Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

HUKUM DIPLOMATIK DAN HUKUM KONSULER


“Hukum Diplomatik Antara Malaysia-Korea Utara
Terkait kasus Pembunuhan Kim Jong Nam”
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karuniaNya  sehingga penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan. Makalah ini kami susun sebagai tugas dari mata kuliah Hukum
Internasional dengan tema Hukum 2 Diplomatik dan Konsuler.

Demikianlah tugas ini kami susun semoga bermanfaat dan dapat


memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional dan penyusun berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi diri kami dan khususnya untuk pembaca.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif dan
membangun sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………...


….. 1

DAFTAR ISI ……………………………………………..


…... 2

BAB I PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang …………………………………………….
….... 3
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………….
…….... 4

BAB II KONSEP
2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Diplomatik
…………………………… 6
2.2 Pengertian Hukum Konsuler
………………………………………………… 7
2.3 Fungsi perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler
………………………. 7
2.4 Sumber Hukum Material dari Hukum Diplomatik dan Hukum Konsuler
…….. 9
2.5 Kekebalan dan Keistimewaan perwakilan diplomatic
………………………… 10
2.6 Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Konsuler
………………………….. 12
2.7 Persona grata dan Persona non grata
………………………………………….. 14
2.8 Berakhirnya Tugas / fungsi Diplomatik dan Konsuler
…………………………. 15
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Kasus pembunuhan Kim Jong Nam ……………….............
……...................... 16

BAB III PENUTUP


4.1    Kesimpulan …..
…………………………………………….... 20

DAFTAR PUSTAKA ……..………………………....


……………........ 22
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasional yang


terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan
kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari
dinas diplomatik. Dan menurut Syahmin A.K., Hukum Diplomatik pada
hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang
mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar prinsip
persetujuan bersama timbal balik dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip tersebut
dimuat dalam instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun
konvensi-konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan
perkembangan kemajuan hukum internasional secara progresif. Kekebalan
diplomatik merupakan suatu keistimewaan khusus yang dimiliki oleh seorang
diplomat, staf diplomatik ataupun konsuler selama menjalankan misi yang
diberikan oleh Negara pengirim.

Kekebalan diplomatik adalah bentuk kekebalan hukum dan kebijakan yang


dilakukan antara pemerintah, yang menjamin bahwa diplomat diberikan
perjalanan yang aman dan tidak dianggap rentan terhadap gugatan atau
penuntutan di bawah hukum negara tuan rumah (walaupun mereka bisa
dikeluarkan). Disepakati sebagai hukum internasional dalam Konvensi Wina
mengenai Hubungan Diplomatik (1961), meskipun konsep dan adat memiliki
sejarah yang lebih panjang. Banyak prinsip-prinsip kekebalan diplomatik
sekarang dianggap sebagai hukum adat. Kekebalan diplomatik sebagai lembaga
yang dikembangkan untuk memungkinkan pemeliharaan hubungan pemerintah,
termasuk selama periode kesulitan dan bahkan konflik bersenjata. Ketika
menerima diplomat-formal, wakil-wakil dari berdaulat (kepala negara) yang
menerima hibah kepala negara hak-hak istimewa dan kekebalan tertentu untuk
memastikan bahwa mereka dapat secara efektif melaksanakan tugas-tugas mereka,
dengan pengertian bahwa ini akan diberikan pada dasar timbal-balik.

Kekebalan diplomatik merupakan bentuk kekebalan hukum dan kebijakan


antarpemerintahan yang diberikan kepada seorang diplomat. Pemegangnya
dijamin keamanannya, dalam artian hukum negara asing tak berlaku baginya.
Kebijakan ini tertuang dalam konsensus hukum internasional, Konvensi Wina.
Kebijakan ini biasanya diberikan kepada diplomat yang bekerja untuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau lembaga internasional lain yang diakui
PBB. Kekebalan diplomatik bertujuan agar diplomat yang bertugas terhindar dari
kesalahpahaman atau sikap pemerintah negara tujuan yang tidak ramah dan
bahkan menolak kehadiran komunitas internasional. Konvensi Wina 1961
menentukan dengan tegas keistimewaan diplomatik bagi negara pengirim dan
kepala misi diplomatik akan dibebaskan dari segala macam bentuk pungutan dan
pajak-pajak, baik bersifat nasional, pajak daerah maupun iuran-iuran lain terhadap
gedung perwakilan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvensi Wina 1961, dan
pengecualiannya adalah sebagaimana yang diatur Pasal 34 Konvensi Wina 1961.
Salah satu gangguan yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik, yaitu
perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima
dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan. Apabila hal ini terjadi, maka
negara pengirim dapat mengajukan keberatan kepadanegara penerima (receiving
state) dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut.

Dalam kasus pembunuhan Kim Jong Nam pada Februari lalu, hubungan
diplomatik antara Malaysia dengan Korea Utara pun menjadi tegang. Hal ini
disebabkan karena penolakan pihak Malaysia untuk dilakukannya penyelidikan
bersama dengan Korea Utara mengenai kasus pembunuhan ini. Ditambah lagi
dengan adanya Persona non grata yang dilakukan oleh pihak Malaysia terhadap
duta besar Korea Utara di Kuala Lumpur. Hal ini juga ditanggapi dengan sikap
Korea Utara yang melakukan ‘penyanderaan’ terhadap 11 warga negara Malaysia
termasuk didalamnya yaitu pejabat konsuler, staff diplomatik beserta keluarganya
yang ada di Korea Utara. Sikap yang dilakukan oleh pemerintah Korea Utara
termasuk sikap yang melanggar hukum diplomatic mengenai hak-hak kekebalan
dan keistimewaan yang diberikan kepada perwakilan diplomatic dan konsuler
beserta staffnya yang tercantum didalam konvensi Wina 1961 dan 1963. Maka
dari itu, dalam penulisan makalah ini penulis akan membahas dan memberikan
analisa terhadap sikap yang dilakukan dari kedua pihak yaitu Malaysia dan Korea
Utara terkait kasus pembunuhan Kim Jong Nam yang terjadi di Kuala Lumpur,
Malaysia.

I.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana peranan hukum diplomatik dan konsuler dalam hubungan antar


negara?
2. Bagaimanakah peranan hukum diplomatic dalam kasus pembunuhan Kim
Jong Nam ditinjau dari Konvensi Wina 1961?
3. Bagaimanakah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak terkait
kasus pembunuhan Kim Jong Nam ditinjau dari Hukum Diplomatik?
4. Bagaimanakah pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak
Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional
(KonvensiWina 1961 tentang Hubungan Diplomatik)?
BAB II
KONSEP

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Diplomatik

Hukum Diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional,karena


keberlakuannya melintasi batas yuridiksi nasional. Hukum Internasional
merupakan sekumpulan kaidah hukum yang mengatur hubungan antara subjek
hukum internasional, yaitu yang khusus mengatur hubungan diplomatik,
hubungan konsuler dan keterwakilan Negara dalam organisasi internasional.

Secara substantive, hakikat hukum diplomatik adalah seluruh ketentuan dan


prinsip-prinsip hukum internasional yang khusus mengatur hubungan diplomatik
antarnegara yang diselenggarakan berdasar keseoakatan bersama. Ketentuan-
ketentuan tersebut kemudian dituangkan dalam instrument-instrumen hukum
sehingga merupakan hasil kodivikasi dari hukum kebiasaan internasional yang
telah dimatangkan melalui perkembangan masyarakat internasional.

Secara historis, pada awal perkembangannya, pengertian hukum diplomatik


hanya ditafsirkan sebagai norma-norma hukum internasional yang mengatur
kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara
yang menjalin hubungan diplomatic. Lambat laun, stelah pola kehidupan
masyarakat internasional mengalami perkembangan, dan kompleksitas urusan luar
negeri makin kompleks, maka lingkup hukum diplomatik juga berkembang, yaitu
bukan hanya menyangkut pengturan tentang hubungan diplomatik dan
konsuler,tetapi sekaligus mencakup aturan-aturan mengenai keterwakilan Negara-
negara pada organisasi internasional.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum diplomatik adalah seperangkat


kaidah hukum yang bersumber pada kebiasaan internasional yang berlaku
imperative, yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan hubungan diplomatik,
hubungan konsuler, dan keterwakilan Negara-negara dalam organisasi
internasional, baik kaidah yang terkait dengan fungsi, kedudukan maupun
kekebalan dan hak-hak istimewa, serta tata kerja dari organ-organ pelaksana
kegiatan tersebut.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa ruang lingkup


hukum diplomatik terdiri atas tiga bidang, yaitu sebagai berikut.

a) Hubungan diplomatic antar Negara


b) Hubungan konsuler antar Negara dan
c) Keterwakilan Negara-negara pada organisasi-organisasi
internasional.

2.2 Pengertian Hukum Konsuler


Hukum konsuler merupakan suatu perwakilan suatu Negara di Negara lain
dalam bidang non-politik. Dalam arti hubungan suatu Negara dengan Negara lain
diwakili oleh Korp Konsuler. Pembukaan hubungan konsuler terjadi dengan
persetujuan timbal balik, baik secara sendiri maupun tercakup dalam persetujuan
pembukaan hubungan diplomatik.
Perbedaan hubungan konsuler dengan hubungan diplomatik yaitu, lembaga
diplomatik mengurus bidang politik, sedangkan lembaga konsuler hanya
mengurus bidang-bidang non-politis, tetapi keduanya tetap mempunyai garis
singgung. Didalam wilayah Negara penerima, Negara pengirim hanya boleh
membuka satu perwakilan diplomatik, sedangkan perwakilan konsuler boleh
dibuka lebih dari satu tempat. Perbedaan lainnya, pejabat konsuler tidak dapat
menikmati hak istimewa dan kekebalan hukum yang setara sebagai mana
dinikmati pejabat diplomatik. Pembukaan perwakilan konsuler tidak
mengharuskan adanya pengakuan Negara pengirim atas Negara penerima,
sedangkan dalam pembukaan perwakilan diplomatik perlu pengakuan de jure.
2.3 Fungsi perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler

Fungsi dari perwakilan diplomatik adalah sebagai berikut :

1. Mewakili negara pengirim di dalam negara penerima


2. Melindungi kepentingan negara dan warga negara pengirim di negara
penerima sebatas diperkenankan oleh hukum internasional
3. Mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah negara
penerima
4. Memberikan laporan kepada pemerintah negara pengirim mengenai
keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan negara penerima
sesuai dengan hukum yang diatur dalam hukum internasional
5. Meningkatkan hubungan persahabatan antar negara penerima dan negara
pengirim serta mengembangkan dan memperluas hubungan ekonomi,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Adapun fungsi dari perwakilan konsuler adalah sebagai berikut :

1. Melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warga pengirim


yang tinggal di negara penerima baik pada individunya maupun badan
hukum (badan usaha) dari individu tersebut dalam batas-batas yang
diperkenankan oleh hukum intenasional.

2. Meningkatkan kemajuan hubungan perdagangan, ekonomi, kebudayaan


dan ilmu pengetahuan antara negara pengirim dengan negara penerima,
serta meningkatkan hubungan persahabatan antara negara penerima
dengan negara pengirim sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi
Wina tahun 1963.

3. Mencari tahu dengan menggunakan segala cara yang dianggap sah


menurut hukum internasional tentang perkembangan keadaan di negara
penerima dalam bidang perdagangan, ekonomi, kebudayaan atau ilmu
pengetahuan, kemudian melaporkannya pada negara pengirim dan
memberitahukan kepada orang-orang yang berkepentingan atas informasi
tersebut.
4. Mengeluarkan passport dan dokumen perjalanan bagi warga negara dari
negara penerima, dan visa atau dokumen-dokumen lain yang diperlukan
orang-orang yang ingin mengunjungi wilayah negara pengirim.

5. Memberi bantuan dan pertolongan pada warga negara pengirim yang ada
di negara penerima baik pada individunya maupun pada badan usaha milik
mereka.

6. Bertindak sebagai notaris dan pejabat catatn sipil atau melaksanakan


fungsi administratif yang sejenis dengan notaris dan pejabat catatan sipil,
sepanjang hal dan aktifitas tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
dan hukum negara penerima.

7. Menjaga dan menjamin keselamatan seluruh warga negara pengirim yang


ada di negara penerima baik terhadap individunya maupun pada badan
hukum-badan hukum milik mereka bila terjadi “suksesi moris causa”
dalam wilayah negara penerima sepanjang hal tidak bertentangan dengan
hukum dan peraturan negara penerima.

8. Menjaga kepentingan-kepentingan anak-anak yang masih ada di bawah


umur (belum dewasa) dan orang-orang yang tidak berkemampuan penuh.

2.4 Sumber Hukum Material dari Hukum Diplomatik dan Hukum Konsuler

Sumber hukum material dari hukum diplomatik berkaitan dengan sumber


hukum material dari hukum internasional karena pada hakikatnya hukum
diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional. Sampai saat ini belum
ada satupun badan internasional khusus yang bertugas menciptakan hukum
diplomatik (legislator). Majelis Umum PBB selama ini hanya bertindak sebagai
pengesah semua konfensi internasional mengenai hukum diplomatik, kemudian
dikembangkan dan dikodifikasi oleh Komisi Hukum Internasional, sehingga PBB
tidak layak disebut legislator hukum diplomatik. Karena hukum diplomatik
merupakan bagian dari hukum internasional, yaitu sumber hukum yang digunakan
oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan perkara. Sedangkan sumber
ukum formil dari hukum diplomatik adalah konsensus dari Negara yang
meratifikasi konvensi-konvensi yang memuat hubungan diplomatik atau konvensi
lain yang terkait dengan hukum diplomatik.

1. Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik

Konvensi wina tahun 1961 mengatur tentang pokok-pokok pikiran sebagai berikut
:

a) Hak dan cara-cara pengangkatan serta penyerahan surat kepercayaan


b) Kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik
c) Kekebalan dan keistimewaan diplomat dan staf diplomatik
d) Kekebalan bagi anggota keluarga diplomat dan staff pelayan
e) Penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya konvensi.

2. Konvensi Wina 1963 tentang hubungan Konseler

Ketentuan konvensi tersebut berisi sebagai berikut :

a) Pasal-pasal yang mengatur tentang definisi operasional, cara perjalianan


hubungan konseler dan fungsi-fungsi kedinasan sebagaimana diatur dalam
pasal 1 sampai pasal 27
b) Pasal-pasal tentang kekebalan dan keistimewaan konsul karier dan anggota
perwakilan konsuler lainnya sebagimana diatur dalam pasa 28 sampai
pasal 57
c) Pasal-pasal yang mengatur mengenai konsul kehormatan (konsul honorer),
kantor dinas, beserta kekebalan dan keistimewaan sebgaimana diatur
dalam pasal 58 sampai pasal 68.
d) Pasal-pasal tentang ketentuan umum misalnya pelaksanaan tugas-tugas
konseler yang dilakukan oleh perwakilan diplomatic, hubungan konvensi
dengan persetujuan intersional lainnya, sebagaimana diatur dalam pasal 69
sampai pasal 79.
e) Pengaturan mengenai ratifikasi, aksesi, mulai berlakunya konvensi dan
ketentuan lainnya.

3. Konvensi New York 1969 Berisi tentang pengesahan konvensi mengenai


misi khusus

UU ini mengatur tentang pengesahan konvensi tentang misis khusus.


Konvensi mengenai misi khusus sering disebut konvensi New York tahun 1969.
Konvensi New York merupakan pelengkap dari konvensi Wina 1961 dan 1963.
Konvensi tersebut terdiri atas sebuah pembukaan dan 55 pasal, secara keseluruhan
mengatur tentang penerimaan dan pengiriman misi khusus. Pengertian misi
khusus dalam konvensi New York adalah misi kenegaraan yang dibentuk khusus
oleh suatu negara untuk dikirimkan ke negara lain bedasarkan persetujuan negara
yang bersangkutan dengan tujuan mengenai masalah-masalah khusus atau
menjalankan berbagai hal yang berkenaan dengan tugas-tugas khusus lainnya.

2.5 Kekebalan dan Keistimewaan perwakilan diplomatik

Pemberian hak-hak diplomatic didasarkan atas asas timbal balik (the


principal of reciprocity) antar negara dan mutlak diperlukan dalam rangka
mengembangkan permasalahan antarnegara tanpa mempertimbangkan system
ketatanegaraan dan system social mereka yang berbeda. Pemberian kekebalan dan
keistimewaan itu bukanlah untuk kepentingan perseorangan melainkan guna
menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama
tugas dari negara yang diwakilinya.

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu tidak saja oleh kepala-kepala


perwakilan termasuk para staf perwakilan lainnya, tetapi juga para keluarganya
yang tinggal bersama mereka. Kemudian, pada pertengahan abad ke-18 aturan-
aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan
diplomatik telah mulai diperluas terhadap gedung perwakilan, segala miliknya
termasuk bebas berkomunikasi bagi para diplomatnya. Gedung yang dipakai oleh
suatu perwakilan baik milik negara penerima maupun yang disewa dari
perorangan biasanya dianggap tidak dapat diganggu gugat oleh para penguasa
negara penerima serta dibebaskan dari perpajakan, kecuali pajak-pajak dalam
bentuk biaya pelayanan khusus seperti tarif air. Demikian juga arsip perwakilan
dan sejenisnya dianggap tidak dapat diganggu gugat.

Bedasarkan konvensi Wina tahun 1961 menjelaskan baik duta besar maupun
anggota staff diplomat tidak dapat diganggu gugat dalam arti mereka tidak dapat
dikenakan penahanan dalam bentuk apapun. Negara penerima haruslah
memperlakukan mereka “dengan segala hormat” dan “mengambil langkah-
langkah seperlunya guna mencegah timbulnya serangan baik terhadap perorangan,
kemerdekaan maupun kehormatannya”. Para diplomat juga menikmati
sepenuhnya kekebalan terhadap yuridiksi pidana (criminal) dari negara penerima.
Dengan beberapa pengecualian, kekebalan terhadap yuridiksi perdata dan
administrasi juga diberikan oleh negara penerima, tetapi bukan kekebalan
yuridiksi dari negara pengirim. Kekebalan ini juga didapatkan oleh para keluarga
dan staff diplomatiknya.

A. Kekebalan para perwakilan diplomatik

1. kekebalan pribadi (imunitas perorangan) dapat diperinci lagi sebagai berikut:

a) Berhak atas perlindungan istimewa atas pribadi dan atas harta


bendanya.

b) Bebas dari alat-alat paksaan, baik soal perdata maupun soal pidana.

c) Bebas dari kewajiban menjadi saksi.

d) Bebas dari semua pajak langsung, kecuali pajak tanah, retribusi, dan
bea materai.
2. Kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman

Kantor perwakilan diplomatik dan rumah kediamannya tidak boleh


dimasuki tanpa izin oleh negara penerima, kecuali dalam keadaan darurat,
misalnya ada kebakaran, banjir, dan sebagainya. Bendera asing bebas berkibar di
atas gedung kedutaan dengan tidak perlu didampingi bendera negara penerima di
sebelah kanannya. Kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman (immunitas
tempat tinggal) menimbulkan hak asy atau hak suaka politik. Hak suaka politik
adalah hak untuk mencari dan mendapatkan perlindungan dari suatu keduatan
asing oleh seorang delliguent politik maupun criminal.

3. Kekebalan terhadap koresponden (immunitas surat menyurat)

Kekebalan ini memungkinkan surat menyurat tidak boleh disensor. Ini


tidak berarti bahwa duta dan pengikutnya tersebut dapat berbuat sewenang-
wenang. Mereka diharuskan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku
di negara itu. Pelanggaran dapat menyebabkan pemerintah mengajukan protes
kepada kementerian luar negeri negara pengirim. Jika perlu dengan permintaan
kembali atau dipersonanongratakan.

B. Hak keistimewa lain yang dimiliki oleh Pejabat diplomatik:

 Pasal 34 dan 36 Konvensi Wina menentukan wakil-wakil di plomat


dibebaskan dari seala bentuk bea dan pajak
 Pasal 26 konvensi yaitu hak seorang anggota misi diplomat bergerak dan
melakukan zona zona keamanan yang dilarang
 Pasal 27 memuat tentang kebebasan berkomunikasi untuk tujuan dinas
 Pasal 33 pembebasan ketentuan-ketentuan keamanan masyarakat
 Pasal 35 pembebasan dari kewajiban dinas dan kemiliteran
2.6 Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Konsuler

Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Konsuler bedasarkan konvensi Wina


1963 ialah :

1. Kemudahan-kemudahan yang diperoleh kantor konsuler di Negara Penerima

Meningat fungsi perwakilan konsuler makin kompleks, Konvensi Wina


Tahun 1963 mengisyaratkan bahwa negara penerima mempunyai kewajiban
memberi kemudahan-kemudahan secara penuh pada perwakilan konsuler agar
mereka dapat melaksanakan fungsi-fungsi kekonsulerannya secara optimal (Pasal
28). Berkaitan dengan hal tersebut, negara penerima wajib pula memberi jaminan
kepada semua anggota perwakilan konsuler agar mereka dapat berpergian secara
bebas dan bisa melakukan aktivitas secara bebas diwilayah negara penerima.
Walaupun demikian bukan berarti pejabat perwakilan konsuler bebas melakukan
apa saja menurut kehendaknya sendiri karena pasal 34 Konvensi Wina Tahun
1963 mengatur adanya kewajiban anggota kantor perwakilan konsuler untuk
selalu menghormati hukum negara penerima sekaligus tidak mencampuri urusan
dalam negeri negara penerima (Intervention)

2. Keistimewaan dan kekebalan hukum kantor perwakilan konsuler

a) Kebebasan Mengkibarkan Bendera Nasional

Bendera kebangsaan negara pengirim dan lambang negaranya boleh


dipadang dikantor perwakilan konsuler termasuk pada kendaraan dinas kantor
konsuler. Lambang negara (lencana) dari negara pengirim boleh dikenakan oleh
pegawai-pegawai konsuler pada pakaian seragam dinasnya. Pelaksanaan
pemakaian lambang dan bendera tersebut perlu diselaraskan dengan ketentuan
peraturan dan hukum negara penerima (pasal 29)

b) Gedung-gedung Konsuler

Negara penerima wajib memberi kemudahan kepada negara pengirim


untuk memperoleh gedung konsuler termasuk akomodasi yang lainnya di wilayah
negara penerima dalam rangka melaksanakan fungsinya sesuai dengan peraturan
dan hukum negara penerima. Bahkan jika dipandang perlu, negara penerima
memberi kemudahan pada anggota-anggota konsuler untuk memperoleh
akomodasi sesuai dengan kebutuhan (pasal 30).

Penikmat kekebalan dan keistimewaan konsuler bukan hanya gedung


perwakilan, tetapi juga pada tempat kediaman resmi pejabat konsuler beserta
perabot yang ada di dalamnya termasuk arsip-arsipnya, karena itu alat-alat negara
penerima tidak dibenarkan memasuki gedung-gedung tersebut tanpa ada izin dari
kepala perwakilan konsuler.

c) Pajak

Gedung-gedung konsuler beserta rumah kediaman kepala kantor konsuler


tetap (konsul karier) baik yang dimiliki atau disewa atas nama negara pengirim
harus dibebaskan dari semua pungutan danpajak baik yang bersifat nasional
(pusat) maupun regional (daerah), kecuali pembayaran pembayaran kecil yang
terkait dengan kontraprestasi atas layanan-layanan tertentu yang diberikan negara-
negara pengirim. Pembebasan-pembebasan tersebut tidak berlaku apabila aturan
hukum negara penerima secara tegas menyebutkan bahwa pajak atau pungutan
tersebut harus dibayar oleh orang-orang yang mengadakan kontak dengan negara
pengirim atau oarang-orang yang mengadakan kontrak dengan negara pengirim
atau orang-orang yang bertindak atas nama negara pengirim (pasal 32).

d) Komunikasi dan Arsip

Negara penerima harus memberi izin dan memberi perlindungan atas


kebebasan komunikasi atas kantor konsuler dalan rangka pelaksanaan fungsinya.
Komunikasi yang memperoleh kebebasan dan perlindungan tersebut misalnya
komunikasi antara perwakilan konsuler dengan pemerintah negara pengirimnya,
perwakilan konsuler dengan perwakilan diplomatik di wilayah negara penerima,
antara kantor konsuler 1 dengan kantor konsuler lainnya. Yang dikirim oleh
negara pengirim, tetapi berkedudukan di negara ke tiga.
2.7 Persona grata dan Persona non grata

Persona grata adalah suatu istilah yang jika suatu negara telah menyetujui
pembukaan hubungan diplomatik dengan negara lain melalui suatu instrument
atas dasar timbal balik dan asas saling menyetujui. Negara-negara tersebut sudah
harus memikirkan pembukaan suatu perwakilan diplomatic dan penyusunan
anggota perwakilan tersebut baik dalam tingkatannya maupun jumlah anggota
staff perwakilan yang telah disetujui bersama atas dasar asas yang wajar dan
pantas. Pengangkatan anggota staff diplomatic pada umumnya tidak memerlukan
persetujuan dari negara penerima, negara pengirim hanya perlu mengirimkan
nota-nota yang berisi tentang identitas staff diplomatic mengenai nama,
kedudukan, pangkat diplomatiknya, anggota keluarganya dan tanggal
kedatangannya. Kecuali pada pengangkatan duta besar dan atase pertahanan yang
memerlukan persetujuan setelah melewati beberapa prosedur yang telah
ditentukan untuk memangku jabatan-jabatan tersebut dari negara penerima yang
disebut Persona grata.

Persona non grata adalah suatu istilah yang jika suatu negara melakukan
penolakan terhadap calon perwakilan diplomatik dari negara pengirim. Karena
suatu negara berhak untuk melakukan suatu penolakan seperti itu dengan berbagai
alasan logis yang membuat wakil diplomatic itu tidak disetujui oleh negara
penerima. Pada dasarnya penolakan yang dilakukan oleh negara penerima tidak
perlu memberikan alasan apapun, begitu juga bagi negara pengirim yang tidak
perlu untuk menanyakan alasan penolakan yang dilakukan oleh negara penerima
sesuai tercantum dalam konvensi Wina pasal 4(1) mengenai hubungan diplomatik.
Dan juga pada pasal 9(1) hal ini dijelaskan lebih luas lagi yaitu mengenai
penolakan bukan hanya pada duta besar tapi juga kepada seorang anggota staff
diplomatik dan staff lainnya. Dalam hal ini, negara pengirim wajib untuk menarik
perwakilan diplomatiknya yang bersangkutan baik sebelum perwakilan tersebut
tiba di negara penerima maupun setelah tiba dinegara penerima. Setelah
perwakilan diplomatiknya dideklarasikan persona non grata.
2.8 Berakhirnya Tugas / fungsi Diplomatik dan Konsuler

Menurut ketentuan pasal 43 Konvensi Wina tahun 1961 tentang hubungan


diplomatik. Berakhirnya tugas atau fungsi seseorang diplomat :

 atas pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim bahwa


negara penerima menolak mengakui agen diplomatik itu sebagai seorang
anggota missi.
 atas pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara penerima bahwa
fungsi agen diplomatik tersebut berakhir.
 tujuan misi tersebut telah terpenuhi
 berakhirnya maka berlaku-laku Surat-surat Kepercayaan yang diberikan
hanya untuk waktu terbatas.

Berakhirnya Fungsi Agen Konsuler ( Pasal 25 )

 Atas pemberitahuan oleh negara pengirim ke negara penerima bahwa


fungsi telah berakhir
 Atas penarikan exequatur.

Atas pemberitahuan oleh Negara penerima kepada negara pengirim bahwa


negara penerima telah mengakhiri untuk menganggapnya sebagai anggota kantor
konsuler.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kasus pembunuhan Kim Jong Nam (Kakak tiri pemerintah Korea Utara) di
Kuala Lumpur, Malaysia bedasarkan tinjauan hukum diplomatik antara Malaysia-
korea utara

Latar belakang Kim Jong Nam

Korban di balik misteri pembunuhan ini, Kim Jong-nam yang berusia 46


tahun, adalah putra pertama Kim Jong-il dengan ibu seorang artis. Dia merupakan
pengkritik tajam terhadap rezim pemerintahan baru Korea Utara yang dipimpin
oleh adik tirinya, Kim Jong-un. Selama bertahun-tahun diyakini bahwa Kim Jong-
nam telah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Korea Utara setelah masa
kepemimpinan ayahnya usai. Namun, hal tersebut berakhir setelah Jong-nam
tertangkap basah oleh badan imigrasi Jepang dengan menggunakan paspor palsu
saat pergi ke Jepang. Dan hal itu yang membuat nama ayahnya Kim Jong-il
menjadi tercoreng.

Apapun alasannya, pada awal tahun 2000-an namanya mulai tenggelam


dan dia meninggalkan negara yang tertutup tersebut. Kim Jong-nam dikabarkan
sudah lama hidup di pengasingan. Dan adik tirinya, Kim Jong-un, yang menjadi
pemimpin Korea Utara setelah ayah mereka, Kim Jong-il, meninggal dunia pada
2011.

Kim Jong-nam seringnya menetap di Makau, Thailand tempat tujuan


ketika dia dibunuh saat menunggu penerbangan ke Makau pada 13 Februari di
bandara Kuala Lumpur, Malaysia. Kepolisian Malaysia mengatakan dia diserang
oleh dua pelaku wanita yang mengusap kain beracun di wajahnya dan korban
meninggal saat dilarikan ke rumah sakit Malaysia.

Penjelasan Kasus
Dalam kasus ini penulis melakukan peninjauan hukum internasional
bedasarkan sikap Korea Utara yang ‘menyandera’ warga negara Malaysia di
Korea Utara untuk pulang ke negara asalnya. Warga negara Malaysia ini termasuk
perwakilan Konsuler Malaysia, staff diplomatic beserta keluarganya. Hal ini
dikarenakan penolakan perdana mentri Malaysia Najib Razak atas permintaan
Korea Utara yang meminta penyelidikan kasus Kim Jong Nam dilakukan
bersama. Serta penolakan Malaysia untuk dipulangkannya jasad Kim Jong Nam
ke Korea Utara karena pihak Malaysia akan melakukan pemeriksaan dan otopsi
guna penyelidikan kasus pembunuhan ini.

Penolakan pihak Malaysia untuk dilakukannya investigasi bersama pihak


Korea Utara beralasan karena kejadian pembunuhan ini terjadi diwilayah
Malaysia, sehingga hal ini adalah otoritas pemerintah Malaysia untuk
memutuskan akan melakukan investigasi bersama atau tidak. Hal ini juga menjadi
alasan penolakan pihak Malaysia untuk memulangkan jenazah yang diduga Kim
Jong Nam dan akan dipulangkan setelah dilakukannya otopsi guna mencari bukti-
bukti dalam kasus pembunuhan ini. Namun Korea Utara tidak menerima alasan
tersebut dan melakukan tindakan-tindakan yang hakikatnya melanggar norma
kenegaraan.(CNN Indonesia,
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20170221103143-106-194923/pm-
malaysia-tolak-selidiki-kasus-kim-jong-nam-bersama-korut/, Akses 6 April 2017)

Hubungan diplomatik keduanya menjadi semakin panas ketika Perdana


Mentri Malaysia melakukan deklarasi persona non grata terhadap duta besar
Korea Utara Kang Chol, di Kuala Lumpur pada tanggal 4 Maret lalu. Pengusiran
duta besar Korea Utara ini disebabkan karena sikap Kang Chol (Duta besar Korea
Utara) menuding bahwa Malaysia melakukan pelanggaran HAM atas
penangkapan warga negaranya di Malaysia tanpa seijin dari pihak Korea Utara.
Bahkan Kang Chol juga menyatakan bahwa pemerintah Malaysia ‘berkolusi’
dengan musuh untuk memperburuk citra Korea Utara dengan cara mengatakan
bahwa dalang dari pembunuhan ini adalah pihak pemerintah Korea Utara.(Danu
Darmajati, https://news.detik.com/berita/d-3438430/malaysia-usir-duta-besar-
korea-utara-kang-chol, diakses tanggal 6 April 2017)

Perlakuan Malaysia dibalas oleh pemerintah Korea Utara dengan mengusir


juga duta besar Malaysia yang ada di Korea Utara serta melakukan pelarangan 11
warga negara Malaysia (1 orang perwakilan Konsuler, 3 staff diplomatic dan 6
anggota keluarganya beserta 2 pegawai WFP PBB) untuk keluar dari Korea Utara
pada tanggal 7 Maret 2017. Namun 2 pegawai WFP PBB ini diperbolehkan
pulang ke Malaysia pada tanggal 9 Maret 2017. Pemerintah Korea Utara
mengatakan bahwa penahanan ini akan dilakukan sampai kasus ini terselesaikan
dengan baik dan untuk menjamin warga negaranya di Malaysia diperlakukan
dengan baik.

Pihak Malaysia menyatakan bahwa tindakan pemerintah Korea Utara atas


penahanan warga negaranya disana adalah perlakuan yang melanggar hukum
internasional dan norma kenegaraan. Akhirnya hal yang serupa juga dilakukan
oleh pemerintah Malaysia yang menahan 50 warga Korea Utara untuk keluar dari
wilayah Malaysia dan mencabut kewenangan bebas visa untuk Korea Utara yang
telah disepakati sebelumnya.

Terdapat hal lain juga dalam kasus ini, yaitu diplomat senior Korea Utara
(Korut) yang tengah diburu otoritas Malaysia terkait kematian Kim Jong-Nam,
terekam CCTV Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) pada hari kejadian,
13 Februari. Diplomat ini mengantarkan 4 pria Korut lainnya yang juga buron
dalam kasus ini, kabur ke luar negeri. Diplomat senior Korut itu diidentifikasi
sebagai Hyon Kwang-Song (44) dan diketahui menjabat Sekretaris Kedua pada
Kedutaan Besar Korut di Kuala Lumpur. Selain Kwang-Song, satu lagi warga
Korut bernama Kim Uk-Il (37) yang berprofesi sebagai staf maskapai Korut, Air
Koryo, juga masuk daftar buronan otoritas Malaysia terkait kematian Jong-Nam.
Keduanya diyakini saat ini masih berada di wilayah Malaysia. Namun pihak
kepolisian Malaysia tidak dapat serta merta melakukan pemeriksaan terhadap
salah satu staff diplomatik Korea Utara itu, pihak kepolisian Malaysia akan
meminta izin terlebih dahulu lewat kedutaan besar Korea Utara untuk melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang diduga tersangka dalam kasus pembunuhan ini
yang salah satunya adalah staff diplomatik Korea Utara.(CNN Indonesia,
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20170221170826-106-195065/polisi-
bidik-diplomat-korut-dalam-kasus-kim-jong-nam, Akses 6 April 2017)

Setelah melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Korea Utara,


akhirnya Pada 30 Maret 2017 lalu pihak Malaysia setuju untuk dipulangkannya
jenazah Kim Jong Nam ke Korea Utara dari Kuala Lumpur melalui Beijing
setelah selesai dilakukan otopsi dan pemeriksaan. Pihak Malaysia juga telah
mengizinkan warga negara Korea utara yang bekerja di Malaysia untuk pulang
setelah masa pekerjaannya selesai. Begitu pula pihak Korea Utara yang
‘menyandera’ 9 warga negara Malaysia telah memperbolehkan mereka untuk
pulang ke Malaysia setelah dipulangkannya jasad Kim Jong Nam. Perdana Mentri
Malaysia, Najib Tun Razak mengumumkan bahwa hubungan diplomatik
keduanya tidak retak dan akan terus menjalin hubungan baik dengan Korea Utara
demi menjaga hubungan komunikasi diantara keduanya.(Sonya,
http://m.metrotvnews.com/internasional/asia/Dkqjo9eK-sempat-ditahan-9-warga-
malaysia-diizinkan-pulang-oleh-korut, Akses 6 April 2017).
Analisa Kasus

Dalam kasus ini, penulis akan menganalisa 2 hal. Yang pertama mengenai
sikap Korea Utara dalam memperlakukan perwakilan diplomatik Malaysia di
negaranya. Dalam konvensi wina 1961 pasal 29 sampai 32 tentang kekebalan dan
keistimmewaan perwakilan diplomatik dan staff diplomatik, dan pada konvensi
Wina 1963 pasal 28 sampai dengan 57 mengenai kekebalan dan keistimewaan
perwakilan konsuler dan anggota konsuler lainnya menjelaskan baik duta besar
maupun anggota staff diplomat tidak dapat diganggu gugat dalam arti mereka
tidak dapat dikenakan penahanan dalam bentuk apapun. Dalam hal ini, pihak
Korea Utara telah melanggar pasal dalam Konvensi Wina 1961 dan 1963 tentang
hak Kekebalan dan Keistimewaan seorang perwakilan diplomatik, perwakilan
konsuler beserta staff dan keluarganya dengan melakukan “penyanderaan” 11
warga negara Malaysia yang diantaranya terdapat pewakilan konsuler dan staff
diplomatik serta keluarganya.

Pada analisa kedua, penulis akan menganalisa tentang dugaan pihak


kepolisian Malaysia terhadap buronan kasus pembunuhan Kim Jong Nam yang
salah satunya adalah staff diplomatik Korea Utara, yaitu Hyon Kwang-Song (44)
dan diketahui menjabat Sekretaris Kedua pada Kedutaan Besar Korut di Kuala
Lumpur. Analisa ini juga bedasarkan konvensi Wina 1961 pasal 29 sampai pasal
32 mengenai hak kekebalan dan keistimewaan wakil diplomatik beserta staff dan
keluarganya di suatu negara. Para diplomat juga menikmati sepenuhnya kekebalan
terhadap yuridiksi pidana (criminal) dari negara penerima. Dalam hal ini pihak
kepolisian Malaysia melakukan permohonan izin lewat kedutaan besar Korea
Utara untuk melakukan pemeriksaan terhadap orang terduga tersangka. Namun
sampai saat ini pihak kepolisian Malaysia belum bisa melakukan pemeriksaan
terhadap Hyon Kwang-song karena belum mendapatkan izin dari pihak Korea
Utara. Perlakuan seperti ini adalah suatu kewajiban bagi pihak negara penerima
untuk mematuhi peraturan hukum diplomatik yang menjamin hak para perwakilan
diplomatik negara pengirim untuk tidak diganggu dan diberi kebebasan dalam
pelaksanaan misi diplomatiknya.
Kelalaian dan kegagalan negara Korea Utara dalam memberikan
perlindungan terhadap kekebalan perwakilan diplomatik Malaysia merupakan
suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konvensi, oleh karenanya Korea
Utara wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang tidak menyenangkan
tersebut. Kelalaian dan kegagalan tersebutlah yang akhirnya memunculkan
pertanggungjawaban negara. Dan pihak Malaysia berhak untuk mengajukan
pernyataan keberatan atas perlakuan Korea Utara kepada perwakilan diplomatik
Malaysia.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hukum internasional yang mengatur hubungan suatu negara ialah hukum


diplomatik dan konsuler. Kedua hukum ini memberikan aturan terhadap hubungan
antar negara yang bedasarkan kesepakatan dalam Konvensi Wina dan juga
Konvensi New York serta beberapa UU lainnya. Dalam hukum diplomatik
disebutkan bahwa hubungan baik antar negara adalah suatu instrument penting
dalam kehidupan bernegara dalam dunia internasional saat ini. Maka dari itu
hukum diplomatik memberikan aturan mengenai hak-hak dan kewajiban suatu
negara dalam menjalankan hubungan diplomatic dengan negara lain seperti aturan
tentang pembukaan dan penyelesaian perwakilan diplomatik dan konsuler,
kekebalan dan keistimewaan yang diberikan terhadap perwakilan diplomatik dan
konsuler, misi suatu perwakilan diplomatik dan konsuler dan beberapa pasal
lainnya yang memuat aturan tentang hubungan diplomatic antar negara.

Dalam kasus pembunuhan Kim Jong Nam yang melibatkan negara


Malaysia dan Korea Utara, hukum diplomatik sangatlah berperan penting dalam
hal ini. Karena hukum ini mengatur tentang hak-hak pejabat diplomatik yang
harus diberikan oleh Malaysia serta Korea Utara terhadap masing-masing
perwakilan diplomatiknya. Sehingga suatu negara tidak bisa semena-mena
memperlakukan perwakilan diplomatik negara lain. Begitu pula dengan kewajiban
yang harus dilakukan oleh perwakilan diplomatik kepada negara penerimanya
yang harus menghormati segala bentuk peraturan yang telah dibuat oleh negara
penerima yang berdaulat dan harus mengikuti norma-norma kenegaraan yang
patut dilakukan seorang perwakilan diplomatik demi menjaga hubungan antar
negara pengirim dan penerima.
Penyelesaian dari masalah kasus pembunuhan Kim Jong Nam antara
Malaysia dan Korea Utara ialah dengan cara perundingan-perundingan bilateral.
Walaupun hubungan diantara keduanya sempat terjadi ketegangan karena sikap
konfrontatif yang ditunjukan oleh kedua belah pihak yang bisa dikatakan
melanggar aturan dalam hukum diplomatik dengan tujuan mendapatkan tujuannya
masing-masing. Sikap yang kurang baik ditunjukan oleh pihak Korea Utara
dengan melakukan pelarangan 11 orang warga negara Malaysia yang didalamnya
termasuk beberapa orang perwakilan diplomatik beserta keluarganya untuk keluar
dari wilayah Korea Utara. Justru sikap lain ditunjukan oleh pihak kepolisian
Malaysia dalam penanganan kasus ini, yaitu dengan menghormatinya hukum
internasional yang mengatur hak-hak perwakilan diplomatik Korea Utara.
Kepolisian Malaysia ingin melakukan pemeriksaan terhadap salah seorang yang
diduga sebagi tersangka dalam kasus pembunuhan ini yaitu Hyon Kwang-Song
(44) dan diketahui menjabat Sekretaris Kedua pada Kedutaan Besar Korut di
Kuala Lumpur. Dalam hal ini pihak kepolisian Malaysia melakukan permohonan
izin lewat kedutaan besar Korea Utara terlebih dahulu untuk melakukan
pemeriksaan terhadap orang terduga tersangka yang mejabat sebagai salah satu
perwakilan diplomatik Korea utara karena dimilikinya kekebalan dan
keistimewaan oleh pejabat diplomatic tersebut.

Kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki oleh seorang wakil diplomatik


didasarkan pada pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada wakil diplomatik
dalam melakukan tugasnya dengan sempurna. Tanggungjawab negara lahir
apabila negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena
kesalahan atau karena kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran
kewajiban hukum internasional yang dapat merenggangkan hubungan diplomatic
suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA

Ak, Syahmin. Hukum Diplomatik Suatu Pengantar. Amrico, Bandung: Arsensius.


2014.

Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni. 2005.

Suryono, Edy. Perkembangan Hukum Diplomatik. Bandung: Mandar Maju. 1992.

Widodo. Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi. Surabaya:


Laksbang Justitia. 2009.

Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Diplomatik : Teori dan Kasus. Bandung: P.T.


Alumni. 2005.

Suryono, Edy. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistmewaannya. Bandung:


Angkasa. 1986.

Diktat Hukum Diplomatik dan Konsuler. Pontianak Kovensi Wina 1961

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20170221103143-106-194923/pm-
malaysia-tolak-selidiki-kasus-kim-jong-nam-bersama-korut/ (Diakses pada
tanggal 6 April 2017 pukul 10.20)

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20170221170826-106-195065/polisi-
bidik-diplomat-korut-dalam-kasus-kim-jong-nam/ (Diakses pada tanggal 6 April
2017 pukul 10.30)

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20170221054049-106-
194871/malaysia-tak-terima-dituding-korut-ini-penghinaan/ (Diakses pada
tanggal 6 April 2017 pukul 10.40)

https://news.detik.com/internasional/d-3430098/kasus-kim-jong-nam-diplomat-
korut-antarkan-4-buron-yang-kabur (Diakses pada tanggal 6 April 2017 pukul
10.45)
http://m.metrotvnews.com/internasional/asia/Dkqjo9eK-sempat-ditahan-9-warga-
malaysia-diizinkan-pulang-oleh-korut (Diakses pada tanggal 6 April 2017 pukul
10.50)

https://news.detik.com/berita/d-3438430/malaysia-usir-duta-besar-korea-utara-
kang-chol (Diakses pada tanggal 6 April 2017 pukul 11.00).

Anda mungkin juga menyukai