Disusun Oleh:
SITI MAR’ATI SOLIHA
NIM: 24.20.1441
2021
LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
II. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan
oleh (Towsend, 1996 dalam Purba, dkk., 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter
juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses
impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan
meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya
gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat
1
keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara
konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang
sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif
dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap
rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
2
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal
tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun,
dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola
perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih
kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
c) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak
kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan
mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai
/padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian
masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
3
III. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,
orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
d. Emosi
4
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
V. Penatalaksanaan
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
a. Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan
neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara
langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi
(Videbeck, 2001). Menurut (Stuart dan Laraia, 2005), beberapa kategori obat yang
digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
1) Antianxiety dan Sedative Hipnotics : Obat-obatan ini dapat mengendalikan
agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam,
sering digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan
perlawanan klien. Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama
karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa
memperburuk gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari
Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif.
Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan
yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan
menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala,
demensia dan ’developmental disability’.
5
2) Antidepressant : Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan
perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline
dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan
dengan cedera kepala dan gangguan mental organik (Keliat, dkk., 2005).
b. Psikoterapi
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam
perawatan kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area kedokteran,
keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian ini secara singkat
menjelaskan modalitas terapi yang saat ini digunakan baik pada lingkungan, rawat
inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001).
1) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan bagi
semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif. Aktivitas
atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan klien
kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika klien tenang.
Aktivitas juga melibatkan klien dalam proses terapeutik dan meminimalkan
kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian
perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah,
pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat
meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001, hlm. 259).
2) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama kelompok
individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan diharapkan memberi
kontribusi kepada kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat
bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh
semua anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat,
mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau
menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan
interpersonal yang penting (Videbeck, 2001, hlm. 70).
3) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan
klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah memahami bagaimana
6
dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan
dan sumber fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang
maladaptif, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga
(Steinglass, 1995 dalam Videbeck, 2001, hlm. 71).
4) Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan pada
individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilakunya.
Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi dan klien. Tujuan dari
terapi individu yaitu, memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat
hubungan personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas
dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama
dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya
pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan
dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja
sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck,
2001, hlm. 69).
Perilaku Kekerasan
2. Diagnosa Keperawatan
Resiko Perilaku kekerasan
3. Perencanaan Keperawatan
a. Tujuan tindakan keperawatan jiwa pada pasien
1) Pasien mampu mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2) Pasien mampu mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
3) Pasien mampu mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
4) Pasien mampu mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
5) Pasien mampu melakukan tindakan pengontrolan perilaku kekerasan (fisik,
verbal, spiritual, dan obat-obatan) dan memasukkannya kedalam jadwal
kegiatan harian
8
2) Keluarga mampu menjelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan
gejala, serta proses terjadinya perilaku kekerasan
3) Keluarga mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara merawat pasien
dengan perilaku kekerasan
4) Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
c. Tindakan keperawatan jiwa yang dilakukan pada pasien:
1) Identifikasi penyebab perilaku kekerasan
2) Identifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
3) Identifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
4) Identifikasi akibat perilaku kekerasan
5) Jelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan
6) Melatih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan (fisik, verbal, spiritual,
obat-obatan) dan bimbing pasien untuk memasukkannya kedalam jadwal
kegiatan harian
d. Tindakan keperawatan jiwa yang dilakukan pada keluarga
1) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Jelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan gejala, serta proses
terjadinya perilaku kekerasan
3) Jelaskan dan praktekkan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan
4) Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
5) Jelaskan follow up pasien sesudah pulang
DAFTAR PUSTAKA
9
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan
Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba
Keliat, Anna, dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Ed.2 . Jakarta : EGC
10