Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Kasus Posisi

Bahwa berdasarkan keterangan-keterangan yang diberikan oleh para


saksi dalam Putusan No.02/Pid.Sus/2014/PN.MAL., penulis dapat
menyimpulkan bahwa pokok kasus posisinya adalah sebagai berikut:
Nama lengkap : TERDAKWA

Tempat lahir : Sempayang (Malinau)

Umur/tanggal lahir : 17 tahun/03 September 1996


Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Kabupaten Malinau

Agama : Katholik
Pekerjaan : Tidak ada.

Bahwa pada hari Senin, tanggal 02 Desember 2013 sekitar jam 01.00
WITA, bertempat dalam suatu gedung kosong di Teluk Sanggan Kec. Malinau
Kab. Malinau, TERDAKWA (tidak disebutkan namanya dalam putusan) dan
temannya yang bernama JARLIS bin RAMSA (di dalam surat dakwaan yang
berbeda) telah menyetubuhi SAKSI I SEFTIARY yang dalam keadaan mabuk
berat/tidak berdaya. Bahwa kejadian itu bermula ketika Terdakwa melihat
saksi Jarlis menyetubuhi SAKSI I yang tak berdaya dengan cara memasukkan
penisnya ke dalam kemaluan SAKSI I dan menaik-turunkan pantatnya hingga
sekitar 5 menit kemudian saksi Jarlis mengeluarkan sperma dipaha SAKSI I.
Bahwa melihat kejadian tersebut, Terdakwa menjadi terangsang, apalagi pada
saat Terdakwa melihat tubuh SAKSI I yang dalam keadaan baring terlentang
dan setengah telanjang setelah disetubuhi saksi Jarlis, kemudian Terdakwa
langsung menyetubuhi SAKSI I dengan cara memasukan penis Terdakwa ke
dalam vagina SAKSI I kemudian memaju mundurkan pantat

hingga Terdakwa mengeluarkan sperma di dalam vagina SAKSI I. Pada


waktu Terdakwa menyetubuhi SAKSI I, SAKSI I merasakan sakit di
kemaluannya (vagina). Akibat perbuatan terdakwa dan temannya tersebut
SAKSI I mengalami luka lecet pada lengan bawah kiri/kanan, perut, bokong,
paha, lutut, betis. Hymen non intak (selaput dara tidak utuh). Terdapat
sperma pada vagina. Kerusakan tersebut disebabkan oleh trauma benda
tumpul. Terdakwa mengetahui kalau SAKSI I masih dibawah umur karena
sempat menanyakannya kepada SAKSI I. Terdakwa baru mengenal SAKSI I
ketika bertemu pada hari itu dan antara Terdakwa dengan SAKSI I tidak ada
hubungan perkawinan.

1.2 Pledoi

Tidak terdapat pledoi kepada dakwaan yang disampaikan oleh Penuntut


Umum.

1.3 Dakwaan

Penuntut Umum dalam kasus ini menggunakan dakwaan yang


berbentuk alternatif, yaitu dalam;

1. Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP;
2. Pasal 286 Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP;

3. Pasal 287 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

1.4 Putusan
Putusan Majelis Hakim diantaranya;
1. Menyatakan TERDAKWA tersebut diatas, telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “bersama-sama
melakukan persetubuhan diluar perkawinan dengan seorang
perempuan yang diketahuinya dalam keadaan tidak berdaya”;

2. Menjatuhkan pidana kepada TERDAKWA oleh karena itu dengan


pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani


Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
5. Menetapkan barang bukti berupa:

6. Baju kaos wanita lengan pendek berwarna merah muda bermotif


bintik-bintik hitam kecil;

7. Celana levis pendek merk MAC LADIES berwarna biru tua;

8. Celana dalam wanita berwarna merah tua bermotif garis-garis


merah putih;

9. Bra berwarna orange dan putih bermotif gambar


bintang. Dikembalikan kepada SAKSI I.

10. Membebankan TERDAKWA membayar biaya perkara sejumlah


Rp.5.000,00 (lima ribu rupiah.
BAB II

LANDASAN TEORI
2.1 Penjelasan Umum

Tindak pidana dewasa ini semakin berkembang cara/metodenya,


dalam beberapa kasus perbuatan tindak pidana dapat dilakukan oleh
beberapa orang. Jadi pada setiap tindak pidana itu selalu terlihat lebih
daripada seorang yang berarti terdapat orang-orang lain yang turut serta
dalam pelaksanaan tindak pidana di luar diri si pelaku. Tiap-tiap peserta
mengambil atau memberi sumbangannya dalam bentuk perbuatan kepada
peserta lain sehingga tindak pidana tersebut terlaksana. Dalam hal ini secara
logis pertanggungjawabannya pun harus dibagi di antara peserta, dengan
perkataan lain tiap-tiap peserta harus juga turut dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya, berhubung tanpa perbuatannya tidak mungkin tindak pidana
1
tersebut diselesaikannya.

Menurut E. Utrecht, ajaran penyertaan merupakan ajaran untuk


menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat
melakukan delik walaupun perbuatan mereka sendiri tidak memuat semua
anasir delik, mereka masih bertanggung jawab atas dilakukannya delik karena
2
tanpa perbuatan mereka, delik tersebut tidak pernah terjadi. KUHP
merumuskan mengenai ajaran penyertaan ini dalam Pasal 55 dan Pasal 56.
Pasal 55
(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:

Ke-1. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang


turut serta melakukan perbuatan;

Ke-2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu,


dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56

Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan: Ke-1.


mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan; Ke-2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana
atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Oleh karena kedua pasal ini, dapat diadakan lima golongan


3
peserta tindak pidana, yaitu:

2.2 Yang Melakukan Perbuatan (plegen, dader)

Yang melakukan adalah seseorang yang memenuhi anasir


delik dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Bentuk
penyertaan ini dapat diidentifikasi dengan mudah karena
perbuatannya hanyalah dikenakan pada satu orang. Yang melakukan
perbuatan ini sering didefinisikan juga dengan pelaku. Pelaku adalah
orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan
4
delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan.

2.3 Yang Menyuruh Melakukan Perbuatan (doenplegen, middelijke dader)

Menyuruh melakukan adalah orang yang melakukan delik


dengan cara perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya dan
apabila orang tersebut berbuat secara tidak sengaja, alpa atau tanpa
tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau
5
tunduk pada kekerasan. (MvT) Dalam hal terjadinya menyuruh
melakukan pertanggungjawaban pidana ada kepada yang menyuruh
Orang sebagai perantara.
Subjek hukum di sini adalah seorang yang telah diperintahkan oleh
dader untuk melakukan suatu tindak pidana sebagai alat. Ibaratnya A
menyuruh B untuk menipu C agar C menyerahkan rumahnya ke A.

b. Perantaranya berbuat tanpa sengaja, tanpa kealpaan atau


tanpa tanggung jawab

Dalam hal menyuruh melakukan, seorang perantara tidak memiliki


unsur kesalahan yakni kesengajaan atau kealpaan. Berikutnya secara tanpa
tanggung jawab mengapa perantara tidak dapat dipersalahkan. Kedua,
perantara dapat disesatkan dikarenakan mendapat informasi yang keliru dari
dader. Ketiga, perantara bisa saja diancam oleh pelaku sehingga ia terpaksa
melakukan hal tersebut tanpa niatan dia sendiri.

Dengan demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus


ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus
6
domina/auctor intellectualis). Unsur-unsur pada doenpleger adalah:
a) Alat yang dipakai adalah manusia;
b) Alat yang dipakai berbuat;
c) Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil)


tidak dapat dipertanggungjawabkan, adalah:
a) Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44);
b) Bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48);
c) Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51
Ayat (2));
d) Bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik;

e) Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan


untuk kejahatan yang bersangkutan.
Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur,
maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 Jo. UU Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Peradilan Anak.
2.4 Yang Turut Melakukan Perbuatan (medeplegen, mededader)

Yang turut melakukan adalah dua orang atau lebih yang turut
berbuat suatu tindak pidana. Van Hamel dan Trapman menganut
pandangan sempit mengenai turut melakukan yaitu dua orang atau
lebih yang memenuhi seluruh unsur delik. Sedangkan menurut Vos,
dalam hal turut melakukan setiap pelaku tidak perlu memenuhi
7
seluruh anasir delik masing-masing.
Merujuk kepada pendapat-pendapat ahli, terdapat suatu
putusan HR tanggal 29 Oktober 1934 yang menyatakan bahwa
terdapat dua unsur turut melakukan yakni kerja sama yang dilakukan
8
secara sadar dan pelaksanaan delik secara bersama-sama.
a. Kerja sama yang dilakukan secara sadar

Kerja sama ini harus dibuktikan apakah terdapat


kesengajaan untuk melakukan kerja sama. Terdapat dua jenis
kesengajaan dalam hal ini yakni kesengajaan untuk
memunculkan akibat delik dan kesengajaan untuk melakukan
9
kerjasama.
b. Pelaksanaan delik secara bersama-sama

Dapat dikatakan turut melakukan jika kedua pelaku


melakukan suatu delik Bersama-sama. Pada dasarnya setiap
pelaku memiliki porsinya masing-masing dalam suatu
perbuatan yang menimbulkan akibat delik yang telah
direncanakan. Dalam hal mereka melakukan suatu perbuatan
delik yang diluar dari kesepakatan Bersama, hal tersebut
10
ditanggung sendiri.

2.5 Yang Menggerakkan Supaya Perbuatan Dilakukan (uitlokken,


uitlokker) Uitlokken atau mereka yang menggerakkan untuk
melakukan suatu tindakan dengan daya upaya tertentu adalah
bentuk penyertaan.
penggerakan yang inisiatif berada pada penggerak. Dengan
perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif
tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap
sebagai petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang
secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah
pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai
11
kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.

Ada perbuatan uitlokken (menganjurkan, membujuk)


apabila si “uitlokker’ (penganjur, pembujuk) menggunakan upaya
– upaya yang telah disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) butir 2
KUHP. Hal ini merupakan salah satu pembeda antara bentuk
menyuruh melakukan (doen plegen) dan menganjurkan
melakukan (uitlokken).

Perbedaan antara menyuruh melakukan dan


menganjurkan/membujuk adalah:

1. Dalam menyuruh melakukan, orang yang disuruh tidak


dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu;
sehingga yang dapat dihukum hanyalah si penyuruh
saja sedangkan yang disuruh tidak dikenakan hukuman.
Dalam menganjurkan/membujuk, baik yang
menganjurkan/membujuk maupun yang
dianjurkan/dibujuk, kedua-dua nya dapat dihukum;

2. Perbedaan lain ialah bahwa si penganjur/pembujuk


hanya dapat dihukum apabila ia mempergunakan
upaya-upaya/cara-cara yang diperinci dalam Pasal 55
ayat (1) KUHP. Penyebutan cara-cara
menganjurkan/membujuk dalam Pasal 55 ayat (1) butir
2 adalah limitatif, tidak dapat ditambah. Jadi apabila
upaya-upaya/cara-cara itu tidak digunakan, si
12
penganjur/pembujuk tidak dapat turut dihukum.

Sebagaimana dalam bentuk menyuruh melakukan, dalam uitlokker pun


terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai
orang yang menganjurkan (actor intelectualis) dan orang yang dianjurkan
(actor materialis). Bentuk penganjurannya adalah actor intelectualis
menganjurkan orang lain (actor materialis) untuk melakukan perbuatan
pidana. Uitlokker adalah orang yang menganjurkan orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan pidana, dimana orang lain tersebut tergerak
untuk memenuhi anjurannya disebabkan karena terpengaruh atau tergoda
oleh upaya-upaya yang dilakukan oleh penganjur sebagaimana ditentukan
13
dalam Pasal 55 ayat (1) ke–2 KUHP.

Cara-cara atau daya upaya yang dapat dipergunakan untuk


menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana telah ditentukan
secara limitatif didalam Pasal 55 ayat (1) ke–2, yaitu sebagai berikut:

1. Pemberian (Giften): pemberian harus diartikan tidak hanya uang


tetapi juga berupa barang;

2. Janji/kesanggupan (Beloften): Misalnya janji untuk memberikan


uang, barang atau keuntungan lain, seperti memberi bantuan untuk
menyembunyikan;

3. Menyalahgunakan kewibawaan (kekuasaan/gezag): Antara


pembujuk dan yang dibujuk harus ada hubungan kekuasaan pada
saat perbuatan dilakukan. Disini alasan memberi perintah kepada
bawahannya untuk melakukan sesuatu termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya (HR 17 Mei 1943).

Menurut Adami Chazawi, orang yang sengaja mengajurkan (pembuat


penganjur, disebut juga auctor intelellectualis), seperti juga pada orang yang
menyuruh melakukan, tidak mewujudkan tindak pidana secara materil, tetapi
14
melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam Pasal 55
ayat (1) dengan sangat singkat, ialah yang menyuruh melakukan (doenplegen),
tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan dengan
lebih lengkap, dengan menyebutkan unsur objektif yang sekaligus unsur
subjektif. Rumusan ini selengkapnya ialah “mereka yang dengan memberi
atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, sengaja
mengajurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.

Apabila rumusan itu hendak dirinci, maka unsur-unsurnya adalah:

1) Unsur-unsur objektif yang terdiri terdiri dari

a) Unsur perbuatan, ialah menganjurkan orang lain melakukan


perbuatan;
b) Caranya, ialah:
i. Dengan memberikan sesuatu;
ii. Dengan menjanjikan sesuatu;
iii. Dengan menyalahgunakan martabat;
iv. Dengan kekerasan;
v. Dengan ancaman;
vi. Dengan penyertaan;
vii. Dengan member kesempatan;
viii. Dengan memberikan saran;
ix. Dengan memberikan keterangan;

Pasal 55 ayat (2) KUHP menyatakan dengan tegas bahwa hanya


terhadap perbuatan yang sengaja digerakkan saja yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada penggerak beserta akibat-akibatnya. Dengan
demikian jika tindak pidana yang dilakukan oleh pelaksana adalah tindak
pidana yang lain dari yang dianjurkan, maka disini tidak ada bentuk pembuat
penganjur. Tindak pidana yang telah diperbuat oleh orang yang semula
dianjurkan itu adalah dipertanggungjawabkan kepadanya sendiri, tanpa
15
mempertanggungjawabkannya pada orang yang semula menganjurkan.

2.6 Yang Membantu Perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige)

Pembantu adalah orang yang sengaja memberi bantuan


berupa saran, informasi, atau kesempatan kepada orang lain yang
melakukan tindak pidana, dimana bantuan tersebut diberikan baik
pada saat atau sebelum tindak pidana itu sendiri terjadi.
Dikatakan ada pembantuan apabila ada orang atau lebih, yang
16
satu sebagai pembuat, dan yang lain sebagai pembantu.

Pembantuan diatur dalam Pasal 56, 57, dan 60 KUHP.


Pembantuan terdapat di dalam Bab tentang penyertaan karena di
dalam pembantuan terlibat lebih dari satu orang dalam suatu
tindak pidana, yaitu ada orang yang melakukan tindak pidana itu
dan ada orang yang lain yang berperan dalam membantu
melakukan tindak pidana tersebut.

Penyertaan dalam bentuk membantu melakukan tindak


pidana ini, di dalam KUHP diatur dalam:
Pasal 56 KUHP. Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

a) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat


kejahatan dilakukan;

b) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan,


sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 57 KUHP mengatur tentang pertanggungjawaban orang
yang membantu melakukan tindak pidana, rumusannya adalah
sebagai berikut:

a) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok


terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga;

b) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana


penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling
lama 15 tahun;

c) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan


kejahatannya sendiri;
d) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang
diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah
atau diperlancar olehnya, beserta akibatnya.
Pasal 60 KUHP: Membantu melakukan pelanggaran tidak
17
dipidana. Berdasarkan Pasal 56 diatas diketahui bahwa
bentuk bantuan

dibedakan antara dua jenis yakni pemberian bantuan sebelum


dilaksanakannya kejahatan, dan pemberian bantuan pada saat
18
berlangsungnya pelaksanaan kejahatan.
Ringkasannya ialah bahwa ciri-ciri dari masing-masing
jenis pembantuan adalah
1) Jenis Pertama (Pasal 56 ayat (1))

a. Bantuan diberikan berbarengan atau pada saat


kejahatan dilakukan;

b. Daya upaya yang merupakan bantuan tidak


dibatasi (dapat berupa apa saja, berwujud
ataupun tidak)
2) Jenis Kedua (Pasal 56 ayat (2))
a. Bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan;

Daya upaya (yang merupakan bantuan) dibatasi atau


tertentu, yaitu kesempatan, sarana atau keterangan.
BAB III
ANALISIS PUTUSAN NOMOR 02/PID.SUS/2014/PN.MAL

3.1 Analisis Unsur Delik Pasal 286 KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP

Surat Dakwaan Penuntut Umum pada Putusan Nomor


02/Pid.Sus/2014/PN.Mal. disusun secara alternatif yaitu menggunakan pasal:

1) Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 Tahun


2002 Tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 55 Ayat (1)
Ke-1 KUHP;
2) Pasal 286 Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP;

3) Pasal 287 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Setelah memperhatikan fakta hukum dipersidangan, Hakim dalam


kasus/perkara ini mempertimbangkan dakwaan yang sekiranya paling tepat
untuk perbuatan terdakwa yaitu perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 286 Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP
sebagaimana dakwaan alternatif kedua Penuntut Umum yang unsur-unsurnya
adalah sebagai berikut:
1. Barang Siapa;

2. Melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan


seorang perempuan;

3. Diketahuinya perempuan tersebut dalam keadaan


pingsan atau tidak berdaya;

4. Melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang


turut serta melakukan perbuatan.
Ad. 1. Unsur “Barang siapa”;

Menurut hukum pidana yang dimaksud dengan “barang


siapa” adalah setiap orang/siapa saja sebagai subjek hukum
yang sehat jasmani dan rohani serta mampu bertanggungjawab
atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam kasus/perkara
ini Jaksa Penuntut Umum telah menghadirkan satu orang
Terdakwa dipersidangan yang mengaku bernama TERDAKWA,
yang setelah dicocokkan identitasnya dalam Surat Dakwaan
ternyata bersesuaian sehingga tidak terjadi kesalahan subyek
hukum pelaku (error in persona) antara orang yang
dimaksudkan sebagai pelaku tindak pidana dalam dakwaan
Jaksa Penuntut Umum dengan orang yang diajukan sebagai
Terdakwa dipersidangan. Terdakwa dalam putusan tidak
disebutkan namanya. Menurut penulis, tidak disebutkannya
nama Terdakwa di dalam putusan dikarenakan Terdakwa juga
masih masuk kriteria di bawah umur. Untuk kepentingan masa
depan Terdakwa maka nama Terdakwa di dalam putusan hanya
tertera TERDAKWA. Dengan demikian unsur “Barang siapa”
telah terpenuhi.

Ad. 2. Unsur “Melakukan persetubuhan di luar perkawinan


dengan seorang perempuan”;

Persetubuhan menurut penjelasan Pasal 284 KUHP


adalah apabila anggota kelamin pria (penis) telah masuk ke
dalam anggota kemaluan wanita (vagina) sehingga akhirnya
mengeluarkan sperma. Penjelasan mengenai persetubuhan ini
sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5 Februari 1912 (W.9292).
Berdasarkan fakta hukum dalam putusan, Terdakwa pada waktu
melihat saksi Jarlis Bin Ramsa menyetubuhi SAKSI I Septiary
yang berjenis kelamin perempuan yang sudah dalam keadaan
mabuk berat, Terdakwa menjadi terangsang apalagi pada saat
Terdakwa melihat tubuh SAKSI I yang dalam keadaan berbaring
terlentang dan setengah telanjang setelah disetubuhi saksi
Jarlis, kemudian Terdakwa langsung menyetubuhi SAKSI I
dengan cara memasukan kemaluan (penis) Terdakwa ke dalam
kemaluan (vagina) SAKSI I kemudian memaju mundurkan
pantat hingga Terdakwa mengeluarkan sperma di dalam vagina
SAKSI I. Berdasarkan fakta hukum juga, hubungan antara
Terdakwa dan SAKSI I hanya sebatas teman (bahkan baru kenal
hari itu juga), tentu tidak ada hubungan perkawinan. Dengan
demikian unsur kedua yaitu “Melakukan

persetubuhan di luar perkawinan dengan seorang


perempuan” telah terbukti atas perbuatan Terdakwa.

Ad. 3. Unsur “Diketahuinya perempuan tersebut dalam


keadaan pingsan atau tidak berdaya”;

Diketahui bahwa yang dimaksud pingsan adalah tidak


ingat atau tidak sadar akan dirinya. Sedangkan tidak berdaya
artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali
sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikit pun, akan
tetapi masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
Berdasarkan fakta hukum dalam putusan, SAKSI I setelah
minum minuman keras jenis ciu pada gelas yang ke empat,
SAKSI I mabuk, ia merasakan kepalanya pusing, badan lemes
dan tidak mempunyai tenaga sama sekali sehingga
menjatuhkan kepalanya di paha Terdakwa. Bahwa setelah
mengetahui SAKSI I mabuk dan tidak berdaya, saksi Jarlis Bin
Ramsa membuka celana pendek dan celana dalam SAKSI I dan
selanjutnya menyetubuhinya sehingga SAKSI I tidak
mengadakan perlawanan dan hanya merasakan sakit
dikemaluannya.

Dengan melihat perbuatan saksi Jarlis yang menyetubuhi


SAKSI I, Terdakwa menjadi terangsang dan selanjutnya
menyetubuhi SAKSI I yang masih dalam keadaan tidak berdaya
karena mabuk minuman keras. Berdasarkan uraian di atas
karena saat Terdakwa menyetubuhi SAKSI I di saat SAKSI I tidak
sadar atau tidak berdaya karena meminum minuman keras,
maka menurut hemat penulis unsur “Diketahuinya perempuan
tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya” telah
terbukti atas perbuatan terdakwa.

Ad. 4. Unsur “Melakukan, yang menyuruh melakukan dan


yang turut serta melakukan perbuatan”

Unsur ini bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu


unsur telah terbukti maka unsur yang lain dianggap telah
terbukti. Menimbang, bahwa yang disebut “melakukan” dalam
teori penyertaan sebagaimana yang dimaksud pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP adalah seseorang yang sendirian telah
berbuat/bertindak untuk mewujudkan segala anasir atau
elemen dari suatu peristiwa pidana. Menimbang, bahwa
berdasar fakta hukum.
kasus/perkara ini Terdakwa pada waktu melihat tubuh SAKSI I yang
dalam keadaan berbaring terlentang dan setengah telanjang setelah
disetubuhi saksi Jarlis, kemudian Terdakwa langsung menyetubuhi SAKSI I
dengan cara memasukan kemaluan (penis) Terdakwa ke dalam kemaluan
(vagina) SAKSI I kemudian memaju-mundurkan pantat hingga Terdakwa
mengeluarkan sperma di dalam vagina SAKSI I. Menimbang, bahwa rangkaian
perbuatan terdakwa yang menyetubuhi SAKSI I merupakan elemen dari suatu
peristiwa pidana, sehingga terhadap perbuatan terdakwa tersebut bisa
dikategorikan sebagai “melakukan”. Dalam putusan, berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas maka unsur

“Melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta


melakukan perbuatan” telah terbukti atas perbuatan
Terdakwa. Penulis dalam terpenuhinya unsur ini tidak
bersepakat dengan majelis hakim. Menurut penulis bahwa yang
dilakukan Terdakwa adalah “Turut Serta” atau “Medeplegen”
bukan Melakukan atau “dader” yang selanjutnya akan
dijelaskan pada bagian 3.2 Analisis Kasus dengan Bentuk
Penyertaannya.

Menimbang, bahwa oleh karena menurut Majelis Hakim semua unsur


dari Pasal 286 Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi, maka
Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan
alternatif kedua. Berdasarkan pasal di atas Terdakwa dapat dihukum pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

3.2 Analisis Kasus dengan Bentuk Penyertaannya

Penjelasan mengenai bentuk-bentuk penyertaan sudah dijelaskan


pada BAB II mengenai landasan teori. Bentuk-bentuk penyertaan paling tidak
ada lima.
1) Yang Melakukan Perbuatan (plegen, dader);
2) Yang Menyuruh Melakukan (doenplegen, middelijke
dader);
3) Yang Turut Serta Melakukan (medeplegen,
mededader);
4) Yang Menggerakkan (uitlokken,uirlokker);
5) Yang Membantu Melakukan (medeplichtigzijn ,
medeplichtige).
Dalam kasus ini Majelis Hakim menganggap bahwa perbuatan yang
dilakukan Terdakwa adalah masuk kategori 1) Yang Melakukan Perbuatan
(plegen, dader).

Penulis pada dasarnya, tidak keberatan atau sependapat dengan hakim


dalam hal penggunaan Pasal 286 Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yang
menurut hakim telah terpenuhi. Hanya saja penulis tidak sependapat dengan
pemilihan salah satu unsur alternatif oleh hakim mengenai terpenuhinya
unsur Ad. 4. Unsur “Melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut
serta melakukan perbuatan”. Menurut Hakim, perbuatan terdakwa tersebut
bisa dikategorikan sebagai “melakukan” atau “dader”. Penulis tidak sepakat
mengenai dipilihnya salah satu unsur alternatif “melakukan”. Penulis
cenderung berpendapat bahwa untuk unsur Ad. 4. ini adalah “turut serta
melakukan perbuatan” atau “medeplegen/mededader”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas


Hukum Pidana di Indonesia, mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge
Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat bagi adanya turut serta
melakukan tindak pidana, yaitu: 1) Kerja sama yang disadari antara para turut
pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka; 2)
Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu. Syarat pertama
terpenuhi dengan Saksi Jarlis dan Terdakwa yang membeli minuman keras
dua botol. Dari mulai tindakan tersebut sebenarnya sudah mulai adanya kerja
sama. Kemudian saat SAKSI I tidak sadarkan diri, SAKSI I posisi kepalanya di
paha Terdakwa dan Saksi Jarlis memerkosa SAKSI I yang tak sadarkan diri.
Selanjutnya untuk syarat kedua, syarat ini juga terpenuhi dengan Saksi Jarlis
dan Terdakwa yang bergantian memerkosa SAKSI I. Maka syarat-syarat turut
serta yang dikutip oleh Wirjono Prodjodikoro terpenuhi.

Djisman Samosir dalam buku Pertanggungjawaban Pidana,


mengemukakan bahwa, apabila seseorang melakukan tindak pidana tanpa
orang lain, pada umumnya disebut sebagai pelaku (dader), tetapi apabila.
beberapa orang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana,
maka setiap yang terlibat dalam tindak pidana tersebut dipandang sebagai
peserta (turut serta). Oleh karena tindakan pemerkosaan ini dilakukan oleh
dua orang secara berturut-turut yaitu Saksi Jarlis dan Terdakwa (Saksi Jarlis
didakwa dengan surat dakwaan yang berbeda). Karena mereka menjalankan
perbuatan tersebut berdua maka ini bukan masuk kategori pelaku (dader)
melainkan turut serta (medeplegen). Demikian pendapat penulis mengenai
pemilihan salah satu unsur alternatif dalam unsur “Melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan” pada Pasal
286 Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

3.3 Analisis Hukuman pada Putusan Hakim Melebihi dari Hukuman yang
Dituntut oleh Penuntut Umum

Dalam Putusan Nomor 02/Pid.Sus/2014/PN.Mal. Hakim tidak


sependapat dengan Tuntutan Penuntut Umum yang menuntut Terdakwa
selama 1 (satu) tahun karena menurut pendapat Hakim, yang menjadi korban
atas perbuatan Terdakwa adalah anak-anak dan berstatus sebagai pelajar dan
apa yang telah dilakukan oleh Terdakwa terhadap Saksi korban tersebut
membuat korban menjadi hancur masa depannya dan akan menimbulkan
trauma psikologis selama hidupnya sehingga menurut Hakim sangat adil bila
Terdakwa dijatuhi pidana yang lamanya akan Hakim tetapkan. Pada akhirnya,
Hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan 6 (enam) bulan dikurangi masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani Terdakwa.

Pertanyaannya, adalah apakah hakim boleh untuk memvonis hukuman


lebih berat (Ultra Petita) daripada tuntutan penuntut umum? Secara normatif,
tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang
mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai rekuisito.
penuntut umum, Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan
pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya. Berdasarkan
riset, putusan pemidanaan dapat lebih tinggi dari tuntutan jaksa bisa berupa
pidana penjara, bisa pula berupa denda, uang pengganti, bahkan pidana
pengganti. Penulis berpendapat bahwa Hakim boleh saja menjatuhkan
putusan lebih tinggi berdasarkan pertimbangan tertentu, asal putusan itu tak
melanggar KUHAP. Yang terlarang adalah jika hakim menjatuhkan vonis lebih
tinggi dari ancaman maksimal yang ditentukan undang-undang. Terlarang pula
menjatuhkan jenis pidana tidak ada dalam KUHP jika yang dipakai sebagai
dasar adalah KUHAP. Jadi, menurut hemat penulis, Hakim dapat memutuskan
lebih ringan, sama, atau lebih berat dari tuntutan yang diminta oleh Penuntut
Umum asal tidak bertentangan dengan KUHP dan KUHAP.

3.4 Analisis Landasan Hukum Pengambilan Keputusan oleh Hakim

Dalam Putusan Nomor 02/Pid.Sus/2014/PN.Mal. ini, Hakim sebelum


mengadili menyebutkan bahwa telah memerhatikan Pasal 286 Jo. Pasal 55 ayat
(1) ke 1 KUHP, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta
peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Pertanyaan yang muncul
adalah mengapa Undang-Undang Pengadilan Anak yang digunakan adalah UU
Pengadilan Anak tahun 1997, bukankah pada tahun 2014 sudah ada Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak? Setelah penulis riset, undang-undang
terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum memang
benar yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA). Akan tetapi berdasarkan Pasal 108 UU SPPA tersebut,
undang-undang tersebut mulai diberlakukan dua tahun.
setelah tanggal pengundangannya. Tanggal pengundangan UU SPPA
yaitu 30 Juli 2012. Dengan demikian artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak
31 Juli 2014. Sebagaimana putusan diketahui bahwa perkara/kasus yang
terjadi pada putusan tersebut diadili oleh Hakim pada hari Senin, tanggal 20
Januari 2014. Sehingga dalam hal ini, Hakim telah benar dengan
menggunakan UU Pengadilan Anak tahun 1997 karena UU SPPA memang
belum berlaku saat itu.
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan Putusan Nomor 02/Pid.Sus/2014/PN.Mal. Tentang


Tindak Pidana Penyertaan Pemerkosaan. Dalam konstruksi Putusan Nomor
02/Pid.Sus/2014/PN.Mal., hakim mengadili Terdakwa berdasarkan Pasal 286
Jo. Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Penulis berpendapat bahwa konstruksi pasal
yang digunakan hakim adalah CUKUP TEPAT. Mengapa cukup tepat? Karena
secara umum pasal yang dipilih hakim dapat dibenarkan karena dakwaan yang
diajukan adalah dakwaan alternatif, hakim dapat memilih. Tetapi ada unsur
yang menurut penulis, hakim keliru dalam menggunakannya. Penjabaran
unsur oleh hakim yang penulis rasa kurang tepat yaitu dipilihnya salah satu
unsur alternatif “melakukan” dalam unsur Ad. 4. Unsur “Melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan” pada
Pasal 286 Jo. Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP. Penulis berargumen bahwa untuk
unsur alternatif yang harusnya digunakan hakim pada Ad. 4. ini adalah “turut
serta melakukan perbuatan” atau “medeplegen/mededader”. Pada akhirnya,
menurut hemat penulis, Terdakwa telah terbukti bahwa secara langsung telah
turut serta melakukan tindak pidana pemerkosaan.
DAFTAR PUSTAKA

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht].


Diterjemahkan oleh R. Soesilo. Bogor: Politeia, 1995.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Oleh R.


Sugandhi.
Surabaya: Usaha Nasional, 1980.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Oleh R.
Soesilo. Bogor: Politeia, 1995.

B. BUKU

Lamintang, dan Franciscus Theojunior Laminating. Dasar-dasar


Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Sahetapy, dan Agustinus Pohan. Hukum Pidana. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2007.
Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2: Penafsiran
Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran
Kausalitas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3: Percobaan &
Penyertaan.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana (Edisi Revisi). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia.
Bandung: PTRefika Aditama, 2014.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal


Terpenting dari KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Marpaung, Leden. Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Widnyana, I Made. Hukum Pidana II. Denpasar: Yayasan Yuridika,
1992.
Waluyadi. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003.
RM, Suhartono. Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Obyektif sebagai
Dasar
Dakwaan. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Bawengan, Gerson W. Hukum Pidana Di Dalam Teori dan Praktek.
Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1983.

C. INTERNET

https://www.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt577c88908b259/v
onis
lebih-tinggi-dari-tuntutan--boleh-nggak-sih, Diakses pada 4
Desember
2018.

Anda mungkin juga menyukai