Anda di halaman 1dari 41

LI.

1 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN CEDERA CRANIOCEREBRAL


LO.1.1 Definisi

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

LO.1.2 Etiologi

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan
kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di
medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rut land-Brown,
Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala
yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat
inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika
Serikat (Coronado, Thomas, 2007).

 Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul


 Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
 Trauma kepala akibat tembakan
 Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

LO.1.3 Klasifikasi

Berdasarkan mekanisme terjadinya :


a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang
menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada
protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
Berdasarkan morfologi cedera kepala:
a. Luka pada kepala:
 Laserasi kulit kepala
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,
sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung
pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
 Luka memar (kontusio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
 Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung
saraf yang rusak.
 Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih
berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah
kecederaan.
b. Fraktur tulang kepala
 Fraktur linier
Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya
langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak
menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur yang masuk ke
dalam rongga intrakranial.
 Fraktur diastasis
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan
pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada
sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
 Fraktur kominutif
Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu
area fraktur.
 Fraktur impresi
Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
durameter dan jaringan otak.
 Fraktur basis cranii
Berdasarkan tingkat keparahan :
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Menurut Brain Injury Association of Michigan
(2005), klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injury yaitu :

LO.1.4 Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat
otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis
metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung
pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala
sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka
dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran
tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh
darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut
cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder.

a. Kerusakan Primer

Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari
kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal
ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu
dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi sedangkan kerusakan difus
adalah suatu keadaan patologis penderita koma (penderita yang tidak sadar sejak benturan
kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lesion
(SOL) pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan
primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, dan pembengkakan otak.

LO.1.5 Manifestasi Klinis

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
 Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
 Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
 Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
 Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
 Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
 Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
 Mual atau dan muntah.
 Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
 Perubahan keperibadian diri.
 Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
 Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
 Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
 Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.

LO.1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


a. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien
menjadi :
• GCS 13-15 : cedera kepala ringan
• GCS 9-12 : cedera kepala sedang
• GCS 3-8 : pasien koma dan cedera kepala berat.

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan
dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan
ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
Tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
Respon membuka mata (E) Nilai
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Nilai


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M) Nilai
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi,
pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil
pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat
perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
c. Pemeriksaan Penunjang
 X-ray tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT
scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
 CT-scan
Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur
area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput
pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada
hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa
yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam
Sastrodiningrat, 2007).
 Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi
baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi
Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat
masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

LO.1.7 Tatalaksana

Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD :


Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi:
 Airway
 Breathing
 Circulasi
 Disability
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :
 Kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
 Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
atauipun rotasi.
 Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera
vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.
Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, Jika tidak
usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.
Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekuensinya
normal antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan
nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO  2 antara
28 – 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat
terjadinya edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso
konstriksi yang berakibat terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO 2) 100 mmHg jika
kurang beri Oksigen masker 8 liter/ menit.
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi :
 Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.
 Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber
perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir
tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2 X
 Hentikan perdarahan dari luka terbuka
Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:
 Periksa kesadaran : memakai Glasgow Coma Scale
 Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya
langsung maupun konsensual./tidak langsung
 Periksa adanya hemiparese/plegi
 Periksa adanya reflek patologis kanan kiri
 Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur
misal adanya aphasia
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto
pelvis, CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah
(pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).
Simple Head Injury Cedera Kepala Cedera Kepala Cedera Kepala
Ringan Sedang Berat
Anamesis
- Penurunan - <10 Menit 10 menit - 6 jam >6 jam
Kesadaran
- Defisit - - + +
Neurologis :
Peningkatan 
TIK dan
Lateralisasi
(contoh lemas
anggota
badan)
Pemeriksaan Fisik
- GCS 15 13-15 9-12 3-8
- Defisit - - + +
Neurologis
(konfirmasi
dari
anamesis) :
Refleks
Babinsky,
Hemipharesis

Pemeriksaan
Penujang
- CT Scan :
Kepala +
bone window - - + +
- Rontgen (kontusio/udem (EDH, SDH, ICH,
Schedel / serebri) SAH)
Foto Polos + + - -
Kepala
Tatalaksana
- Farmakologi : Analgetik Analgetik Analgetik Analgetik
Definitif dan Neuroprotector Antiemetik Antiemetik Antiemetik
simtomatik Neuroprotector Neuroprotector Neuroprotector
Vit C dosis tinggi Vit C dosis tinggi Vit C dosis tinggi
500mg IV 500mg IV 500mg IV
Manitol Antibiotik
meningitis
Evakuasi
perdarahan

- Non- Observasi 1-3 hari Di rawat 2-3 hari ABC ABC


farmakologi dirumah jika hasil
rontgen baik
(observasi defisit
neurologi)

EDH SDH ICH SAH


Anamesis :
- Interval Cepat Lama Tidak jelas
Lucid Usia Muda >50 tahun
(sehat lalu
terjadi
peningkata
n TIK)
Pemeriksaan Masalah Bisa dimana- Lateralisasi jelas Kaku kuduk
fisik Temporal mana
(krepitasi) Lateralisasi
Pemeriksaan
penunjang :
Lesi hiperdens
- CT-Scan Lesi hiperdens Lesi hiperdens Lesi hiperdens
seperti bulan
biconveks di tengah-tengah mengkuti
sabit
sulcus dan
gyrus

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14-15)


 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
 Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh
obat-obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
 Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign
 Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing

 Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik /
medikolagel
 Therapy :
a.Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
 Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

II. CEDERA KEPALA SEDANG (GCS = 9-13)


 Pada 10 % kasus :
 Masih mampu menuruti perintah sederhana
 Tampak bingung atau mengantuk
 Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
 Pada 10 – 20 % kasus :
 Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
 Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
 Tindakan di UGD :
 Anamnese singkat
 Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
 Pemeriksaan CT. scan
 Penderita harus dirawat untuk diobservasi
 Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
 Status neulologis membaik
 CT-scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
 Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
 Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya
III. CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)
 Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
 CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
 Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
 Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi


Di UGD ditemukan :
 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg )  Mempunyai mortalitas 2
kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
 12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathing


Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
2. Sirkulasi
 Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
 Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax
 Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
 UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen

B. Secondary survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis
 Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari:
 GCS
 Reflek cahaya pupil
 Gerakan bola mata
 Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
 Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
 Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
 Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
 Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
 Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
 Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
 Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar
dan penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol.
LO.1.8 Komplikasi

Komplikasi trauma kepala :


a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis
fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih
kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.
c. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi
dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini
merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak
stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1
tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis
3x1 ampul IV selama 5 hari.

LI.II MEMAHAMI DAN MENJELASKAN FRAKTUR BASIS CRANII


LO.2.1 Definisi

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan
langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita). Dalam
beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme
termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan
dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.

LO.2.2 Klasifikasi
 Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal
berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada regio
temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari
canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa
cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa
cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal
dan transversal.
 fraktur condylar occipital,
Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau
cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis
berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini
menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder
akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini
merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung
meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang
stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III
adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi
menjadi fraktur tidak stabil.
 Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann
bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur.
Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem
vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe
ini.

Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :


Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur
Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.
a. Fraktur Calvarium.
Beberapa contoh fraktur calvarium
 Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur
yang melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia
Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat
yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan
epidural.
 Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan  garis – garis frakturnya nya menyebar secara
radial.
 Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan
otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat
menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah
fraktur) dan terjadi perdarahan.

b. Fraktur basis tengkorak


 Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS)
bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata
tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma,
bila dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes
 Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius)
sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia)
sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid
sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea)
 Fraktur Fossa Media
• Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga
telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur
darah (Otorrhoea).
• Fraktur Sella Tursica
Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan
pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars
posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang
menyebabkan Diabetes Insipidus.
• Sinus Cavernosus Syndrome.
Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri
Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung
arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus –
> Carotid – Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit  , conjunctiva berwarna merah.
Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara
seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus ,
yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung
(berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,
 Fraktur Fossa Posterior.
• Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.
• Fraktur melintas Foramen Magnum
di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak
Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

LO.2.3 Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari
benturan pada wajah atau mandibula; atau efek ‘remote’ dari benturan pada kepala
(‘gelombang tekanan’ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi
foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture
komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit
lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera
batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan
dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala
(sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada
pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan
sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan
gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum,
beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke
superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah
occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii
akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial,
yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan.
Para peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area
wajah saja.

LO.2.4 Manifestasi Klinis


 Bloody otorrhea.
 Bloody rhinorrhea
 Liquorrhea
 Brill Hematom
 Batle’s sign
 Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intracranial 4.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss) 4.
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian
besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam
keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan
cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX,
X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan
paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal
constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar
os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

LO.2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging
• Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria
panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur
basis cranii. Foto xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
• CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam
diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan
potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat
membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi
tidak diperlukan.
• MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan
untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera
pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut
pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari
darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan
dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

LO.2.6 Tatalaksana
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural
neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk
berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur
linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis.
Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika
disertai rupture membran timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis
pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik
membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang
dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika
terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana
secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan
open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya.
Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan
dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari.
Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe
III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-
luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan
ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan
atau jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi
kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.

LO.2.7 Komplikasi

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan
rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis
cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3
pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan
responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba
pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan
prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung
pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI
yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena
terjadinya ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam
fraktur condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom
Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III,
IV,dan VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan
pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur
vena). Cedera carotid diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal
karotid, dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan.
LI.V MEMAHAMI DAN MENJELASKAN PERDARAHAN INTRACRANIAL
LO.5.1 Definisi
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium,
yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan
intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti
kapitis,tumor otak dan lain-lain. 8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan
dengan spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan
subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH
yang disertai dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya,
menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat menyebabkan
peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi fatal.
LO.5.2 Klasifikasi
Menurut (Tobing, 2011) perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal
dan cedera otak difus.
 Cedera otak fokal yang meliputi :
 Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom
dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam
dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi
pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang
dan hemiparesis.
 Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir
otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih
buruk dibanding pada perdarahan epidural.
 Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari
3 minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan
jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi
sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam
beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk
noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan
neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi
fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga
terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika
keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam
membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat
ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa
dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat
terjadi defisit neorologi yang bervariasi seperti kelemahan motorik dan kejang
 Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh
benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya
akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah
yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan
subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan
kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi
dari trauma yang dialami.
 Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna
prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

 Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)


Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya
rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap
parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :
 Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi),
maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan
serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)
mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi
antara inti profunda dengan inti permukaan .
 Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio
cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan
besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu
kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu
khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah
datangnya gaya yang mengenai kepala.
 Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema
cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan
hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan
karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
 Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan
karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
Klasifikasi perdarahan intrakranial akibat trauma kapitis dan manifestasi klinis :
1. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan
epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh
anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan
epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain
penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.
2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:
a. Perdarahan subdural akut
- Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon
yang lambat, serta gelisah.
- Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
- Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
b. Perdarahan subdural subakut
- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
- Terjadi karena luka ringan.
- Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
- Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara
pelan-pelan ia meluas.
- Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
- Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
3. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang
dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
4. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
5. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana
terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali
sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright, Aronowski, Barreto, 2008).

Dugaan adanya perdarahan di dalam kepala dapat dilihat dari tanda dan gejala yang ada.
Pemeriksaan radiologi, seperti CT scan atau MRI dapat digunakan untuk melihat perdarahan
yang terjadi.

1. Epidural Hematom

Gambar CT-scan epidural hematom


 Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea median
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur
tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya (9 %) disebabkan
oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana
deformitas yang terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan
vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur
oksipital, parietal atau tulang sfenoid.
 Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
- Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
- Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
- Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
 Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang
lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan
fraktur cranial linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal
tengah, vena atau keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis
fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
 Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari :
- Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih
dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang
terjadi dari saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena
terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat
interval lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang
minimal.Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang
pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena
herniasi transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya
perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
- Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat
juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan
tentorial.
- Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan
tanda kematian.
 Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi-kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

2. Subdural Hematoma
Gambar CT-scan subdural hematom
 Etiologi
- Trauma kepala
- Malformasi arteriovenosa
- Diskrasia darah
- Terapi antikoagulan
 Klasifikasi
- Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebihlanjut
pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.Perdarahan
dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.Pada gambaran skening
tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
- Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah
.Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya.Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau
hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan
resorbsi dari hemoglobin.
- Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan
setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur
ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami
gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik
, kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisamenjadi membesar
secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada
subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma ,
pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan
arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak
ini.Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi
duramater.Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma.Pembuluh darah ini dapat
pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural
kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens
 Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi,
adalah lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio
serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah
dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
 Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat
deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi
lainnya.Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian
tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia
akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang
kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
 Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua
dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah
mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(diandingkan dengan burr-hole saja).

3. Intraserebral Hematom
Gambar CT-scan Intraserebral hematom
 Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
- Trauma kepala.
- Hipertensi.
- Malformasi arteriovenosa.
- Aneurisme
- Terapi antikoagulan
- Diskrasia darah
 Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
- Hematom supra tentoral.
- Hematom serbeller.
- Hematom pons-batang otak.
 Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah
ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur
kalvaria.
 Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan
hematom ekstra aksial lainnya.Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari
pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otakdiagnosanya dapat
ditegakkan lebih cepat.
 Kriteria diagnosis hematom supra tentorial
- nyeri kepala mendadak
- penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
- Tanda fokal yang mungkin terjadi ; Hemiparesis / hemiplegi, Hemisensorik, Hemi
anopsia homonym, Parese nervus III.
- Kriteria diagnosis hematom serebeller ; Nyeri kepala akut, Penurunan kesadaran,
Ataksia, Tanda tanda peninggian tekanan intracranial
- Kriteria diagnosis hematom pons batang otak: Penurunan kesadaran koma,
Tetraparesa, Respirasi irregular, Pupil pint point, Pireksia, Gerakan mata diskonjugat.
 Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif.Tekanan darah
harus diawasi.Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi.Intra cerebral hematom
yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan
monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan.
Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan
neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
a. Konservatif
- Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebellar
- Bila perdarahan pons batang otak
b. Pembedahan
- Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebellar lebih dari 15 cc dengan effek massa
LO.5.3 Diagnosis dan Diagnosis Banding
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting
dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang
signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume
darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering
terhadap level hematokrit.

PENCITRAAN
 Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga
mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan
kranium yang lebih besar.
 CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian
dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau
bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan
epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat
ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-
4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah
hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang
mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio
serebral, dan hematom intraserebral
 MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas.

LO.5.4 Tatalaksana
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang
baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural,
herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume
lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan
yang sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera.
Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien
dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian
klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury”
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15
mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat
ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai
meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya
perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat
tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka
pembedahan harus diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada
stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah
diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer
yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah
didiskusikan diatas.

Terapi Bedah
Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.
Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom
temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan
lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan
gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang
yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.
Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :
 Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial
yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
 Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

LO.5.5 Komplikasi
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral.
Herniasi ke bawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling
sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya
membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III
kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan
mata ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau
fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak
mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar.
Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.

LI.VI MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TRIAS CUSHING


Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan intrakranial.
 Hipertensi
 Bradikardi
 Depresi pernapasan
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera
kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum.
Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara
bermakna.Iskemia yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik
meningkat, Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan
pernapasan menjadi lambat.Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing,
membantu mempertahankan aliran darah otak.Akan tetapi, menurunnya pernapasan
mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan
tekananan intrakranial.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.

Anda mungkin juga menyukai