Banjir Dan Politik
Banjir Dan Politik
Anggaran normalisasi saja dihilangkan oleh Anies bukan karena jelek. Program tersebut
diganti dengan naturalisasi hanya karena ingin beda dengan pesaing politiknya bernama
Ahok.
Pembuatan gorong-gorong yang sudah dicitakan sejak Jokowi juga langsung dilawan dengan
narasi Sunatullah air yang seharusnya masuk bumi bukan digiring ke laut. Ilmiah? Jelas
tidak! Narasi memasukkan air sebagai Sunatullah hanyalah upaya politik Anies untuk
menegasikan narasi politik lawan mainnya.
Sehingga, jangan heran, jika di Surabaya atau kota kota lain, bahkan di luar negeri, bencana banjir
akan membangkitkan rasa solidaritas, di Jakarta justru banjir telah membelah masyarakat dalam
kubu Anies dan kontra Anies. Aneh kan? Sebagai hasil lanjutannya, tebar nyinyir dan sindir
bertebaran di medsos.
Sudah saatnya kondisi demikian harus diakhiri. Gubernur Anies harus mau mengakomodir
gagasan para pen dahulunya yang bagus. Kalau kurang, tambahin dengan gagasan baru agar
lebih baik. Jangan segalanya dinegasikan.
Semua bencana harus nya menjadi ajsng solidaritas. Mari kita bantu saudara saudara kita
tanpa melihat latar politik. Tanpa memandang apa pun kecuali kemanusiaan yang terusik.
Tidak boleh! Kita harus kembalikan Jakarta sebagai sebuah keluarga besar yang siap untuk
menanggulangi setiap brncana. Satu terkena bb ecana yang lain siap membantu.
Akhiri politik banjir di Jakarta. Lupakan segala urusan politik saat banjir. Mulai lah dengan
sanubari kemanusiaan.
Pasti bisa.
Anies yang harus memulai. Karena Anies merupakan gubernur semua warga. Jangan sampai
ada kesan kalau Anies takut FPI karena utang politik. Anies harus siap untuk semua warga.
Banjir akan menjadi peristiwa kemanusiaan. Dan kita kembali kita pada kemanusiaan nya.
Selain menunggu “hasil rapat”, yang paling mendesak bagi para korban ialah pertolongan
secepatnya. Maka kesiapan pemerintah dalam memobilisasi dan menyalurkan bantuan, amat
sangat diharapkan. Pemerintah punya otoritas, sarana dan pra-sarana, dan sumberdaya,
sehingga oleh karenanya ” tidak boleh mengeluh” menghadapi keluhan korban. Komentar-
komentar yang “menyakitkan” dan “menya-lahkan” rakyat yang tengah tertimpa musibah,
apalagi lempar-melempar tanggungjawab, jangan terus dijadikan kebiasaan.
Banjir di Lombok NTB dan Palu, donggala sulawesi tengah kali ini amat “menakjubkan”,
justru bukan karena dibesar-besarkan media massa. Para korban yang oleh seorang mentri
dikatakan “masih bisa tertawa”, bukan karena mereka senang, akan tetapi “pedih”
pernayataan pejabar pemerintah yang cendrung menyalahkan massa dan sama sekali
menampakan empati-Nya pada rakyat, tentu amat . Menyakitkan dan kontraproduktif.
Fakta sampai hari ini dan bahkan beberapa pekan dan bulan kedepan , rakyat lombok dan
sulteng mesih berakraria dengan banjir dan pasca- banjir. Dalam kondisi yang yang
menderita, tentu lara korban menunggu uluran tangan diberbagai pihak . Akan tetapi partai
politik sebaliknya hadir dengan membawa simbol-simbol partai cara prioosianal bajir bukan
ajang, kampanye bukan ?
Para korban tentu akan menghormati pihak-pihak suka-relawan yang betul-betul “tanpa
pamri”. Partai -partai pilitik sebaiknya aktif dalam membantu korban bencana, dari pada tidak
hadir sama sekali. Jadi yang melanggar “etika” itu, kalau simbol-simbol dibeberkan secara
amat berlebihan, sehingga menutup kesan “nothing to loose”.
Bencana banjir melanda lombok dan sulteng kedua propinsi yang “punya kekusaan” dan
“punya perekonomian” kali ini, memang amat “menjengkelkan”, dan telah menjadi siklus.
Berhentinya hujan tidak menjamin banjir surut. Air kiriman sewaktu-waktu masih
mengancam. Otoritas masalah ini. Tak hanya pada pemda Kedua propinsi yang melanda
banjir, tetapi juga pemda-pemda lain di indonesia. Dengan melibatkan pemerintah pusat.
Politik kebijakan pemerintah yang tengah diuji.
Yang menjadi “kekhawatiran” penulis ialah apabila kebijakan antisipatif melawan banjir
mengalami diskontinuitas. Begitu arus kekuasaan politik datang pergi silih berganti,
kebijakan mengantisipasi banjir pun tak lagi sinergis. Rakyat-lah yang jadi korban. Wallahu
a’lam bi’ showab.
Hujan lebat yang tak henti-hentinya beberapa hari terakhir menyebabkan luapan air di
beberapa titik di Kota Makassar semakin tidak terkendali. Padahal musim hujan baru
dimulai, seakan memberi tanda bahwa beberapa bulan berikutnya, banjir akan semakin parah
dan tak terkendali akibatnya.
Kritikan, kecaman hingga nada 'nyinyir' pun mewarnai dunia media sosial. Tak pelak, Wali
Kota Makassar Danny Pomanto pun menjadi sasaran empuk, banjir yang terjadi dimana-
mana pun menjadi isu menarik untuk memojokkan Danny yang sudah memastikan diri maju
kembali pada Pilwalkot 2017 mendatang.
Kalau warga Makassar dilanda banjir air, maka Danny pun dilanda banjir kritikan dan cacian.
Banjir yang melanda Danny sepertinya bukan banjir biasa, luapan banjirnya cukup membuat
repot sang petahana untuk menanganinya, bukan hanya menangani banjir air, tetapi
menangani 'serangan' cacian dari warga, atau mungkin sekelompok oknum yang senang
menjadikan banjir sebagai objek luapan atas ketidasukaannya pada Danny.
Pun kian menggelikan, banjir, yang menjadi persoalan klasik di kota Makassar selain
intensitas volume hujan yang semakin besar (berlangsung berhari-hari), ada banjir yang
cukup menyita perhatian, 'banjir pencitraan'.
Bukan tanpa sebab, jelang tahun 2018, musim hujan yang diprediksi semakin parah
dibanding tahun sebelumnya, juga beriringan dengan musim politik. Maka wajar, banjir tahun
ini akan semakin besar, karena luapannya airnya ditunggangi oleh 'banjir' politik pencitraan.
Kata teman, politik pencitraan itu adalah politik yang dibuat untuk menggambarkan
seseorang, pejabat, partai, ormas, dan lain-lain adalah baik atau buruk. Politik pencitraan
positif digunakan untuk mengangkat elektibilitas diri dan golongannya, sedangkan pencitraan
negatif untuk menjatuhkan musuh/lawannya.
Kini, banjir Makassar tak semata sebuah bencana dan penderitaan warga melainkan juga
sebuah komoditas politik. Ketika banjir dikaitkan dengan kepentingan masyarakat, misalnya
kebijakan penanggulangan, kesiapan hingga kesigapan pemerintah dan instansi yang
menanganinya, maka disitulah celah 'politisasi' bencana banjir dimulai.
Bencana ini pun diolah, dikemas, dibranding menjadi komoditas jualan yang sangat
menguntungkan. Lalu siapa penjualnya? Tentu saja politisi atau kandidat yang 'belajar' politik
dan para kelompok pendukungnya.
Lihat saja desain brandingnya, mulai dari editan foto, penyebaran informasi hoax hingga
judul berita pun dikemas secara kasar dan seadanya untuk menjadi komoditas konsumsi
warga. Mungkin mereka adalah orang-orang yang malas berpikir kritis, enggan mengakses
informasi media secara komprehensif, memiliki pikiran picik, dan hati yang hitam.
Lalu siapa pangsa pasarnya? Ya tentunya mereka yang punya hak pilih pada Pilwalkot 2018
mendatang, sungguh menjijikkan!
Mereka, rame-rame mendatangi warga korban banjir dan menyapa mereka. Mereka, yang
niatnya hanya mencari citra positif dari bencana banjir tiba-tiba jadi 'relawan kemanusiaan'
memberi bantuan tentu dengan harapan bisa meraup untung 'suara'.
Mereka rela berbasah-basah, toh hanya untuk kepentingan branding dan publikasi, setelahnya
bisa pulang ke rumah, mandi, ganti baju kemudian duduk-duduk minum kopi hangat sambil
tertawa dan tersenyum sambil menanti 'basah-basahnya' viral di medsos. Dan sang petahana
pun dapat kopi pahitnya.
Soal penanganan yang belum didapatkan warga dari Pemkot Makassar 'Danny Pomanto' di
titik tertentu kemudian jadi komoditi politik pihak lawannya. Mereka tidak mau tahu tentang
apa yang dilakukan dan sudah dilakukan oleh Pemkot Makassar.
Mereka yang siap menumbangkan petahana pun berujar, akan membereskannya dan
berharap kepada warga yang terkena banjir agar mereka segera jadi wali kota Makassar untuk
menuntaskannya.
Sungguh ironis, warga yang menjadi komoditas politik pun ibaratnya penonton yang
tersenyum puas menikmati dagelan drama politik yang disuguhkan. Mari cerdas memilih!
Dalam dua tahun terakhir, banjir besar dengan eskalasi yang amat luas menjadi bencana
paling nyata di negeri ini.
Bisa dikatakan lebih nyata daripada ancaman bencana perubahan iklim global yang dalam
waktu sama mendapat perhatian lebih besar.
Banjir sepertinya telah diperlakukan sebagai ”anak tiri” bencana yang kurang diperhatikan
meski korbannya amat besar. Media memberitakan banjir besar di berbagai daerah hampir
setiap hari belakangan ini, tetapi banjir tetap saja diperlakukan seperti ”anak tiri”.
”No way”
Ataukah sebenarnya tak ada keberanian? Mengingat pemerintah pun paham di antara masalah
yang paling berat adalah menghadapi rakyat yang ”lapar tanah”; mereka yang menggarap
lahan-lahan bantaran sungai dengan tanaman singkong.
Pada dekade 1980-an, Lembaga Ekologi Unpad di bawah (alm) Otto Soemarwoto
menjelaskan, tanaman singkong adalah mesin penggembur tanah. Penelitian ekologi-manusia
di bawah Tim Ekspedisi Bengawan Solo-Kompas (2008) kembali menjelaskan hal serupa.
Pemerintah juga tidak buta saat melihat puncak-puncak bukit gundul total dan digerogoti
rakyat ”lapar tanah”. Diyakini, pemerintah juga amat paham besarnya tingkat sedimentasi di
berbagai daerah aliran sungai karena kegemburannya sehingga menjadi masalah banjir yang
paling menonjol.
Danau, waduk, situ, sungai, kanal, bahkan parit di depan rumah kita pun tak lepas dari
besarnya tingkat sedimentasi. Pemerintah paham, ruang air kian sempit meski acap kali
berpikiran terbalik dengan mengkhawatirkan jumlah sungai di Ibu Kota yang mencapai 13,
padahal seharusnya kurang banyak.
Bagaimana solusinya? Transmigrasi seperti memindahkan penduduk desa di Gunung Merapi
yang terkena letusan tahun 1961 ke Way Jepara ataukah program Indonesia Menanam,
mengeruk waduk, sungai, dan menambah jumlah waduk baru?
Penataan agraria
Adilkah pemerintah memperlakukan penduduknya yang terbesar kelima di dunia itu hanya
dengan menempatkannya dalam seperempat daratannya? Sementara itu, separuh kawasan
hutan yang dikuasai telah dipertaruhkan kelestariannya kepada pengusaha hutan melalui
konsesi HPH, HTI, pengusaha perkebunan, atau dibiarkan gundul dan terbakar?
Rakyat kecil menjadi korban banjir; tempat tinggalnya terendam air, areal persawahan gagal
panen, tambak hancur, anak- anak terserang penyakit, bahkan menimbulkan korban jiwa.
Banjir seharusnya menjadi peristiwa kemanusiaan yang menuntut tanggung jawab
pemerintah untuk mengatasinya.
Patut disayangkan tak satu pun muatan kampanye calon presiden kini menyuarakan penataan
agraria. Bukan semata untuk mengantisipasi banjir, tetapi juga memberi ruang (tanah) lebih
luas kepada petani miskin. Bagaimana mungkin seorang calon presiden akan
menyejahterakan petaninya jika rata-rata penguasaan lahannya hanya sekitar 0,25 hektar?
Negeri ini seharusnya sudah mencapai masa untuk tidak lagi menumpukan pembangunan
pada sumber daya hutan. Hutan yang tersisa sudah saatnya dijadikan area konservasi,
selebihnya yang memadai untuk diproduksi, didistribuskan secara adil kepada rakyat melalui
sistem social forestry.
Di berbagai negara di Asia, rakyat melalui kelembagaan social forestry bisa dipercaya
menanam sengon dan pohon lain untuk mencukupi kebutuhan industri pulp dan kertas.
Adapun lahan hutan yang cocok untuk persawahan bisa dikelola untuk mencukupi kebutuhan
pangan.
Mengatasi banjir sebenarnya juga merupakan cara untuk melakukan penataan terhadap
persoalan agraria. Tinggal kemauan pemerintah untuk mengubah haluan pembangunan dari
yang semula bertumpu pada sumber daya hutan menjadi sumber daya manusia di sekitar
hutan.
Ketua Fraksi PDIP DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan harus ada aksi nyata.
Diperlukan pemimpin dengan aksi kongkrit yang nyata, bukan sekadar solusi yang bersifat
pendekatan kata-kata," katanya.
Tak hanya dari politikus, nyinyir pun menggema di media sosial terkait dengan kritik
penanganan Anies.
Rencana aksi adaptasi dan mitigasi ancaman bencana termasuk di wilayah ibu kota dan
sekitarnya sebetulnya bukan tak ada, namun 'politik' dinilai bermain di belakang macetnya
kebijakan mitigasi tersebut.
Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan dengan kualitas politik Indonesia yang
masih buruk hal tersebut wajar terjadi. Ia menemukan, ada kalangan elite yang menggunakan
celah penanganan Pemprov DKI Jakarta itu untuk 'menyerang' Sang Gubernur, Anies
Baswedan.
"Tentu kita mengkritik Anies, bukan untuk menyalahkan, tapi kritik kebijakannya yang salah,
lalu untuk mencari solusi, bukan menjatuhkannya secara politik. Banjir ibukota bukan
persoalan gubernur semata, persoalan kita semua, persoalan pemerintah pusat, persoalan
presiden juga," kata Ujang kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Kamis
(2/1).
Padahal mestinya silang pendapat para politikus itu tak perlu terjadi. Yang terpenting dilakukan
menurut dia adalah memastikan tindakan kongkret yang bisa dilakukan masing-masing pihak. Baik
dari segi bantuan materi, tenaga, kebijakan ataupun gagasan.
"Kita menahan diri saja lah, sekarang tidak ada waktu untuk saling nyinyir, saling menyalahkan.
Karena masyarakat itu sampai hari ini ada banyak korban, meninggal, mengungsi. Ini yang harus
dipikirkan, itu yang lebih penting," tukas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review tersebut.
Kendati demikian Ujang tak menampik, kebijakan antisipasi dan penanganan Anies pun layak dikritik.
Sebab kata dia, pencegahan seharusnya bisa dilakukan secara terencana sehingga dampak banjir
bisa ditekan. Celah inilah yang kata dia, bisa dipergunakan lawan politik Anies sebagai 'peluru'.
"Kenapa kok tidak ditangani sejak awal, kenapa kok tidak siap-siap, kenapa kok tidak sedia payung
sebelum hujan. Inilah yang menjadi celah bagi lawan politik Anies untuk, mohon maaf ya, menghajar
Anies dalam konteks banjir ini," dia melanjutkan.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio yang menilai Gubernur Anies belum cukup sigap
menghadapi banjir-yang sudah menjadi bencana rutin Ibukota. Ia menduga sejumlah langkah minor
pemprov di antaranya memastikan pompa-pompa air berfungsi dan dijalankan, pembersihan
selokan dan drainase di sejumlah titik, terutama normalisasi sungai.
"Saya tidak melihat program normalisasi kali, jalan [Anies]," ujar Agus saat dihubungi
CNNIndonesia.com.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah kebijakan normalisasi sungai yang dilakukan pemprov DKI
sebelumnya, namun sempat berubah menjadi naturalisasi di bawah kepemimpinan Anies sejak 2017
silam. Kebijakan itu tak lepas dari janji politik Anies dalam Pilkada DKI 2017.
Usai melakukan peninjauan lewat udara bersama Kepala BNPB Doni Monardo dan Anies pada 1
Januari 2020, Menteri PUPR Basuki Hadi Muljono mengingatkan kembali rencana normalisasi yang
belum sepenuhnya dilakukan di sungai Ciliwung.
"Namun, mohon maaf Bapak Gubernur (Anies), selama penyusuran kali Ciliwung ternyata sepanjang
33 kilometer itu yang sudah ditangani dinormalisasi 16 km. Di 16 km itu kita lihat insyaallah aman
dari luapan," kata Basuki di samping Anies dan Doni Monardo.
Atas dasar itu, Basuki menyatakan akan duduk bersama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
untuk membahas hal tersebut. Upaya yang ditekankan Basuki adalah meminta Anies untuk
melakukan pembebasan lahan guna normalisasi.
Pada gilirannya berbicara kepada wartawan, Anies menepis pernyataan Basuki. Ia mengatakan
normalisasi sungai tidak akan berfungsi dalam kaitannya menghadapi banjir jika tidak ada
pengendalian air dari daerah di selatan Jakarta.
"Jadi, selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan,
maka apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan
airnya," kata Anies.
Kebijakan Penanganan Banjir
Agus Pambagio menyoroti sejumlah kepala daerah termasuk pemimpin negara, Presiden RI Joko
Widodo (Jokowi). Pasalnya, program guna mengantisipasi bencana tersebut sudah bisa diagendakan
jauh hari mengingat data yang dimiliki sejumlah instansi pun tersedia.
Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah sudah membahas lewat rapat koordinasi untuk
penanganan banjir ini dibahas sejak Juni 2019 lalu. Dengan begitu program penanggulangan banjir
termasuk kekurangan dana bisa dibicarakan dengan pemerintah pusat.
"Jadi ini bukan tiba-tiba ada, semua ada datanya. Jadi bisa dilihat, kapan kira-kira dia akan berubah
ekstrem. Pasti ada jangka waktunya, BMKG punya datanya. Untuk itu harus dilakukan pencegahan-
pencegahannya," kata Agus.
Buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ini juga sempat disinggung
Ujang Komaruddin.
"Bangsa ini kan negara kesatuan, bukan negara federal. Jadi kalau ada luka di provinsi manapun, itu
juga harus menjadi luka pusat," kata Ujang.
Diketahui, permasalahan banjir Jakarta bukan hanya terjadi pada masa Reformasi, Orde Baru,
maupun Orde Lama. Sejarah banjir di Jakarta sudah menahun, termasuk saat masih era
pemerintahan kolonial. Masing-masing zaman pun berbeda situasi dan penanganannya.
Agus Pambagio menganggap penanggulangan dan mitigasi banjir Jakarta yang bagus adalah pada era
Gubernur Ali Sadikin dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia mengakui banjir tak bisa dihilangkan
dari ibukota RI, namun bisa ditekan atau dikurangi dampaknya lewat kebijakan pemerintah yang
tepat.
"Dengan segala kekurangannya, [era] Ahok jauh lebih baik dalam menangani persoalan masyarakat.
Ahok cukup 'gila', cuma saya selalu ingatkan jangan bahas soal agama, dia kena di situ. Kalau Anies
tidak gila, dia sangat sopan saat berbicara. Dan itu tidak dibutuhkan saat membereskan DKI," kata
Agus.
Sementara Pakar Tata Kota Yayat Supriyanta mengusulkan audit tata ruang, drainase dan kawasan-
kawasan yang secara fisik tidak layak untuk ditambah permukiman di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-
Tangerang-Bekasi.
Menurut Yayat ada banyak faktor yang saling terkait, dan tak ada faktor dominan penyebab banjir.
Salah satu yang ia sebut perlu diperhatikan adalah sistem drainase yang sudah usang tapi masih
digunakan untuk mengantisipasi cuaca ekstrem belakangan. Fakta curah hujan tinggi dan kondisi
lingkungan yang kian parah membuat dampak semakin meluas.
Yayat menegaskan pejabat publik harus peka dan paham terhadap substansi masalah serta langkah
konkret guna mengatasi banjir.
Sementara itu, Agus Pambagio menyatakan berulangnya bencana serupa dan ketersediaan data
karena tak diiringi kebijakan publik yang kian matang dan terukur. Agus mengatakan deretan
langkah penanggulangan banjir itu sedianya tertulis di pelbagai program pemerintah, namun
pelaksanaannya jarang terbukti di lapangan.
"Drainase, normalisasi sungai, semua tadi di samping masyarakat dipaksa untuk membikin sumur
resapan, kebijakan-kebijakan itu sudah disebutkan, tapi tidak dilaksanakan," kata Agus.
Sementara itu, saat meninjau kondisi pengungsi banjir di Kampung Pulo, Jakarta Timur, semalam,
Anies menjelaskan normalisasi atau betonisasi tak cukup untuk menahan limpahan air sungai. Ia
kembali menegaskan langkah yang harus dilakukan lebih awal adalah di hulu.
"Solusi yang penting adalah mengendalikan air di hulu dengan membangun lebih banyak waduk,
dengan membangun lebih banyak embung sehingga air dari pegunungan bisa ditampung di
kawasan-kawasan hulu sebelum secara bertahap diturunkan ke pesisir," kata dia.
"Sedangkan jika air dilepas begitu saja ke pesisir, setinggi-tingginya tembok dinding sungai, selebar-
lebarnya sungai itu dia akan mengalami limpahan seperti yang terjadi malam ini di Kampung Pulo. di
sini sudah terjadi betonisasi tetapi tetap terjadi limpahan banjir," sambung Anies.
Anies menjanjikan soal mitigasi banjir itu akan dibicarakan nanti, sementara saat ini Pemprov DKI
fokus membantu para pengungsi di sejumlah wilayah yang banjir Jakarta.
Banjir ternyata bukan hanya fenomena alam, melainkan sudah merupakan akibat budidaya
tangan manusia yang meninggalkan prinsip-prinsip keseimbangan alam yang dilakukan tanpa
sadar sejak lama.
Hingga skala paling kecil pun, banjir adalah produk keputusan politik. Sebuah keputusan
pembangunan yang laiknya dikatakan sebagai kemajuan peradaban masyarakat. Padahal,
akibat perubahan keseimbangan alam untuk kepentingan pembangunan yang dilakukan tanpa
mendahulukan kepentingan keselamatan lingkungan itulah yang selalu berujung terjadinya
banjir. Yang fenomenal, rakyat menderita karena banjir, tetapi banyak kalangan justru
menikmatinya.
Banjir Bengawan Solo merupakan salah satu puncak berita banjir, termasuk tahun 2009.
Upaya sejak banjir besar tahun 1966, yang meningkatkan luas lahan berhutan sebesar 36
persen, atau sekitar 5.000 ha setiap tahun, pada periode tahun 1970-2003 ternyata diiringi
meningkatnya luas permukiman dan pengembangan kawasan perkotaan dengan laju 4.169
hektar per tahun. Nilai koefisien air limpas (run-off) meningkat dari 0,34-0,56 tahun 1970
menjadi 0,49-0,66 tahun 2003.
Paling tidak ada 36 DAS yang telah kritis di hampir seluruh sungai besar di Indonesia, di
antaranya DAS Solo, DAS Brantas, dan DAS Ciliwung di Pulau Jawa. Banjir yang
sebelumnya tak terlalu terdengar di luar Jawa—yang di Banjarmasin, Kalsel, hanya disebut
”air pasang”—akhir-akhir ini menjadi berita yang tidak kalah menakutkan.
Penyebab banjir adalah hilangnya kemampuan DAS menyerap air presipitasi karena
berkurangnya penutupan lahan oleh pepohonan. Suka atau tidak suka, kerusakan hutan alam
yang menyebabkan 59 juta hektar kawasannya perlu direhabilitasi (2000), perluasan budidaya
lahan pertanian dan kebun, serta kemajuan perkotaan yang tidak dikendalikan, termasuk
faktor utama penyebab banjir di luar Jawa. Curah hujan yang ekstrem menjadi faktor lain,
tetapi baru terdengar menjadi alasan terjadinya banjir pada waktu sekarang.
Ekohidraulik
Upaya fisik dan penanaman hulu DAS yang telah dilakukan dalam skala nasional sejak tahun
1970-an sebenarnya tidak memberi hasil nyata. Upaya itu lebih dapat disebut sebagai proyek
konvensional yang bersifat tambal sulam. Umumnya dilakukan dengan membuat tanggul atau
memasang pompa air, sodetan sungai, menormalkan arah aliran sungai, membuat talut dan
bronjong kawat. Penanaman pohon dianggap memerlukan waktu yang terlalu lama untuk
dapat berfungsi efektif.
Kini, negara-negara maju di Eropa, Jepang, dan lainnya telah melakukan penanggulangan
banjir dengan metode ekohidraulik (ecological hydraulics). Metode itu diperkenalkan tahun
1980-an dengan mengutamakan peningkatan fungsi alam secara integral dalam pencegahan
banjir.
Kunci pokok penanggulangan dan pencegahan banjir metode ekohidraulik adalah DAS yang
sebenarnya juga telah diperkenalkan di Indonesia sebelum tahun 1970. Renaturalisasi sungai,
mengembalikan belokan-belokan sungai yang sebelumnya diluruskan, menghidupkan bekas
potongan sungai lama dengan membuka tanggul pelurusan sungai, memelihara kealamiahan
sungai-sungai level menengah dan parit, serta melakukan penanaman pada daerah hulu dan
sepanjang aliran sungai, merupakan langkah cara ekohidraulik, menggantikan cara
konvensional yang lebih mementingkan cara teknik sipil itu.
Keputusan politik
Fungsi legislatif dan eksekutif dalam pemerintahan menetapkan keputusan politik yang
membawa arah pembangunan dan peradaban bangsa. Ironisnya, para penyelenggara
pemerintahan maupun pelaksana kontrol dan penganggaran di legislatif tidak paham atau
mengabaikan pemahaman kelestarian lingkungan.
Selayaknya analisis dampak setiap rencana pembangunan dilakukan atas dasar untung rugi
nilai rupiah dan tangibilitas nilai lingkungan (benefit-loss analysis), termasuk analisis kondisi
sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang harus dibangun lebih baik. Dinamika
pembangunan harus dikawal ketat meski akan tampak tidak populer. Kita berharap
memperoleh titik terang perwujudan penanganan masalah banjir ini dari hasil demokrasi
politik Pemilu 2009.
Pemilihan gubernur DKI makin mendekat dan memasuki tahap menentukan yaitu penentuan
cagub/cawagub oleh (koalisi) partai yang berhak mengajukan calon. Setiap partai yang punya
kursi cukup lumayan di DPRD sibuk melakukan komunikasi politik di antara mereka dan
juga dengan para tokoh yang dianggap layak untuk diajukan sebagai calon (gubernur/wakil
gubernur).
Tampaknya nama-nama yang akan muncul sebagai cagub/cawagub makin mengerucut pada
beberapa nama: Fauzi Bowo, Adang Dara- djatun, Agum Gumelar, Sarwono
Kusumaatmadja, Faisal Basri dan Bibit Waluyo. Untuk cawagub, nama yang menonjol
adalah Rano Karno. Lainnya ialah Dani Anwar, Jasri Marin, Biem Benyamin, Asril Tanjung.
Tiba-tiba terjadi bencana banjir dahsyat yang melumpuhkan DKI. Tudingan menyalahkan
Gubernur Sutiyoso tidak bisa dielakkan. Sayangnya Sutiyoso sibuk mencari kesalahan di luar
dirinya dan pemprov. Kita tahu bahwa terjadinya banjir dahsyat ini kesalahan banyak pihak
termasuk Pemprov DKI. Sutiyoso menyatakan bahwa banjir ini siklus lima tahunan.
Pernyataan ini dibantah sejumlah pakar. Hal ini menunjukkan bahwa gubernur tidak
memahami apa yang terjadi.
Koran The International Herald Tribune dan The Financial Times menyatakan bahwa
bencana di Indonesia (termasuk banjir DKI tentunya, SW), bisa dikurangi secara amat berarti
apabila korupsi (penyalahgunaan kekuasaan) bisa dibasmi dan birokrasi pemerintah bekerja
dengan baik. Saya menggarisbawahi pendapat itu.
Tentu Fauzi Bowo tidak bisa melepaskan diri dari masalah tersebut. Saya tidak mendengar
atau membaca langsung wawancaranya, tetapi Bambang Pranowo di media menulis bahwa
Fauzi Bowo menyatakan banjir itu adalah peristiwa alam dan tidak mungkin bisa
dikendalikan manusia. Upaya melawan banjir oleh warga di Pluit dan manajemen Hotel
Regent/Four Seasons, yang ditahun 2002 terkena banjir dan sekarang tidak, menunjukkan
bahwa kita bisa melawan banjir.
Pertanyaan yang muncul ialah apakah posisi Fauzi Bowo sebagai bagian dari pemprov yang
disalahkan karena terjadinya banjir itu akan mempengaruhi “nilai jualnya” di dalam
pandangan para pemilih dan karena itu juga didalam penilaian partai yang mencalonkan?
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Secara rasional partai yang berminat terhadap
Fauzi Bowo perlu mempertimbangkan kembali dengan serius pencalonannya. Tetapi
seringkali politik memang tidak rasional.
Beberapa bakal cagub (Sarwono, Faisal Basri, dan Adang Darajatun) sudah ikut
menyampaikan pandangannya tentang masalah banjir di dalam dialog di Metro TV (8-2-
2007) bersama Sutiyoso, Menteri PU dan anggota DPD Marwan Batubara. Tentu dialog
singkat itu tidak mungkin bisa mengungkap apa visi mereka tentang penanggulangan banjir.
Masyarakat menunggu penyampaian gagasan para tokoh yang berminat jadi cagub DKI
untuk mengungkap visi dan misinya tentang masalah penanggulangan banjir dan banyak
masalah lainnya. Para calon harus menguraikan secara cukup rinci, tidak hanya normatif, apa
yang akan dilakukannya didalam melawan banjir. Termasuk di dalam menentukan prioritas
anggaran.
Pedoman Partai
Apa pedoman partai di dalam memilih calon gubernur/calon wakil gubernur DKI? Sejauh
informasi dan kabar burung yang saya peroleh, tampaknya yang paling menentukan ialah
ketersediaan dana dalam jumlah amat besar. Bisa mencapai ratusan miliar. Partai yang bisa
mengajukan calon tanpa koalisi tentu memasang tarif yang tinggi. Partai yang punya kursi
lumayan saja ada yang memasang tarif tinggi.
Yang bisa melakukan negosiasi adalah DPD/DPW dan DPP. Seorang ketua umum dan
pimpinan sebuah partai yang punya beberapa kursi di DPRD DKI (sebut saja partai A)
didatangi seorang tokoh -yang tampaknya tidak punya dana besar- yang minta didukung
menjadi cagub bersama partai lain. Salah seorang pimpinan dengan enteng dan lugas tanpa
rikuh bertanya, berapa dana yang dipunyai.
Ada partai yang menyaring para pendaftar cagub/cawagub melalui proses dari bawah
termasuk pemaparan visi dan misi oleh para peminat yang mendaftar. Ini adalah suatu proses
bottom-up yang bagus. Tetapi ternyata proses seleksi itu tidak mengikat karena keputusan
tetap ada di tangan DPP. Apakah penentuan oleh DPP itu juga mempertimbangkan faktor
dana yang disediakan oleh balon untuk kas partai atau tidak, tidak jelas.
Tentu hasil survey juga menjadi acuan bagi partai di dalam menentukan calon, tetapi bukan
acuan utama. Yang utama tampaknya kemampuan dana, baik untuk “menyewa kendaraan
politik” atau untuk biaya kampanye. Visi dan misi serta kemampuan para bakal calon
tampaknya hanya pemanis. Apalagi karakter (kejujuran, tanggung jawab, kerja keras,
keberanian, ketegasan) si bakal calon.
Sebenarnya masih banyak lagi masalah yang perlu ditanyakan kepada para cagub, selain
masalah yang selama ini sudah banyak dibicarakan seperti transportasi, pendidikan,
kesehatan. Yaitu antara lain masalah penggusuran PKL dan pedagang lama di pasar yang
dibangun kembali.
Untuk kasus Blok M Square, menurut saya telah terjadi pelanggaran HAM terhadap para
pedagang lama yang tergusur dan kehilangan haknya untuk bekerja karena tarif yang
ditentukan PD Pasar Jaya (BUMD) amat tinggi dan tidak wajar serta tidak adil. Bisa jadi hal
serupa terjadi di beberapa pasar lain yang diremajakan. Gubernur/wagub/ DPRD tidak ada
yang bersuara membela para pedagang itu.
Saya khawatir banjir dahsyat yang melumpuhkan Jabodetabek tidak mampu menyadarkan
penduduk DKI bahwa perlu ada perubahan dalam cara kita mengelola DKI dengan memberi
perhatian lebih banyak kepada rakyat termasuk para PKL dan pedagang tradisional yang
selama ini dianaktirikan oleh pemda. Saya juga khawatir para pemimpin partai lebih
mengutamakan mencari dana dari para calon yang mereka dukung.
Kalau itu yang terjadi dan calon-calon yang muncul adalah mereka yang berparadigma lama
-membela yang kuat dengan menindas yang lemah, memperhatikan yang kuat dan
mengabaikan yang lemah- maka tidak akan terjadi perubahan apa pun. Artinya pemilihan
langsung tidak banyak gunanya karena tidak merubah apa pun.
Karena itu, perlu ditanamkan kesadaran rakyat untuk memilih calon yang mampu, jujur,
bertanggung jawab, tidak mencari kekuasaan untuk menumpuk harta, sederhana dan pro-
rakyat. Masalahnya apakah tokoh semacam itu -ada beberapa di antara sejumlah bakal calon-
akan dipilih sebagai calon oleh partai-partai yang punya legalitas mengajukan calon?
Kalau ternyata memang ketersediaan dana lebih penting daripada kemampuan, akseptabilitas
dan karakter di mata partai-partai, tampaknya kita perlu menggugat monopoli yang kita
berikan kepada partai di dalam mengajukan calon saat pilkada. Kita harus mendesak agar
calon independen diperbolehkan ikut seperti di NAD, di dalam pilkada mendatang. UU yang
mengatur masalah itu harus diubah.
Banjir adalah bukti sebuah kegagalan kolektif. Ia adalah buah dari pohon yang kita tanam
sendiri. Ia adalah konsekuensi tata kota dan gaya hidup kita yang abai pada lingkungan.
Banjir adalah bukti ketidakmampuan kolektif kita (hampir tanpa kecuali) dalam memelihara,
mengelola, dan melakukan konservasi lingkungan. Akibatnya, secara rutin banjir menjenguk
kita, merusak harta benda kita, mendatangkan kerugian materi sungguh besar, bahkan
mengancam hidup kita dan mengembalikan kita nyaris ke titik nol.
Nyaris setiap kita, tanpa kecuali, punya sumbangan di dalamnya. Tetapi, tak ada gunanya
saling tuding menyalahkan. Lebih baik mengambil pelajaran dari kesalahan yang kita buat
(dan berulang-ulang) sambil belajar dari kasus pengelolaan banjir di tempat lain.
Mengelola banjir
Musim panas 2002 belum lagi berakhir ketika banjir besar mengepung sebagian kawasan
Eropa Timur, Tengah, dan Barat. Praha, ibu kota Republik Ceko, adalah salah satu tempat
yang dilanda banjir sangat parah.
Air sungai Vltava yang membelah kota Praha meluap. Di hari kedua banjir, air meningkat
sekitar sembilan meter dari ketinggian normal. Sebagian besar kota Praha pun tergenang.
Stasiun-stasiun dan jalur kereta bawah tanah terendam dan tenggelam.
Wilayah Stare Mesto, Nove Mesto, dan Mala Strana, salah tempat konsentrasi turis di Praha,
tak luput dari banjir. Perumahan penduduk, perkantoran, universitas dan sekolah, serta hotel
dan motel dikosongkan. Saya “beruntung” termasuk salah seorang yang mesti mengalami
evakuasi saat itu sehingga bisa melakukan investigasi kecil-kecilan—sambil menyaksikan
dari dekat—bagaimana pemerintah kota menghadapi banjir.
Ketika debet air sungai Vltava meningkat dengan sangat cepat, truk-truk berdatangan ke
sejumlah lokasi yang paling rawan banjir. Truk-truk ini membawa pasir dan karung goni
dengan bentuk yang dirancang khusus sehingga ketika sudah diisi akan bisa saling mengait
dan menguatkan satu sama lain. Para petugas pemerintahan kota, sejumlah kecil polisi dan
tentara dengan sigap bersatu bekerja bahu-membahu dengan penduduk di sekitar lokasi untuk
mengisi karung-karung itu dengan pasir. Mereka membangun tanggul- tanggul darurat untuk
menghalangi laju air atau membelokkannya.
Pemetaan lokasi rawan banjir—yang sudah dilakukan pemerintah kota sejak lama—menjadi
panduan kerja itu. Dari mana pasir dan karung-karung yang sudah dirancang khusus itu?
Ternyata, di pinggiran kota ada gudang-gudang penyimpanan karung serta tempat-tempat
penimbunan pasir. Semuanya untuk mengantisipasi banjir yang biasa melanda kota pada
waktu-waktu tertentu.
Selain itu, dari sejak awal kenaikan air sungai, rencana evakuasi sudah diumumkan
pemerintah serta kemudian disebarkan melalui pengeras suara yang berkeliling ke sejumlah
tempat. Hotel-hotel, misalnya, sudah memegang perintah evakuasi sesuai dengan tingkat
kerawanan dan kemungkinan kedatangan air ke tempat mereka.
Sementara itu, pejabat publik, pusat maupun daerah/kota, mengoptimalkan media massa,
terutama televisi, untuk memberikan informasi mengenai perkembangan banjir dan fasilitas-
fasilitas penyelamatan diri yang disediakan pemerintah. Perahu-perahu karet serta tempat-
tempat penampungan sementara juga disediakan dengan cepat menggunakan perlengkapan
dan logistik yang juga sudah disiapkan jauh hari sebelumnya.
Banjir memang datang dengan sangat cepat. Tetapi, pemerintah dan warga kota dengan
cekatan berusaha beradu cepat dengannya. Di sana-sini tentu saja ada kepanikan. Tetapi,
semuanya sudah diantisipasi dan terpandu sehingga kerusakan dan korban pun bisa
diminimalisasi.
Banjir Agustus 2002 di Praha adalah siklus satu abad. Pada tahun 1950-an Praha konon
dilanda banjir dengan skala sama besarnya. Banjir-banjir dengan kekerapan yang lebih
pendek, tahunan atau beberapa tahunan, juga kadang-kadang terjadi. Pemerintah kota yang
sudah terbiasa menghadapi banjir pun terdesak mengambil pelajaran dan menyiapkan
antisipasi. Pemerintah dan warga kota membiasakan diri bersahabat dengan banjir.
Atas nama persahabatan dengan banjir inilah, sekadar misal lain, kota Amsterdam ditata
dengan sistem lalu lintas air yang terkelola dengan baik. Sekalipun ketinggian kota berada di
bawah permukaan laut, luapan air laut di saat-saat tertentu tersalurkan melalui tata kota yang
bersahabat dengan banjir.
Banjir, sekali lagi, adalah bukti kesalahan kolektif dalam pengelolaan lingkungan. Tak ada
untungnya saling tuding, apalagi menuding satu pihak sebagai satu-satunya yang bertanggung
jawab. Tetapi, harus diakui bahwa tetap ada porsi besar dan signifikan yang semestinya
diambil pemerintah kota (dan pemerintah secara umum) untuk mengelola perkara ini secara
layak.
Ketika banjir datang berulang di Jakarta, maka selayaknya pemerintah kota memiliki
kemampuan antisipasi, pencegahan, serta penanganan yang makin baik dan canggih dari
waktu ke waktu. Tetapi, mari kita saksikan drama penanganan banjir besar Jakarta hari-hari
ini. Semua itu membuktikan pemerintah (kota) saat ini tak lebih sigap dan cekatan.
Sampai dengan hari ketiga banjir, masih sangat banyak korban yang belum tersentuh bantuan
dan fasilitas evakuasi. Di Jakarta, yang anggaran belanja negara berbilang triliun rupiah,
fasilitas evakuasi dan penampungan sementara ternyata tak dimiliki pemerintah kota. Tentu
kita mengerti, sebagaimana dijelaskan gubernur, tak mudah menjangkau semua korban.
Tetapi, tetap terbukti pemerintah kota tak punya antisipasi dan lamban.
Dilihat dari sisi itu, banjir kali ini adalah bukti kegagalan Gubernur Sutiyoso dan Wakil
Gubernur Fauzi Bowo serta para pejabat publik di daerah sekitar Jakarta. Mereka gagal
menyiapkan kebijakan dan langkah yang bersahabat dengan banjir.
Dilihat dari perspektif kebijakan publik, penanganan soal banjir Jakarta ditandai oleh
kelemahan pemerintah kota dari hulu ke hilir. Pemerintah selama ini tak mengelola secara
layak pembentukan agenda, pembuatan kebijakan, pemilihan instrumen kebijakan,
implementasi kebijakan, evaluasi dan monitoring kebijakan serta manajemen kebijakan yang
ramah lingkungan.
Banjir pun dihadapi seolah kecelakaan biasa yang pasti tiba. Persoalan mendasar, termasuk
kebutuhan konservasi lingkungan, tak pernah ditangani secara saksama. Sementara itu, secara
fisik kota terus dikembangkan dengan rumus komersialisasi dan peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan menghadapi banjir dirancang, tetapi sambil membuat lebih banyak lagi
kebijakan yang bermusuhan dengan kebutuhan konservasi lingkungan.
Menghadapi banjir, pemerintah kota berlaku seperti dokter yang memberi pasiennya obat
analgesik. Yang diatasi hanya rasa sakitnya saja, sementara sumber penyakitnya sama sekali
tak dibasmi. Maka, Jakarta dan kota di sekitarnya pun gagal belajar dari banjir demi banjir
serta tak mampu bersahabat dengannya.
Tentu saja perbaikan dalam aspek ini tak bisa dikerjakan segera seperti membalik telapak
tangan. Dibutuhkan waktu panjang untuk bersahabat dengan banjir. Dan bagaimanapun, tak
layak menuding pemerintah sebagai biang keladi banjir sendirian. Semua anasir kota—baik
sektor publik, privat-swasta, maupun masyarakat—ikut memberikan kontribusi. Gaya hidup
sehari-hari kita yang tak ramah lingkungan juga ikut menyumbang.
Semestinya, banjir berskala besar yang melanda kita hari- hari ini bisa mendorong kita
melakukan pertobatan kolektif dengan memandang penting pemeliharaan lingkungan. Ya,
demikianlah semestinya.
Sejak banjir menggenangi wilayah Jakarta dan sekitarnya sejak Kamis (1/2), bukan hanya air
keruh yang menghiasi jalan dan permukiman warga di lokasi bencana. Atribut partai politik
pun menjamur seiring kian banyaknya daerah yang terkena banjir.
Pos bantuan dan dapur umum banyak didirikan sejumlah partai. Tak cukup dengan tenda
sebagai tempat koordinasi dan pengelola bantuan, atribut partai pun disertakan.
Atribut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) terlihat di sejumlah lokasi
banjir, seperti di Kampung Melayu, Jakarta Timur, dan Petamburan, Jakarta Pusat.
Atribut partai lain yang juga terlihat adalah Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan
Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Persatuan Pembangunan. Partai
baru, seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), tak ketinggalan membantu korban dengan tentu tak melupakan atributnya
pula.
Kader partai di sekitar lokasi bencana dikerahkan sebagai tenaga sukarela. “Dari delapan RW
di Kampung Melayu, PD mengerahkan 25 kadernya di setiap RW,” kata Ketua Bidang
Hukum dan Hak Asasi Manusia Dewan Pimpinan Cabang PD Jakarta Timur Tomy RS.
Di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, PKS membuka pos bantuan induk,
mengoordinasikan 10 pos bantuan cabang yang tersebar di setiap kelurahan. Selain
memanfaatkan kader berjumlah 100 orang yang dibagi dalam tiga kelompok kerja pada setiap
posnya, PKS juga menggalang kerja sama dengan warga.
Pembentukan pos bantuan bagi korban banjir itu adalah instruksi pimpinan partai. Kader
yang tinggal di daerah bencana pun wajib membentuk pos bantuan bagi warga meski
keluarga mereka turut menjadi korban.
Walaupun menampik anggapan jika bantuan yang diberikan hanya untuk menarik simpati
warga demi meraih dukungan pada Pemilu 2009, Tomy dan Ridwan, Ketua Posko Induk
DPC PKS Tanah Abang, Jakarta Pusat, tak menyangkal apa yang mereka lakukan dapat
meningkatkan citra positif partai.
Dengan citra partai yang terjaga, dukungan rakyat dalam Pemilu 2009 diharapkan kian
meningkat. Jumlah kursi di lembaga legislatif pun akan bertambah. Artinya, kekuasaan yang
dimiliki parpol dalam negara akan semakin besar.
“Ini pertolongan bagi siapa pun. Siapa pun yang terpanggil boleh membantu,” tegas Tomy.
Menurut Ridwan, partai dalam membantu korban di daerah bencana bukan kerja politik.
Kader partai, seperti warga lainnya, wajib membantu warga lain yang mengalami bencana.
Wali Kota Jakarta Pusat Muhayat menilai kerja kemanusiaan yang dilakukan sejumlah kader
parpol itu bisa mengurangi beban yang ditanggung korban. Tetapi, peran terbesar penanganan
bencana dilakukan masyarakat sendiri, yang lebih tahu kondisi dan kebutuhan mereka.
Guru besar ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Bachtiar Aly menilai upaya partai yang memanfaatkan bencana sebagai media untuk menarik
simpati masyarakat adalah tindakan yang cerdik. Dalam kondisi kesusahan seperti saat ini di
Jakarta dan sekitarnya, siapa pun yang berbuat kebaikan akan selalu diingat warga.
“Ambil sisi positif dari hadirnya partai politik pada saat bencana. Yang penting, bantuan
sampai ke masyarakat,” kata Bachtiar, Senin (5/2).
Namun, usaha menarik simpati rakyat itu tak efektif bila bantuan hanya diberikan saat
bencana. (m zaid wahyudi)
M Zaid Wahyudi
Keterangan Artikel
Sumber: Kompas Tanggal: 06 Feb 07
Adakah dugaan mistisisme politik negeri ini di tengah bencana yang bertubi-tubi? Gempa,
tsunami, lumpur panas, kecelakaan kapal, pesawat, kereta, flu burung, hingga ‘banjirpolitan’
Jakarta datang secara beruntun.
Mistisisme politik yang ramai diperbincangkan rakyat adalah, ada apa dengan lakon
pemerintahan SBY-JK, yang mestinya legitimate secara politik maupun mistis, sepertinya
bernasib kurang mujur. Alhasil, ketika pemerintahan SBY-JK dituntut untuk lari kencang
memulihkan bangsa, terus dirundung-hambat oleh bencana bertubi yang menguras anggaran
dan fokus pemerintahan.
Terlepas dari mistisisme politik yang mencoba mempertanyakan legitimasi mistis penguasa
dengan fenomena bencana alam, boleh-boleh saja dilakukan meski objektivitasnya sulit.
Pemerintah tidak bisa menggampangkan bahwa semua musibah yang terjadi itu pada
akhirnya akan berujung pada kebaikan. Tentu saja setiap musibah bisa diambil hikmahnya,
tetapi tidak berarti bahwa demi sebuah hikmah sebuah pemerintahan ditakdirkan ‘layak
dimusibahi’.
Meminjam adagium politik ‘Gusti ora sare’ dari Sukardi Rinakit, Direktur Eksekutif Soegeng
Sarjadi Syndicate, dalam konteks ini tidak berarti bahwa semua musibah yang terjadi pada
pemerintahan kini dimistifikasikan dengan ‘Tuhan tidak tidur’.
Tuhan dengan melek dan objektif bisa jadi akan memberikan nilai lebih tinggi meski kinerja
pemerintahan kini dirundung bencana. Bicara pemerintahan di tengah bencana bertubi-tubi
berarti bicara apa kata Tuhan nanti, bukan bagaimana kinerja dan ramalan mistisisme politik
pemerintah kini.
Bencana boleh silih berganti tetapi ‘Gusti ora sare’ yang dimaknai agar seseorang belajar
menerima keadaan dengan sabar dan meyakini bahwa time will tell the truth. Waktu jualah
yang akan membuktikan semuanya itu. Apa yang dilakukan pemerintah adalah yang terbaik,
bencana membawa hikmah besar (mestinya juga jangan dilupakan korban yang sangat besar).
Pokoknya akan berakhir dengan happy ending meski faktanya bencana demi bencana
berakhir dengan akhir yang mengenaskan, air mata, keputusasaan dan trauma. Ungkapan time
will tell the truth bukan kata-kata indah menyejukkan agar rakyat percaya begitu saja akan
suatu akhir pemerintahan dengan baik di tengah bencana yang begitu dahsyat dan bertubi-
tubi.
Tuhan berbicara?
Mistisisme politik ‘Gusti ora sare’ di satu sisi sangat baik agar pemimpin bertanggung jawab
kepada Tuhan karena menjadi orang nomor satu, tapi di sisi lain juga bisa menjadi kedok
ketidakmampuannya dengan merefleksikan kenyataan yang stagnan atau gagal lewat
fenomena bencana sebagai ‘oposisi politik dari alam’ yang paling nyata, bahkan lebih oposan
dari sikap politik PDIP.
Bencana bukan hanya mengkritik pedas penguasa tetapi juga menentangnya. Jangan bicara
pembangunan jika bencana merusaknya. Dengan kedok mistisisme politik ‘Tuhan tidak tidur’
yang disadari sangat aman, karena toh Tuhan juga tidak pernah mendemo atau keras
mengkritik, padahal bisa jadi bencana alam adalah suara Tuhan.
Jadi ‘Tuhan tidak tidur’ seharusnya disikapi Tuhan memang tidak tidur, tetapi sedang
menegur keras bangsa ini. Jauh-jauh Voltaire pernah mengatakan vox populi vox dei, suara
rakyat adalah suara Tuhan. ‘Tuhan tidak tidur’ mestinya dimaknai ‘Tuhan sedang berbicara’
yang terefleksi pada suara rakyat yang putus asa, mulai dari petani, korban bencana, keluarga
miskin, sampai anak sekolah.
Menghadapi mistisisme politik seperti ini tidak bisa tidak membuat kita harus mengevaluasi
dengan bukti-bukti, dan tidak terpusatkan melulu pada keyakinan ending suatu kebijakan, di
mana waktu akhirlah yang akan berbicara nanti.
Karena pengharapan itu masih jauh di belakang, cara seperti ini merupakan mistisisme politik
yang kurang bertanggung jawab. Perubahan terjadi melalui proses dan bukan instan, proses
yang mengarah pada perubahan yang semakin baik harus bisa dirasakan dan bukan diyakini
saja.
Ada tolok ukur dan bukti yang harus bisa dirasakan nyata. Niat baik saja seperti kompensasi
dana bantuan bencana alam untuk korban masih menjadi kata-kata manis yang harus
dibuktikan.
Dalam konteks bencana alam, adagium politik ‘Gusti ora sare’ telah melahirkan adagium
politik tandingan ‘rakyat ora turu’ (rakyat tidak tidur). Sudah menjadi kebiasaan kita setiap
bencana datang dihantui oleh sindrom kehidupan yang makin berat pada rakyat.
Efek domino mulai dirasakan, di sisi lain muncul ‘kehidupan lempar risiko’, di mana bencana
selalu meningkatkan risiko yang harus dilemparkan dalam bentuk kenaikan harga-harga, serta
penurunan kuantitas atau kualitas kehidupan.
Makna pertama, dari politik ‘rakyat ora turu’ adalah rakyat tidak bisa tidur karena dampak
bencana sehingga harus menanggung risiko hidup. Makna kedua, rakyat bukan hanya tidak
tidur karena harus memulai dari nol, tetapi bisa lebih parah lagi rakyat sudah ‘ora biso turu’
(tidak bisa tidur) karena simalakama sulitnya penghidupan, tidak mencukupinya nafkah, dan
tak tahu harus memulai dari mana.
Pemerintahan adalah ruang-waktu untuk diisi dengan perubahan yang lebih baik.
Stevanus Subagijo
Peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta
Keterangan Artikel
Tanggal: 08 Feb 07
Catatan:
Banjir—seperti banyak bencana lainnya—belakangan ini tidak lagi sekadar fenomena alam
yang biasa. Berbagai penelitian dan kajian akhir-akhir ini menunjukkan, berbagai bencana
tersebut semakin merupakan hasil dari perbuatan manusia, yang tidak bersahabat dan tak
sensitif terhadap alam. Oleh karena itu, pada dasarnya banjir dan bencana lain dapat
diantisipasi dan diupayakan agar tidak memakan korban harta benda dan nyawa yang begitu
banyak; ditekan sampai ke tingkat paling minimal.
Kombinasi antara gejala alam yang dalam belum sepenuhnya dapat diungkapkan ilmu
pengetahuan dengan pandangan dunia, gaya hidup, dan tingkah laku manusia telah
mengakibatkan berbagai bencana lama yang kian dahsyat dan mencemaskan masa depan
manusia dan alam itu sendiri.
Lihatlah perubahan iklim dan cuaca yang ekstrem di berbagai penjuru dunia. Banyak
kawasan di Belahan Utara Dunia (Northern Hemisphere) sampai akhir Desember dan awal
Januari lalu mengalami musim dingin yang hangat; salju yang turun sedikit sekali atau
bahkan tidak ada sama sekali sehingga banyak ski resort yang harus tutup. Ini mengakibatkan
banyak orang yang bekerja di sektor ini menjadi penganggur. Namun, tiba-tiba pada akhir
Januari dan awal Februari, gelombang yang sangat dingin melanda kawasan Belahan Utara
Dunia tersebut. Kehidupan menjadi lumpuh.
Hal yang sama juga terjadi di Tanah Air. Pada Desember, curah hujan yang sangat tinggi
mengakibatkan banjir dan longsor di berbagai tempat. Pada pekan-pekan pertengahan
Januari, di Jakarta, suhu udara menjadi sangat panas, di luar kebiasaan. Selanjutnya datanglah
musibah banjir besar, yang menenggelamkan sekitar 60 persen wilayah Ibu Kota dengan
korban nyawa lebih dari 80 orang. Kerugian harta benda nyaris tak terhitung.
Memandang “gejala- gejala” alam yang aneh itu cukup beralasan jika muncul apa yang
disebut sebagai climate hysteria, kekhawatiran dan ketakutan karena berbagai perubahan
iklim.
Histeria perubahan iklim tersebut menguat karena prediksi berbagai lembaga lingkungan
alam menyatakan, misalnya, menjelang 2100, karena pemanasan global yang mengakibatkan
mencairnya es di kawasan Kutub Utara dan Selatan, permukaan air akan naik beberapa meter.
Jika ini terjadi, tidak hanya membuat beberapa negara Eropa tenggelam, tetapi juga ribuan
pulau di Indonesia akan hanya tinggal sejarah.
Dalam konteks Indonesia, pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab atas bencana
banjir dan berbagai bencana alam lain yang terus melanda? Jawaban tipikal kalangan kita
adalah tidak ada siapa-siapa yang perlu disalahkan karena semua itu merupakan musibah dan
ujian dari Tuhan Yang Maha Esa atau bahkan sudah merupakan takdir.
Jika mau jujur, kita semualah yang bertanggung jawab atas berbagai bencana alam.
Pemerintah—baik pusat maupun daerah—agaknya merupakan pihak yang perlu dituntut
tanggung jawabnya karena gagal membuat perencanaan secara komprehensif dan koheren
dan menjalankan program secara konsisten guna mengantisipasi berbagai bencana alam.
Selain karena persoalan anggaran, juga karena program tertentu mendapat resistansi dari
masyarakat, seperti dalam kasus pembuatan waduk dan kanal banjir di Jakarta Timur.
Selain resistansi itu, juga banyak hal lain yang tidak kondusif. Karena berbagai faktor
tertentu, banyak kalangan masyarakat kita menempuh gaya hidup yang sama sekali tidak
bersahabat dengan alam, yang pada gilirannya mencelakakan diri mereka sendiri. Lihatlah,
pinggir sungai, situ, dan waduk menjadi permukiman ilegal. Atau bahkan legal—karena ada
izin dari pihak berwenang—sebab diuruk menjadi real estat, mal, dan banyak lagi. Atau
bahkan tak kurang parahnya, sungai, situ, dan selokan menjadi tempat pembuangan sampah.
Jika pemerintah menertibkan dan merelokasi masyarakat yang bermukim di sekitar daerah
aliran sungai, reservoir, dan serapan air tersebut, yang ada hanyalah resistansi.
Lebih celaka lagi, baik pemerintah maupun masyarakat kita umumnya cenderung tak pernah
mau belajar dari pengalaman pahitnya menghadapi bencana. Begitu bencana berlalu, kita
kembali kepada kehidupan seperti biasanya; kita adalah masyarakat yang careless, ceroboh,
karena tak mau belajar dan sekaligus tak punya kepedulian yang berkesinambungan.
Namun, di tengah realitas seperti itu, di tengah bencana banjir, selalu ada pihak yang
melihatnya sebagai peluang politik.
Lihatlah para pejabat, elite politik, dan aspiran politik yang berlomba-lomba “menyantuni”
para korban banjir di Jakarta. Berbagai bendera parpol bertaburan di sekitar daerah bencana,
di posko-posko, dan bahkan di kardus-kardus makanan instan.
Gejala ini menunjukkan, kalangan elite politik dan parpol kian sadar, membantu para korban
banjir—dan bencana alam lainnya—dapat menjadi peluang untuk penggalangan “modal
politik” (political capital), baik dalam konteks Pilkada DKI Jakarta maupun Pemilu 2009.
Melalui bantuan yang mereka berikan, para korban bencana dan masyarakat lainnya nanti
memberikan suara kepada parpol dan calon mereka.
Karena itulah, banjir di Jakarta bukan lagi sekadar bencana, tetapi juga berkembang menjadi
masalah politik, baik pada tingkat lokal DKI Jakarta maupun nasional. Ketika banjir menjadi
isu dan masalah politik, tatkala itu pulalah terjadi gesekan dan tensi politik di antara para elite
politik, baik yang tersembunyi dalam arus maupun yang terungkap ke ranah publik.
Banjir dan bencana lainnya seharusnya lebih mendorong terciptanya solidaritas sosial, yang
pada gilirannya dapat memperkuat social capital bangsa, bukan lebih untuk menggalang
political capital. Masyarakat kita memang lebih memerlukan solidaritas sosial dan sensitivitas
daripada penggalangan politik. Dan ini lebih menenteramkan masyarakat yang terus gundah.
Satu lagu lama yang mencuat ialah bahwa masalah banjir memerlukan pendekatan terpadu
kawasan Jabodetabek- Punjur untuk pembenaran adanya “Menteri Megapo- litan”.
Paduan suara itu menjadi tidak relevan karena Profesor Sejarah Hubungan Eropa Asia
Leonard Blusse dari Leiden menyatakan bahwa Belanda mampu mengatasi dampak
penggundulan sungai Rhine di wilayah hulu di Jerman.
2/3 wilayah Belanda berada dibawah permukaan laut, demikian pula 40 persen Jakarta.
Belanda menjadi ahli ekosistem bawah laut sehingga untuk membangun kembali New
Orleans akibat banjir Katrina, AS mengundang tim ahli Belanda.
New Orleans di Lousiana dibangun oleh Prancis yang lebih mengutamakan estetika
ketimbang ekosistem. Rencana pembangunan Banjir Kanal Timur sejak 1933 tetap relevan
setelah 73 tahun. Apa yang dikerjakan elite nasional Indonesia selama hampir 62 tahun
merdeka?
Sistim politik kekuasaan manunggal disatu tangan kepresidenan dan eksekutif telah membuat
Surabaya dan pusat-pusat kota lain yang dizaman Belanda punya prospek pertumbuhan setara
dengan Jakarta, tersendat dan mencuatkan konsentrasi monster Jabodetabek Punjur. Disini
segala macam penyalahgunaan dan hukum rimba bisa terjadi.
Pemda lokal tingkat dua, kabupaten, kota madya atau provinsi jelas tidak akan berani
menolak.
instruksi, kehendak atau himbauan pejabat Jakarta, atau Istana dalam menikmati perubahan
Tata Ruang dengan Tata Uang atau tekanan despot.
Rancangan Kolonial
Reformasi yang membuka desentralisasi dan dekonsentrasi serta otonomi daerah merupakan
ayunan pendulum dari pola konsentrasi Orde Baru. Namun arus migrasi ke Jabodetabek tetap
mengalir mirip arus imigran Amerika Latin ke AS.
Tapi pengendalian banjir Jakarta masih mengandalkan pintu air Manggarai warisan kolonial
yang tidak pernah diperbaharui atau ditambah. Banjir Kanal Timur hanya jadi wacana dan
rencana dengan alasan kurang dana.
Padahal dana yang diperlukan hanya Rp 5 triliun. Bandingkan dengan estimasi kerugian
banjir menurut Menteri Kepala Bappenas, Paskah Suzetta Rp 4,1 trilyun untuk Jakarta saja.
Ini berarti, seandainya pemerintah pusat dan DKI berkongsi konkret membangun banjir kanal
maka kerugian itu bisa terhindar dan DKI sudah punya banjir kanal. Alokasi dana untuk
busway melebihi keperluan pembebasan tanah banjir kanal.
Pembangunan megapolitan akibat konsentrasi ekonomi bisnis ke pusat ibukota politik tidak
terhindarkan. Pusat-pusat pertumbuhan di luar Jakarta masih seperti Segitiga Jogya-Solo-
Semarang dan Gerbang Kertosusilo di Jatim masih sulit menjadi magnet tandingan
Jabodatabek.
Pembangunan banjir kanal dan penataan kembali Tata Ruang barangkali bisa melibatkan
Bank Dunia dan tim ahli Belanda. Ali Sadikin pernah mempelopori program perbaikan
kampung, yang menjadi acuan Bank Dunia dan memberi pinjaman lunak kepada Pemda DKI.
Perbaikan kampung dijadikan pola bantuan negara berkembang lain.
Sekarang dalam pembangunan menara rusun untuk menghemat lahan dan urgensi
pembangunan banjir kanal yang memerlukan dana jangka panjang, diuji kecanggihan
diplomasi untuk melibatkan Bank Dunia. Paul Wolfowitz sedang berusaha merubah citra
Bank Dunia sebagai lembaga pembiayaan peduli rakyat kecil.
Sok Populis
Suatu pembangunan banjir kanal terpadu sekaligus sebagai obyek wisata model kanal
Amsterdam dan bis air (angkutan lewat kanal) dari hulu ke hilir bisa merupakan program
dengan multiple effect dalam jangka panjang.
Elite sok populis biasa berteriak, kita cukup kaya, punya dana simpanan menganggur di bank
berupa SBI/SUN karena itu kita tidak perlu utang lagi. Tapi kalau disuruh membangun banjir
kanal, mengeluh tidak punya dana dan getol memaki go to hell. Di mana logika dan etika
serta moral berpolitik.
Kalau memang ada dana ya cepat membangun, kalau tidak mampu mengalokasikan dana ya
perlu pinjaman lunak, maka aktiflah berdiplomasi. Namun kalau berkepala batu arogan dan
hanya menyalahkan orang lain, maka bencana banjir ini hanya salah satu musibah yang terus
mengancam secara rutin.
Belanda menerima banjir kiriman dari sungai Rhine Jerman tapi tidak mengeluh dan
mengatasi dengan teknologi tercanggih sedunia.
Orde Lama dan Orde Baru sudah salah, kebablasan dalam otonomi juga sudah jadi sejarah.
Semua itu harus diakui dan kita harus melakukan terobosan baru yang benar-benar
mengutamakan meritokrasi guna mencapai hasil optimal bagi rakyat.
Selama merdeka Jakarta dan Jawa hanya dilayani prasarana warisan Hindia Belanda seperti
pintu air Manggarai, jalan pos Daendels. Jalan tol baru diawali oleh putra putri penguasa
tunggal Orba.
Sekarang saatnya rakyat Jakarta menentukan pilihan bahwa hanya cagub yang mampu
membangun banjir kanal dalam 3 tahun dengan segala kecanggihan tehnik diplomasi
finansial dan menciptakan model pembangunan terpadu, layak jadi Gubernur DKI.
Kalau tidak mampu membangun banjir kanal ya tidak perlu berambisi jadi Gubernur DKI
atau “Menteri belepotan” apalagi jadi capres 2009.
Beban citra dan reputasi kegagalan banjir tentu juga berdampak pada prospek pemilihan
kembali duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalau banjir teratasi bisa menjadi
bukti sukses kepemimpinan, maka saingan capres lain akan susah maju.
Namun bila Kabinet Indonesia Bersatu, gagal membangun banjir kanal, capres alternatif
berpeluang untuk tampil secara independen. Seperti Gubenur NAD, karena rakyat sudah
muak dengan “rezim parpol” yang korup, impoten dan inkompeten.
Musibah banjir yang kali ini melanda berbagai daerah di Indonesia, khususnya yang di daerah
Jakarta Raya dan sekitarnya, menggugah hati dan menggoncangkan fikiran banyak orang.
Bukan saja karena musibah besar ini telah mendatangkan penderitaan – dalam berbagai
bentuk dan ukuran – bagi jutaan orang, melainkan juga memunculkan beraneka pertanyaan
dan bahan renungan. Apakah musibah ini memang takdir Tuhan, ataukah ini hanyalah akibat
kesalahan manusia juga? Atau, apakah kita semua harus menerima dengan tawakal dan sabar
nasib sedih yang menimpa begitu banyak orang, ataukah harus ikut berbuat sesuatu untuk
mengatasinya? Lalu, kalau sudah begitu, apa sajakah kekurangan (atau kesalahan) yang telah
terjadi, dan siapa pula yang harus bertanggungjawab?
Justru soal-soal yang berkaitan dengan itu semualah yang selama berhari-hari dan terus-
menerus bisa kita baca dalam pers Indonesia, dan kita lihat atau dengar dari televisi dan
radio. Agaknya, juga itu semualah yang dibicarakan oleh begitu banyak orang yang
rumahnya terendam air (atau terpaksa ditinggalkan), dan oleh orang-orang yang bersama
seluruh keluarganya terpaksa mengungsi di emperan toko-toko, di mesjid-mesjid, di gedung-
gedung sekolah, di pinggiran jalan kereta-api. Mungkin, ketika sejumlah besar orang sudah
berhari-hari tidak bisa ganti pakaian dalam keadaan kelaparan dan kedinginan, dan ketika
banyak anak-anak yang sudah kena penyakit gatal-gatal, diarhee, sesak napas dsb, banyak
juga yang mempertanyakan tentang efisiensi kerja pemerintah dan kebenaran sistem politik,
ekonomi, sosial yang dianut oleh negeri kita dewasa ini.
Walaupun banjir sudah sering terjadi, tetapi yang kali ini pastilah akan menimbulkan dampak
yang lebih besar dari pada yang sudah-sudah, di berbagai bidang. Kali ini, begitu besarnya
banjir sehingga banyak daerah di pusat kota Jakarta juga terendam air. Di samping itu,
banyak sekali penduduk di daerah di Bekasi, Tangerang dan Jakarta Selatan yang berdekatan
dengan kabupaten Bogor juga harus menderita musibah ini. Banyak daerah yang selama ini
tidak pernah tersentuh banjir secara serius (lapangan Monas, jalan Thamrin, jalan Gajahmada
dan Hayamwuruk, jalan Gunung Sahari) juga dilanda banjir. Bahkan, untuk pertama kalinya
sejak Proklamasi kemerdekaan Republik kita, banjir pun sudah menyerang halaman Istana
Negara. Singkatnya, banjir telah menyerang juga “ulu hati” pusat pemerintahan Republik
Indonesia.
Banjir besar kali ini telah mendatangkan kesengsaraan bagi banyak sekali penduduk. Siaran
siaran radio dan televisi telah menyajikan cerita-cerita yang mengharukan dan menyedihkan
tentang penderitaan mereka itu. (Ketika tulisan ini dibuat tanggal 3 Februari pagi, radio
Elshinta menyiarkan reportase tentang penduduk di Kelapagading, yang sudah seminggu
terkurung dalam rumah yang digenangi air, sehingga tidak bisa kemana-mana dan mendapat
kesulitan untuk mencari makan). Masih belum bisa diperkirakan berapa besar kerugian
material (dan jiwa) yang dialami oleh penduduk dan perusahaan-perusahaan, dan juga oleh
negara. Sebab banjir masih berlangsung terus di berbagai wilayah, dan bahaya hujan juga
masih mengancam terus sampai akhir Maret yad. (Hingga Minggu 3/2/2002, sedikitnya 21
orang tewas dan 381.300 orang terpaksa mengungsi. Hal itu disampaikan Gubernur DKI
Jakarta, Sutiyoso, dalam keterangan persnya.)
Namun, bencana besar yang menimpa daerah Jakarta dan sekitarnya kali ini juga bisa
membawa berbagai hikmah. Karena terjadi di Jakarta, maka musibah ini bisa diharapkan
menjadi “pecut” atau “pukulan” untuk membangunkan kalangan atas dari tidur dan mimpi
mereka, sehingga mereka bisa melihat dengan jelas realitas kongrit bahwa banyak hal yang
harus diperbaiki, dirobah, atau bahkan dibongkar sama sekali dalam cara menyelenggarakan
negara. Hikmah lainnya adalah b ahwa banjir ini bisa merupakan pelajaran bagi masyarakat,
sehingga mereka bisa menjadi lebih bersikap kritis terhadap langkah-langkah atau politik
berbagai institusi pemerintahan, DPR (atau DPRD), dan juga kalangan swasta. Di samping
itu, banjir besar ini juga telah melahirkan aspek positif, yang berbentuk berbagai aksi
solidaritas yang lahir secara spontan di kalangan masyarakat sendiri. Aksi solidaritas yang
berkembang di kalangan penduduk ini adalah segi yang indah di tengah-tengah penderitaan
rakyat korban banjir.
Selama bencana banjir, berbagai stasion radio ( antara lain : Elshinta, radio Delta), televisi
dan media cetak memainkan peran positif dalam menebarkan benih-benih solidaritas, dengan
mengadakan program-program yang menyerukan bantuan kepada korban banjir. Seruan
tentang bantuan yang terus-menerus dikumandangkan dan disertai dengan reportase tentang
kondisi para korban merupakan pendidikan solidaritas yang sangat menyentuh hati banyak
orang. Demikian juga dengan banyaknya posko-posko yang dibentuk oleh LSM, gerakan
pemuda/mahasiswa, dan berbagai golongan dalam masyarakat, yang membantu para korban
dengan beraneka-ragam aksi, umpamanya pembagian sembako, pakaian, obat-obatan atau
berbagai ragam bantuan lainnya.
Hikmah lainnya adalah bahwa dalam menghadapi musibah besar ini, makin kelihatan lebih
jelas lagi bagi banyak orang, siapa-siapa saja atau golongan yang mana saja, yang betul-betul
bersikap peka terhadap kepentingan rakyat, dan mana pula yang tidak peduli atau bahkan
terus membuta-tuli saja terhadap penderitaan rakyat. Oleh karenanya, sejak sekarang sudah
dapat diperkirakan bahwa banjir besar di Jakarta dan sekitarnya ini masih akan berbuntut
panjang. Kalau pun banjir sudah surut, banyak persoalan masih bisa timbul. Sebab, justru
waktu itulah datang saatnya bagi berbagai fihak (kalangan pemerintah maupun masyarakat)
untuk menarik pelajaran dari pengalaman yang sangat menyedihkan banyak orang ini, dan
mencari solusi supaya musibah semacam itu tidak terulang lagi di masa datang.
FAKTOR KORUPSI DI BELAKANG BANJIR
Banjir besar di berbagai wilayah Jabotabek kali ini telah mulai memunculkan suara-suara
keras tentang politik pemerintahan di masa lalu yang berkaitan dengan pengelolaan tanah
atau tata-ruang. Berbagai kalangan menghubungkan masalah banjir ini dengan adanya
pembangunan rumah-rumah mewah di daerah-daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur),
yang telah merusak kawasan yang luas sekali yang seharusnya dipertahankan sebagai daerah
resapan air. Dengan banyaknya kawasan real-estate yang diselenggarakan oleh para
pengembang (developper), maka terjadi banyak juga pelanggaran-pelanggaran. Berbagai
projek real-estate yang dibangun di masa lalu merupakan projek “kongkalikong” antara para
pengembang (atau para konglomerat) dengan para pejabat di banyak instansi yang berhak
mengeluarkan berbagai ijin.
Menurut artikel yang disiarkan oleh Mandiri (1 Februari, 2002), “Banjir yang melanda
Jakarta dan sekitarnya selama dua pekan terakhir ini disebabkan tidak hanya oleh tingginya
curah hujan tetapi akibat sejumlah kawasan hijau di jalur Bogor-Puncak dan Cianjur
mengalami kerusakan. Pemerintah pusat rupanya harus melakukan peninjauan ulang terhadap
perizinan sejumlah vila dan real estate yang berdiri di atas lahan hijau di kawasan Bopunjur,”
kata anggota DPR asal Cianjur H Dadang Rukmana Mulya kepada pers di Cianjur, Jumat
(1/2).
Menurut Dadang, padatnya perumahan mewah di sejumlah lahan yang dianggap kritis selama
ini telah menyebabkan air hujan yang terus mengguyur kawasan Bopunjur tidak tertampung
dan terus mengalir hingga daerah sekitarnya. Puluhan hektar hutan yang dalam sepuluh tahun
belakangan ini menjadi paru-paru Ibu Kota, kini tinggal kenangan karena banyak yang telah
berubah menjadi lahan beton. “Anehnya meskipun ada Keppres dan ketentuan lain dari
pemerintah tentang pembangunan di kawasan tersebut, para investor tetap melirik kawasan
Bopunjur sebagai lahan bisnis untuk membangun vila mewah bagi kalangan berduit,” kata
Dadang anggota F-PDI Perjuangan.
Secara terpisah, anggota Komisi D DPRD Kabupaten Cianjur, Acep Hidayat JD,
mengemukakan Pemkab Cianjur kini memerlukan Perda baru tentang pembongkaran paksa
bagi sejumlah bangunan tak berizin yang berdiri di kawasan hijau, terutama beberapa
bangunan villa dan real estate yang telah menyalahi Kepres 114/1999 tentang Pengendalian
Kawasan Bogor Puncak dan Cianjur (Bopunjur).
Sedikitnya 54 real estate dan perumahan mewah di kawasan Puncak Cianjur ternyata berada
pada lahan hijau sehingga telah menyalahi sejumlah peraturan termasuk Kepres Nomor 114
Tahun 1999 tentang Penataan Kawasan Bogor Puncak dan Cianjur (kutipan dari Mandiri
selesai).
Apa yang dilakukan oleh para pengembang di daerah Bogor-Puncak-Cianjur itu hanyalah
salah satu contoh di antara banyak praktek para pengembang di berbagai daerah lainnya di
Indonesia, termasuk yang di daerah Jabotabek. Dalam banyak praktek para pengembang,
“uang semir” (suapan) bagi para pejabat merupakan faktor yang memainkan peran penting.
Artinya, ijin diperjualbelikan, dan pelanggaran dibiarkan saja oleh para pejabat, asal KUHP
(kasih uang habis perkara).
Utang negara kita (baik utang dalamnegeri maupun luarnegeri) sudah amat besar, yaitu
sekitar Rp 1400 trilyun, atau 4 kali APBN kita. Artinya, sebenarnya kas negara kita sudah
kosong. Defisit anggaran belanja negara kita juga diperkirakan akan besar sekali untuk tahun
2002 ini. Dalam situasi yang demikian ini, kalau masih ada oknum-oknum yang masih berani
main korupsi dengan anggaran Rp 550 milyar (untuk rehabilitasi pasca banjir Jakarta) maka
patutlah dihukum yang seberat-beratnya. Ketika jutaan orang menderita (dalam berbagai
bentuk dan kadar) karena musibah banjir, maka korupsi adalah dosa yang amat besar. Untuk
mencegah praktek-praktek para maling besar itu, maka peran pengawasan berbagai Ornop
(LSM, gerakan mahasiswa, lembaga-lembaga studi kemasyarakatan dll) amatlah penting.
Sebab, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa banyak projek-projek “pembangunan”
ternyata telah menjadi proyek “penghancuran”, baik di bidang ekologi, ekonomi, finansial,
maupun (dan ini yang juga parah!) moral. Contohnya adalah di sektor industri real estate.
Menurut kantor berita Antara ada 330 pengembang (developer) yang mempunyai utang
kepada BPPN, yang seluruhnya bernilai Rp 9,4 trilyun ( dengan angka lain Rp 9 400 000 000
000). Proses restrukturasi utang para pengembang ini sekarang tidak jelas. Ketidakpastian
penyelesaian proses restrukturisasi tersebut merugikan negara karena potensi penerimaan
negara menjadi terhambat. (Media Indonesia, 21 Januari 2002). Uang Rp 9,4 trilyun ini
adalah besar sekali! Dan, selama Orde Baru, uang inilah yang sebagian juga dipakai untuk
mendirikan vila-vila, rumah-rumah indah, mall bagi mereka yang berduit. Di masa lalu
terdengar banyak cerita tentang adanya penggusuran tanah-tanah atau pemindahan penduduk
(dengan intimidasi atau imbalan yang murah). Karena adanya krisis moneter, sebagian dari
projek itu menjadi berantakan. Sekarang, negara (artinya rakyat kita) terpaksa menanggung
akibat ulah para konglomerat (dan pejabat) itu.
Kita akan sama-sama saksikan, tidak lama lagi, bahwa masalah banjir akan menimbulkan
perdebatan yang cukup ramai. Sekarang saja sudah ada pernyataan yang macam-macam.
Umpamanya apa yang dikatakan oleh Akbar Tanjung, yang sebagai berikut : “ Masyarakat
dan pemerintah hendaknya jangan saling menyalahkan menyangkut soal musibah banjir yang
melanda Jakarta dan berbagai daerah lain di Tanah Air akhir-akhir ini. Bencana banjir
tersebut hendaknya disadari sebagai cobaan dari Tuhan, dan tidak perlu kita saling
menyalahkan. Yang terpenting dilakukan adalah langkah-langkah nyata untuk membantu
mengurangi beban penderitaan para korban yang tertimpa musibah banjir itu,” katanya, di
Kisaran, Sumatera Utara (Republika, 3 Februari 2002). Rupanya, Akbar Tanjung tidak suka
kalau kita semua mempersoalkan mengapa sampai terjadi banjir, kecuali sebagai cobaan dari
Tuhan! Sebagai politikus yang kawakan, sikapnya ini memang mengherankan. Coba, mari
kita bandingkan dengan yang berikut ini.
Sementara itu, Azyumardi Azra menilai bahwa dari sudut pandang agama, apa yang terjadi di
Jakarta merupakan musibah. Akan tetapi, menurut Azyumardi, “Musibah berlaku sesuai
dengan hukum alam.” Hukum alam yang dimaksudkan Azyumardi adalah bahwa
perencanaan lingkungan hidup dan tata kota selama ini keliru. Selain itu, gaya hidup
masyarakat juga mendukungnya dengan cara membuang sampah sembarangan dan
mendirikan pemukiman-pemukiman liar. “Hal inilah yang merupakan faktor penyebab
terjadinya musibah,” katanya. (Tempo Interaktif, 3 Februari 2002).
Kiranya, akan makin jelas bagi banyak orang, nantinya, bahwa masalah banjir di Jakarta
(seperti halnya banjir-banjir lainnya di donesia) tidaklah cukup hanya dihadapi dengan sikap
“sebagai cobaan dari Tuhan” saja, tanpa berbuat sesuatu. Akan makin jelas bahwa banjir di
Jakarta ada sangkut-pautnya dengan masalah pengelolaan lingkungan hidup, dengan
penegakan hukum, dengan pemberantasan korupsi, dengan kesedaran bernegara dan
bermasyarakat, dengan perencanaan tata-ruang, dengan cara penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan bersih. Singkatnya, ada hubungannya dengan masalah politik, ekonomi, sosial,
dan moral.
Dari segi inilah kelihatan betapa pentingnya aksi-aksi berbagai golongan dalam masyarakat
untuk menjadikan masalah banjir di Jakarta juga sebagai bagian dari pendidikan politik, dan
sebagai bagian dari perjuangan untuk meneruskan reformasi. Gagasan tentang kemungkinan
dilancarkannya class action (gugatan kelompok) terhadap pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah oleh para korban banjir adalah salah satu di antara aksi-aksi itu.
“Pengajuan gugatan class action itu dilandaskan pada kerugian publik dan adanya kebijakan
keliru. Pemerintah bisa dipandang lalai melaksanakan tugas menciptakan kesejahteraan
publik dan alpa menyiapkan program menghadapi ancaman banjir yang merupakan persoalan
rutin. Hal tersebut dikemukakan praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis, ahli hukum
lingkungan Mas Achmad Santosa, dan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
(PBHI) Hendardi” (Kompas, 1 Februari 2002).
Banjir di Jakarta telah mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang, dan juga menimbulkan
korban benda dan jiwa yang besar. Tetapi, musibah ini juga mempunyai hikmah bagi
perjuangan kita bersama untuk membangun “clean and good government” (pemerintahan
yang bersih dan baik). Sebab, banjir ini juga memungkinkan terbukanya sebagian borok-
borok parah, yang selama ini telah membikin sakitnya tubuh bangsa.
Secara geografis, Jakarta adalah kota pantai yang dilalui 13 sungai, semuanya bermuara di
Laut Jawa. Tahun 1920, sistem tanggul dibangun Pemerintah Belanda untuk melindungi
Jakarta dari bahaya banjir. Namun sistem ini tak dapat lagi berfungsi baik seiring perubahan
fungsi lahan dan ruang di sekitar Jakarta.
Zona I adalah zona di kawasan pantai, berciri buruknya sistem drainase, kapasitas tanah
rendah dalam penyerapan air, rendahnya kapasitas lahan untuk permukiman dan biasanya
digunakan sebagai tambak udang atau ikan.
Zona II adalah daerah pertanian, seperti Bekasi dan Tangerang dengan ciri-ciri: air tanah
masih baik namun rawan polusi, rawan banjir, dan buruknya sistem drainase serta
kemampuan tanah rendah dalam menyerap air.
Zona III adalah kawasan perluasan kota dan kawasan industri yang dicirikan dengan
gradien tanah baik sehingga mendukung sistem drainase, tanah untuk kegiatan campuran,
baik pertanian maupun industri atau lainnya.
Zona IV adalah kawasan Bogor dan Ciputat yang dicirikan pembangunan kota terbatas,
sistem drainase alamiah baik, tidak banjir, kapasitas penyerapan air baik, dan sumber air
tanah terbatas.
Zona V adalah kawasan Puncak, dicirikan daerah pegunungan, hutan alam, mudah erosi
bila ada penebangan hutan.
Dari pemahaman ini jelas perencanaan dan pelaksanaannya lebih digambarkan sebagai proses
penyeimbangan kepentingan dari berbagai kelompok atau golongan di masyarakat kota dalam
mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Sumber daya terbatas itu adalah air, tanah, udara,
dan ruang. Pemahaman ini menarik dicermati bila kita melihat perencanaan ruang di kota-
kota Indonesia. Rencana Umum Tata Ruang (RUTRK) sering tak dapat dilaksanakan secara
efisien karena golongan masyarakat yang mempunyai akses ke pengambil keputusan
berusaha sedemikian rupa untuk memanfaatkan ruang sesuai kepentingannya.
Kawasan Puncak di Cianjur sesuai Keppres Nomor 53 Tahun 1989 telah mengatur
pengendalian pembangunan fisik di kawasan Puncak. Namun sampai kini, keputusan
tersebut tidak mampu menahan lajunya pembangunan kawasan ini yang dilakukan swasta.
Konversi lahan pertanian ke perumahan mewah atau hotel berbintang merupakan gejala
alamiah dan tak mampu dicegah pemerintah. Di lain pihak Keppres tersebut dimaksud untuk
melindungi kawasan Puncak sebagai kawasan peresap air untuk kebutuhan air bersih di
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Persoalan politis ketiga adalah persoalan kerja sama antarpemerintah daerah. Sebagai
contoh, Pemda Bekasi harus mengubah RUTRW-nya sebanyak dua kali, karena adanya
tekanan dari Pemda DKI Jakarta. Tekanan ini tentu sangat bersifat politis, dimana pengambil
kebijakan di DKI Jakarta mempunyai otoritas di atas Pemda Bekasi dan dapat memaksanakan
kepentingannya kepada Pemda Tingkat II Bekasi. Dalam posisi seperti ini, semua analisis
teknis berkaitan dengan rawannya banjir akibat pembangunan perumahan besar-besaran
menjadi pertimbangan yang rendah dalam perencanaan penggunaan lahan. Peristiwa
banjirnya sebagian besar perumahan di musim penghujan di Bekasi baru-baru ini merupakan
indikator signifikan bahwa semakin luasnya lahan yang tertutup sebagai peresap air.
Perencana kota di Bappeda Pemda Bekasi sudah tentu tidak dapat berbuat banyak jika ada
tekanan politis oleh pengusaha-pengusaha yang berkolusi dengan pejabat di pemerintah
pusat di Jakarta.
Bagaimana law enforcement?
Dari konsekuensi politik perencanaan kota dan kawasan serta pelaksanaannya, tentu law
enforcement pun sangat bermakna politik. Dalam kasus law enforcement di kawasan Puncak
nampak sekali Pemda Tingkat II Bogor dan Tingkat II Cianjur sangat memerlukan
dukungan politik dari menteri bahkan Presiden. Langkah politik ini didorong dari
ketidakmampuannya dalam berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pengusaha Jakarta
yang diyakini mempunyai dukungan politik kuat. Pemaknaan gejala politik sebenarnya
tidaklah sulit. Adalah jelas kekuatan-kekuatan ekonomi mempunyai kekuatan riil politik
untuk memaksanakan kepentingannya. Pada kondisi seperti ini, peran pemerintah daerah
sangatlah penting untuk menjadi simbol aktualisasi dan agregasi kepentingan masyarakat.
Dukungan politik menteri terhadap keputusan pejabat atau dalam skala lebih luas, pemerintah
daerah, sebenarnya banyak dinanti-nanti masyarakat daerah. Dalam banyak hal, seringkali
kepentingan masyarakat daerah yang diaktualisasikan oleh pemerintah daerah harus
dikalahkan demi kepentingan departemen tertentu.
Terjemahan kedua dari law enforcement di kawasan Puncak ini adalah perlunya penguatan
sumber daya politik pemda. Yang dimaksud penguatan sumber daya politik pemda adalah
pelimpahan kewenangan dan pengakuan pejabat pusat akan kewenangan tersebut.
Pelimpahan kewenangan saja, tanpa pengakuan politik sama saja dengan memberikan pisau
tumpul. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah haruslah
diiringi pengakuan dalam bentuk riil. Artinya penghormatan dan kerelaan pemerintah pusat
terhadap keputusan-keputusan yang diambil pemda, sepanjang masih di dalam kawasan
kewenangannya.
Terjemahan politik selanjutnya adalah pentingnya pertimbangan dan asumsi politik (political
asumptions) atau fakta politik (political facts) dalam pembuatan rencana kawasan, baik di
tingkat perkotaan, daerah, regional, bahkan nasional. Pertimbangan atau asumsi politik ini
terutama dikaitkan dengan analisis konflik kepentingan yang mungkin timbul dalam
pelaksanaan sebuah rencana kawasan atau rencana guna lahan. Analisis konflik kepentingan
jadi semacam metode mengantisipasi kesulitan-kesulitan yang akan timbul pada saat
pengaturan pemanfaatan fungsi lahan sesuai rencana kawasan atau rencana tata guna lahan
(land use plan). Pejabat-pejabat di daerah yang mempunyai kewenangan memberikan izin
perubahan fungsi lahan atau izin mendirikan bangunan sudah dibekali pengetahuan politik
tertentu guna mengantisipasi pemihakan kepentingan pada sekelompok orang tertentu dan
menafikan kepentingan masyarakat banyak. Sebagai contoh, pejabat yang bertugas di
kawasan tumbuh cepat (fast growing cities/areas) perlu dibekali pengetahuan-pengetahuan
teoritis tentang pertentangan kelas dan kepentingan antara kelompok masyarakat serta
kecenderungan-kecenderungan kebutuhan masing-masing kelompok politik dan ekonomi.
Seorang pejabat daerah perlu dibekali cara melakukan mediasi diantara kepentingan yang
saling bertentangan; perbenturan kepentingan masyarakat di lingkungan kumuh dengan
kepentingan investor, kepentingan LSM dan kepentingan pemerintah, dan seterusnya.
Secara alamiah, perlu juga diingat, kawasan-kawasan tumbuh cepat akan memancing
perhatian kaum berduit untuk menguasai sejumlah lahan strategis, yang tentunya harus
berbenturan dengan kepentingan kelompok sosial lainnya. Rencana penggunaan lahan yang
secara teknis dibuat seorang arsitek dalam bentuk peta teknis perlu diberi makna-makna dan
penjelasan ekonomi politik, terutama kawasan-kawasan yang harga lahannya tinggi. Pada
kawasan-kawasan ini akan timbul konflik-konflik kepentingan: kepentingan antara
keuntungan dan kepentingan untuk menjaga kualitas lingkungan. Antisipasi yang dibekali
dengan pengetahuan yang cukup ini akan sangat bermanfaat saat mereka mengambil
keputusan memberikan izin atau tidak pada suatu proyek. Tentu tindakan pembuatan
keputusan merupakan kombinasi dari kemampuan profesional dalam mengetahui daya
dukung alam yang telah diatur oleh Allah dan kemampuan hati nurani sang pejabat untuk
mendahulukan kepentingan orang banyak.