PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah kegiatan yang
bertujuan. Sebagai kegiatan yang bertujuan, maka segala sesuatu yang dilakukan guru dan
siswa hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan
demikian dalam setting pembelajaran, tujuan merupakan pengikat segala aktivitas guru dan
siswa. Oleh sebab itu, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama yang harus
Salah satu tujuan pembelajaran Biologi yang tercantum dalam KTSP adalah
percobaan, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis”. Percobaan
dalam pembelajaran Biologi biasa dilakukan pada kegiatan pratikum. Dengan melakukan
kegiatan praktikum siswa akan lebih yakin pada suatu hal daripada hanya menerima dari
guru dan buku, dapat memperkaya pengalaman, mengembangkan sikap ilmiah, dan hasil
Kernampuan kognitif yang amat penting kaitannya dengan proses pembelajaran adalah
strategi belajar rnemaharni isi materi pelajaran, strategi meyakini arti penting isi materi
materi pelajaran tersebut (Love & Kruger, 2005). Dengan kata lain, strategi
pembelajaran yang digunakan merupakan hal yang sangat penting agar pembelajaran
dapat berjalan secara efektif dan efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak
sekedar strategi belajar aktif (Casem, 2006; Schapiro & Livingston, 2000), tetapi harus
strategi yang betul-betul dapat membawa siswa pada pencapaian indikator yang
telah ditetapkan, strategi yang membawa siswa pada pemahaman materi secara
internal (internalisasi nilai materi pela jaran). Dikatakan Gagne (1985) (Dalam
agar menjadi efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui
kapan strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut.
makalah yang berkaitan dengan Tujuan pembelajaran biologi, konsep pembelajar mandiri,
pembelajaran biologi
B. TUJUAN
Regulated Learning
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tujuan Pembelajaran Biologi
prinsip IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan
memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
dan tertulis
kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif dengan menggunakan konsep dan
prinsip biologi
merupakan proses belajar yang dirintis melalui bekerja sendiri dan meemukan sendiri.
adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh motif yang menguasai suatu
kompetensi dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah
dimilik. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar dan cara pencapai, baik
penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar,
sumber belajar maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh pembelajar sendiri.
Dari batasan itu dapat diperoleh gambaran, bahwa seseorang yang sedang
menjalankan kegiatan belajar mandiri lebih ditandai, dan ditentukan oleh motif yang
mendorong belajar, bukan oleh kemampuan fisik kegiatan belajarnya dan juga disertai
dengan adanya upaya atau usaha untuk melakukan kegiatan belajar mandiri.
Pembelajaran tersebut secara fisik dapat belajar sendirian, belajar kelompok dengan
kawan-kawan, atau bahkan sedang dalam situasi belajar klasikal dalam kelas
tradisional.
Akan tetapi bila motif yang mendorong kegiatan belajarnya adalah motif untuk
mandiri. Belajar mandiri jenis ini dapat pula disebut Self-motivated Learning.
Dari pengertian tentang belajar mandiri di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan belajar mandiri adalah kegiatan belajar yang dilakukan dengan
kemampuan menggunakan cara belajar sendiri untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Oleh karena itu upaya untuk membentuk belajar mandiri yang baik
diperlukan suatu konsep yang baik pula. Menurut Haris Mujimin (2007:18), bahwa
konsep belajar mandiri adalah konsep yang digunakan sebagai kerangka penyusunan
rancangan belajar, maka dari itu setelah konsep belajar mandiri disajikan akan di
proses belajar yang dirintis melalui metode yang mantap dan kegiatan sendiri, maka
dapat dikatakan bahwa dalam proses belajar mandiri lebih menekankan pada
kemampuan individu yang belajar agar lebih banyak berbuat dan bertindak untuk
didik yang belajar secara mandiri mempunyai kebebasan untuk belajar tanpa harus
bantuan atau dengan bantuan terbatas dari orang lain. Di samping itu siswa/peserta
didik mempunyai otonomi dalam belajar. Otonomi tersebut terwujud dalam beberapa
pembelajaran yang ingin dicapai sesuai dengan kondisi dan kebutuhan belajarnya.
b. Siswa/peserta didik boleh ikut menentukan bahan belajar yang ingin dipelajarinya
kecepatannya sendiri.
d. Siswa/peserta didik dapat ikut menentukan cara evaluasi yang akan digunakan
atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut perlu dimiliki siswa/peserta didik karena hal
ciri utama suatu proses pembelajaran mandiri ialah adanya kesempatan yang diberikan
kepada siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan, sumber, dan evaluasi
berikut:
a. Otonomi dalam menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan
pembelajaran itu ditentukan oleh siswa/peserta didik, oleh guru/instruktur atau oleh
guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Semakin besar kesempatan yang diberikan kepada
siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan pembelajarannya, berarti semakin besar
kesempatan siswa/peserta didik untuk belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Dengan
demikian semakin besar pula kesempatan siswa/peserta didik untuk bersikap mandiri.
b. Otonomi dalam belajar. Siapakah yang menentukan buku atau media yang akan
siswa/peserta didik, atau oleh guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Kalau siswa/peserta
didik dapat ikut menentukan bahan belajar, media belajar, dan cara belajar yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan itu, berarti siswa/peserta didik telah diberi kesempatan
c. Otonomi dalam evaluasi hasil belajar. Siapakah yang menentukan cara dan kriteria
evaluasi hasil belajar? Dapatkah siswa/peserta didik ikut menentukan cara evaluasi dan
program pembelajaran tidak sama. Ada program pembelajaran yang lebih banyak
program pembelajaran yang memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar sendiri
di luar kampus. Mahasiswa yang lulus dalam ujian akan mendapat gelar yang nilainya
sama dengan gelar yang diperoleh siswa/peserta didik yang mengikuti kuliah di kampus.
Mahasiswa luar kampus ini diberi kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai dan bahan belajar serta cara belajar yang akan digunakan. Namun
demikian mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk menentukan cara evaluasi dan kriteria
penilaiannya.
adalah strategi belajar rnemaharni isi materi pelajaran, strategi meyakini arti penting isi
dalam materi pelajaran tersebut (Love & Kruger, 2005). Dengan kata lain, strategi
pembelajaran yang digunakan merupakan hal yang sangat penting agar pembelajaran
dapat berjalan secara efektif dan efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak
sekedar strategi belajar aktif (Casem, 2006; Schapiro & Livingston, 2000), tetapi harus
strategi yang betul-betul dapat membawa siswa pada pencapaian indikator yang
telah ditetapkan, strategi yang membawa siswa pada pemahaman materi secara
internal (internalisasi nilai materi pela jaran). Dikatakan Gagne (1985) (Dalam
agar menjadi efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui
kapan strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut.
Dalam proses pembelajaran balk di tingkat dasar maupun lanjutan, regulasi diri dalam
belajar (self regulated learning) merupakan sebuah pendekatan yang penting. Strategi
regulasi diri dalarn belajar cocok untuk semua jenjang pendidikan, kecuali untuk
kelas tiga SD ke bawah, ada yang menyarankan bahwa strategi belajar dengan
Istilah self regulated learning berkembang dari teori kognisi sosial Bandura (1997).
Menurut teori kognisi sosial, manusia merupakan hasil struktur kausal yang interdependen dari
aspek pribadi (person), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment) (Bandura, 1997). Ketiga
aspek ini merupakan aspek-aspek determinan dalam Self regulated learning. Ketiga aspek
determinan ini saling berhubungan sebabakibat, dimana person berusaha untuk meregulasi din
sendiri (self regulated), hasilnya berupa kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada
Self regulated learning menggarisbawahi pentingnya otonomi dan tanggung jawab pribadi
dalam kegiatan belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa yang memiliki self regulated learning
motivasi, dan perilakunya untuk mengontrol tujuantujuan yang telah dibuat (Valle et al., 2008).
Zimmerman & Martinez-Pons (2001) mendefinisikan self regulated learning sebagai tingkatan
dimana partisipan secara aktif melibatkan metakognisi, motivasi, dan perilaku dalam proses belajar.
Self regulated learning juga didefinisikan sebagai bentuk belajar individual dengan bergantung pada
metakognisi, dan perilaku), dan memonitor kemajuan belajarnya (Baumert et al., 2002).
Self regulated learning mengintegrasikan banyak hal tentang belajar efektif. Penge-
tahuan, motivasi, dan disiplin diri atau volition (kemauan-diri) merupakan faktor-
faktor penting yang dapat mempengaruhi self regulated learning (Woolfolk, 2008).
akan digunakannya. Siswa-siswa yang belajar dengan regulasi diri dapat diistilah-
kan sebagai siswa 'ahli'. Siswa ahli mengenal dirinya sendiri dan bagaimana mereka
disukainya, apa yang mudah dan sulit bagi dirinya, bagaimana cara mengatasi bagian -
bagian sulit, apa minat dan bakatnya, dan bagaimana cara memanfaatkan kekuatan/
kelebihannya (Woolfolk, 2008). Mereka juga tahu materi yang sedang dipelajarinya;
semakin banyak materi yang mereka pelajari semakin banyak pula yang mereka
ketahui, serta semakin mudah untuk belajar lebih banyak (Alexander, 2006).
Mereka mungkin mengerti bahwa tugas belajar yang berbeda memerlukan pende-
katan yang berbeda pula. Merekapun menyadari bahwa belajar seringkali terasa
sulit dan pengetahuan jarang yang bersifat mutlak; biasanya ada banyak cara yang
berbeda untuk melihat masalah dan ada banyak macam solusi (Pressley, 1995;
Winne, 1995).
purnaan dalam pencapaian tujuan; dan mengevaluasi cara yang paling balk untuk
mencapai tujuannya. Mereka memiliki jalan alternatif atau strategi untuk mencapai
kembali dirinya ketika perencanaan yang dibuatnya tidak berjalan. Mereka mengetahui
self regulated learning juga mampu untuk membentuk dan mengelola perubahan
dibutuhkan oleh setiap tugas, tetapi mereka juga dapat menerapkan strategi yang
dibutuhkan. Mereka dapat membaca secara sekilas ataupun secara seksama. Mereka
huan, kesadaran, atau inteligensi) di suatu bidang, mereka menerapkan banyak strategi
secara otomatis. Alhasil, mereka telah menguasai sebuah repertoar strategi dan taktik
Seorang self regulated learner memiliki otonomi pribadi dalam mengelola kegiatan
belajarnya. Bila ditinjau dari kajian aspek diri dari Carver & Scheier (1998), seorang
self regulated learner termasuk aspek diri komunal (communal) atau saling ketergan-
tungan (interdependent), artinya segala tindakan, nilai, dan tujuan yang dimilikinya
atas nilai dan tujuan yang dibuatnya serta bekerjasama dengan kelompoknya untuk
Zimmerman (1999) menjelaskan juga bahwa self regulated learning memiliki empat
dimensi yakni motivasi (motive), metode (method), hash kinerja (performance outcome), dan
lingkungan atau kondisi sosial (environment social). Motivasi merupakan inti dari
pengelolaan diri dalam belajar, dimana melalui motivasi siswa mau mengambil tindakan dan
tanggung jawab atas kegiatan belajar yang dia lakukan (Smith, 2001). Proses-proses
pengelolaan din (self regulatory process) yang dapat meningkatkan motivasi dalam
pengelolaan din dalam belajar siswa meliputi efikasi din (self efficacy), tujuan pribadi (self goals),
Persyaratan tugas dari dimensi metode adalah memilih metode yang tepat untuk meningkatkan
kualitas belajarnya (Zimmerman dalam Elliot, 1999). Atribut pengelolaan din dari dimensi
metode ini adalah terjadinya perilaku siswa yang menjadi terrencana dan terotomatisasi.
Terrencana karena perilaku siswa yang melaksanakan pengelolaan diri dalam belajar dia memiliki
tujuan dan kesadaraan diri yang jelas. Terotomatisasi karena penggunaan metode belajar yang tepat dan
dilakukan secara berulang-ulang menjadi kebiasaan bagi dirinya. Metode yang dimaksud di sini
dalam berbagai penelitian disebut juga strategi belajar (learning strategies). StTategi belajar ini
meliputi pendekatan rehearsing, elaborating, modelling, dan organizing (Purdie, Hattie &
Siswa yang menggunakan metode self regulated learning memiliki kesadaran terhadap hasil
kinerjanya (Zimerman dalam Elliot et al., 1999). Mereka dapat merencanakan tingkat prestasinya
berdasarkan kinerja yang direncanakan. Ada beberapa proses dalam pengelolaan diri dalam
belajar yang perlu dilakukan berkaitan dengan dimensi hasil kinerja yakni self monitoring,
fisik. Atribut regulasi din yang terdapat pada seorang self regulated learner berkaitan dengan dimensi
lingkungan adalah adanya sensitivitas siswa terhadap lingkungan (termasuk lingkungan sosial)
dan sumber daya (resource) yang terdapat di sekitarnya. Berkaitan dengan kemampuan individu
dalam mengenali sumber daya yang terdapat pada lingkungan, Zimmerman (dalam
Smith, 2002) menggunakan istilah 'resourcefullness' yang mengacu pada kemampuan untuk
mengontrol lingkungan fisik di sekitarnya dalam hal membatasi distraksi yang mengganggu
kegiatan belajar, dan secara sukses mencari dan menggunakan referensi dan keahlian yang diperlukan
untuk menguasai apa yang dipelajari. Resourcefullness ditandai dengan adanya keaktifan siswa
(Zimmerman & Martinaz-Pons dalam Smith, 2002). Bentuk proses pengelolaan diri yang
structuring) dan mencari bantuan (help seeking) (Zimmerman dalam Elliot, 1999).
oleh seorang self regulated learner yaitu: evaluasi diri (self evaluation); pengorganisasian
setting and planning); mencari informasi (seeking information); membuat dan memeriksa
memorizing); mencari bantuan (seeking social assistance) kepada teman sebaya, guru, atau orang
dewasa lainnya; serta mereview catatan dan buku teks (review records).
Beberapa strategi self regulated learning tersebut terbukti sangat efisien untuk
meningkatkan prestasi belajar (Zimmerman & Martinez-Pons, 2001; Perry et al., 2007; Pekrun et
al., 2002), baik dalam bidang matematika (Camahalan, 2002; Sunawan, 2000; Alsa, 2005),
kemampuan rnenulis cerita (Graham & Harris, 1993; Santangelo et al., 2007), kemampuan berbahasa
Inggris (Pintrich & De Groot, 1990), medis (Kuiper, R., 2005), dan teknologi informasi
(Kramarski & Mizrachi, 2006; Hsiung Lee et al., 2007). Bahkan beberapa strategi self regulated
learning tersebut sangat efisien digunakan bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar
Sains merupakan suatu cara bertanya dan menjawab pertanyaan tentang aspek fisis
jagat raya. Sains tidak sekedar suatu kumpulan fakta atau kumpulan jawaban tentang
pertanyaan, namun lebih merupakan suatu proses melakukan dialog berkelanjutan dengan
lingkungan fisik sekitarnya. Saintis dengan keahlian khusus, secara umum memiliki bahasa,
tentang alam. Pengetahuan ini kadanga-kadang terpisah bahkan bertentangan dengan cara
mencari tahu yang biasa. Sains memiliki peran untuk melakukan pilihan. Pengetahuan ilmiah
sebagai suatu pengetahuan disiplin, dikonstruk secara identik dan secara simbolik di alam.
Penalaran ilmiah ditandai dengan formulasi teoritis yang eksplisit yang dapat
mengkonstruk gagasan entitas ilmiah melalui penyelidikan bebas dan tidak dimediasi diskusi
dengan sesamanya, karena siswa merupakan pemula dalam masyarakat ilmiah. Guru sains
dan penerbit buku teks seyogianya me”match”kan cara-cara sehari-hari dengan cara-cara
ilmiah untuk memahami suatu fenomena dalam merancang dan memilih materi
Hanya sedikit pakar pendidikan sains yang akan tidak menyetujui bahwa tujuan
specific scientific concepts” daripada menghafal konsep, fakta dan algoritma (Aulls &
Shore, 2008). Memorisasi dengan bantuan akumulasi fakta, konsep dan algoritma yang
konsep sains yang baru kepada siswa, solusi pada masalah sains yang baru bagi siswa,
dan dalam suatu disiplin untuk menghasilkan konsep ilmiah atau teori baru.
Esensi dari hakikat sains adalah inkuiri itu sendiri. Inkuiri dalam pembelajaran
dan sikap ilmiah tercakup di dalamnya, bahkan sebagai kemampuan yang perlu
Hubungan antarkomponen sains dengan inkuiri digambarkan sebagai berikut (Gambar 1).
2. Pembelajaran Sains yang Hands-on dan Minds-on
pendekatan yang lainnya, termasuk pendekatan konsep. Hal itu menunjukkan dengan jelas
bahwa pembelajaran sains hendaknya melibatkan penggunaan tangan dan alat atau
manipulatif. Pendekatan konsep yang ditekankan terus menerus tidak dimaksudkan dengan
memberikan konsep dalam bentuk yang sudah jadi. Dengan rumusan konsep berupa
working definition yang memberikan batas kedalaman dan keluasannya, dimaksudkan agar
pembelajaran sains di lapangan tidak diberikan dalam bentuk definisi. Tidak terjadi proses
pembelajaran sains dimaksudkan agar siswa mengalami berinteraksi dengan obyek, gejala
alam atau peristiwa alam, baik secara langsung ataupun dengan alat bantu yang ada. Setelah
bentuk tampilan yang komunikatif (tabel, diagram, bagan, grafik) agar dapat dimaknai
selanjutnya membuat dugaan berupa prediksi dan hipotesis. Pengujian prediksi dan
hipotesis dapat dilakukan di dalam atau di luar kelas, bahkan dapat dilaksanakan di luar jam
selalu terjadi. Siswa melakukan kegiatan pengamatan atau praktikum secara motorik.
Alatalat inderanya tidak difungsikan secara optimal, jawaban yang dianggap benar adalah
yang tertulis di dalam buku pelajaran. Verifikasi konsep, prinsip, hukum atau teori tidak
terjadi dalam kegiatan-kegiatan yang hands-on. Kegiatan yang memerlukan waktu,
Kegiatan demikian menjadi lebih-lebih tidak dirasakan manfaatnya oleh siswa yang
belajar sains, karena sistem pengujian yang hanya mengukur penguasaan konsep (sesung-
tiga periode TIMSS (Trend of International Mathematics and Science Study) berturut-
turut (1999, 2003, 2007) selalu berada di papan bawah, begitu pula perolehan anak-
anak Indonesia tentang Scientific Literacy dalam PISA (Performance for International
Student Assessment) selama beberapa periode (tahun 2000, 2003, 2006, 2009).
memperkuat keyakinan para pemikir pendidikan sains bahwa pembelajaran sains perlu
didudukkan pada porsi seharusnya, pada hakekat Sains dan hakekat pendidikan sainsnya.
hanya oleh orang-orang ynag menekuni bidang sains dan pendidikan sains. De Bono (1989)
menekankan ada keterkaitan yang sangat erat antara thinking and doing. Bahkan seperti
telah dikemukakan di bagian depan tentang keterkaitan antara memori dan emosi, de Bono
juga menekankan pentingnya emosi dan berpikir. Ditekankan hubungan tersebut mungkin
terjadi pada saat awal proses berpikir sebagai persepsi, saat berlangsung dengan mengenali
pola atau keteraturan, dan saat akhir berupa pengambilan keputusan. Semua itu jelas
didasarkan pada emosi atau feeling. Bilamanakah pembelajaran sains ingin melibatkan
tanpa melibatkan emosi. Situasi konflik dalam memori dan emosi perlu diciptakan
pada pembelajaran konstruktivistik. Tanpa itu semua, pencarian makna melalui kegiatan
yang hands-on dan minds-on juga tidak akan berhasil mengubah konsepsi mereka,
Memiliki habits of mind yang baik berarti memiliki watak berperilaku cerdas (to
behave intelligently) ketika menghadapi masalah, atau jawaban yang tidak segera diketahui
(Costa & Kallick, 2000a; Costa & Kallick, 2000b; Carter et al., 2005). Masalah
ataupun penjelasan yang tidak segera diketahui. Dalam memecahkan masalah yang
kompleks, dituntut strategi penalaran, wawasan, ketekunan, kreativitas dan keahlian siswa.
Habits of mind terbentuk ketika merespon jawaban pertanyaan atau masalah yang
jawabannya tidak segera diketahui, sehingga kita bisa mengobservasi bagaimana siswa
Kecerdasan manusia dilihat dari pengetahuan yang dimilikinya dan terlebih penting
dilihat dari cara bagaimana seorang individu bertindak (Costa & Kallick, 2000a).
Habits of mind dikembangkan melalui kerja Costa dan Kallick pada tahun 1985 dan
awalnya Costa pada tahun 1985 membuat artikel mengenai “hirarki berpikir” pada The
metaphorical) dan cognitive spirit (berpandangan terbuka, mencari alternatif tidak men
-judgment). Tulisan ini kemudian direvisi tahun 1991 dalam bukunya Developing Minds:
hal yang sama (Marzano, 1992; Meier, 2003; Anderson, 2004; Sizer & Meier, 2004;
Campbell, 2006), Karena banyak yang mengembangkan habits of mind, maka deskripsi
(acquiring and integrating knowledge) pada dimensi kedua. Melalui dimensi ini siswa
telah diketahuinya. Disini terjadi proses subjektif berupa interaksi dari informasi lama
ketiga, dan pada akhir tujuan pembelajaran, siswa dapat “menggunakan pengetahuan
dengan cara bermakna” (Using Knowledge Meaningfully) (dimensi keempat). Seperti yang
terlihat dalam Gambar 2., dimensi kedua, ketiga dan keempat bekerja seperti konser, satu
sama lain tidak terpisahkan. Kelima dimensi belajar ini membentuk kerangka yang dapat
critical thinking dan creative thinking. Self regulation meliputi: (a) menyadari
pemikirannya sendiri, (b) membuat rencana secara efektif, (c) menyadari dan
menggunakan sumbersumber informasi yang diperlukan, (d) sensitif terhadap umpan balik
dan (e) mengevaluasi keefektifan tindakan. Critical thinking meliputi: (a) akurat dan
mencari akurasi, (b) jelas dan mencari kejelasan, (c) bersifat terbuka, (d) menahan diri dari
sifat impulsif, (e) mampu menempatkan diri ketika ada jaminan, (f) bersifat sensitif dan
tahu kemampuan temannya. Creative thinking meliputi: (a) dapat melibatkan diri dalam
tugas meski jawaban dan solusinya tidak segera nampak, (b) melakukan usaha
memperbaiki standar evaluasi yang dibuatnya sendiri, (d) menghasilkan cara baru
melihat situasi yang berbeda dari cara biasa yang berlaku pada umumnya.
lalu dan kecenderungan. Hal ini berarti bahwa kita menilai satu pola berpikir terhadap yang
lainnya. Oleh karena itu hal tersebut menunjukkan bahwa kita harus memiliki pilihan pola
mana yang akan digunakan pada waktu tertentu. Termasuk juga kemampuan apa yang
diperlukan untuk mengatasi sesuatu di lain waktu, sehingga habits of mind dijabarkan
sebagai beriku. Pertama, value, memilih menggunakan pola perilaku cerdas daripada pola
lain yang kurang produktif; (b) Inclination, kecenderungan, perasaan dan tendensi untuk
menggunakan pola perilaku cerdas; (c). Sensitivity, tanggap terhadap kesempatan dan
kelayakan menggunakan pola perilaku; (d) Capability, memiliki keterampilan dasar dan
kapasitas dalam hubungannya dengan perilaku; (e) Commitment adalah secara konstan
berusaha untuk merefleksi dan meningkatkan kinerja pola perilaku cerdas (Costa & Kallick,
Hasil penelitian para ahli (Feuerstein, 1980; Glatthorm dan Baron, 1995; Stemberg,
1985; Perkins, 1985; Ennis, 1985 dalam Marzano, et al., 1993) yang meneliti tentang
berpikir efektif dan berperilaku cerdas, menunjukkan bahwa ada karakteristik khas seorang
pemikir efektif. Kemampuan berpikir efektif dan berperilaku cerdas tidak hanya dimiliki
oleh para saintis, seniman, ahli matematika ataupun orang kaya, tetapi juga dimiliki oleh
tukang bengkel, guru, pengusaha, pedagang kaki lima dan orang tua serta semua
orang yang menjalani kehidupan. Perilaku cerdas jarang tampak pada orang yang
mengisolasi diri, karena kecerdasan perilaku ini akan muncul bila digunakan dalam
seseorang yang sedang mendengarkan kuliah dengan seksama, orang tersebut menggunakan
2005).
merupakan karakteristik yang muncul ketika manusia berhadapan dengan masalah yang
pemecahannya tidak segera diketahui. Sebenarnya tidak hanya 16 indikator ini yang ada
pada kecerdasan manusia, akan tetapi lebih banyak dari ini. Ke 16 indikator yang
diajukan oleh Costa dan Kallick (2000a) ditabelkan oleh Campbell (2006) sebagai berikut.
posing jawaban
8 Applying past knowledge to Mengakses pengetahuan terdahulu dan mentranfer
and precision
10 Gathering data through all Memberikan perhatian thd sekeliling melalui rasa,
innovating
12 Responding with Mempunyai rasa ingin tahu terhadap misteri di alam
menyenangkan.
15 Thinking interdependently Dapat bekerja dan belajar dengan orang lain dalam
tim
16 Remaining open to Tetap berusaha terus belajar dan menerima bila ada
oleh Marzano (1993) serta Costa dan Kallick (2000a), terlihat bahwa indikator-indikator
tersebut membekali individu dalam mengembangkan kebiasaan mental yang menjadi tujuan
penting pendidikan agar siswa dapat belajar mengenai apapun yang mereka inginkan dan
mereka butuhkan untuk mengetahui segala yang berkaitan dengan hidupnya. Bahkan Costa
dan Kallick (2000) dan Campbell (2006) mengklaim habits of mind sebagai karakteristik
perilaku berpikir cerdas yang paling tinggi dalam memecahkan masalah dan merupakan
indikator kesuksesan dalam akademik, pekerjaan dan hubungan sosial. Menurut Sriyati
(2011) sejumlah peneliti mengklaim bahwa habits of mind dapat membantu siswa untuk
melakukan self regulation dalam belajarnya dan menemukan solusi dalam hubungan
D.Berpikir kreatif
A. Unsur kreatif diperlukan dalam proses berpikir untuk menyelesaikan masalah. Semakin
instrumen psikis paling penting. Dengan berpikir, kita dapat lebih mudah mengatasi
berbagai masalah dalam hidup. Dalam proses mengatasi suatu masalah, kita sering
berpikir dengan cara berbeda-beda. Para psikolog dan ahli logika mengenal beberapa
cara berpikir. Namun, tidak semua efektif bagi proses pemecahan masalah.
Berpikir kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan. Dengan cara itu
seseorang akan mampu melihat persoalan dari banyak perspektif. Pasalnya, seorang
pemikir kreatif akan menghasilkan lebih banyak alternatif untuk memecahkan suatu
masalah. Menurut J.C. Coleman dan C.L. Hammen (1974), berpikir kreatif merupakan
cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru - dalam konsep, pengertian,
menghasilkan sesuatu yang baru, seseorang baru bisa dikatakan berpikir secara kreatif
realistis. Misalnya, untuk mengatasi kemacetan di ibukota, bisa saja seorang walikota
mempunyai gagasan untuk membuat jalan raya di bawah tanah. Memang, gagasan itu
baru, tetapi untuk ukuran Indonesia solusi itu tidak realistis. Dalam kasus itu, sang
atau pengetahuan yang murni. Dengan kata lain, pemikirannya harus murni berasal dari
pengetahuan atau pengertiannya sendiri, bukan jiplakan atau tiruan. Misalnya, seorang
Perancang itu dapat disebut kreatif kalau rancangan itu memang murni idenya, bukan
Jadi, proses berpikirnya dengan cara menganalogikan sesuatu dengan hal lain
keberhasilan mencapai suatu tujuan, maka saat ia berpikir tentang kesuksesan, ciri-ciri
seseorang dikatakan sukses bila ia dengan bekerja keras telah berhasil mencapai tujuan
yang ditetapkan. Tanpa tujuan yang jelas sulit bagi seseorang untuk bisa sukses.
Namun, karena setiap orang mempunyai tujuan berbeda, maka standar kesuksesan
setiap orang pun berbeda. Di samping berpikir secara analogis, untuk berpikir secara
Dengan ketajaman imajinasi, kita dapat melihat hubungan yang mungkin tidak terlihat
oleh orang lain. Contohnya, Einstein melihat hubungan antara energi, kecepatan, dan
massa suatu benda. Newton melihat hubungan antara apel jatuh dan gaya tarik bumi.
Agar mampu berpikir secara kreatif, pikiran harus dioptimalkan pada setiap
tahap yang dilalui. Lima tahap pemikiran ialah orientasi, preparasi, inkubasi, iluminasi,
dan verifikasi.
Pada tahap orientasi masalah, si pemikir merumuskan masalah dan
dipikirkan.
informasi yang relevan dengan masalah tersebut. Kemudian informasi itu diproses
secara analogis untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada tahap orientasi. Si
masalah melalui hubungan antara inti permasalahan, aspek masalah, serta informasi
yang dimiliki.
Pada tahap inkubasi, ketika proses pemecahan masalah menemui jalan buntu,
biarkan pikiran beristirahat sebentar. Sementara itu pikiran bawah sadar kita akan terus
bekerja secara otomatis mencari pemecahan masalah. Proses inkubasi yang tengah
berlangsung itu akan sangat tergantung pada informasi yang diserap oleh pikiran.
Semakin banyak informasi, akan semakin banyak bahan yang dapat dimanfaatkan
pemikir mulai mendapatkan ilham serta serangkaian pengertian (insight) yang dianggap
dapat memecahkan masalah. Pada tahap ini sebaiknya diupayakan untuk memperjelas
pengertian yang muncul. Di sini daya imajinasi si pemikir akan memudahkan upaya
itu.
Pada tahap terakhir, yakni verifikasi, si pemikir harus menguji dan menilai
secara kritis solusi yang diajukan pada tahap iluminasi. Bila ternyata cara yang
kelima tahap itu, untuk mencari ilham baru yang lebih tepat.
Coleman & Hammen mengungkapkan, ada tiga faktor yang secara umum dapat
Kedua, sikap terbuka. Cara berpikir kreatif akan tumbuh apabila seseorang
bersikap terbuka pada stimulus internal dan eksternal. Sikap terbuka dapat
Ketiga, sikap bebas, otonom, dan percaya diri. Berpikir secara kreatif
kemandirian berpikir, tidak terikat pada otoritas dan konvensi sosial yang ada. Yang
pemikiran atau gagasan luar biasa, aneh, terkadang dianggap tidak rasional. Bahkan,
Menurut Jalal, ada kesamaan antara orang kreatif dengan orang gila, karena cara
menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dala upaya
mengatasi situasi yang baru”. Adapun menurut sanjaya dalam Huda (2012: 14)
untuk mengatasi situasi yang akan dihadapi dengan tidak menghafal materi
Winataputra. dkk, 2005). Model ini adalah adalah proses pembelajaran yang
knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan
a. Penemuan fakta
memecahkan masalah
d. Penemuan jawaban, penentuan tolak ukur atas kriteria pengujian jawaban sehingga
a. Pembentukan kelompok
d. Pengumpulan data dan verifikasi mengenai suatu peristiwa yang dilihat dan dialami
a. Problem solving merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi
pelajaran.
Disamping itu, problem solving juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi
h. Problem solving dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan
baru.
belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. (sanjaya dalam
a. Apabila siswa tidak memiliki minat, atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa
masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan maka mereka akan merasa enggan
untuk mencoba.
persiapan.
sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari
Metakognitif diungkapkan pertama kali oleh Flavel pada tahun 1976 yang
beberapa pengertian tentang metakognitif dari beberapa ahli yang dikemukakan dalam
1. Kesadaran dan kontrol terhadap proses kognitif (Eggen dan Kauchak, 1996)
2. Proses mengetahui dan memonitor proses berpikir atau proses kognitif sendiri
(Arends, 1998)
(Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Hadi, 2007). Sedangkan dari sumber
yang sama pula, Flavell, Gardner, dan Alexander dalam Slavin (1997)
metakognitif pada para siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga,
2. Menurut Marzano (1988), manfaat metakognisi (strategi) bagi guru dan siswa
adalah menekankan monitoring diri dan tanggung jawab siswa (monitoring diri
pebelajar mandiri, menumbuhkan sikap jujur dan berani melakukan kesalahan dan
sejumlah peneliti yakin bahwa penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah
manajer atas dirinya sendiri serta menjadi penilai atas pemikiran dan
pembelajarannya sendiri.
Berdasarkan manfaat yang telah dikemukakan, maka pemberdayaan
belajar yang dimilikinya. Sebagai contoh, seorang siswa sadar bahwa proses
sifat tugas dan jenis pemrosesan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan
tugas itu. Sebagai contoh, siswa sadar bahwa membaca dan memahami teks
ilmu pengetahuan memerlukan lebih banyak waktu dari pada membaca dan
digunakan.
pekerjaannya, (3) mengevaluasi kemajuan ini, dan (4) memprediksi hasil yang
penyelesaian tugas, dan (3) menentukan intensitas, atau (4) kecepatan dalam
1. Mengidentifikasi “apa yang kamu ketahui” dan “apa yang tidak kamu ketahui”
Eggen dan Kauchak (1996) menyatakan bahwa berpikir tinggi dan berpikir
sikap serta pembawaan (Corebima, 2006). Hal tersebut dapat dilihat pada
High-order
And
Critical Thinking
berpikir tinggi dan berpikir kritis. Demikian pula bahwa berpikir tinggi dan
tingkat berpikir tinggi ( high order thinking) yang meliputi kontrol aktif atas
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
SKL mengarah pada pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa bagi
peserta didik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma dan
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk
bertindak.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang mengembangkan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka
kreatif.
Secara programatik, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama
semua guru dan pimpinan sekolah, melalui semua mata pelajaran dan budaya
Pembinaan dan pengembangan itu terjadi melalui proses aktif peserta didik dalam
belajar.
Secara teknis Pendidikan budaya dan karakter bangsa diartikan sebagai proses
dilakukan peserta didik secara aktif dibawah bimbingan guru, kepala sekolah dan
dan masyarakat.
F. Pendidikan karakter
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan
bantuan sosial agar individu dapat ootumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam
hidup bersama dengan orang lain di dunia. Pendidikan karakter di Indonesia telah
mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan
kepribadian khusus yang menj adi pendorong dan penggerak, serta membedakan dengan
individu lain. Dengan demi ki an dapat di kemukakan j uga baha karakter pendidik adal ah kual itas
mental atau kekuatan moral, akhlak, atau budi pekerti pendidik yang merupakan kepri badi an
khusus yang harus melekat pada pendidik dan yang menj adi pendorong dan penggerak
Khan (2010:2) menjelaskan terdapat empat jenis karakter yang selama ini di laksanakan dalam proses
1. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara yang merupakan kebenaran wahyu
2. Pendidikan karakter berbasis budaya, antara lain yang berupa budi pekerti , pancasila, apresasi
sastra, ketel adanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemi mpi n bangsa (konservasi lingkungan)
4. Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran
pemberdayaan potensi dari yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
(konservasi humanis)
U ndang-U ndang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dal am
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertuj uan untuk
berkembangnya potensi peserta didi k agar menjadi manusi a yang beri man dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhl ak mul i a, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
Lickona (1992) dalam suyanto (2010) menj elaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan
karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada
nilai -nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu
fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi
semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua,
masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai -nilai moral yang secara
universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5)
Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan
peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas niilai..
Sekolah mengaj arkan pendidikan bebas nilai. Sekol ah mengajarkan ni l ai-nilai seti ap hari melalui desain
ataupun tanpa desai n, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penti ng manakal a kita mau
dan terus menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekol
ah lebi h beradab, pedul i pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang
meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perl u ditanamkan sedini
mungkin untuk mengantisi pasi persoal an di masa depan yang semaki n kompleks seperti
semaki n rendahnya perhati an dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki
jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind
dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya
terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai
etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat
yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman,
Kemendiknas. 2010)
Ada banyak kualitas karakter yang harus dikembangkan, namun untuk memudahkan
merupakan nilai-nilai luhur universal (lintas agama, budaya dan suku). Diharapkan
melalui internalisasi 9 pilar karakter ini, para siswa akan menjadi manusia yang cinta
damai, tanggung jawab, jujur, dan serangkaian akhlak mulia lainnya. Ada pun nilai-
Kejujuran
Berikut ini merupakan nilai karakter berdasarkan mata pelajaran dan jenjang
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki
kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada
intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps,
dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran
pendidik, di antaranya:
hasanah” yang hidup bagi seti ap peserta didi k. Mereka j uga harus terbuka dan
s iap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai ni l ai -ni l ai yang baik
tersebut.
4. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masal ah moral berupa pertanyaanpertanyaan ruti
5. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter
(Djalil dan Megawangi , 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran
yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan
berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting
the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam
membentuk karakter anak mel al ui pengul angan-pengul angan sehingga terjadi internalisasi
setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan
formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu
harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus
mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran
yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian,
kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati
dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi
dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain,
mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa
selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam
atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki
kemampuan unggul diantaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada
kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensilaten, melainkan situasi monumental dan
lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik
dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Lepiyanto, Agil. 2011. Membangun Karakter Siswa Dalam Pembelajaran Biologi. Jurnal
Bioedukasi, (Online), 2 (1): 73-80,
(http://www.ummetro.ac.id/file_jurnal/8.Agil%20Lepiyanto%20UM.pdf),
diakses 31 Januari 2013.
Latipah, Eva. 2010. Strategi Self Regulated Learning dan Prestasi Belajar: Kajian Meta
Analisis. Jurnal Psikologi, (Online), 37 (1): 110-128,
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30413/4/Chapter%20II.pdf),
diakses 31 Januari 2013.
Nhiro, 2010, Konsep Belajar Mandiri Siswa Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
(Pai) Kelas Xi Cerdas Internasional Di Sma Negeri 3 Pontianak Tahun Ajaran
2009,http://nhiro-nhiro.blogspot.com/2010/10/konsep-belajar-mandiri-siswa-
pada.html.