Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan reproduksi hewan terutama pada sapi perah disebabkan oleh faktor
manajemen dan penanganan ternak, faktor makanan, lingkungan, faktor genetik
dan fungsi hormonal serta faktor kecelakaan/traumatik. Oleh itu, pencegahan dan
penanggulangan penyakit perlu mendapatkan perhatian karena pada dasarnya
penyakit dapat merubah proses produksi dan menimbulkan kerugian apabila
penyakit menular. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya
endometritis, distokia, abortus, hipofungsi ovari, korpus luteum persisten dan
sistik ovari. Gangguan reproduksi tersebut menyebabkan kerugian ekonomi
sangat besar yang berdampak terhadap penurunan pendapatan (Matli, 2014).
Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya: (1) ari-ari
tidak keluar, (2) kesulitan melahirkan (3) keguguran, dan (4) kelahiran prematur
/sebelum waktunya. Gangguan reproduksi tersebut menyebabkan kerugian
ekonomi sangat besar bagi petani yang berdampak terhadap penurunan
pendapatan peternak; umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :
(1). Penyakit reproduksi, (2) buruknya sistem pemeliharaan, (3) tingkat kegagalan
kebuntingan dan (4) masih adanya pengulangan inseminasi, yang kemungkinan
salah satu penyebabnya adalah adanya gangguan reproduksi; di Sumatera Barat 60
% disebabkan oleh dan 40 % hormonal (Affandy et al., 2007).
Kejadian distokia pada sapi sangat bervariasi dan di pengaruhi oleh banyak
faktor. Keseluruhan insiden berada pada kisaran 3-10% dari semua kelahiran anak
sapi tetai dapat menjadi sangat tinggi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
produktivitas ternak adalah dengan memperbaiki kinerja reproduksi. Proses
reproduksi yang normal akan diikuti oleh produktivitas ternak sapi perah yang
semakin baik. Semakin tinggi kemampuan reproduksi, semakin tinggi pula
produktivitas ternak tersebut. Selain itu, penanggulangan kasus atau penyakit
reproduksi perlu diketahui dengan baik oleh peternak (Jackson, 2013).
Penanganan gangguan reproduksi ditingkat pelaku usaha peternakan masih
kurang, bahkan beberapa peternak terpaksa menjual sapinya dengan harga yang
murah karena ketidaktahuan cara menangani. Perlu pemasyarakatan teknologi
inovatif untuk penanggulangan gangguan reproduksi sapi potong, khususnya pada
sapi induk usaha (Affandy et al., 2007).

1.1 Rumusan Masalah


a. Apa pengertian distokia dan eutokia?
b. Apa faktor faktor yang menyebabkan distokia?
c. Bagaimana teknik pendahuluan penanganan distokia?
d. Bagaimana teknik penanganan distokia?

1.2 Tujuan Praktikum


a. Untuk mengetahui pengertian distokia dan eutokia
b. Untuk mengetahui faktor faktor yang menyebabkan distokia
c. Untuk mengetahui teknik pendahuluan penanganan distokia

1
d. Untuk mengetahui teknik penanganan distokia
1.3 Manfaat Praktikum
a. Mengetahui pengertian distokia dan eutokia
b. Mengetahui faktor faktor yang menyebabkan distokia
c. Mengetahui teknik pendahuluan penanganan distokia
d. Mengetahui teknik penanganan distokia

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian distokia dan eutokia
Distokia merupakan ketidakmampuan induk untuk melahirkan anaknya
melalui usahanya sendiri atau dalam bahasa sederhananya distokia merupakan
kesulitan dalam melahirkan. Sedangkan eutokia dapat diartikan sebagai kelahiran
normal pada seekor hewan betina (Jackson, 2013).
Distokia adalah persalinan abnormal yang ditandai oleh kemacetan atau tidak
adanya kemajuan dalam persalinan atau persalinan yang menyimpang dari
persalinan eutokia yang menunjukkan kegagalan (Paat et al., 2015).
Faktor penyebab rendahnya tingkat kelahiran hasil IB kemungkinan
disebabkan masalah penanganan induk bunting oleh peternak yang kurang baik
(terutama penyediaan pakan kualitas dan kuantitasnya rendah) sehingga
mengakibatkan terjadinya kematian embrio dan terjadinya gangguan pada saat
kelahiran (distokia). Distokia ini terjadi karena ketidakmampuan hormon oxytocin
untuk melakukan kontraksi pada uterus sehingga menyebabkan induk sulit
mengeluarkan pedet. Apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan kematian
pada pedet (Tambing et al., 2000).
2.2 Sebab-sebab distokia
2.2.1 Herediter
Sebab-sebab ini dapat dibagi atas faktor-faktor yang terdapat pada induk yg
berpredisposisi terhadap distokia, atau faktor-faktor tersembunyi atau gene-gene
resesif pada induk dan pejantan yang dapat menghasilkan foetus yang defektif.
Hipertrofi muskular atau double muscling bersifat herediter dan menyebabkan
distokia, terutama pada primipara pada bangsa sapi charolais, fh, hereford dan
angus. Faktor yg menyebabkan kematian atau kelemahan foetus pada saat partus
cenderung menimbulkan abnormalitas postur dan distokia, walaupun bentuk dan
ukuranya normal (Mekonnen dan Nibret, 2016).
2.2.2 Infeksius
Distokia yang di sebabkan oleh agent infeksius adalah infeksi yang di
sebabkan oleh bakteri Escherichia Coli dan bakteri Arcanobacterium pyogenes
bakteri ini menyebabkan infeksi uterus yang dapat mengganggu placenta dan
foetus yang ada di dalam perut induknya. Infeksi bakteri Escherichia coli dapat
membuat induk akan mengalami dehidrasi (Sheldon et al., 2008).
2.2.3 Nutrisi
Pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan
kemajiran sering bersifat majemuk, artinya kekurangansuatu zat dalam
ransum pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain. Kualitas dan
kuantitas ransum ternak merupakan salah satu faktor yangmenentukan
keberhasilan suatu peternakan sapi perah. Tanpa makanan yang baikdan dalam
jumlah yang memadai, maka meskipun bibit ternak unggul akankurang
dapat memperhatikan keunggulannya jika makanannya sangat terbatas.Pakan
merupakan faktor utama yang akan mempengaruhi kesehatan tubuh
maupun kesehatan reproduksi ternak (Matli, 2014).

3
2.2.4 Manajemen
Kondisi makanan terhan yang sedang bunting dan manajemen pada waktu
partus sangat erat berhubungan dan mungkin merupakan sebab-sebab dasar dari
banyak distokia, distokia karena ukuran induk yg kecil sering ditemukan pada sapi
dara yang baru pertama beranak, pemberian makanan yang tdk sempurna pada
sapi dara yang sedang tumbuh merupakan faktor paling utama dalam menghambat
pertumbuhan tubuh dan pelvis, distokia terjadi karena hewan betina dara
dikawinkan pada umur yg terlampau muda atau betina yg cukup tua untuk
dikawinkan tetapi pertumbuhannya sangat terhalang karena pakan buruk,
parasitisme atau penyakit, kebanyak hewan betina mencapai dewasa kelamin
sebelum dewasa tubuh sehingga jika dikawinkan dan bunting akan mengalami
kesulitan melahirkan, sapi potong di ladang penggembalaan yg berumur 2 tahun
kasus distokia mencapai 26 %; 4% pada sapi-sapi yang lebih tua dan juga pada
hewan bunting yang dikandangkan terus menerus dan tdk diberi kesempatan gerak
akan mudah mengalami kesulitan saat partus. Gerak exercise mempertinggi tonus
tubuh, kekuatan dan daya tahan tubuh, dan menghasilkan kontraksi perejanan
yang kuat, tdk mudah letih, partus yang berlangsung cepat dan segera sembuh
(Abera, 2017).
2.2.5 Traumatik
Umumnya jarang ditemukan. Hernia ventralis dan ruptura tendon prepubis
menyebabkan distokia karena ketidak sanggupan kontraksi abdominal yang
ditimbulkannya, sehingga induk tdk dapat mendorong foetus ke luar. Torsio
uteri dapat disebabkan oleh selip, jatuh atau terguling secara tiba-tiba pada
kebuntingan tua, torsio uteri masuk salah satu sebab utama distokia pada sapi
perah, jarang pada sapi potong dan belum pernah dilaporkan pada kerbau
(Mekonnen dan Nibret, 2016).
2.2.6 Kegagalan mendorong keluar
Kasus distokia umumnya terjadi pada induk yang baru pertama kali beranak,
induk yang masa kebuntingannya jauh melebihi waktu normal, induk yang terlalu
cepat dikawinkan, hewan yang kurang bergerak, kelahiran kembar dan penyakit
pada rahim. Distokia dapat disebabkan oleh faktor induk dan faktor anak (foetus)
Aspek induk yang dapat mengakibatkan distokia diantaranya kegagalan untuk
mengeluarkan foetus akibat gangguan pada rahim yaitu rahim sobek, luka atau
terputar, gangguan pada abdomen (rongga perut) yang mengakibatkan ketidak
mampuan untuk merejan, tersumbatnya jalan kelahiran, dan ukuran panggul yang
tidak memadai (Susanti dan prabowo, 2013).
2.3 Teknik pendahuluan penanganan distokia
2.3.1 Anamnesa
Anamnesis atau history atau sejarah hewan adalah berita atau keterangan
atau lebih tepatnya keluhan dari pemilik hewan mengenai keadaan hewannya
ketika dibawa berkonsultasi untuk pertama kalinya, namun dapat pula berupa
keterangan tentang sejarah perjalanan penyakit hewannya jika pemilik telah sering
datang berkonsultasi. Cara- cara mendapatkan sejarah tersebut dari pemilik hewan
perlu dipelajari seperti juga dengan tahapan pemeriksaan yang lain (Widodo et al.,
2014).

4
Anamnesis dapat diperoleh secara pasif dari informasi atau cerita pemilik
hewan yang tahu kejadiannya misalkan tentang gejala yang timbul mula-mula,
waktu dan lama kejadiannya, situasi hewan ketika ditemukan seperti malas-
malasan atau tiduran di tempat yang tidak biasanya Anamnesis pasif pada
hakikatnya ialah simptom-simptom penyakit yang dilihat, dicermati dan dicatat
serta seringkali dinilai sendiri oleh pemilik hewan dengan kesan telah ditentukan
penyakitnya oleh pemiliknya dan disampaikan kepada dokter hewan (Widodo et
al., 2014).
Adapun dalam kasus yang berhubungan dengan distokia pertanyaan yang
dapat diajukan adalah (Drraythe, 2015):
a. Umur 
b. Paritas (kelahiran sebelumnya) 
c. Pernah terjadi distokia sebelumnya
d. Durasi, sifat, dan intensitas kerja 
e. Waktu muncul dan pecahnya selaput janin 
f. Adakah bagian janin muncul dari vulva? 
g. Sudah pernah dilakukan pemeriksaan atau bantuan sebelumnya ?
2.3.2 Pemeriksaan
Pemeriksaan umum pasien dengan distosia termasuk kondisi fisiknya
apakah kurus dan kurus, terlalu gemuk, atau dalam kondisi baik. Jika hewan
tersebut telentang, dokter hewan harus menentukan; apakah ia bisa naik atau
apakah ia lelah atau terkena paralisis obturator. Denyut nadi, suhu dan tingkat
respirasi harus diperhatikan. Pada sebagian besar kasus distosia, denyut nadi dan
laju respirasi meningkat secara moderat dan suhu mungkin sedikit lebih tinggi
daripada normal karena upaya pada saat kelahiran. Sapi dan sapi betina harus
diberi cukup waktu untuk secara spontan mengirimkan betis mereka. Jika waktu
istirahat yang memadai atau tahap pertama atau kedua persalinan telah terlampaui,
pemeriksaan ditunjukkan. Heifer harus diizinkan waktu yang lebih lama untuk
pengiriman spontan dari pada yang diperlukan pada sapi pluriparous. Mengetahui
peristiwa persalinan normal penting untuk mendiagnosis dan mengobati setiap
kasus distokia; jadi dalam tahap persiapan atau tahap 1 yang berlangsung dari 2
hingga 6 jam, setiap anak sapi berotasi ke posisi tegak, kontraksi uterus dimulai
dan kantung air dikeluarkan; sementara selama persalinan atau tahap 2 yang
berlangsung selama satu jam atau kurang, seekor sapi biasanya berbaring, janin
memasuki saluran lahir, kaki depan menonjol pertama dan melahirkan anak sapi
selesai. Lampiran caruncle-cotiledon dilonggarkan dan dibersihkan atau tahap 3
yang berlangsung dari 2 hingga 8 jam, kontraksi uterus terus mengeluarkan
selaput janin. Sifat dari pelepasan vulva, apakah itu berair, berlendir, darah, atau
janin akan sering menunjukkan kondisi janin. Jika banyak darah segar hadir,
cedera pada jalan lahir mungkin terjadi karena intervensi pemilik atau orang lain.
Karakter dari membran janin jika hiasan dari vulva adalah bantuan lebih lanjut
dalam menentukan kondisi janin dan lamanya waktu distokia telah ada. Jika
sebagian janin menonjol dari vulva maka kondisi dan posisi dan posturnya harus
diamati. Vulva itu sendiri harus dicatat untuk mendapatkan informasi tentang
jumlah edema atau trauma yang ada sebagai indikasi lamanya waktu distokia telah
ada. Gerakan janin harus diperhatikan di sisi kiri sapi dan jika ini kuat, ini

5
menunjukkan pemisahan plasenta yang menyebabkan anoxia janin dan
motilitashiper. Setelah pecahnya amnion, janin diperiksa dengan tangan untuk
menentukan presentasi, posisi dan posturnya (Abera, 2017).
2.3.3 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan spesifik yang terdiri dari pemeriksaan rinci dari saluran genital
dan janin dilakukan setelah hewan telah dikekang dengan benar karena operasi
kandungan biasanya dilakukan segera setelah pemeriksaan ini. Hewan dapat
sangat agresif dan berpotensi sangat berbahaya pada saat kelahiran dan ahli
kebidanan harus memastikan keselamatan mereka sendiri dan pemilik, pembantu
dan asisten saat pasien sedang diperiksa dan diobati. Alat kelamin eksternal
hewan dan struktur sekitarnya harus dicuci. secara menyeluruh dengan antiseptik
ringan. Ekor harus dipegang ke satu sisi oleh asisten atau diikat dengan tali ekor
di atas punggung ke siku yang berlawanan. Operator harus mencuci dan melumasi
lengannya dengan antiseptik sebelum melakukan pemeriksaan jalan lahir dan
janin (Abera, 2017).
Saat pemeriksaan pada fetus, pada kaki, maka untuk menentukan apakah
kaki depan atau belakang. Kaki depan memiliki 4 sendi yang melentur ke arah
yang sama (coffin, pastern, fetlock dan carpus) sebelum siku mengarah
berlawanan arah. Kaki belakang hanya memiliki 3 sendi yang melentur ke arah
yang sama (coffin, pastern, fetlock) sebelum gada masuk ke arah lain. Jika
didapati kaki depan, pastikan mereka berasal dari betis yang sama dengan
melacak mereka kembali ke tubuh yang sama dengan menemukan kepala. Jika
riwayat kasus ini menyebabkan pemeriksa untuk mengetahui atau menduga bahwa
orang lain telah memeriksa dan mencoba untuk membebaskan distokia, sangat
penting bahwa saluran lahir dan bagian caudal uterus diperiksa secara hati-hati
untuk bukti trauma (Sprott, 2013).
2.3.4 Alat-alat yang digunakan
Adapun alat-alat yang dipelukan dalam persiapan penanganan distokia
adalah Pakaian pelindung, sarung tangan karet dan lengan harus dipakai, ketika
diindikasikan, untuk mencegah infeksi dan bau dari kontaminasi lengan operator
atau mentransfer infeksi (Abera, 2017).
2.3.5 Obat-obatan yang digunakan
Persiapan obat-obatan dalam penanganan distokia adalah Obat-obatan:
oksitosin, kalsium boroglukonat, larutan dekstrosa, antibiotik suntik, pessarium
uterus, TAT, clenbuterol. Anestesi epidural telah dilaporkan berhubungan dengan
peningkatan posisi posterior tengkuk, peningkatan durasi rata-rata tahap kedua,
peningkatan tingkat persalinan operatif, dan mungkin, risiko yang lebih besar dari
seksiosesarea tahap kedua. Epidural protokol yang meminimalkan blok motor
sambil mempertahankan blok sensorik yang efektif mengurangi risiko intervensi
operasi yang terkait dengan prosedur. Sementara oksitosin telah menjadi andalan
dalam perawatan medis distokia, ada beberapa uji coba terkontrol yang
menunjukkan manfaatnya. Tidak ada bukti bahwa penggunaan awal oksitosin
untuk keterlambatan kecil dalam perkembangan persalinan memberikan
keuntungan dibandingkan pendekatan selektif terhadap penggunaan oksitosin.
Frekuensi disfungsi uterus terkait dengan kemajuan persalinan yang tertunda,

6
augmentasi 2% dengan oksitosin harus dilaksanakan sebelum pertimbangan
intervensi bedah semata-mata untuk pengobatan distokia (Lalonde, 2015).
2.4 Teknik penanganan distokia
2.4.1 Observatif
Sebuah catatan dari semua pengamatan klinis yang dilakukan pada seekor
betina dalam persalinan, fitur utama yang merupakan rekaman grafis dari dilatasi
cervix, sebagaimana dinilai oleh pemeriksaan vagina, dan penurunan kepala. Ini
termasuk garis peringatan dan tindakan yang, jika disilangkan saat merekam
dilatasi cervix, menunjukkan bahwa persalinan berlangsung lebih lambat dari
biasanya dan intervensi diperlukan (WHO, 2015).
2.4.2 Manulatif
Saat terjadi kesalahan presentasi, posisi, dan postur fetus dapat dilakukan
dengan berbagai cara-cara manual. Cara pertama yaitu retropulsi, yaitu
mendorong fetus secara cranial dari arah vagina. Ini dipengaruhi oleh tekanan
menggunakan tangan untuk mempresentasikan massa fetus. Selain menggunakan
tangan dapat pula menggunakan alat khusus untuk menarik fetus tersebut. Cara
kedua yaitu ekstensi, mengacu pada sendi yang tertekuk ketika kecacatan postur
terjadi. Ini dilakukan dengan menerapkan gaya tangensial pada akhir extremitas
yang tergeser sehingga melewati lengkungan lingkaran masuk panggul. Cara
ketiga yaitu dengan traksi. Traksi yaitu penerapan gaya pada bagian tubuh fetus
yang menempati pintu atas panggul dengan tujuan untuk menambahkan atau pada
beberapa kasus untuk menggantikan gaya dorong induk. Gaya tersebut dapat
diterapkan dengan menggunakan tangan atau melalui media penjerat atau pengait
(Noakes et al., 2009).
2.4.3 Obat-obat yang diberikan
Anestesi epidural telah dilaporkan berhubungan dengan peningkatan posisi
posterior tengkuk, peningkatan durasi rata-rata tahap kedua, peningkatan tingkat
persalinan operatif, dan mungkin risiko yang lebih besar dari seksiosesarea tahap
kedua. Epidural protokol yang meminimalkan blok motor sambil
mempertahankan blok sensorik yang efektif mengurangi risiko intervensi operasi
yang terkait dengan prosedur (Lalonde, 2015).
Sementara oksitosin telah menjadi andalan dalam perawatan medis distokia,
ada beberapa uji coba terkontrol yang menunjukkan manfaatnya. Tidak ada bukti
bahwa penggunaan awal oksitosin untuk keterlambatan kecil dalam
perkembangan persalinan memberikan keuntungan dibandingkan pendekatan
selektif terhadap penggunaan oksitosin. Frekuensi disfungsi uterus terkait dengan
kemajuan persalinan yang tertunda, augmentasi 2% dengan oksitosin harus
dilaksanakan sebelum pertimbangan intervensi bedah semata-mata untuk
pengobatan distokia (Lalonde, 2015).
2.4.4 Bedah
Operasi sesar merupakan salah satu prosedur pembedahan yang paling
umum dilakukan oleh dokter hewan pada praktik sapi dan dipertimbangkkan
sebagai obstetric rutin. 90% kasus sesar disebabakan karena terjadi distokia,
dengan pertimbangan yaitu disproporsifetomaternal, dilatasi dan indurasi tidak
sempurna dari cervix, torsi uteri yang tidak dapat ditangani, foetus monster,
kegagalan disposisi fetus, dan emfisema fetus (Noakes et al., 2009).

7
2.4.5 Euthanasia
Euthanasia dapat dilakukan dengan menyuntikkan secara intracardiac
natrium pentobarbitone sebelum dilakukan fetotomy. Alasan untuk melakukan
euthanasia pada sapi termasuk: hewan yang terluka akut; pilihan pengobatan yang
tidak layak; langkah-langkah pengendalian penyakit nasional atau regional; dan
neonatus dalam kasus distokia yang belum terselesaikan yang membutuhkan
fetotomy (Cockroft, 2015).
Janin hidup membutuhkan euthanasia sebelum fetotomy untuk mengelola
distokia. Vena jugularis atau vena cephalica dapat digunakan dalam presentasi
anterior. Untuk presentasi posterior, vena saphena tersedia atau barbiturat dapat
diberikan secara intraabdomen. Di mana dada terbuka (misalnya di hip-lock),
injeksi intracardial dapat dipertimbangkan. 30 ml larutan barbiturat 20% biasanya
mencukupi. Efek pada bendungan dapat diabaikan, karena tingkat dosis rendah
dan serapan terbalik terbatas melalui plasenta (Cockroft, 2015).

8
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
a. Meja
b. Kursi
c. Papan tulis
d. Ruangan
3.1.2 Bahan
a. Kertas
b. Pulpen
c. Buku
d. Spidol
3.2 Metode
3.2.1 Persiapan Diskusi
a. Praktikan bersiap memasuki ruangan dengan melengkapi kelengkapan
memasuki diskusi berupa buku penuntun dan laporan
b. Praktikan memasuki ruangan diskusi lalu mengumpul tugas pendahuluan
dan laporan
c. Praktikan duduk berdasarkan kelompok lalu mendengar intruksi dari
asisten tentang mekanisme diskusi berlangsung
3.2.2 Pembahasan Kasus
a. Setelah mendengar instruksi asisten mengenai mekanisme diskusi
berlangsung, praktikan diberikan waktu 5 menit untuk menyiapkan alat
diskusi.
b. Asisten membagikan selebaran yang memuat tentang kasus-kasus yang
terjadi pada ternak mengenai distokia
c. Praktikan melakukan diskusi bersama teman kelompok masing-masing
d. Praktikan mengisi soal yang tertera pada selebaran kasus yang diberikan
dari asisten.
e. Setelah waktunya tiba selebaran kasus yang dibagikan asisten dikumpul
kembalu untuk memulai diskusi
3.2.3 Diskusi
a. Setalah mengumpul selebaran
b. Selebaran kasus tersebut kemudian diperiksa oleh asisten
c. Setelah diperiksa, selebaran kasus tersebut dibagikan kembali ke setiap
kelompok untuk kemudian didiskusikan bersama kelompok lain.
d. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk mengomentari tentang
diagnosa kasus masing-masing dan menjelaskan patognomonisnya.
e. Setelah menemui titik tengah maka asisten akan memberikan diagnosa
sebenarnya dan menjelaskan tentang diagnosa tersebut.

9
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Kasus 1
Sore tadi, Ibu Hj. Mulyatiwarga desa Ukke’E kabupaten Soppeng telah
mengeluhkan sapi betina ras Bali miliknya kepada petugas puskeswan terdekat.
Setelah petugas datang terlihat keadaan sekitar kandang yang kurang terawat
disertai saluran pembuangan yang penuh.Menurut hasil anamnesa, Ibu Hj.
Mulyati mengeluhkan bahwa sapi yang diperkirakan bunting itu semenjak dua
hari yang lalu malas bergerak dan tempat pakan yang diberikan masih penuh.
Ketika drh.Septian melakukan inspeksi, terlihat vulva mengeluarkan leleran
berbau busuk. Setelah dilakukan palpasi per rektal, cervix terbuka dan uterus yang
diraba keras dan menonjol. Hasil perabaan ovarium halus namun masih terasa
bekas pertumbuhan CL.
Pertanyaan :
a. Apa diagnosa kasus di atas ? (terangkan gejala patognomonisnya)
b. Menurut analisa anda, apa penyebab kasus tersebut bias terjadi?
c. Terangkan penangan yang tepat untuk kasus di atas ?
d. Tindakan apa yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus diatas?
4.1.2 Kasus 2
Dinas peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten Bone telah
melaksanakan program GBIB serentak di seluruh kecamatan sekitar 8 bulan yang
lalu. Kemudian salah satu sapi peranakan Bali milik Hj. Uppa tiba-tiba
memperlihatkan gejala yakni tidak nafsu makan tapi mengalami peningkatan berat
badan yang besar dan pembesaran abdomen yang berlebih serta sapi mengalami
dyspnoe. Pada hasil pemeriksaan palpasi perektal drh.Itta dan drh.Riswan
menyatakan sapi telah bunting tua meskipun fetus tidak dapat teraba.
Pertanyaan :
a. Apa diagnosa kasus diatas? (terangkan gejala patognomonisnya)
b. Terangkan penanganan yang tepat untuk kasus diatas?
4.1.3 Kasus 3
Peternakan sapi Maju Jaya milik juragan H.Ali Haqqi merupakan
peternakan besar yang memiliki kandang kolektif.Salah satu sapi betina di
kandang tersebut sejak 10 bulan yang lalu memperlihatkan tanda-tanda layaknya
sapi bunting seperti pembesaran abdomen tetapi sapi tidak memperlihatkan tanda-
tanda pembesaran kelenjar mammae. Hasil palpasi rektal menunjukkan uterus
membesar dan mengeras pada salah satu sisi serta tidak ada desiran arteri uterine
mediana dan ketika ovarium diraba terdapat penonjolan folikel.
Pertanyaan:
a. Apa diagnosa kasus diatas? (terangkan gejala patognomonisnya)
b. Terangkan penanganan yang tepat untuk kasus diatas?

10
4.1.4 Kasus 4
Mahasiswa program studi kedokteran hewan Universitas Hasanuddin
angkatan 2015 telah melakukan praktikum PKB di UPTD Inseminasi Buatan
Pucak Maros, hasil PKB yang dilakukan oleh 7 orang mahasiswa pada sapi bali
dinyatakan bahwa sapi tersebut tidak bunting. Tetapi 3 minggu kemudian penjaga
kandang melaporkan adanya pembesaran kedua sisi abdomen pada sapi yang telah
di PKB sehingga mereka duga sapi tersebut bunting.Setelah itu dilaksanakan
pemeriksaan oleh drh.Isnan dan drh.Alfiah, dari hasil palpasi abdomen drh.Isnan,
terlihat sapi memberontak seakan-akan tidak ingin disentuh sedangkan pada saat
drh.Alfiah ingin melakukan palpasi rektal tercium bau tidak sedap dari saluran
reproduksi sapi dan ketika ovarium diraba tidak terdapat pertumbuhan CL.
Pertanyaan:
a. Apa diagnosa kasus diatas? (terangkan gejala patognomonisnya)
b. Menurut analisa anda, apa penyebab kasus tersebut bsa terjadi?
c. Terangkan penanganan yang tepat untuk kasus diatas?
d. Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus diatas?
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kasus 1
Pada kasus 1 ini diagnosa yang diperoleh yaitu maserasi fetus dengan
patognomonis yaitu leleran yang berbau busuk terlihat pada vulva, uterus yang
diraba keras dan menonjol yang diduga adalah sisa-sisa tulang dan terdapat bekas
pertumbuhan corpus luteum. Adapun penyebab dari kasus ini yaitu adanya infeksi
dari bakteri yang berasal dari keadaan sekitar kandang dan saluran pembuangan
yang penuh sehingga dapat dilakukannya penganan dengan melakukan
pengambilan sisa-sisa tulang menggunakan palpasi rektal kemudian dibersihkan
dengan flushing, lakukan pula pemberian antibiotik serta dapat melakukan operasi
caecar. Tindakan pencegahan agar maserasi fetus tidak terjadi yaitu dengan rutin
membersihkan kandang dan menjaga kebersihan dari kandang serta pembersihan
saluran pembuangan yang ada di dekat kandang. Pada kasus 1, kelompok kami
mampu mendiagnosa penyakit dengan benar.
4.2.2 Kasus 2
Pada kasus 2 ini diagnosa yang diperoleh yaitu hidroallantois yaitu tidak
adanya nafsu makan tetapi mengalami peningkatan berat badan serta terjadi
pembesaran abdomen, ini terjadi akibat adanya penumpukan cairan allantois
sehingga menekan bagian rongga thorax sehingga mengakibatkan dyspnoe.
Penganan yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan aspirasi kemudian
dilakukan tindakan selanjutnya yaitu operas caecar atau fetotomy dan apanila
prognosanya infausta sebaiknya dilakukan afkir atau euthanasia karena
hidroallantois dapat terjadi berulang. Pada kasus ini kelompok kami keliru dalam
mendiagnosis penyakit. Penyakit hidroallantois ini, kami mengira hernia uterina
yang dibenarkan lagi oleh asisten bahwa bukan hernia uterine tetapi hernia
diaphragmatica karena kami fokus pada tanda klinis fetus tidak teraba sehingga
mengakibatkan kami memilih hernia diaphragmatica dan bukan hidroallantois.
4.2.3 Kasus 3
Pada kasus 3 ini diagnosa yang diperoleh yaitu mumifikasi fetus. Adapun
Patognomonis dari kasus ini yaitu telah bunting selama 10 bulan yang seharusnya

11
sapi hanya bunting selama 9 bulan, peternakan memiliki kandang kolektif dimana
jantan dan betina berada dalam satu kandang, terjadi pembesaran abdomen dan
dari hasil palpasi rektal menunjukkan uterus membesar dan mengeras pada salah
satu sisi serta tidak ada desiran arteri uterine mediana dan ketika ovarium diraba
terdapat penonjolan folikel, dalam hal ini membuktikan bahwa fetus yang berada
di dalam uterus sudah mati dan mengeras. Penanganan yang tepat untuk dilakukan
dalam kasus mumifikasi fetus ini yaitu dapat dilakukan penyuntikan hormon
PGF2α untuk melisiskan corpus luteum. Pada kasus 3, kelompok kami mampu
mendiagnosa penyakit dengan benar.
4.2.4 Kasus 4
Pada kasus 3 ini diagnosa yang diperoleh yaitu pyometra. Adapum
pertimbangan dipilihnya pyometra pada kasus ini yaitu adanya 7 mahasiswa
program studi kedokteran hewan Universitas Hasanuddin angkatan 2015 telah
melakukan praktikum PKB di UPTD Inseminasi Buatan Pucak Maros, hal
tersebut dapat menimbulkan adanya infeksi pada organ reproduksi sapi karena
proses PKB yang tidak tepat dimana maksimal 5 orang yang dapat melakukan
PKB dalam 1 ekor sapi untuk dapat menghindari lukanya organ reproduksi sapi
betina tersebut. Terdapat pula pembesaran kedua sisi abdomen pada sapi yang
telah di PKB pada saat drh.Alfiah ingin melakukan palpasi rektal tercium bau
tidak sedap dari saluran reproduksi sapi dan ketika ovarium diraba tidak terdapat
pertumbuhan CL (corpus luteum) sehingga kami mendiagnosa kasus 4 ini sebagai
pyometra. Pada kasus 4, kelompok kami mampu mendiagnosa penyakit dengan
benar.

12
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Distokia adalah persalinan abnormal yang ditandai oleh kemacetan atau tidak
adanya kemajuan dalam persalinan atau persalinan yang menyimpang dari
persalinan eutokia yang menunjukkan kegagalan (Paat et al., 2015).
Gangguan reproduksi hewan terutama pada sapi perah disebabkan oleh faktor
manajemen dan penanganan ternak, faktor makanan, lingkungan, faktor genetik
dan fungsi hormonal serta faktor kecelakaan/traumatik. Oleh itu, pencegahan dan
penanggulangan penyakit perlu mendapatkan perhatian karena pada dasarnya
penyakit dapat merubah proses produksi dan menimbulkan kerugian apabila
penyakit menular. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya
endometritis, distokia, abortus, hipofungsi ovari, korpus luteum persisten dan
sistik ovari. Gangguan reproduksi tersebut menyebabkan kerugian ekonomi
sangat besar yang berdampak terhadap penurunan pendapatan (Matli, 2014).

13
DAFTAR PUSTAKA
Abera, Dessie. 2017. Management of Dystocia Cases in the Cattle: A Review.
Journal of Reproductio and In fertility 8:1.
Affandy, Lukman S., Wulan Cahya Pratiwi., Dian Ratnawati. 2007. Petunjuk
Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Agro
Inovasi: Pasuruan
Cockroft, Peter. 2015. Bovine Medicine. Willey Blackwell : USA
Drraythe, Ray. 2015. Obstetrical examination, Delivery, Post-birth. Therio -
Bovine – Obstetrics & Dystocia.
Jackson, Peter G.2013. Obstetri Veteriner . Gajahmada University Press :
Yogyakarta.
Lalonde, Andre. 2015. Clinical Practice Guideline Dystocia. SOGC: Canada.
Matli, Norafizah B. 2014. Gangguan reproduksi pada sapi perah dan upaya
penanggulangannya. [Skripsi] IPB : Bogor.
Mekonnen, Mollalign., dan Nibret Mogas. A review on dystocia in cows.
European Journal of Biological Sciences 8 (3): 91-100, 2016.
Noakes, David E., Timothy J. Parkonson., dan Gry C.W. England. 2009.
Reproduksi and Obstetrics Veterinary. Elsevier: UK.
Paat, Judita., Eddy Suparman., Hermie Tendean. 2015. Persalinan Distosia Pada
Remaja Di Bagian Obstetriginekologi BLU RSUP Prof. DR. R. D. Kandou
Manado. Jurnal e-Clinic 3 (2): 612-616.
Sheldon, Martin I., Erin JW, Aleissha NA, Deborah N, dan Shan. 2008. Uterine
deseases in cattle After parturition. Vet.J No (176) 1-3 : PP 115-121.
Sprott, L. 2013. Recognizing and handling calving problems. Agri life extension:
USA.
Susanti, Aulia Evi dan Prabowo A. 2013. Identifikasi Masalah Kesehatan Sapi
Potong Di Wilayah Pendampingan PSDSK Provinsi Sumatera Selatan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan: Palembang
Tambing, Surya Natal., Mozes R. Toelihere., Tuly L. Yusuf. 2000. Optimasi
Program Inseminasi Buatan Pada Kerbau. Wartazoa 10 (2): 43-50
WHO. 2015. Education material forteachersofmidwifery. ICM: France.
Widodo, Setyo., Dondin Sajuthi., Chusnul Choliq., Agus Wijaya., Retno
Wulansari., RP Agus Lelana. 2017. Dignostik Klinik Hewan Kecil. IPB
Press: Bogor.

14

Anda mungkin juga menyukai