Anda di halaman 1dari 5

DAYA CERNA PROTEIN

Daya cerna atau kecernaan protein merupakan kemampuan protein untuk dihidrolisis
menjadi asam-asam amino oleh enzim pencernaan (Muchtadi, 1989). Protein dalam bahan
makanan sangat penting untuk penyusunan senyawa biomolekul dalam proses biokimiawi
dalam mengganti jaringan yang rusak. Protein disusun oleh struktur N, C, H, O, S, dan
beberapa P, Fe, dan Cu. Molekul besar seperti protein akan lebih mudah untuk mengalami
perubahan secara fisis (penggumpalan) atau biologis dengan agen seperti asam, basa, panas,
pelarut organik, garam, dan logam berat (Sudarmadji et al., 1989).

Pemanfaatan protein oleh tubuh dimulai dari pencernaan yang bergantung pada
hidrolisis ikatan protein (ikatan peptida). Ikatan peptida pada protein dapat terputus oleh
hadirnya pemanasan dan enzim proteolitik seperti tripsin dan kimotripsin (Hawab, 2003).
Enzim proteolitik akan mengurai protein menjadi asamasam amino bebas dan peptida rantai
pendek (Crim dan Munro, 1987). Asam-asam amino bebas diperoleh sebanyak 30% dari
protein yang dirombak dan diserap langsung melalui mukosa usus.

Daya cerna (%) dari protein yang terdapat dalam bahan makanan merupakan
perbandingan antara kadar N total filtrat yang menunjukkan kadar protein tercerna total
dengan kadar N total sampel yang menunjukkan protein awal total (Ophart, 2003). Protein
yang berasal dari bahan makanan ketika memasuki sistem pencernaan mengalami berbagai
perubahan. Kerja dari asam lambung dan enzim-enzim pencernaan di dalam usus akan
mengubah protein yang masuk ke dalam tubuh menjadi asam-asam amino. Sekali asam-asam
amino ini masuk ke dalam sistem sirkulasi di tubuh, asam-asam amino ini tidak akan dapat
dibedakan dari asam amino yang berasal dari proteolisis intraselular dalam tubuh (Groff &
Gropper, 2001).

Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan dengan cara in vitro. Metode dilakukan
dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan. Enzim-enzim tersebut diantaranya pepsin,
pankreatin, tripsin, kimotripsin, peptidase, dan multi enzim (Muchtadi, 1989). Penggunaan
enzim-enzim tersebut akan menghasilkan koefisien daya cerna protein setiap bahan berbeda.
Koefisien daya cerna untuk serealia sebesar 80 % (Suhardjo dan Kusharto, 1987) sedangkan
untuk telur sebesar 90% pada manusia (Evenepoel et al., 1998).

Metode in vitro dapat memperkirakan kecernaan pada tubuh manusia atau kondisi
biologis yang sebenarnya. Bodwell et al. (1980) telah melakukan pengujian daya cerna
protein bahan makanan campuran pada manusia, tikus, dan enzimatis. Hasil yang diperoleh
tidak berbeda dengan metode in vitro tiga enzim atau modifikasinya (kimotripsin, tripsin, dan
peptidase). Bahan makanan dengan protein hewani memiliki koefisien korelasi mencapai
0,88 yaitu antara pengujian pada manusia dengan metode 3 enzim.

Protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam amino yang dapat
diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sebaliknya, suatu protein yang sukar dicerna karena
sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses. Menurut Suhardjo dan Kusharto
(1992), proses daya cerna terhadap protein dimulai dengan perombakan terhadap ikatan
peptida yang terjadi di dalam lambung dengan menggunakan media yang asam dari cairan
lambung. Cairan lambung menghasilkan “protein-splitting enzyme”, yaitu pepsin (gastric
protease) yang bekerja merombak ikatan peptida protein menjadi asam amino yang lebih
pendek disebut pepton. Dari lambung, protein yang sudah dicerna akan masuk ke usus,
tempat media yang asam sudah dinetralkan menjadi sedikit alkalis. Cairan pankreas
menghasilkan dua macam “protein-splitting enzyme”, yaitu enzim tripsin dan kimotripsin
(pancreatic protease): 30% dari protein dirombak menjadi asam amino sederhana dan
langsung diserap usus, sedangkan 70% protein dipecah menjadi dipeptida, tripeptida, atau
terdiri atas lebih dari tiga asam amino.

Daya cerna protein dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Damodaran (1996).
Konformasi protein akan mengurangi kecernaan protein jika terjadi ikatan 19 silang antar
protein. Ikatan silang ini terjadi dengan terbentuknya lisinoalanin pada susu UHT, tepung
putih telur, dan keripik jagung dengan kadar yang berbeda-beda. Kecernaan protein juga
dipengaruhi oleh anti nutrisi pada bahan pangan seperti tripsin inhibitor. Anti nutrisi tersebut
menghambat enzim pencernaan protein untuk memecah protein. Protein dapat berikatan kuat
dengan makromolekul lainnya seperti ikatan dengan polisakarida dan serat pangan sehingga
menurunkan kecernaan protein. Proses pengolahan juga mempengaruhi kecernaan protein.
Reaksi Maillard dapat menyebabkan penurunan kecernaan akibat terikatnya protein dengan
gula pereduksi.
DAYA CERNA PATI

Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa dan terdiri dari amilosa dan
amilopektin. Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbiumbian, sayuran dan buah-buahan.
Sumber alami pati yaitu jagung, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandum, beras, sagu,
amaranth, ubi kayu, ganyong, dan sorgum (Herawati 2010).

Secara umum pati dibedakan menjadi 2 yaitu pati yang dapat dicerna dengan cepat
atau rapid digestible strarch (RDS) dan pati yang dicerna lambat slowly digestible starch
(SDS). Contoh RDS yaitu beras dan kentang yang telah dimasak serta beberapa sereal instan
siap saji, sedangkan contoh SDS yaitu pati, sereal, produk pasta, dan RS, yaitu pati yang sulit
dicerna didalam usus halus (Woo et al.2008).

Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis
oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana (Nugent 2005). Beberapa
faktor yang dapat menurunkan daya cerna pati yaitu adanya keberadaan antimutrisi atau
antiamilase(serat pangan, tannin) dan struktur kimia pati. Banyak yang berpendapat bahwa
pati murni dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran pencernaan. Sedangkan pati
modifikasi mempunyai daya cerna yang rendah karena kemungkinan mengandung pati
resisten yang lebih banyak.

Penentuan daya cerna pati secara in vitro dilakukan dengan beberapa tahap yaitu
penimbangan sampel, pemanasan awal 900C untuk menggelatinisasi pati, penambahan enzim
α-amilase, penginkubasi sampel pada suhu 370C selama 30 menit. adanya perlakuan membuat
pati terhidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula sederhana).
Semakin tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis
dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltose yang
dihasilkan. Setelah itu sampel direaksikan dengan larutan DNS, dipanaskan dalam air
mendidih selama 10 menit, serta didinginkan dengan air mengalir. Glukosa dan maltose dapat
bereaksi dengan pereaksi asam dinotrosalisilat, yaitu pereaksi yang digunakan saat
pengukuran gula pereduksi sehingga kadar keduanya dapat di ukur secara spektrofotometri.
Pengukuran absorbansi dilakukan dengan spectrometer pada panjang gelombang 520nm.

Hidrolisis enzim α-amilase pada amilosa melalu 2 tahap. Tahap pertama yaitu
degrades amilosa menjadi maltose dan maltotriosa yangterjadi secara acak. Tahap kedua
yaitu pembentukan glukosa dan maltose sebagai akhir secara tidak acak dan berjalan lebih
lambat standar dibuat menggunakan maltose dengan konsentrasi yang berbeda. Standar diberi
perlakuan sama seperti sampel, namun setelah pemanasan 90 0C, standar dibuat menjadi 6
konsentrasi berbeda yang kemudian kembali diberi perlakuan sampel. Berdasarkan
pengukuran dengan spectrometer, didapat 6 absorbansi yang kemudian dibuat menjadi kurva
dengan persamaan y=1.0491+0.2730. absorbansi sampel yang telah diukur, kemudian diolah
dengan rumus untuk menentukan daya cerna pati (Herawati 2010).

Daya cerna pati dipengaruhi oleh amilosa atau amilopektin. Sampai sekarang masih
menjdi perbedaan pendapat para ilmuan mengenai hubungan kecepatan pencernaan pati
dengan kandungan amilosa-amilopektin. Sebagian besar ilmuan berpendapat amilosa dicerna
lebih lambat dibanding amilopektin karena amilosa merupakan polimer dari gula sederhana
dengan rantai lurus, tidak bercabang. Rantai yang lurus ini menyususn ikatan amilosa yang
solid sehingga tidak mudah tergelatinasi. Oleh karena itu amilosa lebih sulit dicerna
dibandingkan dengan amilopektin yang merupakan polimer gula sederhana, bercabang dan
struktur terbuka (Behall & Hallfrisch 2002).

Berdasarkan karakteristik tersebut makan pangan yang mengandung amilosa tinggi


memiliki aktivitas hipoglikemik lebih tinggi dibandingkan dengan pangan yang mengandung
amilopektin tinggi. Sedangkan berdasakan mekanisme hidrolisis enzimatis, amilosa dapat
dihidrolisis hanya dengan satu enzim yaitu α—amilase, kemudian dilanjutkan oleh α-(1,6)
glukosidase. Selain itu berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan dengan amilosa.
Berdasarkan pertimbanagn ini, makanamilopektin memerlukan waktu yang lebih lama untuk
dicerna dibandingkan dengan amilosa (Liu & Kennedy 2005).
DAFTAR PUSTAKA

Budiman. 2008. Kandungan Nut Risi Dan Daya Cerna Protein Secara In Vitro Snack
Ekstrusi Berbahan Grits Jagung Yang Disubstitusi Dengan Tepung Putih Telur
Sebagai Sumber Protein. Bogor.
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/10317/2/D08bud.pdf (diakses 15
januari 2020)

Saputra, D. 2014. Vol. 5 No. 2 Desember 2014: 1127-1133. Penentuan Daya Cerna Protein
In Vitro Ikan Bawal (Colossoma Macropomum) Pada Umur Panen Berbeda. Jakarta.
https://ifikkes.unimus.ac.id/pluginfile.php/48555/mod_resource/content/1/Daya
%20Cerna%20Protein.pdf (diakses 15 januari 2020)

Herawati, Heny. 2010. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna Sebagai Pangan
Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian 30 (1) 2011. Jawa Tengah:Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian.

Rhama, D. et all. 2014. Preparasi Sampel Analisa Ketersediaan Mineral Secara In Vitro
Metode Dialisis. Bogor. https://www.academia.edu/9831377/Laporan_daya_cerna_pati
(diakses 15 januari 2020)

(RETMA ANASYAHWATI/G2D017103)

Anda mungkin juga menyukai