Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

“Asuhan Keperawatan Pada Thypoid”

DI SUSUN OLEH:

1.Kadek Dewi Tirta Adriyani Bukian 18089014018

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

2020
THYPOID FEVER

A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C.H, 2009).
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman Salmonella Thypi (yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam
yang lebih dari 7 hari, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Arief,M.2009).
Tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan
oleh salmonella thypii, penyakit ini dapat ditularkan melaui kuman, mulut atau minuman yang
terkontaminasi oleh kuman salmonella thypii (Azis H.A. 2006).
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan,
dan gangguan kesadaran. (Nursalam.2005)
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella thypi dan salmonella para thypi A, B, C. Sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid
dan paratyphoid abdominalis (Sudoyo, A 2009). Tifoid adalah penyakit infeksi pada usus
halus, tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis
(Seoparman, 2007).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam tifoid adalah suatu
penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang dapat
menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.

B. ETIOLOGI
Salmonella thypi dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram negative,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polosakarida. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella thypi juga dapat memperoleh plasmid factor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multiple antibiotic.
(Nanda Nic-Noc,2013)

C. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala dari demam thypoid sebagai berikut (Nanda NIC-NOC. 2013) :
1. Gejala pada anak : Inkubasi anatara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan menyebabkan
shock, Stupor dan koma.
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selam 2-3 hari
5. Nyeri kepala
6. Nyeri perut
7. Kembung
8. Mual muntah
9. Diare
10. Konstipasi
11. Pusing
12. Nyeri otot
13. Batuk
14. Epistaksis
15. Bradikardi
16. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor)
17. Hepatomegali
18. Splenomegali
19. Meteroismus
20. Gangguan mental berupa samnolen
21. Delirium atau psikosis
22. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai penyakit
demam akut dengan diseryai syok dan hipotermia.

D. PATOFISIOLOGI
Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam usus
halus kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama Plak Peyer) dan
jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrose setempat, kuman
lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi primer) menuju ke organ-
organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak dalam hati
dan limfa sehingga organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah (bakteremi
sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus,
menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat
mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Pada masa bakteremi ini, kuman mengeluarkan
endotoksin yang mempunyai peran membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini
berkembang.
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya merangsang
sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Zat pirogen ini
akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang
menimbulkan gejala demam. (PPNI Klaten. 2009)

E.Pathway
Kuman sanmollia thyphi

Sebagian masuk usus halus

Sebagian dimusnahkan asam Sebagian menembus lamina propia


lambung

Masuk aliran limfe

Peningkatan asam lambung


Masuk dan bersarang dihati dan limfa

Mual,muntah Infeksi salmonellathypi dan


endotoksin

Intake kurang ade kuat


Dilepaskan zat pirogen oleh leukosit
pada jaringan yang meradang

Ketidakseimbngan nutrisi kurang dari


tubuh
Demam thypoid

Hipertermia

(Nanda Nic-Noc.2013)
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut widodo 2007 Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah
pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada
komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak
berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt
Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan
hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat
positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
5. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga
terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal
adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari
uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka
menderita tifoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman
Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali
lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60
(dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan
diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur
negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu
pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan
kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis
klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam,gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya
dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta
didukung oleh gambaran laboratorium yang menyokong demam tifoid (titer widal
O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan
ataupositif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4
kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640
(pada pemeriksaan sekali).

G. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang
meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun
suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi
demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
1. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring
dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan
BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik
serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus,
dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita
juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses
penyembuhan.
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan
dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah
tidak mengalami mual lagi.
3. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid
adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan dosis
4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai
dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari
kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein.
Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek samping
penggunaan klorampenikol adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian
penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan
jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan
kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-
6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau
intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari
pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa
100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat –
obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif
dibandingkan obat – obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin,
amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan
untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada
dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih
tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu
memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala
lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat
menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti
toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil,
kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur,
kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang
dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon. (Yudhistira.W.2009)

H. PENGKAJIAN
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status
perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.
2) Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri
perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi  ke dalam tubuh.
4) Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5) Riwayat penyakit keluarga 
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
6) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah  saat
makan  sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan  sama sekali.
b. Pola eliminasi
Eliminasi alvi.  Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. 
Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi
kuning kecoklatan.   Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh
yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat
meningkatkan kebutuhan cairan tubuh. 
c. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
d. Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakitanaknya.
f. Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya
tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pad klien. 
g. Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah sakit
dan klien harus bed rest total.
h. Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua akan nampak cemas.
7) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Didapatkan  klien   tampak   lemah,   suhu   tubuh   meningkat     38 – 410 C, muka
kemerahan.
b. Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
c. Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran
seperti bronchitis.
d.  Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
e. Sistem integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam
f.  Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah,
anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus
meningkat.
g. Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
h. Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta
nyeri tekan pada abdomen.  Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada
auskultasi peristaltik usus meningkat.

I.DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Hipertermi b.d inflamasi penyakit.

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kehilangan nafsu makan.

J.RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


Keperawatan NOC: NIC:

1. Hipertemi b.d Setelah dilakukan 1.Pantau tanda-


inflamasi tindakan keperawatan tanda vital pasien 1.Untuk
penyakit selama 3x24 jam 2.Ajarkan pasien mengetahui status
pasien menunjukkan atau keluarga suhu
suhu tubuh dalam pasien dalam 2.Agar keluarga
batas normal mengukur suhu dapat mengerti dan
tubuh untuk mencegah dampak
Kriteria Hasil: mencegah dan komplikasi
1.Suhu tubuh dalam mengenali secara 3.kompres hangat
batas normal dini hipertermia menyebabkan
3.Berikan Kompres vasodilatasi
hangat sehingga terjadi
4.Anjurkan asupan perpindahan panas
oral 2 liter perhari secar evoforasi
5.Kolaborasi 4.Menghindari
pemberian dehidrasi
antipiretik 5.Untuk
Menurunkan panas

2. Ketidak Setelah dilakukan 1.Identifikasi factor 1.mengetahui


seimbangan tindakan keperawatan yang penyebab
nutrisi kurang selama 3x24 jam memepengaruhi kehilangan nafsu
dari kebutuhan pasien mencukupi kehilangan nafsu makan
b.d kehilangan srarus gizi. makan 2. menarik
nafsu makan 2.beri makanan perhatian agar
Kriteria Hasil: yang sesuai dengan pasien mau makan
1.Muncul nafsu makan pilihan pribadi 3.memenuhi
2.pasien mau makan 3.berikan makanan kebutuhan gizi
bergizi tinggi dan pasien dan menarik
bervariasi pehatian pasien
4.brikan informasi 4. agar orangtua
yang tepat tentang dan pasien
kebutuhan nutrisi mengetahui
5.kolaborasi ahli pemenuhan
gizi. kebutuhan utrisi
5.pemberian
makanan yang tepat
K.Implementasi
Implementasi adalah tahap pelaksanaan terhadap rencana tindakan keperawatan
yang telah ditetapkan. Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana setelah
dilakukan validasi. Selain itu diperlukan keterampilan interpersonal, intelektual serta
teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efesien dan tepat dengan memperhatikan
kenyamanan dan keamanan fisik dan psikologis. Setelah implementasi kemudian
dilakukan dokumentasi dan bagaimana respon klien.

L.Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Kegiatan ini adalah
untuk membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan
dengan tujuan yang diharapkan. Adapun 3 alternatif dalam menentukan sejauh mana
tujuan tercapai yaitu:
1. Berhasil: perilaku klien menunjukkan sudah sesuai dengan apa yang diharapkan
pada intervensi dan implementasi dan dalam waktu yang ditentukan.
2. Tercapai sebagaian: klien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang
diharapkan pada intervensi dan implementasi.
3. Belum tercapai: klien tidak mampu sama sekali dalam menunjukkan perilaku yang
diharapkan pada intervensi dan implementasi yang ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiyansyah. M. 2012.Medikal Bedah. Jakarta: diva press

Carpenito, Lynda Jual- Moyet. 2008. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. EGC: Jakarta.

Depkes RI 2013. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/articel/viewfile/7449/6994.pdf diakses


pada 25 april 2015 pukul 15..00WIB

Dinkes Prov Jateng 2011. http://lib.unnes.ac.id/18354/1/6450408002.pdf di akses pada tanggal


25 april pukul 16.00WIB. Doengoes, M.E. 2009.

Rencana Asuhan Keperawatan. Alih Bahasa: I Made Kariasi,.

Anda mungkin juga menyukai