Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah kegiatan yang

bertujuan. Sebagai kegiatan yang bertujuan, maka segala sesuatu yang dilakukan guru dan

siswa hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan

demikian dalam setting pembelajaran, tujuan merupakan pengikat segala aktivitas guru dan

siswa. Oleh sebab itu, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama yang harus

dilakukan dalam merancang program pembelajaran.

Salah satu tujuan pembelajaran Biologi yang tercantum dalam KTSP adalah

“Mengembangkan pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui

percobaan, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis”. Percobaan

dalam pembelajaran Biologi biasa dilakukan pada kegiatan pratikum. Dengan melakukan

kegiatan praktikum siswa akan lebih yakin pada suatu hal daripada hanya menerima dari

guru dan buku, dapat memperkaya pengalaman, mengembangkan sikap ilmiah, dan hasil

belajar akan bertahan lebih lama dalam ingatan siswa.

Percobaan yang dilaksanakan tersebut dapat meningkatkan kemampuan kognitif.

Kernampuan kognitif yang amat penting kaitannya dengan proses pembelajaran adalah

strategi belajar rnemaharni isi materi pelajaran, strategi meyakini arti penting isi materi

pelajaran, clan aplikasinya serta menyerap nilai-nilai yang terkandung dalam

materi pelajaran tersebut (Love & Kruger, 2005). Dengan kata lain, strategi
pembelajaran yang digunakan merupakan hal yang sangat penting agar pembelajaran

dapat berjalan secara efektif dan efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak

sekedar strategi belajar aktif (Casem, 2006; Schapiro & Livingston, 2000), tetapi harus

strategi yang betul-betul dapat membawa siswa pada pencapaian indikator yang

telah ditetapkan, strategi yang membawa siswa pada pemahaman materi secara

internal (internalisasi nilai materi pela jaran). Dikatakan Gagne (1985) (Dalam

Merdinger, et al., 2005) bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi proses pembelajaran

agar menjadi efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui

kapan strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut.

Dari pemaparan permasalahan diatas maka kelompok kami ingin mempresentasi

makalah yang berkaitan dengan Tujuan pembelajaran biologi, konsep pembelajar mandiri,

berpikir kreatif, problem solving, metakognitif, dan membangun karakter melalui

pembelajaran biologi

B. TUJUAN

Adapun tujuan dari pemaparan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan tujuan pembelajaran biologi

2. Konsep belajar mandiri

3. Menjelaskan contoh pengembangan konsep belajar mandiri yaitu Strategi Self

Regulated Learning

4. Menjelaskan Pengembangan (Proses) Berpikir Dalam Pendidikan Sains

5. Menjelaskan problem solving,


6. Menjelaskan aspek kemampuan metakognitif pada siswa

7. Menjelaskan pendidikan karakter

BAB II

KAJIAN TEORI
A. Tujuan Pembelajaran Biologi

Adapun rangkuman dalam tujuan pembelajaran biologi adalah sebagai berikut :

1. Membentuk sikap positif terhadap biologi dengan menyadari keteraturan dan

keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

2. Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, konsep dan

prinsip IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan

memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama

dengan orang lain

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya

hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan

masyarakat dan mengembangkan pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji

hipotesis melalui percobaan, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan

dan tertulis

4. Mengembangkan keterampilan proses, melakukan inkuiri ilmiah, dan mengembangkan

kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif dengan menggunakan konsep dan

prinsip biologi

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan

melestarikan lingkungan alam dan mengembangkan penguasaan konsep, prinsip

biologi, saling keterkaitannya dengan IPA lainnya serta mengembangkan pengetahuan,

keterampilan dan sikap percaya diri


6. Menerapkan konsep dan prinsip biologi untuk menghasilkan karya teknologi

sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia

B. Konsep Belajar mandiri

Menurut Herman Holstain (1999: 5) memberikan konsep bahwa belajar mandiri

merupakan proses belajar yang dirintis melalui bekerja sendiri dan meemukan sendiri.

Sedangkan menurut Huris Mujimin, (2007: 1) menyatakan bahwa belajar mandiri

adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh motif yang menguasai suatu

kompetensi dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah

dimilik. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar dan cara pencapai, baik

penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar,

sumber belajar maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh pembelajar sendiri.

Dari batasan itu dapat diperoleh gambaran, bahwa seseorang yang sedang

menjalankan kegiatan belajar mandiri lebih ditandai, dan ditentukan oleh motif yang

mendorong belajar, bukan oleh kemampuan fisik kegiatan belajarnya dan juga disertai

dengan adanya upaya atau usaha untuk melakukan kegiatan belajar mandiri.

Pembelajaran tersebut secara fisik dapat belajar sendirian, belajar kelompok dengan

kawan-kawan, atau bahkan sedang dalam situasi belajar klasikal dalam kelas

tradisional.
Akan tetapi bila motif yang mendorong kegiatan belajarnya adalah motif untuk

menguasai sesuatu kompetensi yang diinginkannya, maka ia menjalankan belajar

mandiri. Belajar mandiri jenis ini dapat pula disebut Self-motivated Learning.

Dari pengertian tentang belajar mandiri di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan belajar mandiri adalah kegiatan belajar yang dilakukan dengan

kemampuan menggunakan cara belajar sendiri untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Oleh karena itu upaya untuk membentuk belajar mandiri yang baik

diperlukan suatu konsep yang baik pula. Menurut Haris Mujimin (2007:18), bahwa

konsep belajar mandiri adalah konsep yang digunakan sebagai kerangka penyusunan

rancangan belajar, maka dari itu setelah konsep belajar mandiri disajikan akan di

identifikasi kegiatan-kegiatan pembelajaran berbasis konsep belajar mandiri, yang

diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar.

Dengan memperhatikan konsep belajar mandiri yang dimaknakan sebagai

proses belajar yang dirintis melalui metode yang mantap dan kegiatan sendiri, maka

dapat dikatakan bahwa dalam proses belajar mandiri lebih menekankan pada

kemampuan individu yang belajar agar lebih banyak berbuat dan bertindak untuk

mencapai tujuan belajarnya.

Menurut Wedemeyer seperti yang disajikan oleh Keegan (1983), siswa/peserta

didik yang belajar secara mandiri mempunyai kebebasan untuk belajar tanpa harus

menghadiri pelajaran yang diberikan guru/instruktur di kelas. Siswa/peserta didik dapat


mempelajari pokok bahasan atau topik pelajaran tertentu dengan membaca buku atau

melihat dan mendengarkan program media pandang-dengar (audio visual) tanpa

bantuan atau dengan bantuan terbatas dari orang lain. Di samping itu siswa/peserta

didik mempunyai otonomi dalam belajar. Otonomi tersebut terwujud dalam beberapa

kebebasan sebagai berikut:

a. Siswa/peserta didik mempunyai kesempatan untuk ikut menentukan tujuan

pembelajaran yang ingin dicapai sesuai dengan kondisi dan kebutuhan belajarnya.

b. Siswa/peserta didik boleh ikut menentukan bahan belajar yang ingin dipelajarinya

dan cara mempelajarinya.

c. Siswa/peserta didik mempunyai kebebasan untuk belajar sesuai dengan

kecepatannya sendiri.

d. Siswa/peserta didik dapat ikut menentukan cara evaluasi yang akan digunakan

untuk menilai kemajuan belajarnya.

Kemandirian dalam belajar ini menurut Wedemeyer (1983) perlu diberikan

kepada siswa/peserta didik supaya mereka mempunyai tanggung jawab dalam

mengatur dan mendisiplinkan dirinya dan dalam mengembangkan kemampuan belajar

atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut perlu dimiliki siswa/peserta didik karena hal

tersebut merupakan ciri kedewasaan orang terpelajar.

Sejalan dengan Wedemeyer, Moore (dalam Keegan, 1983) berpendapat bahwa

ciri utama suatu proses pembelajaran mandiri ialah adanya kesempatan yang diberikan
kepada siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan, sumber, dan evaluasi

belajarnya. Karena itu, program pembelajaran mandiri dapat diklasifikasikan

berdasarkan besar kecilnya kebebasan (otonomi) yang diberikan kepada siswa/peserta

didik untuk ikut menentukan program pembelajarannya. Tingkat kemandirian

pembelajaran dapat diklasifikasi berdasarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan

berikut:

a.     Otonomi dalam menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan

pembelajaran itu ditentukan oleh siswa/peserta didik, oleh guru/instruktur atau oleh

guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Semakin besar kesempatan yang diberikan kepada

siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan pembelajarannya, berarti semakin besar

kesempatan siswa/peserta didik untuk belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Dengan

demikian semakin besar pula kesempatan siswa/peserta didik untuk bersikap mandiri.

b.     Otonomi dalam belajar. Siapakah yang menentukan buku atau media yang akan

dipakai dalam belajar? Apakah semuanya ditentukan oleh guru/instruktur, oleh

siswa/peserta didik, atau oleh guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Kalau siswa/peserta

didik dapat ikut menentukan bahan belajar, media belajar, dan cara belajar yang akan

digunakan untuk mencapai tujuan itu, berarti siswa/peserta didik telah diberi kesempatan

untuk bersikap mandiri.

c.     Otonomi dalam evaluasi hasil belajar. Siapakah yang menentukan cara dan kriteria

evaluasi hasil belajar? Dapatkah siswa/peserta didik ikut menentukan cara evaluasi dan

kriteria penilaian yang akan dipakai?


Tingkat kemandirian (otonomi) yang diberikan kepada siswa/peserta didik dalam berbagai

program pembelajaran tidak sama. Ada program pembelajaran yang lebih banyak

memberikan kemandirian (otonomi), ada pula program pembelajaran yang kurang

memberikan kemandirian kepada siswa/peserta didik. Contoh, di Universitas London ada

program pembelajaran yang memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar sendiri

di luar kampus. Mahasiswa yang lulus dalam ujian akan mendapat gelar yang nilainya

sama dengan gelar yang diperoleh siswa/peserta didik yang mengikuti kuliah di kampus.

Mahasiswa luar kampus ini diberi kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran

yang ingin dicapai dan bahan belajar serta cara belajar yang akan digunakan. Namun

demikian mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk menentukan cara evaluasi dan kriteria

penilaiannya.

C. Strategi Self Regulated Learning

Kernampuan kognitif yang amat penting kaitannya dengan proses pembelajaran

adalah strategi belajar rnemaharni isi materi pelajaran, strategi meyakini arti penting isi

materi pelajaran, clan aplikasinya serta menyerap nilai-nilai yang terkandung

dalam materi pelajaran tersebut (Love & Kruger, 2005). Dengan kata lain, strategi

pembelajaran yang digunakan merupakan hal yang sangat penting agar pembelajaran

dapat berjalan secara efektif dan efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak

sekedar strategi belajar aktif (Casem, 2006; Schapiro & Livingston, 2000), tetapi harus

strategi yang betul-betul dapat membawa siswa pada pencapaian indikator yang

telah ditetapkan, strategi yang membawa siswa pada pemahaman materi secara
internal (internalisasi nilai materi pela jaran). Dikatakan Gagne (1985) (Dalam

Merdinger, et al., 2005) bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi proses pembelajaran

agar menjadi efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui

kapan strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut.

Dalam proses pembelajaran balk di tingkat dasar maupun lanjutan, regulasi diri dalam

belajar (self regulated learning) merupakan sebuah pendekatan yang penting. Strategi

regulasi diri dalarn belajar cocok untuk semua jenjang pendidikan, kecuali untuk

kelas tiga SD ke bawah, ada yang menyarankan bahwa strategi belajar dengan

regulasi diri kurang cocok (Woolfolk, 2008).

Istilah self regulated learning berkembang dari teori kognisi sosial Bandura (1997).

Menurut teori kognisi sosial, manusia merupakan hasil struktur kausal yang interdependen dari

aspek pribadi (person), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment) (Bandura, 1997). Ketiga

aspek ini merupakan aspek-aspek determinan dalam Self regulated learning. Ketiga aspek

determinan ini saling berhubungan sebabakibat, dimana person berusaha untuk meregulasi din

sendiri (self regulated), hasilnya berupa kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada

perubahan lingkungan, dan demikian seterusnya (Bandura, 1986).

Self regulated learning menggarisbawahi pentingnya otonomi dan tanggung jawab pribadi

dalam kegiatan belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa yang memiliki self regulated learning

membangun tujuan-tujuan belajar, mencoba memonitor, meregulasi, dan mengontrol kognisi,

motivasi, dan perilakunya untuk mengontrol tujuantujuan yang telah dibuat (Valle et al., 2008).

Zimmerman & Martinez-Pons (2001) mendefinisikan self regulated learning sebagai tingkatan

dimana partisipan secara aktif melibatkan metakognisi, motivasi, dan perilaku dalam proses belajar.
Self regulated learning juga didefinisikan sebagai bentuk belajar individual dengan bergantung pada

motivasi belajar mereka, secara otonomi mengembangkan pengukuran (kognisi,

metakognisi, dan perilaku), dan memonitor kemajuan belajarnya (Baumert et al., 2002).

Self regulated learning mengintegrasikan banyak hal tentang belajar efektif. Penge-

tahuan, motivasi, dan disiplin diri atau volition (kemauan-diri) merupakan faktor-

faktor penting yang dapat mempengaruhi self regulated learning (Woolfolk, 2008).

Pengetahuan yang dimaksudkan adalah pengetahuan tentang dirinya sendiri,

materinya, tugasnya, strategi untuk belajar, dan konteks-konteks pembelajaran yang

akan digunakannya. Siswa-siswa yang belajar dengan regulasi diri dapat diistilah-

kan sebagai siswa 'ahli'. Siswa ahli mengenal dirinya sendiri dan bagaimana mereka

belajar dengan sebaik-baiknya. Mereka mengetahui gaya pembelajaran yang

disukainya, apa yang mudah dan sulit bagi dirinya, bagaimana cara mengatasi bagian -

bagian sulit, apa minat dan bakatnya, dan bagaimana cara memanfaatkan kekuatan/

kelebihannya (Woolfolk, 2008). Mereka juga tahu materi yang sedang dipelajarinya;

semakin banyak materi yang mereka pelajari semakin banyak pula yang mereka

ketahui, serta semakin mudah untuk belajar lebih banyak (Alexander, 2006).

Mereka mungkin mengerti bahwa tugas belajar yang berbeda memerlukan pende-

katan yang berbeda pula. Merekapun menyadari bahwa belajar seringkali terasa

sulit dan pengetahuan jarang yang bersifat mutlak; biasanya ada banyak cara yang

berbeda untuk melihat masalah dan ada banyak macam solusi (Pressley, 1995;

Winne, 1995).

Seorang self regulated learner mengambil tanggung jawab terhadap kegiatan


belajar mereka. Mereka mengambil alih otonomi untuk mengatur dirinya. Mereka

mendefinisikan tujuan dan masalah masalah yang mungkin akan dihadapinya

d a l a m m e n c a p a i t u j u a n - t u j u a n n y a , mengembangkan standar tingkat kesem-

purnaan dalam pencapaian tujuan; dan mengevaluasi cara yang paling balk untuk

mencapai tujuannya. Mereka memiliki jalan alternatif atau strategi untuk mencapai

tujuan dan beberapa strategi untuk mengoreksi kesalahannya dan mengarahkan

kembali dirinya ketika perencanaan yang dibuatnya tidak berjalan. Mereka mengetahui

kelebihan-kelebihan dan kek -urangannya dan mengetahui bagaimana cara

memanfaatkannya secara produktif dan konstruktif. Siswa yang mampu melaksanakan

self regulated learning juga mampu untuk membentuk dan mengelola perubahan

(McCombs & Morzano, 1990).

Siswa yang belajar dengan regulasi diri bu ka n ha ny a ta hu t en ta ng ap a ya ng

dibutuhkan oleh setiap tugas, tetapi mereka juga dapat menerapkan strategi yang

dibutuhkan. Mereka dapat membaca secara sekilas ataupun secara seksama. Mereka

dapat menggunakan berbagai strategi ingatan atau mengorganisasikan materinya.

Ketika mereka menjadi lebih knowlegeable (memiliki/menunjukkan banyak pengeta-

huan, kesadaran, atau inteligensi) di suatu bidang, mereka menerapkan banyak strategi

secara otomatis. Alhasil, mereka telah menguasai sebuah repertoar strategi dan taktik

pembela jaran yang bes ar dan fleksibel (W000lfolk, 2008).

Seorang self regulated learner memiliki otonomi pribadi dalam mengelola kegiatan

belajarnya. Bila ditinjau dari kajian aspek diri dari Carver & Scheier (1998), seorang

self regulated learner termasuk aspek diri komunal (communal) atau saling ketergan-
tungan (interdependent), artinya segala tindakan, nilai, dan tujuan yang dimilikinya

m e n c e r m i n k a n a p a y a n g a d a d a l a m dirinya, dan dia sendiri bertanggung jawab

atas nilai dan tujuan yang dibuatnya serta bekerjasama dengan kelompoknya untuk

mencapai kemanfaatan bersama.

Zimmerman (1999) menjelaskan juga bahwa self regulated learning memiliki empat

dimensi yakni motivasi (motive), metode (method), hash kinerja (performance outcome), dan

lingkungan atau kondisi sosial (environment social). Motivasi merupakan inti dari

pengelolaan diri dalam belajar, dimana melalui motivasi siswa mau mengambil tindakan dan

tanggung jawab atas kegiatan belajar yang dia lakukan (Smith, 2001). Proses-proses

pengelolaan din (self regulatory process) yang dapat meningkatkan motivasi dalam

pengelolaan din dalam belajar siswa meliputi efikasi din (self efficacy), tujuan pribadi (self goals),

nilai, dan atribusi.

Persyaratan tugas dari dimensi metode adalah memilih metode yang tepat untuk meningkatkan

kualitas belajarnya (Zimmerman dalam Elliot, 1999). Atribut pengelolaan din dari dimensi

metode ini adalah terjadinya perilaku siswa yang menjadi terrencana dan terotomatisasi.

Terrencana karena perilaku siswa yang melaksanakan pengelolaan diri dalam belajar dia memiliki

tujuan dan kesadaraan diri yang jelas. Terotomatisasi karena penggunaan metode belajar yang tepat dan

dilakukan secara berulang-ulang menjadi kebiasaan bagi dirinya. Metode yang dimaksud di sini

dalam berbagai penelitian disebut juga strategi belajar (learning strategies). StTategi belajar ini

meliputi pendekatan rehearsing, elaborating, modelling, dan organizing (Purdie, Hattie &

Douglas, 1996; Howard-Rose & Winne, 1993; dan Smith, 2001).

Siswa yang menggunakan metode self regulated learning memiliki kesadaran terhadap hasil
kinerjanya (Zimerman dalam Elliot et al., 1999). Mereka dapat merencanakan tingkat prestasinya

berdasarkan kinerja yang direncanakan. Ada beberapa proses dalam pengelolaan diri dalam

belajar yang perlu dilakukan berkaitan dengan dimensi hasil kinerja yakni self monitoring,

self judgement, dan action control.

Tugas yang dipersyaratkan berkaitan dengan lingkungan adalah mengontrol lingkungan

fisik. Atribut regulasi din yang terdapat pada seorang self regulated learner berkaitan dengan dimensi

lingkungan adalah adanya sensitivitas siswa terhadap lingkungan (termasuk lingkungan sosial)

dan sumber daya (resource) yang terdapat di sekitarnya. Berkaitan dengan kemampuan individu

dalam mengenali sumber daya yang terdapat pada lingkungan, Zimmerman (dalam

Smith, 2002) menggunakan istilah 'resourcefullness' yang mengacu pada kemampuan untuk

mengontrol lingkungan fisik di sekitarnya dalam hal membatasi distraksi yang mengganggu

kegiatan belajar, dan secara sukses mencari dan menggunakan referensi dan keahlian yang diperlukan

untuk menguasai apa yang dipelajari. Resourcefullness ditandai dengan adanya keaktifan siswa

dalam mencari informasi, mengorganisir lingkungan, dan meminimalisir distraktor

(Zimmerman & Martinaz-Pons dalam Smith, 2002). Bentuk proses pengelolaan diri yang

berkaitan dengan aspek lingkungan adalah menstruktur lingkungan (environmental

structuring) dan mencari bantuan (help seeking) (Zimmerman dalam Elliot, 1999).

Zimmerman (1990) mengidentifikasi beberapa strategi belajar yang umumnya digunakan

oleh seorang self regulated learner yaitu: evaluasi diri (self evaluation); pengorganisasian

(organizing) dan pentransformasian (transforming); menetapkan tujuan dan perencanaan (goal

setting and planning); mencari informasi (seeking information); membuat dan memeriksa

catatan (keeping records and monitoring); mengatur lingkungan (environmental structuring);


konsekuensi diri (self concequences); mengulangulang dan mengingat (rehearsing and

memorizing); mencari bantuan (seeking social assistance) kepada teman sebaya, guru, atau orang

dewasa lainnya; serta mereview catatan dan buku teks (review records).

Beberapa strategi self regulated learning tersebut terbukti sangat efisien untuk

meningkatkan prestasi belajar (Zimmerman & Martinez-Pons, 2001; Perry et al., 2007; Pekrun et

al., 2002), baik dalam bidang matematika (Camahalan, 2002; Sunawan, 2000; Alsa, 2005),

kemampuan rnenulis cerita (Graham & Harris, 1993; Santangelo et al., 2007), kemampuan berbahasa

Inggris (Pintrich & De Groot, 1990), medis (Kuiper, R., 2005), dan teknologi informasi

(Kramarski & Mizrachi, 2006; Hsiung Lee et al., 2007). Bahkan beberapa strategi self regulated

learning tersebut sangat efisien digunakan bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar

sekalipun (Graham & Harris, 1999).

D. Pengembangan (Proses) Berpikir Dalam Pendidikan Sains

1. Science As A Way of Knowing

Sains merupakan suatu cara bertanya dan menjawab pertanyaan tentang aspek fisis

jagat raya. Sains tidak sekedar suatu kumpulan fakta atau kumpulan jawaban tentang

pertanyaan, namun lebih merupakan suatu proses melakukan dialog berkelanjutan dengan

lingkungan fisik sekitarnya. Saintis dengan keahlian khusus, secara umum memiliki bahasa,

metode-metode dan kebiasaan berpikir (habits of mind) untuk mengkonstruk penjelasan

tentang alam. Pengetahuan ini kadanga-kadang terpisah bahkan bertentangan dengan cara

mencari tahu yang biasa. Sains memiliki peran untuk melakukan pilihan. Pengetahuan ilmiah

sebagai suatu pengetahuan disiplin, dikonstruk secara identik dan secara simbolik di alam.
Penalaran ilmiah ditandai dengan formulasi teoritis yang eksplisit yang dapat

dikomunikasikan dan diuji dengan bukti-bukti yang mendukung.

Banyak saintis berpendapat bahwa siswa tidak dapat diharapkan untuk

mengkonstruk gagasan entitas ilmiah melalui penyelidikan bebas dan tidak dimediasi diskusi

dengan sesamanya, karena siswa merupakan pemula dalam masyarakat ilmiah. Guru sains

dan penerbit buku teks seyogianya me”match”kan cara-cara sehari-hari dengan cara-cara

ilmiah untuk memahami suatu fenomena dalam merancang dan memilih materi

pembelajaran, merancang unit-unit kurikulum dan memilih strategi pembelajaran.

Hanya sedikit pakar pendidikan sains yang akan tidak menyetujui bahwa tujuan

pembelajaran seyogianya mempromosikan pemahaman tentang proses inkuiri dan “domain

specific scientific concepts” daripada menghafal konsep, fakta dan algoritma (Aulls &

Shore, 2008). Memorisasi dengan bantuan akumulasi fakta, konsep dan algoritma yang

lambat, tidak akan menggantikan belajar bagaimana menggunakan pengetahuan dengan

cara menghubungkannya untuk menginterpretasi gejala alam, dan menggeneralisasi

konsep sains yang baru kepada siswa, solusi pada masalah sains yang baru bagi siswa,

dan dalam suatu disiplin untuk menghasilkan konsep ilmiah atau teori baru.

Esensi dari hakikat sains adalah inkuiri itu sendiri. Inkuiri dalam pembelajaran

sains dapat berperan sebagai metode, sebagai pendekatan, sebagai model

pembelajaran, sebagai ”tools” untuk mengembangkan keperibadian dengan nilai-nilai

dan sikap ilmiah tercakup di dalamnya, bahkan sebagai kemampuan yang perlu

dikembangkan dan diukur perolehannya (Rustaman, et al., 2007; Rustaman, 2010).

Hubungan antarkomponen sains dengan inkuiri digambarkan sebagai berikut (Gambar 1).
2. Pembelajaran Sains yang Hands-on dan Minds-on

Pembelajaran sains sejak kurikulum 1975 hingga kurikulum berbasis kompetensi

meminta siswa mengembangkan kemampuannya melalui penggunaan metode ilmiah,

kegiatan praktikum, pendekatan keterampilan proses, pelaksanaan eksperimen, inkuiri dan

pendekatan yang lainnya, termasuk pendekatan konsep. Hal itu menunjukkan dengan jelas

bahwa pembelajaran sains hendaknya melibatkan penggunaan tangan dan alat atau

manipulatif. Pendekatan konsep yang ditekankan terus menerus tidak dimaksudkan dengan

memberikan konsep dalam bentuk yang sudah jadi. Dengan rumusan konsep berupa

working definition yang memberikan batas kedalaman dan keluasannya, dimaksudkan agar

pembelajaran sains di lapangan tidak diberikan dalam bentuk definisi. Tidak terjadi proses

berpikir apabila siswa belajar sains dengan mendapat definisinya langsung.


Gambar 1. Konsep Inkuiri (Beyer, 1971)

Pendekatan konsep yang didampingi dengan pendekatan keterampilan proses dalam

pembelajaran sains dimaksudkan agar siswa mengalami berinteraksi dengan obyek, gejala

alam atau peristiwa alam, baik secara langsung ataupun dengan alat bantu yang ada. Setelah

faktanya didapatkan, siswa diajak mendata dan mengelompokkannya, mencatatnya dalam

bentuk tampilan yang komunikatif (tabel, diagram, bagan, grafik) agar dapat dimaknai

dengan cara menginterpretasikannya, menemukan keteraturan atau polanya untuk

selanjutnya membuat dugaan berupa prediksi dan hipotesis. Pengujian prediksi dan

hipotesis dapat dilakukan di dalam atau di luar kelas, bahkan dapat dilaksanakan di luar jam

pelajaran. Pembelajaran yang demikianlah yang dimaksudkan dengan pembelajaran yang

hands-on dan minds-on.

Pada pelaksanaannya keterkaitan antara mind dengan kegiatan manipulatif tidak

selalu terjadi. Siswa melakukan kegiatan pengamatan atau praktikum secara motorik.

Alatalat inderanya tidak difungsikan secara optimal, jawaban yang dianggap benar adalah

yang tertulis di dalam buku pelajaran. Verifikasi konsep, prinsip, hukum atau teori tidak
terjadi dalam kegiatan-kegiatan yang hands-on. Kegiatan yang memerlukan waktu,

tenaga dan biaya tak sedikit tersebut menjadi kurang bermakna.

Kegiatan demikian menjadi lebih-lebih tidak dirasakan manfaatnya oleh siswa yang

belajar sains, karena sistem pengujian yang hanya mengukur penguasaan konsep (sesung-

guhnya hanya pengetahuan atau definisi-definisi). Pencapaian anak-anak Indonesia dalam

tiga periode TIMSS (Trend of International Mathematics and Science Study) berturut-

turut (1999, 2003, 2007) selalu berada di papan bawah, begitu pula perolehan anak-

anak Indonesia tentang Scientific Literacy dalam PISA (Performance for International

Student Assessment) selama beberapa periode (tahun 2000, 2003, 2006, 2009).

Pencapaian anakanak Indonesia dalam olimpiade fisika internasional hanya makin

memperkuat keyakinan para pemikir pendidikan sains bahwa pembelajaran sains perlu

didudukkan pada porsi seharusnya, pada hakekat Sains dan hakekat pendidikan sainsnya.

Pentingnya keterkaitan antara mind dan kegiatan manipulatif dikemukakan bukan

hanya oleh orang-orang ynag menekuni bidang sains dan pendidikan sains. De Bono (1989)

menekankan ada keterkaitan yang sangat erat antara thinking and doing. Bahkan seperti

telah dikemukakan di bagian depan tentang keterkaitan antara memori dan emosi, de Bono

juga menekankan pentingnya emosi dan berpikir. Ditekankan hubungan tersebut mungkin

terjadi pada saat awal proses berpikir sebagai persepsi, saat berlangsung dengan mengenali

pola atau keteraturan, dan saat akhir berupa pengambilan keputusan. Semua itu jelas

didasarkan pada emosi atau feeling. Bilamanakah pembelajaran sains ingin melibatkan

emosi atau feeling?

Mengubah konsepsi (changing conception) sebagai ciri pembelajaran yang


merujuk pada pandangan konstruktivisme memang penting, tetapi hampir mustahil

tanpa melibatkan emosi. Situasi konflik dalam memori dan emosi perlu diciptakan

pada pembelajaran konstruktivistik. Tanpa itu semua, pencarian makna melalui kegiatan

yang hands-on dan minds-on juga tidak akan berhasil mengubah konsepsi mereka,

terlebih-lebih jika mengubah konsepsi dilakukan terhadap mereka yang mengalami

miskonsepsi karena miskonsepsi cenderung sukar diubah.

c. Habits of minds sebagai Karakter Perilaku Cerdas Tertinggi

1. Pengertian dan Komponen-Komponen Habits of Mind

Memiliki habits of mind yang baik berarti memiliki watak berperilaku cerdas (to

behave intelligently) ketika menghadapi masalah, atau jawaban yang tidak segera diketahui

(Costa & Kallick, 2000a; Costa & Kallick, 2000b; Carter et al., 2005). Masalah

didefinisikan sebagai stimulus, pertanyaan, tugas (task), fenomena, ketidaksesuaian

ataupun penjelasan yang tidak segera diketahui. Dalam memecahkan masalah yang

kompleks, dituntut strategi penalaran, wawasan, ketekunan, kreativitas dan keahlian siswa.

Habits of mind terbentuk ketika merespon jawaban pertanyaan atau masalah yang

jawabannya tidak segera diketahui, sehingga kita bisa mengobservasi bagaimana siswa

mengingat sebuah pengetahuan dan bagaimana siswa menghasilkan sebuah pengetahuan.

Kecerdasan manusia dilihat dari pengetahuan yang dimilikinya dan terlebih penting
dilihat dari cara bagaimana seorang individu bertindak (Costa & Kallick, 2000a).

Habits of mind dikembangkan melalui kerja Costa dan Kallick pada tahun 1985 dan

selanjutnya dikembangkan oleh Marzano (1992) melalui Dimensions of Learning. Pada

awalnya Costa pada tahun 1985 membuat artikel mengenai “hirarki berpikir” pada The

Behaviours of Intelligence (Campbell, 2006). Hierarki berpikir ini meliputi konsep:

thinking skills (membandingkan, mengklasifikasikan, berhipotesis); thinking strategies

(memecahkan masalah, membuat keputusan); creative thinking (membuat model, berpikir

metaphorical) dan cognitive spirit (berpandangan terbuka, mencari alternatif tidak men

-judgment). Tulisan ini kemudian direvisi tahun 1991 dalam bukunya Developing Minds:

A Resource Book for Teaching Thinking. Selanjutnya sejumlah penulis mengembangkan

hal yang sama (Marzano, 1992; Meier, 2003; Anderson, 2004; Sizer & Meier, 2004;

Campbell, 2006), Karena banyak yang mengembangkan habits of mind, maka deskripsi

habits of mind ini menjadi bermacam-macam


Gambar 2. Interaksi Dimensi belajar (Marzano, et al., 1993)

Tugas utama siswa adalah “mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan-nya”

(acquiring and integrating knowledge) pada dimensi kedua. Melalui dimensi ini siswa

harus dapat mengintegrasikan pengetahuan baru dan keterampilan-keterampilan yang

telah diketahuinya. Disini terjadi proses subjektif berupa interaksi dari informasi lama

dan informasi baru. Kemudian sejalan proses waktu, siswa mengembangkan

pengetahuan barunya melalui kegiatan yang membantu siswa “memperluas dan

menghaluskan pengetahuannya” (Extending and Refining Knowledge) pada dimensi

ketiga, dan pada akhir tujuan pembelajaran, siswa dapat “menggunakan pengetahuan

dengan cara bermakna” (Using Knowledge Meaningfully) (dimensi keempat). Seperti yang

terlihat dalam Gambar 2., dimensi kedua, ketiga dan keempat bekerja seperti konser, satu

sama lain tidak terpisahkan. Kelima dimensi belajar ini membentuk kerangka yang dapat

digunakan untuk mengorganisasi kurikulum, instruksi pembelajaran dan asesmen.


Marzano (1993) membagi habits of mind ke dalam tiga kategori yaitu: self regulation,

critical thinking dan creative thinking. Self regulation meliputi: (a) menyadari

pemikirannya sendiri, (b) membuat rencana secara efektif, (c) menyadari dan

menggunakan sumbersumber informasi yang diperlukan, (d) sensitif terhadap umpan balik

dan (e) mengevaluasi keefektifan tindakan. Critical thinking meliputi: (a) akurat dan

mencari akurasi, (b) jelas dan mencari kejelasan, (c) bersifat terbuka, (d) menahan diri dari

sifat impulsif, (e) mampu menempatkan diri ketika ada jaminan, (f) bersifat sensitif dan

tahu kemampuan temannya. Creative thinking meliputi: (a) dapat melibatkan diri dalam

tugas meski jawaban dan solusinya tidak segera nampak, (b) melakukan usaha

semaksimal kemampuan dan pengetahuannya, (c) membuat, menggunakan,

memperbaiki standar evaluasi yang dibuatnya sendiri, (d) menghasilkan cara baru

melihat situasi yang berbeda dari cara biasa yang berlaku pada umumnya.

Habits of mind memerlukan banyak keterampilan majemuk, sikap, pengalaman masa

lalu dan kecenderungan. Hal ini berarti bahwa kita menilai satu pola berpikir terhadap yang

lainnya. Oleh karena itu hal tersebut menunjukkan bahwa kita harus memiliki pilihan pola

mana yang akan digunakan pada waktu tertentu. Termasuk juga kemampuan apa yang

diperlukan untuk mengatasi sesuatu di lain waktu, sehingga habits of mind dijabarkan

sebagai beriku. Pertama, value, memilih menggunakan pola perilaku cerdas daripada pola

lain yang kurang produktif; (b) Inclination, kecenderungan, perasaan dan tendensi untuk

menggunakan pola perilaku cerdas; (c). Sensitivity, tanggap terhadap kesempatan dan

kelayakan menggunakan pola perilaku; (d) Capability, memiliki keterampilan dasar dan

kapasitas dalam hubungannya dengan perilaku; (e) Commitment adalah secara konstan
berusaha untuk merefleksi dan meningkatkan kinerja pola perilaku cerdas (Costa & Kallick,

2000a; Costa & Kallick, 2000b).

Hasil penelitian para ahli (Feuerstein, 1980; Glatthorm dan Baron, 1995; Stemberg,

1985; Perkins, 1985; Ennis, 1985 dalam Marzano, et al., 1993) yang meneliti tentang

berpikir efektif dan berperilaku cerdas, menunjukkan bahwa ada karakteristik khas seorang

pemikir efektif. Kemampuan berpikir efektif dan berperilaku cerdas tidak hanya dimiliki

oleh para saintis, seniman, ahli matematika ataupun orang kaya, tetapi juga dimiliki oleh

tukang bengkel, guru, pengusaha, pedagang kaki lima dan orang tua serta semua

orang yang menjalani kehidupan. Perilaku cerdas jarang tampak pada orang yang

mengisolasi diri, karena kecerdasan perilaku ini akan muncul bila digunakan dalam

menghadapi situasi kompleks yang menuntut berperilaku jamak. Sebagai contoh

seseorang yang sedang mendengarkan kuliah dengan seksama, orang tersebut menggunakan

kemampuan flexibility, metakognisi, bahasa yang tepat dan pertanyaan-pertanyaan (Anwar,

2005).

Costa dan Kallick (2000a) mendeskripsikan 16 indikator habits of mind yang

merupakan karakteristik yang muncul ketika manusia berhadapan dengan masalah yang

pemecahannya tidak segera diketahui. Sebenarnya tidak hanya 16 indikator ini yang ada

pada kecerdasan manusia, akan tetapi lebih banyak dari ini. Ke 16 indikator yang

diajukan oleh Costa dan Kallick (2000a) ditabelkan oleh Campbell (2006) sebagai berikut.

Tabel 1. Deskripsi dari Habits of Mind

No Habits of Mind Deskripsi


1 Tekun mengerjakan tugas sampai selesai. Tidak
Persisting
mudah menyerah
2 Menggunakan waktu untuk tidak tergesa-gesa
Managing impulsivity
bertindak
3 Listening with Mau menerima pandangan orang lain

understanding and emphaty


4 Mempertimbangkan pilihan dan dapat mengubah
Thinking flexibly
pandangan
5 Metacognition Berpikir tentang berpikir, Menjadi lebih peduli

terhadap pikiran, perasaan dan tindakan dan

memperhitungkan pengaruhnya pada yang lain


6 Striving for accuracy Menetapkan standar yang tinggi dan selalu mencari

cara untuk meningkat


7 Questioning and problem Menemukan pemecahan masalah. Mencari data dan

posing jawaban
8 Applying past knowledge to Mengakses pengetahuan terdahulu dan mentranfer

new situations pengetahuan ini pada konteks baru


9 Thinking and Berusaha berkomunikasi lisan dan tulisan secara

communicating with clarity akurat

and precision
10 Gathering data through all Memberikan perhatian thd sekeliling melalui rasa,

sense sentuhan, bau, pendengaran, penglihatan


11 Creating, imagining and Memiliki ide-ide dan gagasan baru

innovating
12 Responding with Mempunyai rasa ingin tahu terhadap misteri di alam

wonderment and awe


13 Taking responsible risk Mengambil resiko secara bertanggungjawab
14 Finding humour Menikmati ketidaklayakan dan yang tidak diharapkan,

menyenangkan.
15 Thinking interdependently Dapat bekerja dan belajar dengan orang lain dalam
tim
16 Remaining open to Tetap berusaha terus belajar dan menerima bila ada

continuous learning yang tidak diketahuinya

Apabila kita cermati indikator-indikator dari habits of mind yang dikemukakan

oleh Marzano (1993) serta Costa dan Kallick (2000a), terlihat bahwa indikator-indikator

tersebut membekali individu dalam mengembangkan kebiasaan mental yang menjadi tujuan

penting pendidikan agar siswa dapat belajar mengenai apapun yang mereka inginkan dan

mereka butuhkan untuk mengetahui segala yang berkaitan dengan hidupnya. Bahkan Costa

dan Kallick (2000) dan Campbell (2006) mengklaim habits of mind sebagai karakteristik

perilaku berpikir cerdas yang paling tinggi dalam memecahkan masalah dan merupakan

indikator kesuksesan dalam akademik, pekerjaan dan hubungan sosial. Menurut Sriyati

(2011) sejumlah peneliti mengklaim bahwa habits of mind dapat membantu siswa untuk

melakukan self regulation dalam belajarnya dan menemukan solusi dalam hubungan

sosial dan tempat bekerjanya.

D.Berpikir kreatif

A. Unsur kreatif diperlukan dalam proses berpikir untuk menyelesaikan masalah. Semakin

kreatif seseorang, semakin banyak alternatif penyelesaiannya. Berpikir merupakan

instrumen psikis paling penting. Dengan berpikir, kita dapat lebih mudah mengatasi

berbagai masalah dalam hidup. Dalam proses mengatasi suatu masalah, kita sering
berpikir dengan cara berbeda-beda. Para psikolog dan ahli logika mengenal beberapa

cara berpikir. Namun, tidak semua efektif bagi proses pemecahan masalah.

Berpikir kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan. Dengan cara itu

seseorang akan mampu melihat persoalan dari banyak perspektif. Pasalnya, seorang

pemikir kreatif akan menghasilkan lebih banyak alternatif untuk memecahkan suatu

masalah. Menurut J.C. Coleman dan C.L. Hammen (1974), berpikir kreatif merupakan

cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru - dalam konsep, pengertian,

penemuan, karya seni. Sedangkan D.W. Mckinnon (1962) menyatakan, selain

menghasilkan sesuatu yang baru, seseorang baru bisa dikatakan berpikir secara kreatif

apabila memenuhi dua persyaratan.

Pertama, sesuatu yang dihasilkannya harus dapat memecahkan persoalan secara

realistis. Misalnya, untuk mengatasi kemacetan di ibukota, bisa saja seorang walikota

mempunyai gagasan untuk membuat jalan raya di bawah tanah. Memang, gagasan itu

baru, tetapi untuk ukuran Indonesia solusi itu tidak realistis. Dalam kasus itu, sang

walikota belum dapat dikatakan berpikir secara kreatif.

Kedua, hasil pemikirannya harus merupakan upaya mempertahankan suatu pengertian

atau pengetahuan yang murni. Dengan kata lain, pemikirannya harus murni berasal dari

pengetahuan atau pengertiannya sendiri, bukan jiplakan atau tiruan. Misalnya, seorang

perancang busana mampu menciptakan rancangannya yang unik dan mempesona.

Perancang itu dapat disebut kreatif kalau rancangan itu memang murni idenya, bukan

mencuri karya atau gagasan orang lain.


Menurut ahli lain, Dr. Jalaludin Rakhmat (1980) untuk bisa berpikir secara kreatif, si

pemikir sebaiknya berpikir analogis.

Jadi, proses berpikirnya dengan cara menganalogikan sesuatu dengan hal lain

yang sudah dipahami. Kalau menurut pemahaman si pemikir, kesuksesan adalah

keberhasilan mencapai suatu tujuan, maka saat ia berpikir tentang kesuksesan, ciri-ciri

berupa "berhasil mencapai tujuan" menjadi unsur yang dipertimbangkan.Misalnya,

seseorang dikatakan sukses bila ia dengan bekerja keras telah berhasil mencapai tujuan

yang ditetapkan. Tanpa tujuan yang jelas sulit bagi seseorang untuk bisa sukses.

Namun, karena setiap orang mempunyai tujuan berbeda, maka standar kesuksesan

setiap orang pun berbeda. Di samping berpikir secara analogis, untuk berpikir secara

kreatif, si pemikir juga harus mengoptimalkan imajinasinya untuk mereka-reka

berbagai hubungan dalam suatu masalah.

Dengan ketajaman imajinasi, kita dapat melihat hubungan yang mungkin tidak terlihat

oleh orang lain. Contohnya, Einstein melihat hubungan antara energi, kecepatan, dan

massa suatu benda. Newton melihat hubungan antara apel jatuh dan gaya tarik bumi.

Seorang pemuda Indonesia Baruno melihat hubungan antara keahliannya membuat

kerajinan tangan dengan enceng gondok, sandal, dan uang.

Lima tahap berpikir

Agar mampu berpikir secara kreatif, pikiran harus dioptimalkan pada setiap

tahap yang dilalui. Lima tahap pemikiran ialah orientasi, preparasi, inkubasi, iluminasi,

dan verifikasi.
Pada tahap orientasi masalah, si pemikir merumuskan masalah dan

mengindentifikasi aspek-aspek masalah tersebut. Dalam prosesnya, si pemikir

mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang tengah

dipikirkan.

Pada tahap selanjutnya, preparasi, pikiran harus mendapat sebanyak mungkin

informasi yang relevan dengan masalah tersebut. Kemudian informasi itu diproses

secara analogis untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada tahap orientasi. Si

pemikir harus benar-benar mengoptimalkan pikirannya untuk mencari pemecahan

masalah melalui hubungan antara inti permasalahan, aspek masalah, serta informasi

yang dimiliki.

Pada tahap inkubasi, ketika proses pemecahan masalah menemui jalan buntu,

biarkan pikiran beristirahat sebentar. Sementara itu pikiran bawah sadar kita akan terus

bekerja secara otomatis mencari pemecahan masalah. Proses inkubasi yang tengah

berlangsung itu akan sangat tergantung pada informasi yang diserap oleh pikiran.

Semakin banyak informasi, akan semakin banyak bahan yang dapat dimanfaatkan

dalam proses inkubasi.

Pada proses keempat, yakni iluminasi, proses inkubasi berakhir, karena si

pemikir mulai mendapatkan ilham serta serangkaian pengertian (insight) yang dianggap

dapat memecahkan masalah. Pada tahap ini sebaiknya diupayakan untuk memperjelas

pengertian yang muncul. Di sini daya imajinasi si pemikir akan memudahkan upaya

itu.
Pada tahap terakhir, yakni verifikasi, si pemikir harus menguji dan menilai

secara kritis solusi yang diajukan pada tahap iluminasi. Bila ternyata cara yang

diajukan tidak dapat memecahkan masalah, si pemikir sebaiknya kembali menjalani

kelima tahap itu, untuk mencari ilham baru yang lebih tepat.

Gagasan luar biasa

Coleman & Hammen mengungkapkan, ada tiga faktor yang secara umum dapat

ikut menunjang cara berpikir kreatif.

Pertama, kemampuan kognitif. Seseorang harus mempunyai kecerdasan tinggi.

Ia harus secara terus-menerus mengembangkan intelektualitasnya.

Kedua, sikap terbuka. Cara berpikir kreatif akan tumbuh apabila seseorang

bersikap terbuka pada stimulus internal dan eksternal. Sikap terbuka dapat

dikembangkan dengan memperluas minat dan wawasan.

Ketiga, sikap bebas, otonom, dan percaya diri. Berpikir secara kreatif

membutuhkan kebebasan dalam berpikir dan berekspresi. Juga memerlukan

kemandirian berpikir, tidak terikat pada otoritas dan konvensi sosial yang ada. Yang

terpenting, ia percaya pada kemampuan dirinya.

Seseorang yang mempunyai tingkat kreativitas tinggi, sering kali menghasilkan

pemikiran atau gagasan luar biasa, aneh, terkadang dianggap tidak rasional. Bahkan,

karena keluarbiasaan itu, tidak sedikit orang kreatif dianggap "gila".

Menurut Jalal, ada kesamaan antara orang kreatif dengan orang gila, karena cara

berpikirnya tidak konvensional. Bedanya, orang kreatif mampu melakukan loncatan


pemikiran yang menimbulkan pencerahan atau pemecahan masalah. Sementara orang

gila tidak mampu melakukannya.

D. Pengertian Model Pembelajaran Problem Solving

Gagne dalam Wena dalam Huda (2012: 14) menyatakan “pemecahan

masalah atau problem solving dipandang sebagai suatu proses untuk

menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dala upaya

mengatasi situasi yang baru”. Adapun menurut sanjaya dalam Huda (2012: 14)

menyatakan bahwa “pemecahan masalah tidak mengharapkan siswa hanya

sekedar mendengar, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran”.

Berdasarkan pemikiran tersebut, model pembelajaran problem solving adalah

bagaimana siswa dapat memecahkan masalah pada materi pelajaran tertentu

untuk mengatasi situasi yang akan dihadapi dengan tidak menghafal materi

pelajaran, bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang berpusat pada siswa

dan bukan berpusat pada guru.

Metodeproblem solving merupakan salah satu metode dalam

pembelajaran dengan jalanmelatih siswa menghadapi berbagai masalah,baik itu

masalah perorangan maupun masalahkelompok untuk dipecahkan sendiri atau

secarabersama-sama.Metode problem solving merupakan suatu

modelpembelajaran yang berpusat pada keterampilanpemecahan masalah, yang

diikuti denganpenguatan kreatifitas.


Model pemecahan masalah memusatkan perhatian pada upaya mencari

dan menemukan jawaban atas suatu pertanyaan atau kasus (Udin S.

Winataputra. dkk, 2005). Model ini adalah adalah proses pembelajaran yang

dimulai dengan mengkaji masalah-masalah actual yang terjadi, lalu dari

masalah ini peserta didik dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan

pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior

knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan

pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan

poin utama dalam penerapan model ini.

1. Langkah-Langkah Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving

Parmes dalam Mulyoto (2005) dalam Suryosubroto (2009) mengemukakan

adanya lima langkah creatif problem solving yaitu:

a. Penemuan fakta

b. Penemuan masalah, berdasarkan fakta-fakta yang telah dihimpun, ditentukan

masalah/pertanyaan kreatif untuk dipecahkan

c. Penemuan gagasan, menjaring sebanyak mungkin alteratif jawaban untuk

memecahkan masalah

d. Penemuan jawaban, penentuan tolak ukur atas kriteria pengujian jawaban sehingga

ditemukan jawaban yang diharapkan

e. Penentuan penerimaan, diketemukan kebaikan dan kelemahan gagasan, kemudian

menyimpulkan dari masing-masing masalah yang dibahas.


Secara operasional langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan adalah:

a. Pembentukan kelompok

b. Penjelasan prosedur kerja pembelajaran (petunujuk kegiatan)

c. Pendidik menyajikan situasi problematik dan menjelaskan prosedur solusi kreatif

kepada peserta didik (memberikan pertanyaan, pertanyaan problematis dan tugas)

d. Pengumpulan data dan verifikasi mengenai suatu peristiwa yang dilihat dan dialami

(dilakukan dengan mengumpulkan data di lapangan)

e. Eksperimentasi alternatif pemecahan masalah dengan diperkenankan pada elemen

baru ke dalam situasi berbeda (diskusi dalam kelompok kecil)

f. Memformulasikan penjelasan dan menganalisis proses solusi kreatif (dilakukan

dengan diskusi kelas yang didampingi oleh pendidik)

2. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Solving

Model pembelajaran problem solving memiliki beberapa keunggulan yaitu:

a. Problem solving merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi

pelajaran.

b. Problem solving melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan

c. Problem solving dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan

untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.

d. Problem solving dapat meningkatkan aktifitas pembelajaran siswa.

e. Problem solving dapat membantu siswa bagaimana mentrasfer pengetahuan mereka

untuk memahami masalah dalam dalam kehidupan nyata.


f. Problem solving dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan

barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.

Disamping itu, problem solving juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi

sendiri bak terhadap hasil maupun proses belajarnya.

g. Problem solving dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.

h. Problem solving dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan

mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan

baru.

i. Problem solving dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan

pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

j. Problem solving dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus

belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. (sanjaya dalam

Huda, 2012: 17).

Kelemahan model pembelajaran problem solving, yaitu:

a. Apabila siswa tidak memiliki minat, atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa

masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan maka mereka akan merasa enggan

untuk mencoba.

b. Keberhasilan strategi melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk

persiapan.

c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang

sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari

(Sanjaya dalam Huda, 2012: 18).


F. Keterampilan Metakognitif

Metakognitif terkadang juga disebut sebagai metakognisi (Hadi, 2007).

Metakognitif diungkapkan pertama kali oleh Flavel pada tahun 1976 yang

mendatangkan banyak perdebatan dalam mendefinisikannya. Berikut ini adalah

beberapa pengertian tentang metakognitif dari beberapa ahli yang dikemukakan dalam

Corebima (2006), yaitu.

1. Kesadaran dan kontrol terhadap proses kognitif (Eggen dan Kauchak, 1996)

2. Proses mengetahui dan memonitor proses berpikir atau proses kognitif sendiri

(Arends, 1998)

3. Metakognisi menunjuk kepada kecakapan pebelajar sadar dan memonitor proses

pembelajarannya (Peter, 2000).

4. Pengetahuan tentang belajarnya sendiri; tentang bagaimana ia belajar dan

bagaimana ia memantau cara belajar yang dilakukannya (Flavell, Gardner dan

Alexander dalam Slavin, 1997).

Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa pemberdayaan keterampilan

metakognitif itu perlu dilakukan. Tujuan pengembangan keterampilan

metakognitif adalah agar siswa memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan

(Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Hadi, 2007). Sedangkan dari sumber

yang sama pula, Flavell, Gardner, dan Alexander dalam Slavin (1997)

menyebutkan bahwa pengembangan keterampilan metakognitif siswa ditujukan

agar siswa dapat memantau perkembangan belajarnya sendiri.


Berikut ini adalah beberapa manfaat dari keterampilan metakognitif yang

dikemukakan oleh para ahli dalam Corebima (2006).

1. Eggen dan Kauchak (1996) menyatakan bahwa pengembangan kecakapan

metakognitif pada para siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga,

karena kecakapan itu dapat membantu mereka menjadi self-regulated learners.

Self-regulated learners bertanggung jawab terhadap kemajuan belajarnya sendiri

dan mengadaptasi strategi belajarnya mencapai tuntutan tugas.

2. Menurut Marzano (1988), manfaat metakognisi (strategi) bagi guru dan siswa

adalah menekankan monitoring diri dan tanggung jawab siswa (monitoring diri

merupakan kecakapan berpikir tinggi)

3. Susantini, dkk. (2001) menyatakan melalui metakognisi siswa mampu menjadi

pebelajar mandiri, menumbuhkan sikap jujur dan berani melakukan kesalahan dan

akan meningkatkan hasil belajar secara nyata.

4. Howard (2004) menyatakan bahwa keterampilan metakognitif diyakini memegang

peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman,

komunikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah;

sejumlah peneliti yakin bahwa penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah

satu penyebab ketidakmampuan belajar.

5. Peters (2000) berpendapat bahwa keterampilan metakognitif memungkinkan para

siswa berkembang sebagai pebelajar mandiri, karena mendorong mereka menjadi

manajer atas dirinya sendiri serta menjadi penilai atas pemikiran dan

pembelajarannya sendiri.
Berdasarkan manfaat yang telah dikemukakan, maka pemberdayaan

keterampilan metakognitif sangatlah penting dalam pembelajaran. Dengan

memiliki keterampilan metakognitif, siswa akan mampu untuk menyelesaikan

tugas belajarnya dengan baik karena mereka mampu untuk merencanakan

pembelajaran, mengatur diri, dan mengevaluasi pembelajarannya.

Livingston (1997) dalam Hadi (2007) membagi pengetahuan metakognitif

menjadi 3 kategori, yaitu pengetahuan tentang variabel-variabel personal,

variabel-variabel tugas, dan variabel-variabel strategi. Pengetahuan tentang

variabel-variabel personal berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana

siswa belajar dan memproses informasi serta pengetahuan tentang proses-proses

belajar yang dimilikinya. Sebagai contoh, seorang siswa sadar bahwa proses

belajar lebih produktif jika dilakukan di perpustakaan dari pada di rumah.

Pengetahuan tentang variabel-variabel tugas melibatkan pengetahuan tentang

sifat tugas dan jenis pemrosesan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan

tugas itu. Sebagai contoh, siswa sadar bahwa membaca dan memahami teks

ilmu pengetahuan memerlukan lebih banyak waktu dari pada membaca dan

memahami sebuah novel. Pengetahuan tentang variabel-variabel strategi

melibatkan pengetahuan tentang strategi-strategi kognitif dan metakognitif serta

pengetahuan kondisional tentang kapan dan di mana strategi-strategi tersebut

digunakan.

Keterampilan kognitif dan metakognitif, sekalipun berhubungan tetapi berbeda;

keterampilan kognitif dibutuhkan untuk melaksanakan tugas, sedangkan


keterampilan metakognitif diperlukan untuk memahami bagaimana tugas itu

dilaksanakan (Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Corebima, 2006).

Indikator-indikator keterampilan metakognitif yang akan dikembangkan yaitu:

(1) mengidentifikasi tugas yang sedang dikerjakan, (2) mengawasi kemajuan

pekerjaannya, (3) mengevaluasi kemajuan ini, dan (4) memprediksi hasil yang

akan diperoleh. Selanjutnya proses-proses yang diarahkan pada pengaturan

proses berpikir juga akan membantu (1) mengalokasikan sumber daya-sumber

daya yang dimiliki untuk mengerjakan tugas, (2) menentukan langkah-langkah

penyelesaian tugas, dan (3) menentukan intensitas, atau (4) kecepatan dalam

menyelesaikan tugas. Indikator-indikator keterampilan metakognitif tersebut

dituangkan dalam inventori keterampilan metakognitif (Hadi, 2007). Menurut

Blakey dan Spence (2000) dalam Andayani (2008), strategi untuk

mengembangkan keterampilan metakognitif adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi “apa yang kamu ketahui” dan “apa yang tidak kamu ketahui”

2. Membahas tentang berpikir

3. Membuat jurnal merencanakan dan pengaturan diri

4. Menjelaskan tentang proses berpikir dan evaluasi

Keterkaitan antara Keterampilan Metakognitif dan Kemampuan Berpikir

Eggen dan Kauchak (1996) menyatakan bahwa berpikir tinggi dan berpikir

kritis mencakup kombinasi antara pemahaman mendalam terhadap topik-topik


khusus, kecakapan menggunakan proses kognitif dasar secara efektif,

pemahaman dan kontrol terhadap proses kognitif dasar ( metakognisi), maupun

sikap serta pembawaan (Corebima, 2006). Hal tersebut dapat dilihat pada

Gambar 2.2 berikut ini:

High-order
And
Critical Thinking

DeepUnderstanding of Basic Metacognition Attitudes and


Specific Topics Pr disposition
oc
Gambar 2.2 Hubungan antara metakognisi dengan berpikir tinggi dan berpikir

kritis (Corebima, 2006)

Dari bagan hubungan di atas, nampak bahwa metakognisi juga mendukung

berpikir tinggi dan berpikir kritis. Demikian pula bahwa berpikir tinggi dan

berpikir kritis juga mempengaruhi metakognisi. Metakognitif mengacu pada

tingkat berpikir tinggi ( high order thinking) yang meliputi kontrol aktif atas

proses berpikir dalam pembelajaran

 Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

“Pendidikan nasional berfungsi me-ngembangkan kemampuan dan mem-

bentuk watak serta peradaban bangsa yang bermarta-bat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya poten-si


peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

 SKL mengarah pada pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa bagi

peserta didik.

 Inpres No 1 Tahun 2010:

Bidang Pendidikan: Penguatan metodologi dan Kurikulum

 Penyempurnaan kurikulum dan metode

pembelajaran aktif berdasarkan nilai nilai budaya bangsa untuk membentuk

daya saing dan karakter Bangsa.

 Terimplementasinya uji coba kurikulum dan

metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai nilai budaya bangsa untuk

membentuk daya saing dan karakter bangsa.

 Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma dan

keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.

 Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk

dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya dan

digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan

bertindak.
 Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang mengembangkan

nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka

memiliki dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai

anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif, dan

kreatif.

 Secara programatik, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama

semua guru dan pimpinan sekolah, melalui semua mata pelajaran dan budaya

sekolah dalam membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter

bangsa pada peserta didik.

 Pembinaan dan pengembangan itu terjadi melalui proses aktif peserta didik dalam

belajar.

 Secara teknis Pendidikan budaya dan karakter bangsa diartikan sebagai proses

internalisasi serta penghayatan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang

dilakukan peserta didik secara aktif dibawah bimbingan guru, kepala sekolah dan

tenaga kependidikan serta diwujudkan dalam kehidupan mereka di kelas, sekolah,

dan masyarakat.
F. Pendidikan karakter

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang

terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan

digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan

orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Koesoema,

A. D. (2007) dalam Susetyo Hario Putero (2008) mengatakan bahwa karakter

merupakan struktur antropologis manusia. Pendidikan karakter akan memberikan

bantuan sosial agar individu dapat ootumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam

hidup bersama dengan orang lain di dunia. Pendidikan karakter di Indonesia telah

lama berakar dalam tradisi pendidikan.

Menurut Hidayatullah (2010:13) karakter adalah kualitas atau kekuatan

mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan

kepribadian khusus yang menj adi pendorong dan penggerak, serta membedakan dengan

individu lain. Dengan demi ki an dapat di kemukakan j uga baha karakter pendidik adal ah kual itas

mental atau kekuatan moral, akhlak, atau budi pekerti pendidik yang merupakan kepri badi an

khusus yang harus melekat pada pendidik dan yang menj adi pendorong dan penggerak

dal am mel akukan sesuatu.

Khan (2010:2) menjelaskan terdapat empat jenis karakter yang selama ini di laksanakan dalam proses

pendidikan, yaitu sebagai berikut.

1. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara yang merupakan kebenaran wahyu

Tuhan (konservasi moral)

2. Pendidikan karakter berbasis budaya, antara lain yang berupa budi pekerti , pancasila, apresasi

sastra, ketel adanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemi mpi n bangsa (konservasi lingkungan)

3. Pendidikan karakter berbasis lingkungan(konservasi lingkungan)

4. Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran
pemberdayaan potensi dari yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan

(konservasi humanis)

Pentingnya Pendidikan Karakter

U ndang-U ndang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dal am

mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 U U Sisdi knas menyebutkan,

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertuj uan untuk

berkembangnya potensi peserta didi k agar menjadi manusi a yang beri man dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhl ak mul i a, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Lickona (1992) dalam suyanto (2010) menj elaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan

karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada

nilai -nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu

fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi

semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua,

masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai -nilai moral yang secara

universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5)

Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan

peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas niilai..

Sekolah mengaj arkan pendidikan bebas nilai. Sekol ah mengajarkan ni l ai-nilai seti ap hari melalui desain
ataupun tanpa desai n, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penti ng manakal a kita mau

dan terus menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekol

ah lebi h beradab, pedul i pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang

meningkat.

Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perl u ditanamkan sedini

mungkin untuk mengantisi pasi persoal an di masa depan yang semaki n kompleks seperti

semaki n rendahnya perhati an dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki

tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih

jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind

dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya

terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai

etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat

yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman,

tetangga, masyarakat, dan bangsa.

Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran

Berikut ini nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan oleh guru:


Nilai-nilai Luhur dan Perilaku Berkarakter (Sumber : Tim Pendidikan Karakter

Kemendiknas. 2010)

Ada banyak kualitas karakter yang harus dikembangkan, namun untuk memudahkan

pelaksanaan, IHF mengembangkan konsep pendidikan 9 pilar karakter yang

merupakan nilai-nilai luhur universal (lintas agama, budaya dan suku). Diharapkan

melalui internalisasi 9 pilar karakter ini, para siswa akan menjadi manusia yang cinta

damai, tanggung jawab, jujur, dan serangkaian akhlak mulia lainnya. Ada pun nilai-

nilai 9 pilar karakter terdiri dari:

 Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya

 Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian

 Kejujuran

 Hormat dan Santun


 Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama

 Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah

 Keadilan dan Kepemimpinan

 Baik dan Rendah Hati

 Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan

Berikut ini merupakan nilai karakter berdasarkan mata pelajaran dan jenjang

pendidikan yang dirumuskan oleh Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010)


Peran Guru Biologi dalam Membangun Karakter Siswa

Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki

kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada

intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps,

dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran
pendidik, di antaranya:

1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil

inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter

2. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilainilai

moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-

siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekol ah hendakl ah mampu menjadi “uswah

hasanah” yang hidup bagi seti ap peserta didi k. Mereka j uga harus terbuka dan

s iap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai ni l ai -ni l ai yang baik

tersebut.

3. P e n d i d i k p e r l u m e m b e r i k a n pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh

melalui kerjasama dan berpartisipasi dal am mengambil keputusan

4. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masal ah moral berupa pertanyaanpertanyaan ruti

n untuk memasti kan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.

5. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus

tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.

Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter

(Djalil dan Megawangi , 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran

yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang

kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan

berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting

the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam

menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek


kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu mel ati h dan

membentuk karakter anak mel al ui pengul angan-pengul angan sehingga terjadi internalisasi

karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.

Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di

setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan

formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu

melakukan i n t e r a k s i d e n g a n s i s w a d a l a m mendiskusikan materi pembelajaran, (2)

harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus

mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran

yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian,

kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati

dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi

dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain,

mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa

selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam

membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.

Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di

atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki

kemampuan unggul diantaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada

kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensilaten, melainkan situasi monumental dan

lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik

dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

(Anonim a, tanpa tahun dalam Habibah, 2008).


Corebima, A.D. 2006. Metakognisi: Satu Ringkasan Kajian. Makalah
Disampaikan pada Pelatihan Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi
untuk Guru-Guru Biologi di SMA di Kota Palangkaraya. 23 Agustus 2006
Corebima, A.D. dan Agil Al Idrus. 2006. Pemberdayaan dan Pengukuran Kemampuan
Berpikir pada Pembelajaran Biologi. Makalah Disampaikan pada 3rd International
Conference on Measurement and Evaluation in Education yang Diselenggarakan
oleh USM di Penang-Malaysia. 13-15 Februari 2006

Habibah, K. N. 2008. Pengaruh Strategi Pembelajaran PBMP (Pemberdayaan Berpikir


Melalui Pertanyaan)+TPS (Think Pair Share) terhadap Kemampuan Berpikir,
Keterampilan Metakognitif, dan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VII di SMPN 4
Malang pada Kemampuan Akademik Berbeda. Skripsi (Tidak diterbitkan). Malang:
Universitas Negeri Malang

Hadi, S. 2007. Pengaruh Strategi Pembelajaran Cooperative Script terhadap


Keterampilan Berpikir Kritis, Keterampilan Kognitif Biologi pada Siswa SMA
Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis (Tidak diterbitkan). Malang:
Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Hidayat 2009, pengembangan media pembelajran, Universitas Pendidikan Indonesia :


Bandung (http://repository.upi.edu/operator/upload/d_pls_057230_chapter2.pdf)

Lepiyanto, Agil. 2011. Membangun Karakter Siswa Dalam Pembelajaran Biologi. Jurnal
Bioedukasi, (Online), 2 (1): 73-80,
(http://www.ummetro.ac.id/file_jurnal/8.Agil%20Lepiyanto%20UM.pdf),
diakses 31 Januari 2013.

Latipah, Eva. 2010. Strategi Self Regulated Learning dan Prestasi Belajar: Kajian Meta
Analisis. Jurnal Psikologi, (Online), 37 (1): 110-128,
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30413/4/Chapter%20II.pdf),
diakses 31 Januari 2013.

Nhiro, 2010, Konsep Belajar Mandiri Siswa Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
(Pai) Kelas Xi Cerdas Internasional Di Sma Negeri 3 Pontianak Tahun Ajaran
2009,http://nhiro-nhiro.blogspot.com/2010/10/konsep-belajar-mandiri-siswa-
pada.html.

Raymerta,2010, berpikir belajar,


http://raymerta.blogs.friendster.com/complicated_mind/2007/10/berpikir_belaja.ht
ml
Langkah-Langkah Pembelajaran dalam Modeling
1. Guru membuka pelajaran dengan membawa contoh sampah plastic dan
menanyakan kepada siswa, Coba lihat apa yang Ibu bawa? Dimanakah kalian
menjumpai sampah ini? Apakah masalah yang timbul jika sampah-sampah ini
berserakan dimana-mana? Ayo kita belajar lebih mendalam lagi.
2. Guru membagikan sebuah gambar kepada setiap kelompok dan mendiskusikannya.
3. Guru juga memberikan pertanyaan untuk dijawab secara berkelompok.
4. Setiap perwakilan kelompok maju ke depan kelas untuk menuliskan hasil diskusi di
papan tulis.
5. Guru membimbing diskusi kelas.
6. Guru memberikan penilaian kepada setiap kelompok.

Anda mungkin juga menyukai