Anda di halaman 1dari 3

MERAIH POPULARITAS ARTIS DAN STRATEGI MEREBUT KONSTITUEN

Politik dan popularitas, setali tiga uang. Di abad ini, Partai politik di Indonesia lagi kecanduan
menarik para artis di panggung politik. Tujuannya simple, yakni menggalang suara. Hal itu
diyakini partai politik, bahwa kalangan selebritis mampu memberikan sumbangan suara bagi
partai politik di pemilihan elektoral. Jadi, dewasa ini selebriti merupakan salah satu aset
besar partai politik.

Meski sejatinya, kehadiran artis di jagad pemilu di Indonesia bukan hal baru. Di masa Orde
Baru, misalnya, kehadiran artis di jabatan-jabatan yang berhubungan erat dengan kebijakan
rakyat banyak diisi oleh sejumlah artis papan atas. Meski kehadirannya oleh banyak
dikalangan dianggap sebagai pemanis.

Reformasi di negeri ini telah membukan jalan bagi artis untuk pindah habitat, yakni dari
dunia glamour yang susah disentuh oleh kebanyakan orang ke parlemen. Ada Rieke Diah
Pitaloka yang berperan sebagai Oneng pada sinetron. Lalu Eko Patrio dan Desy Ratnasari.
Kemudian Rachel Maryam dan lain-lain. Mereka dengan mudah melenggang ke Parlemen
mengalahkan politisi kawakan.

Langkah artis di dunia politik tak hanya di parlemen. Juga di posisi kepala daerah. Di awali
Dede Yusuf yang mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Lalu Rano Karno dan
Dedy Mizwar. Masih ada sederet artis papan atas yang memenangi pertarungan politik
election.

Ketika aktor laga Amerika Serikat Arnold Schwarnegger terpilih sebagai Gubernur California,
pupolaritas yang melekat pada artis menjadi tren pilihan bagi partai politik untuk
memenangi pemilihan kepala daerah. Seperti halnya dipertunjukkan Pasha Ungu. Hal ini
memperlihatkan kekuataan popularitas selebriti dalam menjaring pemilih. Karena itu,
diyakini bila selebriti memang pendulang suara.

Popularitas yang melekat pada selebriti itu pula yang kini menjadi menu wajib bagi politisi
untuk bisa memenangi pemilu. Mereka ramai-ramai dan silih berganti serta dari jam ke jam
tampil di media-media telivisi, radio maupun media cetak. Seperti halnya artis, bahwa
popularitas adalah syarat mutlak untuk bisa eksis di panggung politik elektroral. Sebab,
pesona pribadi lebih utama daripada suara mereka di parlemen. Memiliki nama tenar lebih
penting ketimbang menjawab persoalan maupun isu-isu kerakyatan. Mengapa demikian?
Dengan menjadi bintang, media akan memburu dan melakukan apapun untuk meliput
kampanye maupun agenda-agenda politik yang bersangkutan.

Inilah wajah baru panggung politik elektoral di Indonesia. Media telah menyuguhkan
pemujaan selebriti sebagai sesuatu kepercayaan baru. Bintang dan khalayak berhubungan
secara khas. Khalayak memandang selebriti sebagai gemerlap nun jauh di langit. Sedangkan
mimpi khalayak adalah mendekati bintang atau menjadi bintang. Sementara selebritis hidup
bak seorang bintang.

Selebriti merupakan magnet media, pusat sorotan kamera dan bergelimang ketenaran.
Popularitas adalah produk media. Seorang artis tentunya sudah dikenal masyarakat melalui
sinetron, gosip atau tayangan yang lainnya. Apa yang terjadi pada dirinya memiliki nilai
berita. Inilah yang kini dikejar politisi, baik yang ada di jabatan struktural partai maupun
yang berada di luar pagar kepengurusan partai namun memiliki jabatan di parlemen.
Mereka ramai-ramai pindah habitat menjadi artis.

Mereka ‘’sadar’’ betul bahwa masyarakat merasa dekat dengan artis karena terpaan media
saban harinya. Maka tak heran ketika ‘’artis’’ mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan
umum, hal ini segera menjadi perhatian masyarakat. Sebab, selebriti merupakan bagian dari
konsumerisme visual yang dijajakan oleh media dan televisi. Pengkultusan yang dilakukan
terus menerus oleh media, menjadikan ‘’Sang Artis’’ menjadi kian popular.

Popularitas dimaknai sebagai dikenal dan disukai oleh banyak orang. Artinya, seseorang
dituntut untu melakukan suatu tindakan dalam aktualisasi diri sehingga dapat dikenal oleh
masyarakat luas. Dalam dunia pers, setiap tokoh memiliki berita. Bisa juga berita dapat
diangkat dari mereka yang memiliki nilai berita (populer). Karena kepopulerannya, apapun
yang terjadi pada diri si tokoh tersebut dapat menjadi perhatian khalayak.

Popularitas merupakan potensi inheren dalam politik elektoral. Acap kali seseorang yang
memiliki kualitas, namun tidak memiliki popularitas menjadi tersisih. Semakin banyak
jumlah penggemar, maka semakin tinggi pula nilai jual orang bersangkutan.
Hal ini semakin mengukuhkan telah datangnya suatu era baru dalam demokrasi di
Indonesia, yakni celebrity politics. Hal itu berimbas pada perubahan sistem kepartaian di
Indonesia yang secara tidak langsung mempengaruhi perilaku pemilih dalam berpartisipasi.

Pemilih yang berawal memberikan pilihan dengan sudut pandang ideologis menjadi pemilih
rasional yang mengutamakan figur. Hal itu akan menambah porsi keyakinan pemilih ketika
media dengan cerdik menambah, memperkuat dan menonjolkan figur sang calon. Iklan
politik oleh media menjadikan budaya popularitas dalam politik semakin menguat. Apalagi
masyarakat tidak merasa bahwa politik dan kekuasaan merupakan hal yang menakutkan
dalam menata perjalanan hidupnya.

Dalam kompetisi politik wajib mempopulerkan dirinya kepada publik pemilih secara meluas.
Sebab popularitas menjadi faktor penting dalam kompetisi suksesi kekuasaan di seluruh
tingkatan. Dalam studi voting behavior untuk melihat seseorang dapat terpilih atau tidak
dalam kompetisi politik secara lansung harus memenuhi harapan masyarakat melalui tiga
tahapan, antara lain: popularitas, kapasitas (kepantasan) dan elektabilitas.

Popularitas adalah sejauh mana publik mengenal seseorang yang terlibat dalam kontes
suksesi kekuasaan politik. Sebab, popularitas mendorong pemahaman pemilih untuk
melihat kepantasan kandidat menjadi perwakilan publik. Jika kepantasan tersebut
memadai, maka pasti akan menaikkan nilai elektabilasnya. Bila seseorang yang memiliki
tingkat kepopulerannya tinggi, maka tinggi pula elektabilitas kandidat, sehingga berpeluang
besar dalam menggalang suara pemilih dan memenangi pemilihan elektoral.***

Anda mungkin juga menyukai