Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh:
LABORATORIUM ….....
PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI
SEKOLAH FARMASI
INSTITTUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
I Tujuan
1. Menentukan formula sediaan supositoria asetosal 0,8%.
2. Menentukan hasil evaluasi sediaan supositoria asetosal 0,8% dari setiap
kelompok Shift Rabu Gelombang I.
II Dasar Teori
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan
melalui rektal, vaginal, atau uretra. Umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu
tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa
zat terapeutik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar suppositoria yang umum
digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran
polietilen glikol berbagai bobot molekul dan ester asam lemak polietilen glikol (FI V, 2014).
Basis supositoria yang digunakan berpengaruh pada pelepasan zat terapetik. Polietilen glikol
adalah bahan dasar yang sesuai untuk beberapa antiseptic. Supossitoria dengan basis
polietilen glikol tidak melebur ketika terkena bagian tubuh tetapi perlahan melarut dalam
cairan tubuh.
Sediaan suppositoria dapat digunakan untuk efek lokal maupiun sistemik, dan
mempunyai keuntungan dibandingkan bentuk sediaan oral yatu diantaranya :
o Menghindari first pass effect sehingga kadar obat dalam darah lebih tinggi
o Stabilitas obat lebih terjamin terutama untuk obat yang terurai di saluran cerna
o Sesuai untuk dosis besar bagi pasien yang sulit menerima secara oral (tidak dapat
menelan / muntah)
o Sesuai untuk obat yang mempunyai rasa dan bau yang kurang menyenangkan
Namun sedian supositoria juga memiliki kerugian di antaranya
Memerlukan informasi atau tenaga kesehatan dalam pemakaiannya
Absorpsi obat melalui rektal umumnya lambat
Adanya tinja dalam rektum yang berpengaruh terhadap absorpsi obat
Asetosal atau asam asetil salisilat merupakan suatu obat yang berfungsi sebagai
analgesik atau penahan rasa sakit atau nyeri minor, antipiretik (penurun demam) dan anti-
inflamasi (peradangan). Asetosal sebagai suppositoria memiliki efek sistemik. Bentuk sediaan
asetosal bermacam – macam, untuk mengurangi efek iritasi lambung ini, asetosal biasanya
dibuat dalam bentuk tablet biasa (plain uncoated), buffered tablets, enteric coated tablets,
dispersible tablets, suppositoria dll.
III Formulasi
Nama Zat Jumlah Fungsi
Asetosal 0,8% Zat aktif
Camphora 0,2% Antiiritan
PEG Basis
60:40
4000:1000 supositoria
V Preformulasi Eksipien
Camphora (FI V hal. 607; FI III hal. 130)
Nama zat Kamfer, camphora, 2-bornanon
Rumus molekul C10H16O
Struktur molekul
Keterangan: m = 22,3
Rumus molekul HOCH2(CH2OCH2)mCH2OH
Bobot molekul 950 – 1050 gram/mol
Pemerian Padatan putih atau putih pucat; konsistensi bervariasi dari seperti
pasta hingga lilin; berbau sedikit manis.
Kelarutan Larut dalam air, dan aseton, dan etanol (95%), dan metanol; agak
larut dalam eter; tidak larut dalam lemak, minyak, dan minyak
mineral; bercampur dengan PEG lainnya.
Densitas 1,080 g/cm3
Jarak leleh 37 – 40°C
Stabilitas Stabil dalam air dan larutan; tidak rentan menumbuhkan mikroba.
Dapat disterilisasi dengan autoklaf, filtrasi, atau radiasi gamma.
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat, di tempat sejuk dan kering.
Kegunaan Basis supositoria
Keterangan: m = 69 - 84
Rumus molekul HOCH2(CH2OCH2)mCH2OH
Bobot molekul 3000 – 4800 gram/mol
Pemerian Padatan putih atau putih pucat; konsistensi bervariasi dari seperti
pasta hingga lilin; berbau sedikit manis.
Kelarutan Larut dalam air, dan aseton, dan etanol (95%), dan metanol; agak
larut dalam eter; tidak larut dalam lemak, minyak, dan minyak
mineral; bercampur dengan PEG lainnya.
Densitas 1,080 g/cm3
Jarak leleh 50 – 58°C
Stabilitas Stabil dalam air dan larutan; tidak rentan menumbuhkan mikroba.
Dapat disterilisasi dengan autoklaf, filtrasi, atau radiasi gamma.
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat, di tempat sejuk dan kering.
Kegunaan Basis supositoria
VI Rasionalisasi Formula
Bentuk sediaan supositoria dipilih sebagai alternatif untuk pasien yang tidak dapat
menelan obat sehingga tidak dapat dilakukan secara oral, contohnya pada bayi dan anak
kecil. Asetosal atau aspirin adalah obat yang memberikan efek analgesik dan antipiretik. Obat
antipiretik dan analgesik umum dibuat sediaan supositoria karena bersifat sistemik sehingga
akan lebih cepat memberikan efek. Hal tersebut dikarenakan obat akan masuk ke cairan rektal
kemudian terabsorbsi ke pembuluh darah rektal, dan bersirkulasi secara sistemik. Selain itu,
obat tidak akan mengalami first pass effect yang biasa terjadi apabila menggunakan rute
administrasi oral. First pass effect menyebabkan bioavailabilitas obat dalam tubuh banyak
berkurang sehingga efeknya tidak maksimal.
Pada formulasi, diperlukan basis yang semula berwujud padat pada saat penyimpanan
namun harus dapat meleleh pada suhu tubuh ketika pemakaian pada saluran rektal. Basis
yang dipilih adalah Polyethylene Glycol (PEG) yang merupakan basis larut air. Kombinasi
yang digunakan adalah PEG 4000:1000 (60:40). Titik leleh PEG 1000 adalah seitar 37-40°C,
sedangkan titik leleh PEG 4000 adalah 50-58°C. Basis PEG digunakan karena asetosal
merupakan senyawa hidrofilik sehingga diperlukan basis larut air. Selain itu, Basis dengan
titik leleh rendah digunakan pada formulasi zat aktif yang memiliki titik leleh tinggi.
Kombinasi PEG tersebut dipilih untuk menyesuaikan titik leleh dari asetosal yang cukup
tinggi yaitu 135°C. Namun, penggunakan basis larut air dapat menimbulkan masalah iritasi
karena basis ini mengabsorbsi air untuk proses pelarutannya, sehingga mengakibatkan
dehidrasi dari mukosa rektal. Oleh karena itu digunakan camphora sebagai antiiritan untuk
mencegah iritasi karena dehidrasi tersebut.
Selain pertimbangan zat aktif, PEG juga digunakan sebagai basis karena sifat fisiknya
yang dapat berperan sebagai pelembut. Hal ini diperlukan agar saat sediaan memasuki rektal,
tidak akan terasa sakit.
VII Perhitungan
Perhitungan Bahan
Karena Zat Aktif dalam bentuk persen maka perhitungan bilangan pengganti bukan
merupakan prosedur mutlak mengingat perubahan bobot suppositoria juga akan diikuti
dengan perubahan jumlah zat aktif (persentase tetap)
Asetosal 0,8 % x 2 g = 0,016 g
Camphora 0,2 % x 2 g = 0,004 g
PEG 4000 0,6 x 0,99 x 2 g = 1,188 g
PEG 1000 0,4 x 0,99 x 2 g = 0,792 g
Bahan Jumlah untuk 1 Supositoria Jumlah untuk 20 Supositoria
Asetosal 16 mg 320 mg
Camphora 4 mg 80 mg
PEG 4000 1,188 g 23,76 g
PEG 1000 0,792 g 15,64 g
VIII Prosedur
Prosedur Pembuatan
1. Cetakan Suppositoria disiapkan, cetakan harus bersih dan kering.
2. Paraffin liquidum (untuk basis larut air) dioleskan kedalam cetakan, kemudian
cetakan ditelungkupkan agar tidak ada penumpukan gliserin di dalam cetakan.
3. PEG 4000 dan PEG 1000 dilelehkan di dalam cawan penguap diatas tangas air.
Setelah basis meleleh. Asetosal dan camphora ditambahkan secara geometris
kemudian diaduk sampai homogen.
4. Pada saat lelehan sudah kental tetapi belum memadat dan masih bisa dituang
kemudian diisikan ke dalam cetakan (suhu cetakan dan lelehan sebaiknya sama)
dengan bantuan batang pengaduk.
5. Campuran dibiarkan memadat pada suhu kamar, kurang lebih 15 – 60 menit.
6. Setelah memadat, kelebihan massa dipotong, kemudian suppositoria dikeluarkan dari
cetakan.
7. Suppositoria kemudian di evaluasi.
X Evaluasi
No Jenis evaluasi Prinsip evaluasi Syarat
1 Organoleptik Suppositoria dibelah secara Penampilan fisik
longitudinal lalu diamati bagian tidak boleh ada
dalam dan luar lubang celah,
pengembangan
lemak, atau migrasi
zat aktif
2. Uji titik leleh (rentang Suppositoria diletakkan dalam Tidak dipersyaratkan
titik leleh) --> hanya pecadang gelas kemudian untuk sediaan
untuk supositoria dimasukkan dalam tabung gelas dengan basis air
berbasis lemak yang terhubung dengan
penangas air. Dilakukan
pemanasan secara bertahap
dengan suhu naik secara
bertahap yaitu 1°C setiap 2
menit.
Suhu pada kedua termometer
(termometer di atas massa yang
akan dilelehkan dan termometer
di tangas air) dibaca saat massa
mulai menetes dari tabung gelas
dan saat meleleh sempurna.
XI Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 44, 130.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 55, 144 – 145, 607,1088,1527
Rowe, Raymond C. (editor). 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Edition.
London: Pharmaceutical Press. Hal. 517 – 521.
Sweetman C. S. (editor). 2002. Martindale The Complete Drug Reference 33rd Edition.
London: Pharmaceutical Press. Hal. 14 – 18.