Anda di halaman 1dari 7

Disintegrasi, Reintegrasi, dan Modal Sosial di Indonesia 1

Oleh : Ichsan Malik

Sejarah Konflik di Indonesia


Sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada hakekatnya Indonesia menyimpan
Potensi konflik internal yang laten , yaitu gesekan antara kelompok negarawan sipil, dengan kelompok
pejuang bersenjata yang belum terstruktur, keragaman etnik yang tersebar di luar pulau Jawa, serta
mayoritas kelompok Islam yang sejak awal merdeka berada dipinggiran, tidak terlalu berperan dalam
politik dan ekonomi. Kredo Bhineka Tunggal Ika adalah ekspresi dari kesadaran kritis dari para pendiri
Republik perihal keragaman yang ada, kuatnya gesekan kepentingan-kepentingan kelompok, dan
kesenjangan yang nyata diseantero wilayah Indonesia.

Konflik mulai muncul di permukaan dan terbuka (Ichsan Malik, 2006), diawali dengan pendirian
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pada tahun 1949 di Jawa Barat oleh SM Kartosuwiryo
seorang politikus islam. Di susul oleh dr. Soumokil, Ir. Manusama, dan mantan tentara KNIL Maluku,
yang mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan) pada tanggal 25 April 1950. Kemudian Teungku
Daud Bereuh, Gubernur Militer di Aceh, mendirikan DI/TII pada tanggal 19 September 1953. Pada
tanggal 2 Maret 1957 Letkol H.N.V. Sumual, Panglima TI-VII/Wirabuana mendeklarasikan proklamasi
PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta) di Makasar. Kemudian pula Syarifudin Prawiranegara,
bersama Letkol Ahmad Husein/Dewan Banteng, Letkol Simbolon/Dewan Gajah, dan Letkol Barlian/
Dewan Garuda, pada tanggal 8 Januari 1958 mendirikan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) di Sumatera Barat.

Konflik internal mereda beberapa tahun, namun ketegangan dan mobilisasi partai politik untuk saling
merebut kekuasaan, terutama Partai Komunis Indonesia, melahirkan satu konflik kekerasan terbuka
yang sangat berdarah. Di mulai pada tanggal 30 September 1965, maka terjadi pertumpahan darah yang
aktor utamanya adalah Partai Komunis Indonesia, militer Indonesia, dan kelompok-kelompok islam
(Hermawan Sulistyo. 2000; Cribb, Robert. 2000). Paska konflik terbuka ini,militer Angkatan Darat
Indonesia mengambil kekuasaan sepenuhnya dari sipil, dan menciptakan pemerintahan militer yang
represif.

Pada kurun waktu yang sama dengan konflik politik dan ideologi di Pulau Jawa. Di Papua, 2 tahun
setelah PEPERA, pada tahun 1964 berdirilah OPM (Organisasi Papua Merdeka), dan melancarkan aksi
untuk melawan pemerintah Indonesia ( Dewi. F. Anwar 2005). Hal ini menimbulkan konflik sporadis
di berbagai wilayah Papua, terutama di wilayah perbatasan dengan Papua Nugini. Pada tahun 1975,
pemerintahan militer Indonesia, bekerjasama dengan partai politik lokal di Timor Timor melakukan
perebutan wilayah di Timor Timur yang menimbulkan konflik berkepanjangan, perlawanan bersenjata,
serta menjadi agenda pembahasan di PBB, karena saat itu Timor Timor secara formal masih berada
dalam wilayah hukum Portugal. Pada tahun 1976 Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka
yang menginginkan Aceh memisahkan diri menjadi suatu negara yang berdaulat. Ketiga konflik ini
terus berakumulasi dan tidak pernah terselesaikan dalam kurun waktu 30 tahunan.

Satu tahun setelah Reformasi, awal tahun 1999, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan konflik-
konflik komunal yang bernuansa agama dan etnik di Maluku, Poso, dan Kalimantan Tengah. Isu
SARA yang selama ini dipendam di alam tidak sadar, atau sengaja ditutup-tutupi, terbuka dan

1
Disampaikan pada FGD ProPatria Institute, Jakarta, 17 Februari 2009.

1
menimbulkan konflik kekerasan berdarah. Konflik dengan nuansa agama dan etnik ini, menimbulkan
gelombang solidaritas yang meluas diberbagai wilayah Indonesia terutama dari masyarakat dan elit
Pulau Jawa. Serta mengarah kepada reintegrasi sosial, karena toleransi yang berkembang hanya sebatas
kepada kelompok etnik dan agamanya.

Sumber Konflik dan Aktor yang Terlibat


Merujuk kepada sejarah konflik di Indonesia yang telah diuraikan di atas, maka sumber-sumber
konfliknya dapat diidentifikasi kepada beberapa pokok sebagai berikut :
1. Konflik yang disebabkan oleh adanya struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil, yang
dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan/masyarakat di daerah. Aktor yang
berperan adalah Militer, politikus, dan tokoh agama.
2. Konflik yang disebabkan oleh karena kepentingan-kepentingan kelompok dominan yang
berbeda dan saling berbenturan. Aktor yang berperan adalah kelompok militer, politikus, dan
tokoh agama islam
3. Konflik yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan nilai- nilai, meliputi ideologi dan nilai
agama. Aktor yang berperan adalah militer, partai politik, dan kelompok-kelompok agama.
4. Konflik yang disebabkan oleh karena perebutan sumberdaya yang dimiliki oleh daerah,
terutama sumberdaya alam. Aktor yang berperan Pemerintah pusat, militer, dan tokoh
masyarakat di daerah.
5. Konflik yang disebabkan oleh karena adanya distorsi informasi, perbedaan sejarah lokal,
streotip dan diskriminasi. Aktor yang terlibat , adalah kelompok intelejen, Pemerintah pusat dan
daerah, tokoh agama dan tokoh etnik masyarakat .

Secara teoritis dan berdasarkan pengalaman, pada hakekatnya tidak ada sumber konflik yang bersifat
tunggal, sumber konflik umumnya merupakan kombinasi dari beberapa sumber konflik. Sumber
konflik ini muncul karena adanya akumulasi, dan ketika muncul tidak pernah ada upaya yang tuntas
untuk menyelesaikannya. Sumber konflik juga terlihat cenderung berulang kembali, dari suatu periode
kepada periode berikutnya.

Dari kajian komprehensif yang dilakukan oleh Institut Titian Perdamaian pada tahun 2007. Terkait
kepada skala perluasan penyebaran konflik, kekerasan massal yang terjadi, serta merujuk kepada
keterlibatan seluruh komponen masyarakat pada konflik kekerasan, maka pada tahun 2006, di
Indonesia terlihat terjadi transformasi konflik kekerasan. Konflik kekerasan yang semula bersifat
massif dan mencakup seluruh wilayah Propinsi, bahkan menyebar keluar Propinsi seperti yang terjadi
di Aeh, Maluku, Sulawesi Tengah, telah berubah bentuknya menjadi konflik kekerasan komunal dalam
skala kecil, yang penyebarannya terbatas, aktor yang terlibat bersifat spesifik, dan isunya lebih aktual.
Adapun bentuk kekerasan dalam skala kecil yang diidentifikasi, bentuk kekerasannya berupa
perusakan, pembakaran, penganiayaan, pembunuhan dan pemaksaan yang melibatkan individu dengan
kelompok, maupun antar kelompok dengan pemerintah termasuk aparatnya yaitu polisi, TNI dan organ
keamanan lainnya seperti Satpol Pamong Praja.

Berdasarkan hasil kajian pada bulan Januari hingga bulan November 2006. Maka didapatkan kenyataan
bahwa di Indonesia pada tahun 2006 terdapat 240 insiden kasus konflik kekerasan , maka berarti di
indonesia, setiap satu setengah hari hari terjadi kekerasan komunal, ibaratnya tiada hari tanpa
kekerasan.

Adapun sumber sumber konflik kekerasan komunal dalam skala kecil, yang paling dominan adalah
perebutan kekuaasaan politik, kekerasan ini berkaitan dengan mobilisasi massa dalam Pemilihan
Kepala Daerah, yang terlibat dalam tindak kekerasan adalah elit partai politik, satgas dan
2
pendukungnya, lembaga pemerintah, DPR-DPRD dan KPU-KPUD. Sumber konflik lainnya Sumber
konflik lainya yang cukup dominan adalah perebutan sumber daya, konflik teritorial, perebutan
tanah/lahan yang berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi antar antar kelompok termasuk
penggusuran yang dilakukan swasta maupun pemerintah. Sedangkan kekerasan yang paling ditakuti
selama ini yaitu kekerasan bernuansa agama dan etnis, hingga kini masih berlanjut tapi intensitas dan
frekuensinya mulai berkurang, yang masih terdengar adalah penyerbuan terhadap kelompok aliran
keagamaan yang dianggap sesat.

Hal yang paling merisaukan adalah apabila kita lihat penyebaran dari konflik kekerasan komunal ini,
ternyata kekerasan telah menyebar dan terjadi pada 26 Propinsi yang meliputi 90 Kabupaten/Kota di
seluruh Indonesia. Terdapat 5 daerah yang tergolong memiliki tingkat intensitas kekerasan komunal
yang sangat tinggi, dimana telah terjadi 15 kali insiden lebih kekerasan komunal sepanjang tahun 2006.
Lima daerah ini adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua dan Sulawesi Tengah. Tiga daerah
lainnya, tercatat memiliki tingkat intensitas kekerasan komunal tinggi, yaitu antara 10 hingga 14 kali
insiden. Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur termasuk dalam katagori ini.

Resolusi Konflik dan Modal Sosial


Resolusi konflik pada hakikatnya merupakan serangkaian aktifitas yang berbentuk siklus (EWS. ITP.
2006), yaitu berawal dari pencegahan konflik (conflict prevention), intervensi untuk menghentikan
konflik kekerasan (peace keeping), negosiasi untuk menciptakan perdamaian (peace making), serta
upaya untuk membina perdamaian agar bisa bertahan dalam jangka panjang (peace building).

Pada dasarnya, konflik kekerasan massal dapat dicegah sejak awal, dengan syarat bahwa kegiatan
pencegahan konflik berjalan secara efektif. Kegiatan pencegahan konflik sangat bervariasi dimulai dari
pendidikan resolusi konflik, kampanye perdamaian, pengorganisasian masyarakat rentan, hingga
tersedianya satu tim khusus yang bertugas untuk melakukan kajian terhadap potensi konflik, kemudian
memberikan peringatan-peringatan dini kepada masyarakat, sehingga ketegangan yang terjadi di
masyarakat tidak berkembang menjadi konflik kekerasan.

Apabila konflik kekerasan massal tidak mampu dicegah, maka perlu dilakukan intervensi untuk
menghentikan kekerasan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa elit pemerintahan, serta alat
negara seperti polisi dan militerlah yang paling diandalkan dan yang aktif untuk menghentikan konflik,
sedangkan masyarakat lebih bersifat pasif. Tidak heran apabila konflik menjadi semakin berkembang
dan tidak terkendali. Sudah saatnya saat ini masyarakat harus terlibat secara proaktif, sehingga
kekerasan dapat segera diminimalisir.
Ketika konflik kekerasan telah diminimalisir, maka umumnya dilaksanakan perundingan atau negosiasi
untuk mencari kesepakatan tentang alternatif terbaik bagi kedua pihak yang berkonflik untuk
memperbaiki kembali seluruh kerusakan yang telah terjadi saat konflik. Masyarakat luas yang pada
dasarnya merupakan korban langsung dari konflik kekerasan, kadangkala hanya menjadi penonton dan
menunggu. Ketika kesepakatan telah tercapai, maka tiba saatnya untuk melakukan pembangunan , baik
pembangunan fisik maupun mental, pembangunan infrastruktur, kegiatan produksi, maupun melakukan
reintegrasi kembali pihak-pihak yang berkonflik. Mereka yang berperang selama ini harus belajar
kembali untuk hidup normal, dalam situasi yang normal pula. Peran masyarakat sangat dibutuhkan
pada tahap ini.

Berdasarkan praktek yang telah dilakukan dalam melaksanakan resolusi konflik di Indonesia sejak
masa SM Kartosuwiryo hingga masa menjelang reformasi. Pada hakekatnya tidak banyak pelajaran
yang dapat dipetik dan untuk dijadikan model bagi penyelesaian konflik yang bersifat komprehensif.
SM Kartosuwiryo ditumpas dengan cara pengiriman tentara. RMS karena yang memberontak sebagian
3
besar adalah tentara KNIL, maka yang dikirim juga tentara. Terjadi perang antara tentara dan tentara.
Perlawanan bersenjata TK Daud Beureuh berakhir dengan ”ikrar Lamteh” dimana pemerintah Republik
Indonesia setuju memberikan status Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun keistimewaan Aceh pada
dasarnya hanya cek kosong yang tidak berarti apa-apa ( M Daud Yoesoef. 2007). Sehingga akhirnya
muncul kembali Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976. Demikian pula PERMESTA, PRRI,
penyelesaiannya adalah perang antara tentara dengan tentara. Lebih tragis peristiwa G 30 S, setelah
terjadi penumpasan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara, di bantu oleh kelompok kelompok
muda islam. Maka hingga saat ini di masyarakat Indonesia terjadi amnesia massal soal G30S.

Berdasarkan praktek yang telah dilakukan dalam melaksanakan resolusi konflik di Indonesia pasca
reformasi, maka pada dasarnya pendekatan resolusi konflik dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
pendekatan resolusi konflik dari atas. Sebagai model untuk pendekatan dari atas kita ambil model
MOU Helsinki. Kedua, pendekatan resolusi dari bawah. Sebagai model untuk pendekatan resolusi
konflik dari bawah kita ambil model gerakan baku bae Maluku.

1. Pendekatan dari atas : MOU Helsinki.


Perdamaian Aceh yang diwujudkan melalui MOU Helsinki 15 Agustus 2005, merupakan satu cerita
sukses dalam resolusi konflik/ perdamaian di Indonesia dan dunia internasional. Perdamaian Aceh,
menghasilkan Nobel Perdamaian bagi fasilitatornya yaitu Mahti Ahtisaari. Terjadi ”win-win solution”
antara Pemerintah RI yang semula dengan option Otonomi Khusus, dan GAM dengan opsi Merdeka,
akhirnya menjadi ”self goverment” yang ditransformasikan kedalam UUPA.Political Will dari
pemerintah pusat sangat kuat, Presiden dan wakil Presiden memberikan atensi yang tinggi terhadap
setiap perkembangan proses perdamaian. Pemerintah mengirim sekaligus 3 menteri, dan 3 senior
officer, untuk terlibat sepenuhnya dalam perundingan. GAM mengirim seluruh seniornya. Perundingan
dan dialog berlangsung serius dalam 6 putaran sejak sejak 27 Januari 2005.

Fasilitator perundingan adalah bekas Presiden Finlandia, memiliki ”leverage” yang tinggi karena
didukung sepenuhnya oleh pemerintah Finlandia. Di dukung oleh pihak Uni Eropa, dan juga Sekjen
PBB. Fasilitator memiliki pengalaman penyelesaian konflik di Namibia, Kosovo, dan Irlandia
Utara.Monitoring Mission/AMM. Dipimpin oleh pejabat senior Uni Eropa yang bukan berasal dari
institusi fasilitator (CMI), wakilnya di tunjuk menteri dari Indonesia, dilengkapi oleh 210 anggota tim
dari negara-negara Eropa dan Asia yang berpengaruh. Sosialisasi hasil perundingan dilakukan secara
sistemik, dokumen disiapkan, tim sosialisasi dibentuk. Dikordinasikan oleh Kementrian Polhukam.
Didukung sepenuhnya oleh anggaran pemerintah.

2. Pendekatan dari bawah : Gerakan Baku Bae Maluku


Baku Bae adalah gerakan moral dari masyarakat bawah korban konflik, untuk menghentikan
kekerasan yang terjadi di Maluku, akibat konflik yang bernuansa agama. Inisiatif gerakan di mulai pada
bulan April tahun 2000. Satu tahun setelah pecahnya konflik Maluku pada tanggal 19 Januari 1999.
Pada Agustus 2001, Gerakan Baku Bae mendapat penghargaan Suardi Tasrif Award dari Aliansi
Jurnalis Independen Indonesia, untuk upayanya mendorong diwujudkannya jurnalisme damai pada
wilayah konflik di Indonesia. Pada 2005, Baku Bae dipilih oleh European Centre for Conflict
Prevention Utrecht-Netherlands menjadi salah satu cerita dari 65 “Successfull Stories” resolusi konflik
di dunia. Diabadikan dalam buku People Building Peace II. Buku tersebut di “launching” pada saat
Global Conference From Reaction To Prevention: Civil Society Forging Partnership To Prevent
Violent Conflict And Build Peace di PBB New York pada Juli 2005.

Sejak awal, gerakan Baku Bae telah berupaya untuk menggali dan menggunakan sepenuhnya
mekanisme-mekanisme lokal yang ada di Maluku untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Kata baku
4
bae, berasal dari dunia anak-anak di Maluku. Ketika anak-anak di Maluku berkonflik, dan akan
berdamai, mereka mengatakan BAKU BAE (saling berbaikan), sambil menempelkan jempol mereka
masing-masing. Mekanisme lokal untuk penyelesaian konflik antar Negeri (desa) yang berlaku atau
dikenal di Pulau Ambon, Pulau-pulau Lease, dan Pulau Seram yaitu Pela atau relasi perjanjian satu atau
lebih negeri laindan kadang menganut agama yang berbeda ( Bartels.Dieter. 2002). Tradisi pela telah
dikenal sejak abad ke 16. Menurut Bartels, ada tiga jenis pela yakni; pela Karas, Pela Gandong atau
Bongso, dan Pela Tempat Sirih. Pela Karas, timbul karena terjadi peristiwa yang sangat penting seperti
pertumpahan darah atau peperangan yang tidak berkesudahan. Pela Gandong berdasarkan ikatan
turunan, berbagai mata rumah dalam negeri-negeri yang ber pela menganggap dirinya satu keturunan.
Pela Tempat Sirih, diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak terlalu penting, karena insiden kecil atau
terjadi saling tolong menolong.

Konflik berdarah di Maluku tidak hanya melibatkan dua atau tiga negeri yang ber pela. Melainkan
melibatkan seluruh negeri-negeri di Maluku yang jumlahnya ratusan. Karena itu gerakan Baku Bae,
pada hakikatnya mentransformasikan pela yang terbatas pada beberapa negeri menjadi pela gandong
seluruh negeri/semesta. Dan diharapkan berfungsi sebagai perjanjian untuk menghentikan konflik di
Maluku .
Workshop kritis merupakan media interaksi untuk mencari solusi bagi kedua kelompok yang
berkonflik di Maluku yang telah terbelah total menjadi kelompok masyarakat Islam dan kelompok
masyarakat Kristen. Workshop kritis, bahasa lokalnya adalah Saniri. Saniri negeri dilakukan di Maluku
untuk bermusyawarah mengambil keputusan untuk pembangunan negeri ( M. Shaleh Putuhena. 2001).

Pada workshop kritis ini dibongkar sumber konflik. Diidentifikasi siapa-siapa saja aktor yang terlibat di
dalam konflik. Dilakukan analisa SWOT untuk mengukur kapasitas yang ada dan yang mungkin ada
untuk diperkuat. Serta membuat perencanaan untuk melakukan aksi bersama bagi penghentian konflik
di Maluku. Melalui workshop kritis ini diharapkan kedua belah pihak memiliki kesadaran kritis sebagai
subjek dalam melihat konflik yang terjadi, sehingga terhindar menjadi sekedar objek yang dimobilisir
dalam konflik. Serta melalui workshop ini juga diharapkan meningkatnya kapasitas korban untuk mulai
menjadi bagian dari pemecahan masalah (part of solution).

Workshop kritis bagi korban dan pelaku langsung dilakukan secara bertingkat-tingkat. Dimulai dari 6
Islam dan 6 Kristen. Meningkat menjadi 20 Islam dan 20 Kristen. Meningkat lagi menjadi 40 Islam dan
40 Kristen. Baru kemudian menyentuh kelompok masyarakat yang bukan korban langsung dan bukan
pelaku langsung dari konflik. Yaitu kelompok pengacara, jurnalis, traditional leaders (raja), pimpinan
agama, intelektual, LSM, dan mahasiswa. Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan workshop kritis
ini adalah 2 tahun. Seluruh rangkaian workshop di akhiri dengan pertemuan besar (saniri seluruh
negeri) seluruh kelompok yang telah difasilitasi oleh gerakan Baku Bae pada bulan Januari 2003.
Disanalah diserukan penghentian seluruh konflik kekerasan di Maluku.

Pemberdayaan masyarakat sipil dan LSM untuk pencegahan konflik


LSM yang memiliki kreadibilitas dan kapasitas, serta masyarakat sipil yang memiliki
sensitifitas dan inisiatif merupakan modal yang paling esensial untuk pencegahan konflik di Indonesia.
Meskipun sumberdayanya terbatas, dan dukungan politik sangat minimal. Namun LSM dan masyarakat
sipil, sangat fleksibel, dan memiliki kemampuan untuk merespons secara cepat situasi yang bersifat
emergensi, tanpa ada hambatan birokrasi, atau prosedur seperti yang selalu terjadi pada pemerintahan
atau petugas keamanan.

5
Pada hakikatnya konflik-konflik kekerasan dapat dicegah sejak awal. Dengan cara pertama,
melakukan deteksi terhadap eskalasi konflik kemudian merubahnya menjadi de-eskalasi. Eskalasi dapat
di deteksi karena konflik sosial tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Perubahan dari pertikaian,
kemudian timbulnya ketegangan-ketegangan di masyarakat, kemudian diikuti oleh terjadinya krisis
pada aparat, sistim hukum dan sosial, kemudian berlanjut kepada adanya kekerasan terbatas, dan pada
akhirnya eskalasi konflik berpuncak kepada terjadinya kekerasan massal. Semua indikator tersebut
dapat dilihat dan harusnya dapat dicegah sejak awal. Pembiaran terhadap eskalasi konflik akan
menyebabkan terjadinya kembali konflik-konflik dengan kekerasan.

Langkah Kedua, adalah melakukan analisis terhadap faktor yang dapat menjadi trigger (api)
bagi konflik kekerasan, kemudian dianalisis apa yang dapat menjadi akselerator (angin), dan pada
akhirnya melakukan analisis terhadap apa-apa faktor struktural yang menjadi sumber konflik (rumput
kering). Ketiga, melakukan analisis terhadap aktor-aktor yang merespon konflik. Perhatian utama harus
diletakan kepada secuiritizing actor yaitu aktor-aktor utama yang anehnya dalam merespon situasi
selalu merasa terancam, karena itu mereka responnya selalu abnormal. Respon dan logika abnormal ini
dengan mudah di telan bulat-bulat secara emosional oleh kelompok-kelompok rentan. Sehingga terjadi
ketegangan dan mobilisasi massa dimana-mana dan terjadi penyerbuan dimana-mana. Kelompok-
kelompok rentan ini jumlahnya semakin meningkat terutama diwilayah kantong-kantong kemiskinan
dan wilayah yang pendidikannya tidak berkembang.

Relasi yang saling memberi kontribusi untuk kehancuran inilah yang menyebabkan konflik
kekerasan di Indonesia. Pemotongan rantai relasi ini pulalah yang akan dapat mencegah konflik
kekerasan pada masa mendatang di Indonesia. Disinilah LSM, masyarakat sipil, dan aparat
pemerintahan harus berkolaborasi untuk memotong relasi dan mata rantai konflik kekerasan, dengan
cara melakukan deteksi dini terhadap eskalasi konflik, kemudian melakukan analisis terhadap faktor-
faktor penyebab konflik, serta pada akhirnya melakukan pengorganisasian terhadap aktor-aktor yang
akan mendorong konflik maupun aktor-aktor yang akan mendorong perdamaian.

Bogor, 16 Februari 2009

Daftar Pustaka
Bartels . Dieter . (2002) Hubungan “Pela” di Maluku Tengah dan di Nederland. Paper.
Cribb . Robert. (2000) Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965 – 1966. Penerbit Mata Bangsa. Jogjakarta
Dewi. F. Anwar. Bouvier. Helena; Smith. Glen; Tol. Roger . Ed. (2005). Konflik Kekerasan Internal : Tinjauan
sejarah,ekonomi-politik, dan kebijakan di Asia Pasifik. Yayasan Obor; LIPI; LASEMA-CNRS; KITLV-
Jakarta.
Farid Husain. (2007). To See the Unseen : Kisah di balik damai Aceh. Health & Hospital. Jakarta.
FEWER, Conflict and Peace Analysis and Response Manual, 2nd edition, (London: FEWER Secretariat, Juli
1999).
Galtung, Johan. (1996). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization.
London: Sage Publication.
Gurr, Ted Robert dan Barbara Harff, Early Warning of Communal Conflicts and Genocide: Linking Empirical
Research to International Responses, (Tokyo, The United Nations University, 1996), hal. 47.
Hermawan . Sulistyo. (2000). Palu Arit di ladang tebu . KPG. Jakarta.
6
Ichsan Malik. (2003). Baku Bae Gerakan Dari Akar Rumput Untuk Penghentian Kekerasan di Maluku.
Jakarta: Tifa Foundation.
___________ (2003). Menyeimbangkan Kekuatan , pilihan strategi menyelesaikan konflik atas sumber
daya alam. Jakarta. Yayasan Kemala
___________ (2007). Belajar Mengelola Konflik. Jakarta. Institut Titian Perdamaian
___________ (2006). Meluruskan Sejarah untuk Masa depan Maluku, Paper.
__________ (2008). Pembangunan Perdamaian dan Pencegahan Konflik. Buku Manual. SERAP.
CIDA,CCA, PASKA Aceh.
Institut Titian Perdamaian, “Mari Mencegah Konflik: Mengenal Sistem Peringatan Dini Berbasis Jaringan
Komunitas”. Jakarta: Institut Titian Perdamaian, 2005.

___________ ( 2007). Trend Konflik Tahun 2006

M. Daud Yoesoef. (2007). Penyelesaian Konflik Model Aceh : Pespektif Kajian Akademik. Paper. FGD
Pencegahan Konflik Aceh . 2007.
M. Shaleh Putuhena. (2001). Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pemberdayaan Kebudayaan Lokal di Maluku
Tengah. Paper.
Van Tongeren. P, Brenk. M, Hellema.M, Verhoeven.J. (2005). People Building Peace II, succeeful stories of
civil society. London : Lynne Rienner Publisher.

Anda mungkin juga menyukai