Disusun Oleh :
Ngainur Rofik
Devi Ambarsari
Aina Nur Hidayah
Abstrak
1
A. PENDAHULUAN
Etika berasal dari istilah etik, istilah ini berasal dari bahasa Greek yang
mengandung arti kebiasaan atau cara hidup. K Bertens dalam buku etikanya
menjelaskan lebih jelas lagi, etika berasal dari bahasa Yunani kuno, kata Yunani
ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara
berpikir.
Selain itu etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata
lainnya ialah teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal lima ketegori
baik-buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai
ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa
pun jenisnya. Tetapi tujuan etika itu sendiri ialah bagaimana mengungkap
perbedaan kebaikan dan keburukan sejelas-jelasnya sehingga mendorong manusia
terus melangkah pada kebaikan.Berikut ini, saya mencoba untuk memaparkan
sejarah perkembangan Etika, dari masa ke masa :
Franz Magnis Suseno (1987: 14), mengatakan bahwa secara historis Etika
sebagai usaha Filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan
kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang
baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali norma-
norma dasar bagi kelakuan manusia.
2
ETIKA ABAD PERTENGAHAN
Pada Abad pertengahan, Etika bisa dikatakan 'dianiaya' oleh Gereja. Pada
saat itu, Gereja memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang
penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. (H.A. Mustofa, 1999:45).
Pada akhir abad lima belas, Eropa mulai bangkit. Ahli pengetahuan mulai
menyuburkan Filsafat Kuno. Begitu juga dengan Italia, lalu berkembang ke
suluruh Eropa.Pada masa ini, segala sesuatu dikecam dan diselidiki, sehingga
tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan
pandangan baru, dan mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru.
1. Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa akal dan nyata adanya.
Dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan saja, wajib di tolak.
2. Di dalam penyelikidan harus kita mulai dari yang sekecil - kecilnya, lalu
meningkat ke hal - hal yang lebih besar.
3. Jangan menetapkan seusatu hukum akan kebenaran suatu hal sehingga
menyatakan dengan ujian. (H.A. Mustofa, 1999:51).
B. SEJARAH PERKEMBANGAN AKHLAK PADA ZAMAN
YUNANI
Diduga yang pertama kali yang mengadakan penyelidikan tentang akhlak
yang berdasarkan ilmu pengetahuan ialah Bangsa Yunani. Ahli-ahli filsafat
Yunani kuno tidak banyak memperhatikan pada akhlak, tetapi kebanyakan
penyelidikannya mengenai alam, sehingga datangnya Sephisticians (500-450
3
SM). Arti dari Sephisticians adalah orang yang bijaksana. (Sufisem artinya orang-
orang bijak). Pada masa itu kata akhlak terungkap dengan kata etika dengan arti
yang sama.
Golongan ahli-ahli filsafat dan juga menjadi guru yang tersebar di beberapa
Negeri. Buah pikiran dan pendapat mereka berbeda-beda akan tetapi tujuan
mereka adalah satu, yaitu menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani, agar
menjadi Nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka
terhadap tanah airnya.
Pandangan tentang kewajiban-kewajiban ini menimbulkan pandangan
mengenai sebagian tradisi lama dan pelajaran-pelajaran yang dilakukan oleh
orang-orang dahulu, yang demikian itu tentu membangkitkan kemarahan kaum
yang kolot “conservative”. Kemudian datang filsafah yang lain dan iapun
menentang sekaligus mengecam mereka, dan iapun menuduh dan suka memutar
balikan kenyataan. Oleh sebab itu buruklah nama mereka, meskipun terkadang
ada diantara mereka lebih jauh pandangannya pada zamanya.1
Bangsa Arab pada Zaman Jahiliyah tidak ada yang menonjol dalam segi
filsafat sebagaimana Bangsa Yunani (Socrates, Plato dan Aristoteles), Tiongkok
dan lain-lainnya. Disebabkan karena penyelidikan akhlak terjadi hanya pada
Bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab
waktu itu ada yang mempunyai ahli-ahli hikwah yang menghidangkan syair-syair
yang mengandung nilai-nilai akhlak, misalnya: Luqman el-hakim, Aktsan bin
Shoifi, Zubair bin Abi Sulma dan Hotim al-Thoi.
Adapun sebagian syair dari kalangan Bangsa Arab diantaranya: Zuhair ibn
Abi Salam yang mengatakan: ”barang siapa menepati janji, tidak akan tercela;
barang siapa yang membawa hatinya menunjuka kebaikan yang menentramkan,
tidak akan ragu-ragu”. Contoh lainnya, perkataan Amir ibnu Dharb Al-Adwany
”pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan suatu
antara hak dan batil tidak akan mungkin terjadi dan yang batil itu lebih utama
buatnya. Sesungguhnya penyelesaian akibat kebodohan”.
1
Ahmad Amin, “Akhlak “ Terjemah bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta. Th. 1982. h. 452
4
Simak apa yang dikatakan Aktsam ibn Shaify yang hidup pada zaman jahiliah
dan kemudian masuk Islam. Ia berkata: ”jujur adalah pangkal keselamatan; dusta
adalah merusakkan: kejahatan adalah merusakkan; ketelitian adalah sarana
menghadapi kesulitan; dan kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit
pikiran adalah nafsu, dan sebaik-baiknya perkara adalah sabar. Baik sangka
merusak, dan buruk sangka adalah penjagaan”.
Dengar pula apa yang yang dikatan Amr ibn Al-Ahtam kepada
budaknya:”Sesungguhnya kikir itu merupakan perangai yang akurat untuk lelaki
pencuri; bermurahlah dalam cinta karena sesungguhnya diriku dalam kedudukan
suci dan tinggi adalah orang yang belah kasih.setiap orang mulia akan takut
mencelamu, dan bagi kebenaran memiliki jalanya sendiri bagi orang-orang yang
baik.
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar
pemikiran yang minimal pada bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai
macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-
syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-
filosof Yunani kuno. Dalam syariat-syariat mereka tersebut saja sudah ada
muatan-muata akhlak.
Memang sebelum Islam, dikalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para
ahli filsafat yang mempunyai aliran-aliran tertentu seperti yang kita ketahui pada
bangsa Yunani, seperti Epicurus, Plato, zinon, dan Aristo, karena penyelidikan
secara ilmiah tidak ada, kecuali sesudah membesarnya perhatian orang terhadap
ilmu kenegaraan.
5
menjadi Bangsa yang unggul di segala bidang, berkat akhlakl karimah yang
diajarkan Islam.2
Jِِٕ Jَ ِن َوإِيتJ د ِل َوٱإۡل ِ ۡح ٰ َسJۡ Jأ ُم ُر بِ ۡٱل َعJۡ Jَإِ َّن ٱهَّلل َ ي
ٓا ِءJ ربَ ٰى َويَ ۡنهَ ٰى َع ِن ۡٱلفَ ۡح َشJۡ Jُٓإي ِذي ۡٱلقJ
٩٠ ُون َ َو ۡٱل ُمن َك ِر َو ۡٱلبَ ۡغ ۚ ِي يَ ِعظُ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَ َذ َّكر
artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. “( QS. An-Nahl: 90)
ISI
C. PERASAAN BERAKHLAK
Soal-soal terpenting yang diselidiki oleh ahli-ahli pengetahuan ethika, soal
“pokok perasaan kita mengenai akhlak”. Penetapan hukum mengenai perbuatan
kita, bahwa ada yang berakhlak, dan ada yang tidak berakhlak.
Dari manakah sumber hukum ini, dan apakah kekuatan jiwa yang timbul
daripadanya, dan bagaimana suara hati kita dapat mengenal baik dan buruk, hak
dan batal?. Inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam fatsal ini, dalam
menjawab persoalan itu, terbagi menjadi dua:
1. Segolongan berpendapat bahwa tiap-tiap manusia mempunyai
kekuatan instinc yang dapat memperbedakan antara hak dan batal, baik
dan buruk, berakhlak atau tidak. Kekuatan ini terkadang berbeda
sedikit, karena perbedaan masa dan milieu, tetapi tetap berakar pada
tiap-tiap manusia. Maka setiap manusia mempunyai semacam ilham
yang dapat mengenal nilai sesuatu akan baik dan buruknya.
Mereka yang berpegangan dengan pendapat ini menyatakan bahwa
sesungguhnya kekuatan akhlak ini terkadang tertimpa penyakit, sehingga melihat
buruk kepada yang baik, dan baik kepada yang buruk. Hal ini tidak dapat
disalahkan, sebagai kita tidak dapat menyalahkan mata yang memandang buruk
2
Zahruddin-Hasanudin S. “Pengantar Atudy Akhlak” cet.I , PT. RajaGrafindo. Jakarta. 2004. h. 27
6
kepada yang baik, karena sedang sakit, sebab mata sekedar kekuatan penglihatan.
Demikian pula kekuatan berakhlak itu terkadang salah sebagaimana salahnya
kekuatan akal.
2. Segolongan lagi berpendapat bahwa pengertian kita tentang baik dan
buruk sama seperti pengertian kita tentang sesuatu hal lainnya, ialah
tergantung kepada pengalaman. Dan ia tumbuh sebab kemajuan
zaman, kecerdasan fikiran dan beberapa pengalaman.
Ukuran Baik Dan Buruk
Kebanyakan manusia berselisih dalam pandangannya mengenai sesuatu;
diantara mereka ada yang melihatnya buruk; bahkan ada seorang yang sesuatu
baik dalam waktu ini, lalu melihatnya buruk pada waktu lain.
Adat Istiadat
Dalam segala tempat dan waktu, manusia itu terpengaruh oleh adat istiadat
golongan dan bangsanya, karena ia hidup didalam lingkungan mereka; melihat
dan mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu perbuatan dan menjauhi
perbuatan lainnya.3
3
Prof. dr. Anin Ahmad, Etika Ilmu Akhlak. PT. Bulan Bintang, Jakarta, Indonesia
7
Lebih jauh dapat dimaknai, bahwa akhlak muncul bersamaan dengan
munculnya manusia pertama kali, walaupun akhlak belum terdefinisikan secara
ilmiah saat itu.
8
yang disebut dengan akhlak secara haqiqi yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya (Allah) dan juga mengatur hubungan manusia dengan
manusia.
Namun demikian, secara ilmiah belum ada penyeledikian akhlak pada
masa nabi Adam tersebut. Kabar yang sampai kepada umat manusia periode
berikutnya hanya melalui wahyu dan kitab suci agama-agama samawi. Nabi-
nabi menceritakan dan menjelaskan apa yang disampaikan Tuhan melalui
wahyu untuk menjadi pelajaran bagi umatnya masing-masing di setiap periode
nabi.
Apabila ditinjau secara Ilmiah, penyelidikan akhlak untuk pertama kali
dilakukan oleh filosof yunani yang bernama Socrates (murid Phytagoras). Pada
mulanya para filosof Yunani tidak banyak yang memperhatikan hal ini (akhlak),
kebanyakan mereka disibukkan dalam menyelidiki alam raya, asal usul dan
gejala di dalamnya. Kemudian datanglah “Socrates” (469-399 SM) yang
memusatkan penyelidikannya dalam pemikiran tentang akhlak dan hubungan
manusia satu dengan yang lain. Dalam hal ini ia samai berpendapat bahwa yang
seharusnya difikirkan oleh setiap manusia adalah perbuatan mengenai
kehidupan.
Atas pemikirannya, Socrates terpandang dan disebut sebagai perintis
ilmu akhlak. Hal ini karena ia merupakan orang yang pertama berusaha dengan
sungguh- sungguh membentuk perhubungan manusia dengan dasar ilmu
pengetahuan. Atas dasar itu, kemudian “Socrates” secara masyhur disebut
sebagai bapak Akhlak.4
4
Ahmad Amin, “Akhlak “ Terjemah bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta.
9
Kesimpulan
Akhlak sudah ada dan muncul sejak adanya manusia pertama kali, yaitu
masa nabi Adam. Lebih jauh dapat dimaknai, bahwa akhlak muncul bersamaan
dengan munculnya manusia pertama kali, namun secara ilmiah belum ada
penyeledikian akhlak pada masa nabi Adam tersebut. Kabar yang sampai kepada
umat manusia periode berikutnya hanya melalui wahyu dan kitab suci agama-
agama samawi. Nabi-nabi menceritakan dan menjelaskan apa yang disampaikan
Tuhan melalui wahyu untuk menjadi pelajaran bagi umatnya masing-masing di
setiap periode nabi. Secara Ilmiah, penyelidikan akhlak untuk pertama kali
dilakukan oleh filosof yunani yang bernama Socrates yang memusatkan
penyelidikannya dalam pemikiran tentang akhlak dan hubungan manusia satu
dengan yang lain. Kemudian datang Plato yang tidak lain merupakan murid
Socrates yang tersohor dan memiliki banyak pemikiran original. Salah satu buah
pikirannya dalam akhlak termuat didalam bukunya yang terkenal yaitu
“Republic”. Pandangannya terhadap akhlak berdasar pada “teori contoh” yang
ia sampaikan. Berikutnya pada periode Arab perkembangan akhlak mengalami
fase perbedaan arah dan kultur. Nilai etik dan moral bangsa Arab terekam dari
ungkapan dan ajaran-ajaran mereka kepada anak dan generasi berikutnya dalam
bentuk syi’ir-syi’ir, yang oleh banyak peneliti sebagian disebut sebagai syi’ir
sastra Jahily. Pada Arab masa Islam akhlak bertolak dari isyarat, petunjuk dan
arahan al-Qur’an dan dan hadits. Di sampig itu juga perkembangan pemikiran di
masarakat, psehingga timbul kegiatan penelitian di bidang akhlak. Yang
termasyhur mengadakan penyelidikan akhlak dengan berdasarkan ilmu
pengetahuan adalah Abu Nasral-Farabi (meninggal tahun 339 H), Ibnu Sina
(379-428 H). Para tokoh Islam tersebut mempelajari filsafat Yunani terutama
pendapat-pendapat tokoh dan ungkapan-ungkapan bahasa Yunani mengenai
akhlak. Boleh jadi penyelidikan bangsa arab yang terbesar mengenai akhlak
adalah Ibnu Miskawaih yang meninggal tahun 421 H. Dia menyusun kitabnya
yang terkenal, dengan judul Tazhidul Akhlak (Pendidkian Akhlak). Dalam
karyanya ia telah mengkombinasi dan mencampurkan ajaran Plato, Aristotels,
Galinus dengan ajaran-ajaran islam.
10
11