayah
10.448,5 Ha. Kecamatan Ponjong terbagi menjadi 11 desa, 119 dusun, 238
Rukun Warga (RW) dan 5332 Rukun Tetangga (RT). Secara geografis,
Kecamatan Ponjong berada di sebelah timur Kabupaten Gunungkidul, kurang
lebih 15,10 km dari Kota Wonosari. Secara atministratif PT. Lembo Ade
Limestone terletak di Dusun Sendang 1, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari ibukota Daerah
Istimewa Yogyakarta berjarak 57,5 km. Desa sawahan berbatasan dengan :
1. Barat : Desa Umbulrejo, Kecamatan Ponjong
2. Timur : Desa Tambakromo, Kecamatan Ponjong
3. Utara : Desa Semin, Kecamatan Semin
4. Selatan : Desa Sumbergiri, Kecamatan Ponjong
Desa Sawahan terletak di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Sawahan terdiri dari 10 Dusun
yaitu: Dusun Sawur, Dusun Jatisari, Dusun Tengger, Dusun Plarung, Dusun
Sendang 1, Dusun Sendang 2, Dusun Selonjono, Dusun Sambirejo, Dusun
Sawahan, Dusun Gedong. Desa Sawahan memiliki luas wilayah 971,3 Ha.
Adapun aparatur Pemerintahan Desa di Desa Sawahan antara lain tersusun atas
Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan Kepala Dusun.
2.1.2 Luas Daerah yang Direncanakan
Luas daerah tambang batugamping yang dipetakan di Dusun Sendang 1, Desa
Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul adalah ± 40 Ha yang

15
mana merupakan lokasi hutan rakyat. Luas WIUP yang diusulkan kepada
pemerintah daerah adalah 103 Ha yang dapat dilihat pada gambar 2.1.
Berikut ini merupakan peta situasi IUP PT Lembo Ade Limestone :

Gambar 2.1
Peta Kesampaian Lokasi IUP Operasi Produksi PT. Lembo Ade Limestone
2.2 Kesampaian Daerah dan Sarana Perhubungan Setempat
Untuk menuju ke wilayah pertambangan PT. Lembo Ade Limestone dapat
ditempuh melalui beberapa jalur yaitu, Klaten – Gunungkidul atau dengan jalur
Yogyakarta – Gunungkidul.
1. Jarak dari Pusat Pemerintahan Desa : 2 km
2. Jarak dari Pusat pemerintahan Kabupaten : 32 km
3. Jarak dari Pusat Pemerintahan Provinsi : 57,5 km
Akses dari kampus I UPN “Veteran” Yogyakarta menuju Desa Sawahan,
Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul dapat dicapai melalui 2 rute jalur,
yaitu:
1. Jalan Ring Road Utara Yogyakarta - Jalan Yogya-Solo - Jalan Jendral Ahmad
Yani - Jalan Wedi - Jalan Pandanaran - Jalan Bayat - Klaten selatan - Jalan
Raya Bayat - Wedi - Jalan Wedi-Bayat - Jalan Bayat - Jalan Bayat - Cawas –
Ponjong - Desa Sawahan - Dusun Sawur. Rute ini ditempuh selama 1,5 jam
perjalanan menggunakan kendaraan roda dua/roda empat maupun bus dengan

16
kecepatan sedang, kondisi jalan cukup baik dan sudah beraspal namun
bergelombang.
2. Jalan Ringroad Utara Yogyakarta - Jalan Wonosari - Patuk Gunungkidul - Kota
Wonosari - Kecamatan Karangmojo - Kecamatan Ponjong - Desa Sawahan -
Dusun Sendang 1. Rute ini ditempuh selama ± 2 jam perjalanan menggunakan
kendaraan roda dua atau roda empat maupun bus dengan kecepatan sedang,
kondisi jalan sangat baik.

Gambar 2.2
Peta Kesampaian Lokasi IUP Operasi Produksi PT. Lembo Ade Limestone
2.3 Keadaan Lingkungan Daerah
2.3.1 Kependudukan
Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul tahun 2019
diketahui data jumlah penduduk Desa Sawahan berjumlah 5.683 jiwa dengan
rincian 2.808 berjenis kelamin laki-laki, 2.875 berjenis kelamin perempuan dan
dari data tersebut terdapat 1.754 kepala keluarga.
Tabel 2.1
Data Jumlah Pendududuk Kecamatan Ponjong

17
No. Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Gombang 1693 1693 3386
2 Sidorejo 4818 4809 9627
3 Bedoyo 2122 2100 4222
4 Karang Asem 1309 1302 2611
5 Ponjong 2509 2606 5115
6 Genjahan 2940 3062 6002
7 Sumber Giri 2382 2514 4846
8 Kenteng 1650 1734 3384
9 Tambakromo 2081 2228 4309
10 Sawahan 2808 2875 5683
11 Umbulrejo 3719 3781 7500
Jumlah 28031 28704 56685
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2019
Data jumlah Kartu Keluarga dapat dilihat pada Tabel 2.2 data jumlah penduduk
dan sex ratio lihat Tabel 2.3.
Tabel 2.2
Data Jumlah Kartu Keluarga Kecamatan Ponjong
No. Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Gombang 789 95 884
2 Sidorejo 2086 462 2548
3 Bedoyo 959 88 1047
4 Karang Asem 611 81 692
5 Ponjong 1093 263 1356
6 Genjahan 1331 321 1652
7 Sumber Giri 1131 248 1379
8 Kentong 792 87 879
9 Tambakromo 973 145 1186
10 Sawahan 1273 213 1486
Jumlah 11038 2003 13109
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2019

Tabel 2.3
Data Jumlah Penduduk dan Sex Ratio
No. Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Gombang 1693 1693 3386
2 Sidorejo 4818 4809 9627
3 Bedoyo 2122 2100 4222
4 Karang Asem 1309 1302 2611
5 Ponjong 2509 2606 5115
6 Genjahan 2940 3062 6002
7 Sumber Giri 2382 2514 4846
8 Kenteng 1650 1734 3384
9 Tambakromo 2081 2228 4309
10 Sawahan 2808 2875 5683
11 Umbulrejo 3719 3781 7500
Jumlah 28031 28704 56685

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2019


Tabel 2.4
Data Jumlah Kepala Keluarga Berdasar Sektor Kegiatan Utama

18
Listrik, Gas,
No Desa Pertanian Pertambangan Industri Bangunan
&Air

1 Gombang 869 3 11 - 1
2 Sidorejo 2471 2 36 - 2
3 Bedoyo 993 - 58 - 3
4 Karang Asem 688 4 5 - 3
5 Ponjong 1184 - 9 - 4
6 Genjahan 1370 - 13 - 6
7 Sumber Giri 1266 - 6 - 6
8 Kentong 834 3 2 - 3
9 Tambakromo 1099 - 12 - 8
10 Sawahan 1441 14 14 - 4
Jumlah 12215 26 166 - 40
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2019
Tingkat pendidikan penduduk Desa Sidorejo mayoritas merupakan lulusan SMP,
SMA atau sederajat, sehingga penduduk setempat hanya dapat bekerja sebagai
petani, pedagang, dan buruh.
2.3.2 Sosial, Ekonomi dan Budaya
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani. Penghasilan yang
dihasilkan dari pekerjaan petani adalah Rp 1.000.000,00 perpanen. Sebagian
penduduk masih memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh batunapal dengan
penghasilan Rp 50.000,00 perhari.
Tabel 2.5
Data Tingkat Pendidikan pada Desa Sawahan
Menurut Tingkat Pendidikan
No. Tingkat
Jumlah
Pendidikan
1 Belum Sekolah 399
2 Tidak Lulus SD 1657
3 Lulus SD 1136
4 Lulus SMP 1369
5 Lulus SMA 409
6 Penguruan Tinggi 33
Sumber: Kantor Kecamatan Ponjong Tahun 2019
Keadaan sosial ekonomi di Desa Sawahan rata-rata sudah bisa tergolong cukup.
Masyarakat Desa Sawahan merupakan penduduk yang majemuk, dengan latar
belakang agama yang berbeda: Islam, Kristen dan Katolik. Norma dan adat
istiadat di daerah ini dipegang teguh oleh setiap warga.
2.3.3 Flora dan Fauna
a. Keadaan Flora

19
Keadaan tumbuh-tumbuhan di lokasi penambangan sangat bervariasi.
Vegetasi yang banyak dijumpai disekitar lokasi rencana penambangan
diantaranya pohon jati, mahoni, akasia, sengon, kelapa, nangka, singkong,
jambu, dan pepaya. Di daerah lokasi rencana penambangan batugamping
tidak ditemukan keberadaan satwa khas ataupun satwa langka yang
dilindungi tetapi banyak dijumpai satwa ternak yang dipelihara oleh warga.
Satwa tersebut antara lain: sapi, kambing, ayam dan bebek. Namun banyak
dijumpai juga satwa liar lain seperti ular, kadal, tupai, kera.
b. Keadaan Fauna
Di daerah lokasi rencana penambangan batugamping tidak ditemukan
keberadaan satwa khas ataupun satwa langka yang dilindungi, tetapi banyak
dijumpai satwa ternak yang dipelihara oleh warga. Satwa tersebut antara lain
: sapi, kambing, ayam dan bebek. Namun banyak dijumpai juga satwa liar
lain seperti ular, kadal, tupai, kera dll. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 2.6
Tabel 2.6
Jenis Populasi Ternak
No Ternak Jumlah (ekor)
1 Sapi 9191
2 Kambing 1539
3 Itik/Bebek 70
4 Ayam 7187
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2019
2.3.4 Iklim dan Curah Hujan
Suhu udara rata-rata di Desa Sawahan adalah 25°C, dengan suhu minimum 19°C
dan suhu maksimum 32°C. Dikarenakan daerah tersebut berada pada daerah
perbukitan mengakibatkan kelembaban udara cukup tinggi dan kecepatan udara
rendah. Musim hujan berkisar antara bulan Oktober hingga Mei.

20
Gambar 2.3
Curah Hujan per Bulan di Kabupaten Gunungkidul
Sumber: Badan Pusat Stastistik Kabupaten Gunung Kidul (Tahun 2018)

Gambar 2.4
Data Hari Hujan per Bulan di Kabupaten Gunungkidul
Sumber: Badan Pusat Stastistik Kabupaten Gunung Kidul (Tahun 2019)

21
2.4 Tata Guna Lahan
Tataguna lahan ialah pengarahan penggunaan lahan dengan kebijakan dan
program tata keruangan untuk memperoleh manfaat total sebaik baiknya secara
berkelanjutan dari daya dukung tiap bagian lahan yang tersediakan. Oleh karena
daya dukung lahan dapat dikembangkan dengan teknologi sampai batas layak
menurut ukuran efisiensi penggunaan masukan dan ambang keseimbangan lahan
selaku sistem.
Pada lokasi penambangan yang terletak di Dusun Sawahan ini strategis jika
dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan dan pertanian, tetapi penyaliran air tidak
terlalu mencukupi. Disekitar lokasi, terdapat banyak pepohonan yang dijadikan
sebagai bahan pembuatan patung oleh warga sekitar. Lokasi pertanian dan
perkebunan di daerah ini cukup baik dimana banyak ditanam berbagai jenis hasil
kebun seperti kelapa dan pisang. Namun saat musim kemarau, hampir seluruh
vegetasi kekeringan. Tidak terdapat sungai di sekitar daerah tersebut.

2.5 Geologi
2.5.1 Fisiografi
Wilayah Kabupaten Gunungkidul secara regional (berdasarkan pembagian zona
fisiografi di Pulau Jawa, menurut Van Bemmelen, 1949) termasuk ke dalam zona
fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat. Kemudian pada daerah
Bayat, Kabupaten Klaten, yang merupakan suatu daerah yang terletak pada kaki
perbukitan rendah yakni Perbukitan Jiwo, perbukitan Jiwo terdiri dari Jiwo Barat
dan Jiwo Timur yang dipisahkan oleh Sungai Dengkeng. Zona fisiografi tersebut
dibagi lagi menjadi 4 sub zona fisiografi, diantaranya :
a. Pegunungan Baturagung
Sub Zona Fisografi Pegunungan Baturagung meliputi daerah Kecamatan
Patuk, Gedangsari, Ngawen dan Semin. Secara dominan wilayah tersebut
berupa perbukitan-pegunungan, dengan ketinggian berkisar 200 – 700 m dan
b. Pegunungan Masif
Sebagian besar daerah Kecamatan Ponjong termasuk ke dalam Sub Zone
Fisiografi Panggang masif, dengan beda tinggi berkisar 200 - >700 m dan
kelerengan 15 - >40%

22
c. Plato Wonosari
Sub Zona Fisiografi Plato Wonosari meliputi daerah Kecamatan Wonosari,
Playen, Paliyan, Semanu, dan Karangmojo. Morfologinya berupa dataran
tinggi dengan ketinggian berkisar 50 – 300 m dan kelerengan 0 – 8%.
d. Karst G. Sewu
Daerah-daerah Kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Tanjungsari,
Tepus, Rongkop dan Girisubo masuk ke Sub Zona Fisiografi Karst G. Sewu.
Secara umum morfologinya berupa bukit-bukit kecil dan cekungan antar
bukit (dolina) dengan ketinggian berkisar 0 – 400m dan kelerengan 8 - >40%.

Gambar 2.5
Peta Geologi Kabupaten Gunungkidul
Sumber: Jurnal Genesis of Ponjong Pink Limestone
2.5.2 Stratigrafi
Menurut Van Bemmelen (1949) Stratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Barat
terdiri atas batuan Pra- Tersier yang tersingkap di pegunungan Jiwo Daerah Bayat
Klaten, tersusun oleh batuan metamorfosa batusabak, sekis, gneiss, serpentinit,
dan batugamping kristalin tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik dan batuan
karbonat. Batuan volkanik klastik sebagian besar terbentuk oleh pengendapan
gaya berat (gravity depositional processes) yang menghasilkan endapan kurang
lebih setebal 4000 meter. Hampir keseluruhan batuan sedimen tersebut
mempunyai kemiringan ke arah selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan
Selatan Bagian Barat dari tua ke muda adalah :

23
a. Formasi Kebo-Butak
Formasi ini secara umum terdiri-dari konglomerat, batupasir, dan batulempung
yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun
pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah oleh Bothe disebut
sebagai anggota Kebo (Kebo beds) yang tersusun antara batupasir, batulanau,
dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit dengan perselingan
batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Bagian bawah
anggota ini diterobos oleh sill batuan beku. Bagian atas dari formasi ini
termasuk anggota Butak yang tersusun oleh perulangan batupasir
konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau. Ketebalan rata-
rata formasi ini kurang lebih 800 meter. Urutan yang membentuk Formasi
Kebo – Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan
dengan beberapa interupsi pengandapan tipe mid fan yang terbentuk pada
Oligosen Akhir (N2 – N3).
Litologi dari formasi ini terdiri bagian atas yang terdiri dari perselingan
batupasir, batulempung dan lapisan tipis tuf asam dan bagian bawah terdiri
dari batupasir, batulanau, batulempung, serpih, tuf, dan agglomerat. Formasi
ini terbentuk pada kala Miosen awal bagian awal pengendapan.
b. Formasi Semilir
Secara umum formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat
tufan, ringan, dan kadang-kadang diselingi oleh selaan breksi volkanik.
Fragmen yang menyusun breksi maupun batupasir berupa batuapung yang
bersifat asam.
Di lapangan sering dijumpai perlapisan yang begitu baik, dan struktur yang
mencirikan turbidit banyak dijumpai. Kandungan fosil yang sedikit pada
formasi ini menunjukkan bahwa pengendapan berlangsung secara cepat atau
berada pada daerah yang sangat dalam, berada pada daerah ambang
kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami
korosi sebelum mencapai dasar pengendapan. Umur dari formasi ini diduga
adalah pada Miosen Awal (N4) berdasar pada keterdapatan Globigerinoides
primordius pada daerah yang bersifat lempungan dari formasi ini, yaitu di
dekat Piyungan (Van Gorsel, 1987). Formasi Semilir ini menumpang secara

24
selaras di atas anggota Butak dari Formasi Kebo Butak. Formasi ini tersingkap
secara baik di wilayah Gunungkidul, yaitu di tebing gawir Baturagung di
bawah puncak Semilir.
Litologi dari Formasi ini umumnya terdiri dari batupasir tufaan, batu lanau dan
batulempung. Pada beberapa bagian terdapat pula batupasir tufan
konglomeratan, yang sebagian besar fragmennya berupa pumis. Formasi ini
terbentuk pada kala Miosen awal bagian tengah pengendapan.
c. Formasi Nglanggran
Formasi ini berbeda dengan formasi-formasi lain, yang dicirikan oleh
penyusun berupa breksi. Formasi ini dengan penyusun material volkanik, tidak
menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar, bagian
yang terkasar dari breksi hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah
lava andesit, sebagian besar telah mengalami breksiasi. Formasi ini ditafsirkan
sebagai pengendapan dari aliran rombakan yang berasal dari gunungapi bawah
laut, dalam lingkungan laut, dan proses pengendapan berjalan cepat, yaitu
hanya selama Miosen Awal (N4).
Singkapan utama dari formasi ini adalah di Gunung Nglanggeran pada
Perbukitan Baturagung. Kontak dengan Formasi Semilir di bawah merupakan
kontak yang tajam. Hal inilah yang menyebabkan mengapa Formasi
Nglanggeran dianggap tidak searas di atas Formasi Semilir. Namun perlu
diingat bahwa kontak yang tajam itu bisa terjadi karena perbedaan mekanisme
pengendapan dari energi sedang atau rendah menjadi energi tinggi tanpa harus
melewati kurun waktu geologi yang cukup lama.
Hal ini sangat biasa dalam proses pengendapan akibat gaya berat. Van Gorsel
(1987) menganggap bahwa pengendapannya diibaratkan proses gunungapi
yang runtuh seperti Krakatau yang berada di lingkungan laut. Ke arah atas,
yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggeran berubah secara
bergradasi, seperti yang terlihat pada singkapan di Sungai Putat. Lokasi yang
diamati oleh EGR tahun 2002 berada pada sisi lain Sungai Putat dimana
kontak kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.
Formasi ini dicirikan oleh penyusun utama terdiri dari breksi dengan penyusun
material vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dan memiliki

25
ketebalan cukup besar. Breksi hampir seluruhnya tersusun oleh bongkahan –
bongkahan lava andesit dan juga bom andesit.
d. Formasi Sambipitu
Di atas Formasi Nglanggeran kembali terdapat formasi batuan yang
menunjukkan ciri-ciri turbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun
oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian
bawah, batupasir masih menunjukkan sifat volkanik, sedang ke arah atas sifat
volkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Pada
batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera
besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal yang terseret masuk
dalam lingkungan yang lebih dalam akibat arus turbin.
Ke arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi
Wonosari (anggota Oyo) seperti singkapan yang terdapat di Sungai Widoro di
dekat Bunder. Formasi Sambipitu terbentuk selama zaman Miosen, yaitu kira-
kira antara N4 – N8 atau NN2 – NN5.
Formasi Sambipitu tersusun oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau
atau batulempung. Di bagian bawah batupasir masih menunjukkan sifat
volkanik sedang ke arah atas yang berubah menjadi batupasir yang bersifat
gampingan. Fomasi ini berumur antara miosen awal – miosen tengah dengan
ketebalan sekitar 150 meter.
e. Formasi Oyo
Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo – Wonosari. Formasi
ini terutama terdiri dari batugamping dan napal. Penyebaran yang meluas
hampir setengah bagian dari Pegunungan Selatan memanjang ke timur,
membelok ke arah utara di sebelah Perbukitan Panggung hingga mencapai
bagian barat dari daerah depresi Wonogiri – Baturetno. Bagian terbawah dari
Formasi Oyo – Wonosari terutama tersusun dari batugamping berlapis yang
menunjukkan gejala turbidit karbonat yang terendapkan pada kondisi laut yang
lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan di daerah di dekat muara
Sungai Widoro masuk ke Sungai Oyo.
Di lapangan batugamping ini terlihat sebagai batugamping berlapis,
menunjukkan sortasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil

26
jejak tipe burial yang terdapat pada bidang permukaaan perlapisan ataupun
memotong sejajar perlapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai
anggota Oyo dari Formasi Wonosari. Ke arah lebih muda, anggota Oyo ini
bergradasi menjadi dua fasies yang berbeda. Di daerah Wonosari, semakin ke
selatan batugamping semakin berubah menjadi batugamping terumbu yang
berupa rudstone, framestone, floatstone, bersifat lebih keras dan dinamakan
sebagai anggota Wonosari dari Formasi Oyo – Wonosari (Bothe, 1929).
Sedangkan di barat daya Kota Wonosari batugamping terumbu ini berubah
menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal yang disebut
sebagai anggota Kepek dari Formasi Wonosari. Anggota Kepek ini juga
tersingkap di bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri – Baturetno, di
bawah endapan kuarter seperti yang terdapat di daerah Eromoko.
Secara keseluruhan, formasi ini terbentuk selama Miosen Akhir (N9 – N18).
Daerah Desa Candirejo termasuk kedalam formasi Kebo Butak yang terletak
di Sub-zona Baturagung. Formasi ini tersusun atas litologi breksi, batupasir
tuffan, konglomerat batuapung.
Formasi ini menunjukkan ciri endapan aliran gravitasi di lingkungan laut yang
berumur oligosen. Ciri Formasi Kebo dan Kebo Butak di beberapa tempat
tidak begitu nyata, sehingga pada umumnya beberapa peneliti menyebutnya
sebagai Formasi Kebo-Butak yang berumur Oligosen Atas (N1-N3,
Blow,1969).
f. Formasi Kepek – Wonosari
Pada formasi Wonosari terdiri dari litologi berupa batugamping, batugamping
napalan–tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufaan dan batulanau.
Kemudian diatasnya terendapkan secara tidak selaras Formasi Kepek.
Umur formasi ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang
berasal dari gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut yang dalam dan
proses pengendapan berjalan cepat, yaitu selama awal Miosen. Formasi ini
berumur miosen tengah bawah dengan ketebalan lapisan kira-kira 750 meter.

27
Gambar 2.6
Korelasi Stratigrafi Daerah Gunungkidul
Sumber: Surono, dkk 1992
Litologi berupa napal dan batugamping berlapis, umur pengendapan pada kala
miosen tengah – miosen akhir.
2.5.3 Struktur Geologi
Struktur geologi daerah penelitian di Dusun Sendang 1 diketahui dari
pengamatan lapangan terhadap jurus dan kemiringan lapisan batuan.
Pembentukan struktur geologi daerah penelitian dimulai pada kala Oligosen Akhir
atau periode Palaegoene (Dally, et al,1991) struktur yang terbentuk adalah sesar
mendatar akibat gaya extensional ini menghasilkan lipatan antiklin yang
ditunjukkan dengan kemiringan dip yang berlawanan yaitu pada Formasi Semilir
dan Formasi Wonosari. Menurut Van Bemmelen (1949) daerah Pegunungan
Selatan telah mengalami empat kali pengangkatan. Pola struktur geologi yang ada
pada Pegunungan Selatan yaitu :
1. Arah NE-SW, umumnya merupakan sesar geser sinistral yang terjadi akibat
penunjaman lempeng Indo-Australia selama Eosen hingga Miosen Tengah.
Arah ini ditunjukkan oleh kelurusan sepanjang Sungai Opak dan Sungai
Bengawan Solo.
2. Arah N-S, sebagian besar juga merupakan sesar geser sinistral, kecuali pada
batas barat Pegunungan Selatan yang merupakan sesar turun.
3. Arah NW-SE, umumnya merupakan sesar geser dekstral. Set kedua dan
ketiga arah ini tampak sebagai pasangan rekahan yang terbentuk akibat gaya

28
kompresi berarah NNW-SSE yang berkembang pada Pliosen Akhir.
4. Arah E-W, sebagian besar merupakan sesar turun yang terjadi akibat gaya
regangan berarah N-S dan berkembang pada Pleistosen Awal.
2.6 Keadaan Endapan
Keadaan, sifat dan kualitas endapan batugamping diperoleh berdasarkan data
singkapan, sample, dan data uji laboratorium. Berdasarkan analisis tersebut dapat
diperoleh gambaran mengenai penyebaran batugamping potensial dan dapat
diketahui jumlah potensi sumberdaya dan cadangan batugamping yang terdapat di
lokasi tersebut. Data tersebut dapat menjadi gambaran awal perencanaan dari
suatu proses penambangan batugamping tersebut.
2.6.1 Bentuk dan Penyebaran Endapan
Berdasarkan analisis data singkapan, conto dan data uji kualitas endapan bahan
galian dapat diperoleh gambaran bentuk dan penyebaran endapan batugamping
yang potensial serta dapat diketahui jumlah potensi sumberdaya dan cadangan
batugamping di lokasi tersebut. Penyebaran batugamping didasarkan pada
pengamatan singkapan yang sekaligus diambil conto batuannya, batugamping
terdapat disemua bagian dan tertutupi oleh lapisan tanah penutup yang tipis rata –
rata sekitar 30 - 60 cm.
2.6.2 Sifat dan Kualitas Endapan
Sifat dan kualitas endapan batugamping yang terdapat di Dusun Gunung Krambil,
Desa Sidorejo, Kecamatan Ponjong, Kab. Gunungkidul ini diketahui setelah
dilakukannya pengujian di Laboratorium Program Studi Teknik Pertambangan
UPN “Veteran” Yogyakarta. Terdapat tiga sampel batuan yang diambil dari lokasi
daerah yang direncanakan akan dilakukan kegiatan penambangan.
Adapun yang diuji di Laboratorium Mekanika Tanah Program Studi Teknik
Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta adalah sebagai berikut:
1. Uji sifat mekanik terdiri dari uji kuat tekan uniaksial dan uji kuat geser.
2. Uji sifat fisik.
2.6.3 Sumberdaya
Perhitungan sumberdaya adalah salah satu kegiatan dalam dunia pertambangan
yang dilakukan setelah tahap eksplorasi dan dilakukan sebelum tahap persiapan
penambangan. Volume penaksiran sumberdaya yang diperoleh dengan

29
menghitung batugamping yang ada di lokasi tanpa memperhatikan faktor sudut
kemiringan lereng akhir.
Pada perhitungan sumberdaya batugamping menggunakan metode block model
dengan sub block model (5x5x2) meter, yaitu dengan cara menghitung volume
komoditas batugamping di lokasi WIUP dikali dengan densitas batugamping,
dengan rumus sebagai berikut:

Tonase = Densitas (ton/m3)x Volume (m3) ......................................................


(2.1)
Berikut merupakan hasil perhitungan sumberdaya menggunakan wireframe block
model pada aplikasi Surpac 6.6.2:

Gambar 2.7
Wireframe Block Model Penaksiran Batugamping
Didapat volume batugamping sebesar 15.629.150 m3, yang selanjutnya dilakukan
perhitungan sumberdaya.
Tonase batugamping = VTotal × Densitas batugamping loose
= 15.629.150 m3× 2,42 ton/m3
= 37.822.543 ton
Sehingga diperoleh jumlah penaksiran sumberdaya batugamping berdasarkan
perhitungan menggunakan aplikasi Surpac adalah sebesar 37.822.543 ton.

30
31

Anda mungkin juga menyukai