Anda di halaman 1dari 4

Don’t judge me!

Nur Arofiah, S.Pd

“J*nc*k, *s*, t**” berbagai kata kotor keluar dari lisannya setiap Tino marah. Tino,
siswa pindahan yang masuk di kelas 4. Tino dulunya hidup keras di kota metropolitan, Jakarta.
Entah bagaimana kehidupan pergaulannya disana, sehingga begitu mudahnya kata-kata kotor
keluar dari mulutnya. Tak hanya kepada siswa seusianya tapi juga kepada guru-gurunya. Belum
lagi pandangan tajam melototnya selalu dia lakukan setiap marah.
Kuitnya cenderung gelap. Rambutnya cepak kriwul. Badannya tegap. Setiap kata yang
keluar hampir semuanya bernada tinggi. Tak mampu berbahasa jawa. Dan kata-katanya sering
tak jelas terdengar. Bagaikan mendengar tawon yang berdengung. Suaranya begitu kacau.
Maksud dari kata-katanya sering tak jelas ditangkap. Begitulah gambaran Tino.
Hal itu membuat dia sering diolok-olok anak-anak disekitarnya. Baik yang seusia ataupun
adek-adek kelasnya. Akibatnya Tino sering tersulut api marah dengan olok-olokan tersebut. Tino
akan mengejar anak yang mengoloknya, mengatainya dengan mata melotot, bahkan kadang
hingga memukulnya.
Selama 1 tahun pertama di kelas 4 ada saja ulah yang Tino yang berdampak pada guru
dan siswa lainnya. Tino sering keluar dari kelas atau kadang dikeluarkan karena mengganggu
pembelajaran. Hingga akhirnya dia naik kelas di kelas 5.
Kelas 5 diamanahkan pada guru senior bernama Bu Tiyem. Beliau sudah mengajar
berpuluh-puluh tahun di sekolah tersebut. Bu Tiyem bahkan merupakan guru yang pernah
mengajarku 23 tahun yang lalu. Anak-anak yang berada di kelas 4 yang cenderung liar, mulai
terkondisi di kelas 5. Pernah kutanyakan, “Bu, rahasianya apa kok anak-anak sekarang jadi
nurut?” Aku yang merupakan GTT baru disitu penasaran dengan perubahan yang terjadi pada
anak-anak.
“Ya gak tak apa-apakan, mbk. Mereka nurut-nurut aja. Mungkin karena setiap malam tak
do’akan, mbk. Tak sebutin satu-satu namanya.” Cerita Bu Tiyem yang hampir tak pernah absen
sholat malamnya. MasyaAllah….
Tino yang biasanya selalu tak betah di dalam kelas dan selalu berulah, pelan-pelan mulai
berubah. Hanya kadang-kadang saja Tino tak bisa terkendali. Ketika ada yang menyulut api
amarahnya, Tino tetap tak mampu menahannya. Dulu yang biasanya hampir setiap hari
berkelahi, kini sudah mulai menurun menjadi seminggu sekali atau dua minggu sekali.
Memasuki semester 2 kelas 5 Tino mulai rajin datang ke masjid sekitar. Berawal dengan
belajar ngaji, lalu Tino berkeinginan untuk mengumandangkan adzan. Adzan pertama yang Tino
kumandangkan sama sekali bukan adzan yang merdu bahkan cenderung tidak jelas apa yang dia
lafalkan. Sempat ada protes di warga sekitar karena terganggu dengan suara adzannya. Namun
takmir masjid yang notabene bapakku, justru membela Tino. Bapak memberikan kesempatan
kepada Tino mengumandangkan adzan karena melihat semangat Tino ingin belajar menjadi lebih
baik.
Hingga suatu hari terjadi kehebohan dengan isi kotak amal masjid ludes di beberapa
lokasi. Lalu beberapa hari berikutnya, kalkulator milik Bu Tiyem hilang pada waktu istirahat.
Setelah diselidiki, ada kemungkinan Tino yang mengambil uang dan kalkulator tersebut. Karena
bukti yang kurang, Bu Tiyem hanya menyampaikan di kelas, “Siapapun yang mengambil
kalkulator saya, tolong kembalikan. Tak ada gunanya mengambil kalkulatornya bu Tiyem. Bu
Tiyem tidak akan memarahimu. Bu Tiyem sudah bersyukur jika yang mengambil mau
mengembalikan. Saya do’akan semoga yang mengambil diberikan hidayah oleh Allah”
Begitulah Bu Tiyem, beliau selalu berhusnudzon dalam setiap hal. Hasilnya, beberapa hari
kemudian kalkulator Bu Tiyem kembali.
Bagaimana dengan uang kotak amal??? Di desa sudah heboh berita yang menyatakan
Tino yang mengambil uang tersebut. ada 3 masjid/musholla yang kehilangan. Masing-masing
takmir masjidnya memanggil Tino untuk mengakui perbuatannya. Tetapi, Tino selalu berkilah.
Karena memang buktinya tidak ada. Hanya Bapakku selaku salah satu takmir masjid yang
kehilangan, tidak memanggil Tino. Bapak tak tega memanggil Tino dan menuduhnya
mengambil. Beliau sudah mengikhlaskannya sekaligus berdo’a semoga Tino menjadi lebih baik.
Bapak kasihan karena Tino ditinggal Ibunya pergi keluar negeri untuk mencari nafkah.
Sedangkan Tino tinggal bertiga bersama adek perempuan dan bapaknya.
Bapak Tino merupakan korban PHK dari sebuah perusahaan di Jakarta. Akhirnya dari
uang pesangon PHK tersebut dipakai modal untuk pulang kampung dan membangun usaha
ternak sapi di rumah. Ibunya memutuskan menjadi TKW di luar negeri untuk mencukupi
kebutuhan serta tambahan modal usahanya. Padahal Tino memiliki adik yang masih kecil berusia
5 tahun. Sejak ditinggal Ibunya menjadi TKW, Tino selalu membantu Bapaknya merawat
adiknya yang masih kecil. Senakal-nakalnya Tino, dia sangat menyayangi adiknya. Adiknya-pun
terlihat lebih dewasa dan mandiri dari anak seusianya.
***
“Allahuakbar,, Allahu Akbar…” Suara adzan Tino mulai dapat didengar dengan baik.
Tak terasa satu tahun berlalu. Tino sudah naik kelas 6. Adik Tino masuk kelas 1 SD. Sikap Tino
mulai sangat tampak berubah. Emosinya mulai nampak lebih stabil. Mungkin karena ada
adiknya, dia ingin menjadi kakak yang baik. Sudah sangat jarang Tino dipanggil ke ruang guru
karena berbuat ulah.
Kata-kata kotornya berubah menjadi istighfar. Bahkan sangat sering dia melafalkan
istighfar. Keingintahuannya dalam belajar agama semakin meningkat. Setiap hari Tino selalu
adzan dan mengaji. Disaat teman-teman seangkatannya mulai malu datang mengaji, Tino justru
paling semangat. Walau secara komunikasi kadang masih sering salah paham karena perbedaan
pemahaman dan bahasa, tapi kemauannya untuk menjadi lebih baik mendapat sambutan positif
dalam masyarakat.
***
Dari Tino saya belajar untuk TIDAK dengan mudah memberikan penilaian kepada
seseorang dan memberikan dia cap bahwa dia buruk dan tidak dapat berubah. Terbukti dengan
bagaimana seorang Tino yang sangat keras kepala, emosional, mudah main tangan, berkata-kata
kotor dan semuanya sendiri, dalam hitungan tahun Allah berikan hidayah sehingga dia berubah
menjadi manusia yang lebih baik lagi. Jadi sebagai seorang guru, selain mengajar dan
membimbingnya, maka jangan lupakan untuk selalu menyebutkan nama-nama murid kita dalam
setiap do’a. Karena Allah itu Maha membolak balikkan hati manusia.
Nur Arofiah, Lahir di Magetan, 29 Maret 1990. Penulis berkesempatan belajar di SDN Baron 2,
SMPN 4 Magetan, SMAN 1 Magetan dan melanjutkan kuliah di Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Negeri Surabaya. Sejak lulus kuliah tahun 2011, penulis langsung mengabdi
mengajar sebagai Guru Tidak Tetap dan Operator Sekolah di SDN Baron 2, tempat sekolahnya
dulu. Sejak 2019 penulis diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di SDN Purwosari 2 yang
jaraknya tak sampai 10 meter dari rumahnya. Hobby-nya menulis sempat diasah pada jaman
kuliah lewat tulisan-tulisannya di blog tapi berhenti sejak kesibukannya di dunia kerja.

Anda mungkin juga menyukai