Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWTAN

KRITIS PADA KLIEN DENGAN TRAUMA VASKULER

OLEH:

IDA AYU PUTU GAYATRI PRABHA


NIM. P0712320031

PROFESI NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

2021
A. Konsep Dasar Trauma Vaskuler
Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan
hidup bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis
dan tindakan penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa
amputasi. Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena.
Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak terkontrol dengan cepat akan
mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi iskemia akan berakibat
kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan kegagalan organ multipel.
Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun
luka iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan trauma organ
lain seperti syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan fraktur
atau dislokasi pada ekstremitas. Bentuk trauma vaskular biasanya tangensial atau
transeksi komplit. Perdarahan akan menjadi lebih berat pada lesi arteri yang
inkomplit, sedangkan pada pembuluh yang putus seluruhnya akan terjadi retraksi
dan konstriksi pembuluh darah sehingga dapat mengurangi atau menahan
perdarahan.

1. Anatomi

Lapisan dinding arteri dan vena terdiri dari :


Tunika Adventia
Mengadung reseptor alpha dan Betha yang berhubungan
dengan vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah
Tunika Media
Pada arteri lebih tebal dari vena, sehingga vena jarang
mengalami sklerosis
Tunika Intima  endhotel
Endothel memproduksi enzym dan mediator yang
mempengaruhi timbunan kolesterol, Triglyserda di tunika
media serta mengatur vasodilatasi dan vasokonstriks
1) Arteri
Arteri adalah salah satu jenis pembuluh darah berotot yang membawa
darah dari jantung. Fungsi utamanya adalah mengantarkan oksigen dan nutrisi
ke seluruh tubuh, proses pengeluaran zat berbahaya (contoh : karbon
dioksida) ke luar tubuh, menjaga keseimbangan komponen – komponen
penting dalam darah seperti protein, zat kimia, faktor kekebalan tubuh, dan
sel.
Struktur dasar dari semua jenis arteri merupakan dindingnya yang terdiri dari
3 lapisan:

a. Tunika Intima (Lapisan Dalam)


Tunika intima merupakan lapisan yang disusun oleh sel epitel skuamos
dan dikelilingi oleh jaringan ikat dengan serat elastin.
b. Tunika Media (Lapisan Tengah)
Tunika media disusun oleh sel otot polos yang terorientasi melingkar.
Tunika media merupakan lapisan paling tebal pada arteri. Fungsi dari otot
ini adalah untuk melebarkan (dilatasi) dan mengecilkan (kontraksi)
diameter arteri sesuai dengan kebutuhan tubuh. Fungsi dari tunika media
ini dapat juga mempengaruhi tekanan darah seseorang.
c. Tunika Adventisia (Lapisan Terluar)
Tunika Adventisia adalah bagian terluar dari pembuluh nadi (arteri) yang
menempel pada jaringan sekitar pembuluh darah. Tunika Adventisia
disusun oleh jaringan ikat kolagen dan elastin.

2) Vena
Vena (Pembuluh Balik) adalah salah satu jenis pembuluh darah
berotot yang membawa darah dari seluruh tubuh menuju jantung. Fungsi
utamanya adalah mengantarkan karbondioksida dan sisa metabolisme ke
jantung. Vena mempunyai dinding yang tipis dan tidak elastis. Pembuluh
vena mempunyai katup di sepanjang tubuhnya, katup ini berfungsi agar aliran
darah tetap mengalir satu arah langsung menuju jantung. Letak vena lebih
dekat ke permukaan luar tubuh, dan warnanya terlihat kebiru-biruan.
Struktur dasar dari semua jenis vena merupakan dindingnya yang terdiri dari
3 lapisan.
a. Tunika Intima (Lapisan Dalam)
Tunika intima merupakan lapisan yang disusun oleh sel epitel skuamos
dan dikelilingi oleh jaringan ikat dengan serat elastin.
b. Tunika Media (Lapisan Tengah)
Tunika media disusun oleh sel otot polos yang terorientasi melingkar.
Tunika media pada vena tidak terlalu tebal seperti pada arteri. Fungsi dari
otot ini adalah untuk melebarkan (dilatasi) dan mengecilkan (kontraksi)
diameter arteri sesuai dengan kebutuhan tubuh. Fungsi dari tunika media
ini dapat juga mempengaruhi tekanan darah seseorang.
c. Tunika Adventisia (Lapisan Terluar)
Tunika Adventisia adalah bagian terluar dari pembuluh balik (vena) yang
menempel pada jaringan sekitar pembuluh darah. Tunika Adventisia
disusun oleh jaringan ikat kolagen dan elastin.
d. Katup Vena
Vena memiliki katup di sepanjang pembuluh darahnya. Fungsi katup ini
adalah membuat darah mengalir satu arah menuju jantung dan tidak
berbalik arah. Aliran darah pada vena lebih lambat dan lebih lemah
dibandingkan dengan arteri, selain itu pergerakan darah vena juga
dipengaruhi oleh gaya gravitasi yang bisa saja membuat darah mengalir ke
arah sebaliknya, katup seminular vena memegang peranan penting dalam
menjalankan fungsinya.

2. Etiologi
Trauma vaskuler dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul dan luka
iatrogenik. Penyebab paling sering trauma pada pembuluh darah ekstremitas
adalah luka tembak ( 70-80%), luka tusuk ( 5-10%), luka akibat pecahan kaca.
Selain itu trauma pada pembuluh darah yang disebabkan oleh trauma tumpul
seperti pada korban kecelakaan atau seorang atlet yang cedera biasanya jarang ( 5-
10%). Penyebab iatrogenik sekitar 10 % dari semua kasus yang diakibatkan oleh
prosedur endovaskuler seperti kateterisasi jantung.

3. Patofisiologi
Mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul. Trauma
vaskuler mengakibatkan gangguan berupa sistemik, regional dan Lokal. Efek
sitemik mengakibatkan kehilangan darah selanjutnya menimbulkan syko
hipovolemik.
Pada trauma arteri, ujung artei yang putus akan mengalami retraksi dan
menyebabkan trombosis. Perdarahan akan mengisi otot dan kompartemen fascial
 False Aneurisma.
Bila ada luka yang saling kontak antara arteri dan vena  Fistula
arteriovenosa.
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma yang dialami.
Tipe Trauma Gejala Klinis
Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan
Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia
Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal
Dapat progresif menjadi thrombosis
Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi
normal ketika fraktur diluruskan
4. Diagnosis
Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada
daerah yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi
terutama pada kejadian luka tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma
tumpul yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri
bergantung kepada derajat invasifnya trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma,
serta durasi iskemia. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri terus- menerus, parestesia,
paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pada penelitian terjadi iskemia pada distal
trauma arteri ekstremitas mulai lebih dari 6 jam (golden periode), meskipun tidak
selalu absolut dalam 6 jam pada seluruh trauma. Yang terbaik adalah bila revisi
vaskuler untuk perbaikan aliran darah ke distal tidak melebihi batas aman (golden
periode). Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan
auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut
iskemia. Adanya trauma vaskular pada ekstremitas dapat diketahui denganmelihat
tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala tersebut berupa hard sign
dan soft sign.

Hard Sign Soft Sign


Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal
Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang
Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama
Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis
Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas
Hematoma yang meluas
Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan
menunjukkan gejala soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu
cara yang praktis adalah dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal
tersebut menandakan adanya trauma arteri. Adanya psudoaneurisma atau fistula
arteriovena harus dipikirkan pada kasus trauma penetrasi ekstremitas yang
didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit atau thrill.
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry,
doppler ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi
belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-
operatif yang berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung,
apakah masih ada lesi vaskular yang tertinggal.
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal,
dan perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Indikasi
untuk melakukan angiografi di antaranya trauma tumpul yang signifikan pada
ekstremitas yang berhubungan dengan dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia
atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada ekstremitas, dan adanya tanda defisit
neurologis. Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien dengan luka
tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai
ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan pemeriksaan angiografi
namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang
suara yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah.
Selain untuk diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah
anastomosis arteri. Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan
sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya
adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri.

1) Pada arteri
Untuk mengetahui adanya kerusakan pembuluh darah harus diperiksa :
bagian distal cedera, suhu, pulsasi dan warnanya .
a. Trauma tajam
Trauma tajam arteri pada vaskuler dibedakan menurut berat cederanya.
a) Derajat I
Robekan tunika adventitia dan sebagian media., Perdarahan(-), Iskemia(-),
Komplikasi lanjut aneurisme . Derajat I adalah robekan adventisia dan
media, tanpa menembus dinding. Secara klinis tidak ada perdarahan luar
sekitar arteri dan tidak ada tanda iskemia didistalnya. Mungkin akan
terjadi komplikasi lanjut berupa perdarahan lambat, aneurima traumatik,
atau fistel arteri-vena. ditangani dengan penjahitan tumpang.
b) Derajat II
Robekan parsial mengenai seluruh lapisan dinding, Perdarahan (+).
Derajat II adalah robekan parsial, dinding arteri terluka dan biasanya
menyebabkan perdarahan hebat karena tidak mungkin terjadi retraksi.
Perdarahan ini mungkin terjadi terus, jika ada luka terbuka di kulit. Tanda
iskemia di distal tidak selalu ada. Komplikasi lanjut dapat berupa
hematoma luas, trombosis, fistel arteri-vena, dan aneurisma palsu. Trauma
demikian memerlukan anastomosis dan penjahitan jelujur dengan atau
tanpa reseksi. Kemudian dipasang protesis pembuluh.
c) Derajat III
Pembuluh putus total, Perdarahan (+) tidak banyak karena konstriksi
pembuluh darah yang putus, iskemi(+). Pada derajat III pembuluh darah
putus total. Perdarahan yang tidak besar. Arteri akan mengalami
vasokonstriksi dan retraksi sehingga kejaringan karena elastisitasnya,
sehingga perdarahan sedang menyebabkan iskemia tampak jelas di distal.
Komplikasi lanjut yang mungkin terjadi adalah syok hemoragik/
hipovolemik dan hematoma yang berdenyut. Trauma derajat III ini sering
terjadi akibat luka tusuk laserasi. Penaganan bedah berupa anastomosis
antara kedua puntung arteri dengan atau tanpa interposisi cangkok
pembuluh atau interposisi protesis.

b. Trauma tumpul
Trauma tumpul pada arteri juga dapat dibagi dalam beberapa derajat.
a) Derajat I  Robekan tunika intima luas, Komplikasi lanjut penyempitan
lumen karena trombus. Derajat I adalah robekan tunika intima yang luas.
Kelainan ini dapat menunjukkan gejala atau tanda setempat maupun
perifer. Komplikasi adalah penyempitan lumen arteri karena pembentukan
trombus, mungkin sampai terjadi stenosis arteri. Penangulangannya berupa
reseksi dan anastomosis pembuluh darah.
b) Derajat II  Robekan Tunika intima dan media disertai kematian dan
trombosis dinding arteri. Perdarahan(-), iskemi(+) di distal. Pada derajat II,
terjadi robekan tunika intima dan tunika media disertai hematoma dan
trombosis dinding arteri. Secara klinik tidak terdapat perdarahan dari luar,
tetapi terdapat iskemik di distal. Komplikasi lanjut dapat berupa emboli
arteri akut. Bila terjadi diseksi dinding arteri dapat terbentuk aneurisma
vena yang kadang ruptur spontan. Tindakan bedah yang diperlukan adalah
reseksi dan anastomosis.
c) Derajat III  Kerusakan seluruh tebal dinding arteri diikuti tergulungnya
tunika mediadan intima kedalam lumen. Perdarahan(+) , iskemi(+) di
distal , Komplikasi lanjut trombosis, stenosis arteri total dan ruptur
spontan. Derajat III merupakan kerusakan seluruh tebal dinding arteri
diikuti tergulungnya tunika intima dan media kedalam lumen serta
pembentukan trombus pada tunika adventisia yang utuh. Tidak tampak
perdarahan luar, tetapi terdapat iskemia yang jelas didistal. Komplikasi
lanjut berupa trombosis, stenosis arteri total, dan ruptur spontan.
Penanganan berupa reseksi dan interposisi cangkok vena atau prostesis
pembuluh.

c. Bentuk dan Lokasi Khusus Trauma Arteri


a) Trauma Arteri karotis : perdarahan harus secepat mungkin di tangani, luka
ditekan dengan jari, tidak boleh di klem, dan penderita harus segera
dirujuk. Tindak bedah harus segera dilakukan untuk mempertahankan
sirkulasi ke otak
b) Trauma Arteri Subklavia : trauma segmen intratorakal akan menyebabkan
hematotoraks, dan rekonstruksi harus segera dilakukan melalui
thorakotomi. Bila cedera terjadi di segmen intrathorakal, eskplorasi arteri
subklavia melalui sayatan lengkung di fossa deltoidea
c) Trauma Arteri Femoralis : perlukaan pada pembuluh ini sering terjadi dan
memerlukan tindak bedah segera karna sering menyebabkan hipovolemia
hebat sampai eksauinasi
d) Trauma Arteri daerah ekstremitas atas : pada cedera arteri ini dapat
dilakukan pertolongan pertama dengan bebat tekan, kemudian dapat
dilakukan rekonstruksi arteri
e) Traoma aorta : luka tajam pada trauma aorta torakalis dan abdominalis
umumnya berakibat fatal karena mekanisme spasme, retraksi, dan
vasokontriksi tidak ada pada aorta sehingga biasanya terjadi eksanguasi

2) Pada vena
Trauma pada vena biasanya akibat trauma tumpul 7%, luka tembak 52%
dan luka bacok 36%. Kerusakan pada sistem vena saja jarang terjadi, trauma vena
biasanya bersamaan dengan kerusakkan pembuluh arteri. Perdarahan yang terjadi
berupa rembesan difus yang sering kali dapat berhenti sendiri.
Penanganan ditujukan pada kontrol perdarahan dengan cara Penekanan
digital atau balutan penekanan, untuk mencegah perdarahan dan masuknya udara
kedalam sistem vena karena dapat menimbulkan emboli udara. Repair trauma
venosa jarang timbul Trombophlebitis atau embolisme pulmoner

Derajat Trauma Vaskuler


a. Trauma Iatrogenik
Tindakan diagnostic maupun teraupetik dapat menimbulkan trauma
arteri derajat 1 baik berupa trauma tumpul yang merobek intima atau
trauma tajam yang merobek sebagian dinding. Penyebab tersering adalah
punksi arteri untuk pemeriksaan darah, dialysis darah, atau penggunaan
kateter arteri untuk diagnosis atau pengobatan.

5. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada
perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa,
tentunya pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan
tindakan definitif dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi
dengan penekanan di atas daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh
dilakukan karena dapat merusak sistem kolateral yang ikut terbendung. Golden
period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang jelas terlihat
umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan terhadap
adanya iskemia.
1) Tindakan non operatif
Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih
kontroversial. Beberapa ahli bedah berpendapat bahwa semua cedera arteri yang
terdeteksi harus diperbaiki, sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non
operatif bila terdapat kriteria klinis dan radiologis seperti low-velocity injury,
disrupsi dinding arteri yang minimal (< 5mm) pada kelainan intima dan
pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan sirkulasi distal masih utuh.
Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan terutama
pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan, disarankan untuk
melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau stabilisasi.
2) Tindakan operatif
Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan
seluruh ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah
kontralateral yang sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila
diperlukan autograft vena. Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal
langsung pada pembuluh darah yang cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau
distal sesuai dengan kebutuhan. Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan
sebelum eksposur pada cedera. Arteri proksimal dikontrol dengan benang kasar
yang melingkari arteri (seperti jerat) atau bila perlu dengan menggunakan klem
vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal.

3) Penatalaksanaan endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk
terapi beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya
pada lokasi anatomis yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan
fistula arteriovenosa. Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas
adalah dengan penggunaan teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi
seperti stent dan graft, perbaikan endoluminal pada false aneurysm atau fistula
arteriovenosa besar dapat dimungkinkan.

6. Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan
perbaikan lesi pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan
yang adekuat. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi,
stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis
merupakan komplikasi yang dapat terjadi segera pasca operasi, sedangkan fistula
arteri-vena dan aneurisma palsu merupakan komplikasi lama.
a. Trombus
Beberapa kesalahan teknis yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis:
1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa
dinding arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan
menyebabkan trombosis.
2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar
artinya dalam kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal.
Kadang-kadang arus balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan
ada tidaknya lesi vaskular sebelah distal, karena aliran darah balik
dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir ini sering dianjurkan
untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas.
3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada
anastomosis yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin
dengan perbandingan 1:500 dapat dipakai untuk membilas daerah
anastomosis dan membersihkan sisa-sisa bekuan darah yang masih
lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah distal agar
arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada
thrombus yang tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter
balon Fogarthy sejauh mungkin ke distal dan secara hati-hati
mendorong trombus keluar. Bila persediaan ada, maka dianjurkan
memakai larutan trobolitik untuk menghancurkan thrombus yang
masih tersisa.
b. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada
rekonstruksi trauma vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat
dan sukar untuk diatasi. Untuk membantu pencegahan terhadap infeksi,
diagnosis trauma vaskular harus cepat ditegakkan, pemberian antibiotik
yang sesuai, debridement luka yang adekuat, kesinambungan pembuluh
vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian nutrisi yang
baik secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan observasi yang
ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan dengan luka
terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin dikeluarkan
dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik.
c. Stenosis
Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):
1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik
terlampau ketat atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan
dinding pembuluh tidak cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisa
jaringan pembuluh yang rusak. Bila lesi arteri tidak diperbaiki dengan
sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang akhirnya
mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.
2. Hiperplasia lapisan inti terjadi di jahitan anastomosis setelah beberapa
minggu atau bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena
autogen.
d. Fistula arteri vena
Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu
kelainan bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh
cedera luka tembus yang mengenai arteri dan vena yang berdekatan
sehingga darah dapat langsung mengalir dari arteri ke vena. Biarpun tidak
sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan arteri yang kurang
cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.
e. Aneurisma palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak
ketiga lapisan dinding pembuluh arteri secara menyamping (tangensial).
Kadang-kadang disebabkan oleh kesalahan pada prosedur diagnostik atau
terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang disebabkan oleh jarum atau
kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus pulposus dan
fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma
tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.
f. Sindrom kompartemen
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal
pada kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah
dan syaraf tepi. Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya
terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot. Sindrom kompartemen ditandai
oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia, pallor, dan paralysis.
B. Pathway
Trauma Vaskular

Perdarahan

Tatalaksana tindakan
Tubuh kekurangan
operatif
banyak darah

Adanya prosedur invasif


Hipoksia sirkulatorik
hipovolemia

Risiko infeksi Nyeri pasca operasi


Risiko syok Gengguan aktifitas
perfusi pada paru
Risiko perdarahan
Nyeri akut

Gangguan pertukaran
gas
C. Konsep Asuhan Keperawatan Kritis
1. Pengkajian
1) B1 (Breathing)
Pada inpeksi didapatkan klien mengalami peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi mungkin tidak terdengar bunyi napas tambahan.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi
napas tambahan.
2) B2(Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien ruptur arteri yang tidak
tertangani segera.
3) B3 (Brain)
Ruptur arteri terutama arteri besar seperti arteri femoralis menyebabkan
berbagai defisit neurologis, akibat pengurangan suplai darah dan oksigen
ke jaringan tubuh. Hal ini bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah
mana yang tersumbat), ukuran area yang perfisinya tidak adekuat, dan
aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Kualitas kesadaran klien
merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan
respons terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk
disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Jika klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sanagt penting untuk menilai
tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian
asuhan.
4) B4 (Bladder)
Setelah ruptur uteri dan perdarahan akut klien mungkin mengalami
penurunan produksi urine sementara, ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena penurunan kesadaran.
5) B5 (Bowel)
Pada kasus trauma vaskular pada abdomen seperti AAA, kemungkinan
terjadi perubahan fungsi fisiologis pada area abdomen.
6) B6 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk.
2. Diagnosis Keperawatan
1) Risiko syok
2) Hipovolemia
3) Risiko perdarahan
4) Gangguan Pertukaran Gas
5) Risiko infeksi

3. Rencana Keperawatan

Diagnosis Keperawatan Luaran dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Hasil
Risiko Syok Setelah dilakukan Pemantauan Cairan
tindakan keperawatan Observasi:
Definisi: selama …...x…... menit  Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
Berisiko mengalami diharapkan Status  Monitpr frekuensi napas
ketidakcukupan alirah darah ke Cairan Membaik  Monitor tekanan darah
jaringan tubuh, yang dapat dengan kriteria hasil:  Monitor berat badan
mengakibatkan disfungsi seluler Status Cairan:  Monitor waktu pengisian kapiler
yang mengancam nyawa  Kekuatan nadi (5)  Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Turgor kulit (5)  Monitor jumlah, warna dan berat jenis
Faktor Risiko:  Output urine (5) urine
 Hipoksemia  Pengsisian vena (5)  Monitor kadar albumin dan protein
 Hipotensi  Frekuensi nadi (5) total
 Kekurangan volume cairan  Tekanan darah (5)  Monitor hasil pemeriksaan serum
 Sepsis  Tekanan nadi (5) (mis. Osmolitas serum, hematokrit,
 Sindrom respon inflamasi  Membrane mukosa natrium, kalium, BUN)
sistemik (systemic (5)  Monitor intake dan output cairan
inflammatory respons  Jugular Venous
syndrome [SIRS]) Pressure (JVP) (5)  Identifikasi tanda-tanda hipovolemia
 Berat badan (5) (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
Kondisi Klinis Terkait : Kadar Hb (5) teraba lemah, tekanan darah menurun,
1. Perdarahan tekanan nadi menyempit, turgor kulit
2. Trauma multiplel menurun, membrane mukosa kering,
3. Pneumothoraks volume urine menurun, hematokrit
4. Infark miokard meningkat, haus, lemah, konsentrasi
5. Kardiomiopati urine meningkat, berat badan menurun
6. Cedera medulla spinalis dalam waktu singkat)
7. Anafilaksis  Identifikasi tanda-tanda hipervolemia
8. Sepsis (mis. Dispnea, edema perifer, edema
9. Koagulasi intavaskuler anasarka, JVP meningkat, CVP
diseminata meningkat, reflex hepatojugular
10. Sindrom respons inflamasi positif, berat badan menurun dalam
sistemik (systemic waktu singkat)
inflammatory respons Terapeutik
syndrome [SIRS])  Atur interval waktu pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
Objektif:  Dokumentasikan hasil pemantauan
 Frekuensi nadi meningkta Edukasi
 Nadi teraba lemah  Jelaskan tujuan dan prosedur
 Tekanan darah menurun pemantauan
 Tekanan nadi menyempit  Informasikan hasil pemantauan, jika
 Turgor kulit menurun perlu
 Membrane mukosa kering
 Volume urine menurun Pencegahan Syok
 Hematokrit meningkat Observasi
 Monitor status kardiopulmonal
Keterangan (frekuensi danb tekanan nadi,
Diagnosis ini ditegakkan pada frekuensi napas, TD, MAP)
kondisi gawat darurat yang dapat  Monitor status oksigenasi (oksimetri
mengancam jiwa dan intervensi nadi, AGD)
diarahkan untuk penyelamatan  Monitor status cairan (masukan dan
jiwa. haluaran, turgor kulit, CRT)
 Monitor tingkat kesadaran dan respon
pupil
 Periksa riwayat alergi
Terapeutik
 Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen
>94%
 Perispaan intubasi dan ventilasi
mekanis, jika perlu
 Pasang jalur IV, jika perlu
 Pasang katetr urine untuk menilai
produksi urine, jika perlu
 Lakukan skin test untuk mencegah
reaksi alergi

Edukasi
 Jelaskan penyebab/faktor risiko syok
 Jelaskan tanda dan gejala awal syok
 Anjurkan melapor jika
menemukan/merasakan tanda dan
gejala awal syok
 Anjurkan memperbanyak asupan
cairan oral
 Anjurkan menghindari allergen

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
 Kolaborasi pemberian tranfusi darah,
jika perlu
 Kolaborasi pemberian antiinflamasi,
jika perlu

Hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia


tindakan keperawatan Observasi:
Definisi: selama …...x…... menit  Periksan tanda dan gejala
Penurunan volume cairan diharapkan hipovolemias (mis. Nadi meningkat,
instravaskular, interstisial, Hypovolemia nadi teraba lemah, tekanan darah
dan/atau intraseslukler. Membaik dengan mneurun, tekanan nadi menyempit,
kriteria hasil: turgor kulit menurun, membrane
Penyebab: Status Cairan: mukosa kering, volume urine
 Kehilangan cairan aktif  Kekuatan nadi (5) menurun, hematokrit meningkat, haus,
 Kegagalan mekanisme  Turgor kulit (5) lemah)
regulasi  Output urine (5)  Monitor intake dan output cairan
 Peningkatan permeabilitas  Pengsisian vena (5)
kapiler  Frekuensi nadi (5) Terapeutik
 Kekurangan intake cairan  Tekanan darah (5)  Hitung kebutuhan cairan
 Evaporasi  Tekanan nadi (5)  Berikan posisi modified

 Membrane mukosa Trendelenburg


Gejala dan Tanda Mayor: (5)  Berikan asuoan cairan oral
Subjektif  Jugular Venous
- Pressure (JVP) (5) Edukasi
Objektif:  Anjurnkan memperbanyak asupan
 Frekuensi nadi meningkta Integritas Kulit dan cairan oral
 Nadi teraba lemah Jaringan:  Anjurkan menghindari perubahan
 Tekanan darah menurun  Elastisitas (5) posisi mendadak
 Tekanan nadi menyempit  Hidrasi (5)
 Turgor kulit menurun  Perfusi jaringan (5) Kolaborasi

 Membrane mukosa kering  Kerusakan jaringan  Kolaborasi pemberian cairan IV

 Volume urine menurun (5) isotonis (mis. NaCl, RL)

 Hematokrit meningkat  Kerusakan lapisan  Kolaborasi pemberian cairan IV


hipotonis (mis. Glukosa 2,5%, NaCl
kulit (5) 0,4%)
Gejala dan Tanda Minor  Kolaborasi pemberian cairan koloid
Subjektif; (mis. Albumin, Plasmanate)
 Merasa lemah  Kolaborasi pemberian produk darah.
 Mengeluh haus
Objektif: Manajemen Syok Hipovolemik
 Pengisian vena menurun Observasi
 Status mental berubah  Monitor status kardiopulmonal
 Suhu tubuh meningkat (frekuensi danb tekanan nadi,
 Konsentrasi urine meningkat frekuensi napas, TD, MAP)

 Berat badan turun tiba-tiba  Monitor status oksigenasi (oksimetri


nadi, AGD)
Kondisi Klinis Terkait:  Monitor status cairan (masukan dan
 Penyakit Addison haluaran, turgor kulit, CRT)
 Trauma atau perdarahan
 Luka bakar Terapeutik

 AIDS  Pertahankan jalan napas paten

 Penyakit Crohn  Berikan oksigen untuk

 Muntah mempertahankan satirasi oksigen

 Diare >94%

 Colitis ulseratif  Perispaan intubasi dan ventilasi

 Hipoalbuminemia mekanis, jika perlu


 Berikan posisi syok (modified
Trendelenberg)
 Pasang jalur IV
 Pasang katetr urine untuk menilai
produksi urine
 Pasang selang nasogastric untuk
dekompresi lambung, jika perlu
 Kolaborasi pemberian epinefrin
 Kolaborasi pemberian dipenhidramin,
jika perlu
 Kolaborasi pemberian bronkodilator,
jika perlu
 Kolaborasi intubasi endotracheal, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian resusitasi
cairan, jika perlu
Risiko Perdarahan (D.0012) Setelah dilakukan Pencegahan Perdarahan
intervensi selama
Definisi: Observasi
…..x…. menit, maka
Berisiko mengalami kehilangan risiko perdarahan  Monitor tanda dan gejala perdarahan
darah baik internal (terjadi di menurun dengan  Monitor nilai hematocrit/hemoglobin
dalam tubuh) maupun eksternal kriteria hasil: sebelum dan sesudah kehilangan darah
(terjadi hingga ke luar tubuh).  Monitor tanda-tanda vital ortostatik
 Kelembapan
 Monitor koagulasi ( mis. Prothrombin
Faktor Risiko: membrane mukosa
time (PT), partial thromboplastin time
meningkat (5)
 Aneurisma (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin
 Kelembapan kulit
 Gangguan gastrointestinal dan/ atau platelet)
meningkat (5)
(mis. Ulkus lambung, polip,
 Kognitif meningkat
varises)
(5) Terapeutik
 Gangguan fungsi hati (mis.
 Hemoptysis
Sirosis hepatis)  Pertahankan bed rest selama
menurun (5)
 Komplikasi kehamilan (mis. perdarahan
 Hematemesis
Ketuban pecah sebelum  Batasi tindakan invasive, jika perlu
menurun (5)
waktunya, plasenta previa/  Gunakan kasur pencegah decubitus
 Hematuria menurun
abrupsio, kehamilan kembar)  Hindari pengukuran suhu rektal
(5)
 Komplikasi pasca partum (
 Perdarahan anus
mis. Atoni uterus, retensi
menurun (5) Edukasi
plasenta)
 Distensi abdomen
 Gangguan koagulasi (  Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
menurun (5)
mis.trombositopenia)  Anjurkan menggunakan kaus kaki saat
 Perdarahan vagina
 Efek agen farmakologis ambulasi
 Tindakan pembedahan menurun (5)  Anjurkan meningkatkan asupan cairan
 Trauma  Perdarahan pasca untuk menghindari konstipasi
 Kurang terpapar informasi operasi menurun (5)  Anjurkan menghindari aspirin atau
tentang pencegahan  Hemoglobin antikoagulan
perdarahan membaik (5)  Anjurkan meningkatkan asupan
 Proses keganasan  Hematocrit makanan dan vitamin K
membaik (5)  Anjurkan segera melapor jika terjadi
 Tekanan darah perdarahan
Kondisi klinis terkait:
membaik (5)
 Aneurisma  Denyut nadi apical
Kolaborasi
 Koagulopati intravaskuler membaik (5)
diseminata  Suhu tubuh  Kolaborasi pemberian obat pengontrol
 Sirosis hepatis membaik (5) perdarahan, jika perlu
 Ulkus lambung  Kolaborasi pemberian produk darah,
 Varises jika perlu

 Trombositopenia  Kolaborasi pemberian pelunak tinja,

 Ketuban pecah sebelum jika perlu

waktunya
 Plasenta previa/abrupsio
 Atonia uterus
 Retensi plasenta
Tindakan
Gangguan Pertukaran Gas Setelah dilakukan Pemantauan respirasi Observasi
asuhan keperawatan
(D.0003)  Monitor frekuensi ,irama ,kedalaman
selama ………x……..
dan upaya napas
Definisi : maka pertukaran gas
 Monitor pola napas ( seperti
membaik dengan
Kelebihan atau kekurangan bradipnea,takipnea,hiperventilasi
kriteria hasil :
oksigenasi dan/atau eleminasi ,kussmaul,cheyne-stokes, biot,ataksik)
karbondioksida pada membrane  Dispnea menurun  Monitor kemampuan batuk efektif
alveolus-kaplier (5)  Monitor adanya produksi spuntum
 Bunyi napas  Monitor adanya sumbatan jalan napas
Penyebab : tambahan menurun  Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
(5)  Auskultasi bunyi napas
 Ketidakseimbangan
 Pusing menurun (5)  Monitor saturasi oksigen
ventilasi-perfusi
 Penglihatan kabur  Monitor nilai AGD
 Perubahan membrane
menurun (5)  Monitor hasil x-ray toraks
alveolus-kaplier
 Diaforesis menurun
Terapeutik
(5)
 Gelisah menurun  Atur interval pemantauan respirasi
Gejala dan Tanda Mayor (5) sesuai kondisi pasien
 Napas cuping  Dokumetasi hasil pemantauan
Subjektif :
hidung menurun (5)
Edukasi
 Dispnea  PCO2 membaik (5)
 PO2 membaik (5)  Jelaskan tujuan dan prosedur

Objektif :  Takikardia pemantauan


membaik (5)  Informasi hasi pemantauan ,jika perlu
 PCO2
 PH arteri membaik
meningkat/menurun Terapi oksigen
(5)
 PO2 menurun
 Sianosis membaik Observasi
 Takikardia (5)
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 pH arteri  Pola napas
 Monitor posisi alat terapi oksigen
meningkat/menurun membaik (5)
 Monitor aliran terapi oksigen secara
 Bunyi napas tambahan
Warna kulit membaik periodic dan pastikan fraksi yang
(5) diberikan cukup

Gejala dan Tanda Minor  Monitor efektifitas terapi oksigen


(mis. Oksimetri, analisa gas darah)
Subjektif : ,jika perlu

 Pusing  Monitor kemampuan melepaskan

 Penglihatan kabur oksigen saat makan


 Monitor tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelectasis
Objektif :  Monitor tingkat kecemasan akibat
terapi oksigen
 Sianosis
 Monitor integritas mukosa hidung
 Diaforesis
akibat pemasangan oksigen
 Gelisah
 Napas cuping hidung Terapeutik
 Pola napas abnormal (
 Bersikan secret pada mulut, hidung
cepat/lambat,
dan trakea, jika perlu
regular/ireguler,
 Pertahankan kepatenan jalan napas
dalam/dangkal)
 Siapkan dan atur peralatan pemberian
 Warna kulit abnormal
oksigen
(mis. Pucat ,kebiruan)
 Berikan oksigen tambahan ,jika perlu
 Kesadaran menurun
 Tetap berikan oksigen saat pasien
ditransportasi
 Gunakan prangkat oksigen yang
Kondisi Klinis Terkait :
sesuai dengan tingkat mobilisasi
 Penyakit paru obstruktif pasien
kronis (PPOK)
Edukasi
 Gagal jantung kongestif
 Asma  Ajarkan pasien dan keluarga cara
 Pneumonia menggunakan oksigen di rumah
 Tuberkulosis paru
Kolaborasi
 Penyakit membrane hialin
 Asfiksia  Kolaborasi penentuan dosis oksigen

 Persistent pulmonary Kolaborasi penggunaan oksigen saat


hypertension of newborn aktivitas dan/atau tidur
(PPHN)
 Prematuritas
 Infeksi saluran napas
Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
tindakan keperawatan
Observasi
selama .... X .... jam
Definisi: menit diharapkan Nyeri  Identifikasi lokasi, karakteristik,
Akut Berkurang durasi, frekuensi, kualitas ,
Pengalaman sensorik atau
dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
emosional yang berkaitan dengan
 Identifikasi skala nyeri
kerusakan jarigan actual atau Tingkat nyeri :
 Identifikasi respons nyeri non
fungsional, dengan onset
 Keluhan nyeri verbal
mendadak atau lambat dan
(5)  Identifikasi faktor yang
berintensitas ringan hingga berat
 Meringis (5) memperberat nyeri dan
yang berlangsung kurang dari 3
 Sikap protektif memperingan nyeri
bulan
(5)  Identifikasi pengetahuan dan
 Gelisah (5) keyakinan tentang nyeri
 Kesulitan tidur  Identifikasi pengaruh budaya
Penyebab:
(5) terhadap respon nyeri
 Agen pencedera fisiologis  Menarik diri (5)  Identifikasi pengaruh nyeri pada
(mis. Inflamai,iskemia,  Berfokus pada kualitas hidup
neoplasma diri sendiri (5)  Monitor keberhasilan terapi
 Agen pencedera kimiawi  Diaforesis (5) komplementer yan sudah
(mis. Terbakar, bahan  Perasaan diberikan
kimia iritan) depresi  Monitor efek samping
 Agen pencedera fisik (tertekan) (5) penggunaan analgetik
(mis. Abses, amputasi,  Perasan takut
terbakar, terpotong, mengalami
mengangkat berat, cedera berulang
prosedur operasi, trauma, (5) Terapeutik

latihan fisik berlebih)  Anoreksia (5)  Berikan teknik nonfarmakologis


 Perineum terasa untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
Gejala dan Tanda Mayor
tertekan (5) TENS, hypnosis, akupresur, terapi
Subjektif  Uterus teraba music, biofeedback, terapi pijat,
membulat (5) aromaterapi, teknik imajinasi
 Mengeluh nyeri  Ketegangan otot terbimbing, kompres
Objektif (5) hangat/dingin, terapi bermain)
 Pupil dilatasi  Kontrol lingkungan yang
 Tampak meringis
(5) memperberat rasa nyeri (mis.
 Bersikap protektif (mis.
 Muntah (5) Suhu ruangan, pencahayaan,
Waspada, posisi
 Mual (5) kebisingan)
menghindari nyeri)
 Fasilitas istirahat dan tidur
 Gelisah
 Pertimbangkan jenis dan sumber
 Frekuensi nadi meningkat
nyeri dalam pemilihan strategi
 Sulit tidur
meredakan nyeri
 Frekuensi nadi
(5)

Edukasi
 Pola napas (5)
 Jelaskan penyebab, periode, dan
 Tekanan darah
Gejala dan Tanda Minor pemicu
(5)
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
Subjektif  Proses berpikir
 Anjurkan memonitor nyeri secara
(5)
- mandiri
 Fokus (5)
 Anjurkan menggunakan analgetik
Objektif  Fungsi kemih
secara tepat
(5)
 Tekanan darah meningkat  Ajarkan teknik nonfarmakologis
 Perilaku (5)
 Pola napas berubah untuk mengurangi rasa nyeri
 Nafsu makan
 Nafsu makan berubah
(5)
 Proses berpikir terganggu
 Pola tidur (5) Kolaborasi
 Menarik diri
 Berfokus pada diri sendiri  Kolaborasi pemberian analgetik,
 Diaforesis Kontrol Nyeri jika perlu

 Melaporkan
Kondisi klinis terkait nyeri terkontrol Pemberian Analgesik
(5)
 Kondisi pembedahan Observasi
 Kemampuan
 Cedera traumatis
 Infeksi mengenali onset  Identifikasi karakteristik nyeri
 Sindrom koroner akut nyeri (5) (mis. Pencetus, pereda, kualitas,
 Glaukoma  Kemampuan lokasi, intensitas, frekuensi,
mengenali durasi)
penyebab nyeri  Identifikasi riwayat alergi obat
(5)  Identifikasi kesesuaian jenis
 Kemampuan analgesic (mis. Narkotika, non
menggunakan narkotika, atau NSAID) dengan
teknik non- tingkat keparahan nyeri
farmakologis  Monitor tanda tanda vital sebelum
(5) dan sesudah pemberian analgesik
 Dukungan  Monitor efektifitas analgesik
orang terdekat
(5)
Terapeutik
 Keluhan nyeri
(5)  Diskusikan jenis analgesic yang

 Penggunaan disukai untuk mencapai analgesia

analgesic (5) optimal, jika perlu


 Pertimbangkan penggunaan infus
kontinu, atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar dalam
serum
 Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk mengoptimalkan
respon pasien
 Dokumentasikan respons terhadap
efek analgesik dan efek yang tidak
diinginkan

Edukasi

 Jelaskan efek terapu dan efek


samping obat
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian dosis dan


jenis analgesik, sesuai indikasi

D. Referensi

1. Suhardi, S. (2017, September). Tatalaksana Trauma Vascular. In Aceh


Surgery Update 2.

2. Tanto C, Liwang F, HanifatiS, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran.


Edisi 4. jakarta.

3. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2016. Standar Diagnosis


Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
4. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018. Standar Luaran
Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia
5. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia
LEMBAR PENGESAHAN

Denpasar, Februari
2020
Clinical Instructor Mahasiswa

Ns. DA Ari Rama Dewi, S.Kep. Ida Ayu Putu Gayatri Prabha
NIP. 198708012010122000 NIM. P07120320031

Clinical Teacher

Ners I Made Sukarja, S.Kep., M.Kep.


NIP. 196812311992031002

Anda mungkin juga menyukai