Anda di halaman 1dari 4

Oleh: Selamat Ginting -- Dalat, Saigon, Vietnam, 12 Agustus 1945, pukul 10 pagi.

Insinyur Soekarno,
Doktorandus Mohammad Hatta, dan Dokter Radjiman Wedyodiningrat diterima Panglima Angkatan
Perang Jepang untuk Asia Tenggara, Jenderal Terauchi.

Ketiga tokoh pergerakan Indonesia itu diberitahu bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. "Kapan pun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh
dinyatakan." Itulah yang diucapkan Jenderal Terauchi pada pertemuan tersebut. Meskipun demikian,
Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Bung Karno sempat menanyakan, "Apakah sudah boleh bekerja sekitar 25 Agustus 1945?" Dengan
santai, Jenderal Terauchi menjawab, "Silakan saja, terserah tuan-tuan."

Foto:Bloksot.com

Di akhir acara, Terauchi mengucapkan selamat kepada tiga tokoh pergerakan Indonesia itu. Pertemuan
itu diakhiri jamuan minum teh dan makan kue-kue.

Sesungguhnya, untuk bisa sampai Dalat tersebut bukanlah perjalanan yang mudah. Ketiga tokoh itu
diundang Jenderal Terauchi setelah Soekarno dan Hatta berhasil membentuk PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada 7 Agustus 1945. PPKI merupakan kelanjutan dari BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
 

Selesai dilantik sebagai ketua dan wakil ketua PPKI, Bung Karno dan Bung Hatta diundang untuk
menemui Jenderal Terauchi di Dalat, Saigon. Turut diundang pula Radjiman, sebagai mantan ketua
BPUPKI.

Pada 8 Agustus 1945, mereka bertiga meninggalkan Jakarta, pukul lima pagi, untuk memulai sebuah
penerbangan yang berbahaya. Mereka diantar Letnan Kolonel Nomura dan Miyosi sebagai penerjemah
dengan 20-an perwira Jepang yang lain.

Penerbangan ini harus dirahasiakan bahkan kepada keluarga terdekat sekalipun. Pesawat terbang yang
mereka tumpangi sewaktu-waktu bisa disergap dan ditembak jatuh oleh pesawat-pesawat pemburu
Sekutu yang pada saat itu sudah menguasai wilayah Burma dan sebagian dari Semenanjung Malaya.

Pada 9 Agustus 1945, rombongan menginap semalam di Singapura. Mereka menghindari penerbangan
malam di bawah bayang-bayang sergapan pesawat musuh. Mereka tidak ingin bernasib sama dengan
Laksamana Yamamato, pahlawan perang Jepang dalam penyerangan Pearl Harbour. Pesawat yang
ditumpangi Yamamoto disergap dan ditembak jatuh pesawat pemburu AS saat akan mengunjungi
pasukannya di salah satu medan perang di Pasifik.

Saat itu, intelijen sekutu beranggapan Soekarno adalah seorang kolaborator Jepang. Mereka ingin
menangkap Soekarno. Maka, keberadaan ketiga tokoh pergerakan Indonesia itu dirahasiakan tentara
Jepang.

Pada 10 Agustus 1945, dalam guncangan hebat, pesawat yang ditumpangi Bung Karno, Bung Hatta, dan
Bung Radjiman mendarat di Saigon pukul tujuh malam. Bung Karno mengaku bahwa semua barang-
barang di dalam pesawat berserakan. Ia pun belum tahu mengapa dipanggil oleh Panglima Tertinggi
Jepang di Asia Tenggara itu. Malam itu, mereka diinapkan di Istana Saigon dalam pengawalan ketat.

Pada 11 Agustus 1945, siang hari, ketiga tokoh kemerdekaan ini diterbangkan ke Dalat. Sesampai di
sana, mereka menginap lagi semalam. Ketiganya masih bertanya-tanya, apa yang akan terjadi keesokan
harinya.

 
Ya, pada 12 Agustus 1945 itulah sejarah mencatat bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Namun, itu bukan kali pertama Jepang memberikan janji-janji manis kemerdekaan kepada Indonesia.
Sebab, dua tahun sebelumnya, tepatnya pada November 1943, Bung Karno dan Bung Hatta juga
diundang untuk mengunjungi Jepang.

Kaisar Hirohito secara mengejutkan menjabat tangan Bung Karno dan Bung Hatta. Padahal, menurut
adat kebiasaan Kekaisaran Jepang, sang Kaisar hanya mau menjabat tangan seorang kepala negara. Jadi,
kalau sang Kaisar menjabat tangan kedua tokoh pergerakan Indonesia itu artinya mereka mengakui
kemerdekaan Indonesia.

Janji diulur

Sebelumnya, janji kemerdekaan juga sudah diberikan lebih dulu kepada Burma dan Filipina. Namun,
tidak untuk Indonesia yang kala itu disebut Jepang sebagai Hindia Timur. Kenyataan itu membuat para
tokoh pergerakan Indonesia mulai merasa tidak sabar dan diliputi kemarahan.

Menjelang pertengahan 1944, kekuatan Jepang dalam Perang Pasifik semakin meredup. Militer Jepang
menderita kekalahan di sejumlah palagan pertempuran. Di situlah saatnya memikirkan kembali proposal
dari Kementerian Luar Negeri Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur.

Sejarawan Taufik Abdullah mencatat, ada tiga alasan yang dikemukakan untuk mengajukan proposal
tentang janji kemerdekaan. Pertama, untuk menarik simpati rakyat. Kedua, untuk memperkuat politik
Asia Timur Raya. Ketiga, untuk mendapatkan keuntungan dalam percaturan perang.

September 1944 terbitlah Deklarasi Koiso. Perdana Menteri Jepang Koiso (pengganti Tojo)
mengumumkan bahwa Kekaisaran Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur, To Indo
no jori dokuritu. Hindia Timur sanggup merdeka sekarang, sebagaimana juga sudah dijanjikan kepada
Burma dan Filipina. Mendapat kabar seperti itu, Bung Karno menangis saking gembiranya bersama-sama
kawan Jepang.

 
Euforia kegembiraan lenyap dalam sekejap. Terjadi silang pendapat dalam tubuh tentara Jepang di
Indonesia dalam melaksanakan perintah Perdana Menteri Koiso tersebut. Tentara Angkatan Darat ke-16
yang berkuasa di Jawa menginginkan seluruh wilayah Hindia Belanda dimerdekakan.

Namun, Tentara Angkatan Darat ke-25 yang berkuasa di Sumatra tidak setuju kalau Sumatra ikut
dimerdekakan. Sementara, Angkatan Laut yang berkuasa di Indonesia Timur hanya setuju kalau
kemerdekaan hanya untuk wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Darat saja.

Bung Karno marah dan mengeluh kepada pembesar Jepang di Jakarta. "Tuan mengatakan seakan-akan
kami memerlukan perabotan, radio, dan ini dan itu sebelum kami kawin. Permintaan kami hanyalah
membuat sebuah rumah dengan sehelai tikar."

Akhirnya, Bung Karno menulis sebuah surat bernada keras kepada mahasiswa Indonesia di Jepang. Pada
24 September 1944, surat itu sampai di Asrama Mahasiswa Kokusai Gakuyukai di Tokyo, salah satu
bagiannya adalah, "… perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia lebih penting daripada janji Jepang."

Sikap keras Bung Karno mengkhawatirkan kawan-kawan Jepang dekatnya. Miyoshi, seorang pejabat
Gunseikanbu khawatir akan terjadi revolusi yang tidak diinginkan kalau tidak ada tindakan sebelum hari
ulang tahun keempat Jepang di Indonesia, yaitu 9 Maret 1945.

Untuk meredam kegusaran Bung Karno dan teman-teman, akhirnya dibentuklah BPUPKI berdasarkan
Makloemat Gunseikan Nomor 23 pada 29 April 1945. Di lembaga inilah KRT Dokter Radjiman
Wedyodiningrat, seorang mantan dokter Keraton Surakarta dan sekaligus sebagai anggota tertua, dipilih
menjadi ketua BPUPKI.

Bersamanya ada dua wakil ketua (dari Jepang dan dari Indonesia) dan 60 anggota. Secara umum Jepang
memilih anggota-anggota BPUPKI yang tidak terlalu berjiwa revolusioner, kerakyatan, dan agak kekiri-
kirian.

Masa sidang pertama BPUPKI dimulai pada 29 Mei 1945, membicarakan segala hal yang berbau filosofis,
termasuk dasar negara dan konsep negara apa yang akan didirikan kelak. Masa sidang kedua dimulai
pada 10 Juli 1945, fokus pada dimulainya pembicaraan mengenai hukum dasar negara atau konstitusi. Di
sinilah adu argumentasi para pendiri negara ini ditampilkan.

Anda mungkin juga menyukai