Anda di halaman 1dari 13

Opsi Pengobatan untuk COVID-19: Sebuah Ulasan

PENDAHULUAN

Pada Desember 2019, kota Wuhan di Cina dilanda oleh sebuah wabah tidak biasa yang
bermanifestasi dalam bentuk penyakit pneumonia berat dan gangguan pernapasan. Wabah
penyakit ini terbukti disebabkan oleh sindrom pernapasan akut coronavirus 2 (SARS-CoV-2)
yang mana kini telah melanda dunia. Penyakit ini telah menyebar melintasi perbatasan negara-
negara, dan pada akhirnya menimbulkan pandemi global, namun saat ini tidak menunjukkan
peningkatan yang signifikan. SARS-CoV- 2, yang sebelumnya dikenal sebagai novel coronavirus
(2019-nCOV), adalah virus RNA untai tunggal positif yang berasal dari keluarga coronaviridae
(1). Saat ini tidak banyak bukti yang cukup kuat dari uji klinis acak untuk menunjukkan
peningkatan hasil atau penurunan tingkat kematian sehubungan dengan berbagai pilihan
pengobatan yang tersedia atau pengobatan profilaksis. Karena masih sedikitnya informasi
tentang virus ini dan juga pengobatan yang tersedia, pada penelitian kali ini, kami ingin berfokus
pada beberapa pilihan terapi terbaik serta membandingkan pengobatan tersebut dalam upaya
untuk menentukan pengobatan mana yang mungkin paling efektif. Kami mencoba untuk
menyoroti data klinis yang diterbitkan secara up-to-date dan strategi pengobatan untuk pandemi
ini sejauh ini.

Mengingat penyebaran yang cepat sejauh ini dan modalitas pengobatan baru yang masih dalam
pertimbangan, fokus utama kami terletak pada pemanfaatan ulang obat yang ada, dengan
beberapa uji coba yang sedang dilakukan guna untuk menemukan pengobatn yang paling
revolusioner.

MODALITAS PENGOBATAN YANG DIBANDINGKAN DAN DIKONTRASIKAN

Pilihan pengobatan yang tersedia untuk COVID-19 dan mekanisme aksi pengobatan tersebut
diuraikan secara singkat pada Tabel 1.

Chloroquine (CQ) / Hydroxychloroquine (HCQ)

CQ dan HCQ telah digunakan untuk menyembuhkan malaria selama 70 tahun. CQ dan HCQ
bekerja pada beberapa jalur masuk dan keluarnya virus dari sel dan menyebabkan gangguan
sintesis protein virus esensial (2). Aktivitas In Vitro CQ dan HCQ telah terbukti memiliki efek
penghambatan pada produksi mRNA SARS-CoV-2, dengan HCQ menunjukkan kemanjuran
yang lebih besar daripada CQ (3, 4). Akan tetapi, aktivitas in vitro tidak dapat diartikan sebagai
aktivitas klinis melawan COVID-19; aktivitas in vitro CQ / HCQ juga melawan banyak virus
lainnya, seperti virus Ebola (5), virus Chikungunya (6), virus influenza (7), HIV (8), dan virus
dengue (demam berdarah) (9), seperti apa yang telah dilaporkan sebelumnya, akan tetapi khasiat
klinis mereka tidak memenuhi seperti apa yang terlihat secara in vitro.

Dalam uji coba non-acak di Prancis pada 36 pasien yang mengidap COVID-19, HCQ diberikan
sendiri (tanpa dikombinaksikan dengan apapun) atau dikombinasikan dengan azitromisin.
Setelah 6 hari pengobatan, 100% pasien yang diobati dengan kombinasi hydroxychloroquine dan
azithromycin tidak terdeteksi mempunyai virus pada swab nasofaringnya dibandingkan dengan
57,1% pasien yang hanya diobati dengan hydroxychloroquine saja dan 12,5% dari kelompok
pembanding (p <0,001) (10). Dalam laporan lain dari Cina pada 100 pasien dengan COVID-19,
mereka yang diobati dengan HCQ menunjukkan hasil klinis yang lebih baik daripada pasien
pembandingnya (11).

Karena dipicu oleh media dan tekanan yang besar untuk meresepkan obat bagi pasien COVID-19
dan juga akibatnya pada persepsi umum tentang kemanjuran CQ / HCQ, beberapa dokter
mungkin beralih ke penggunaan off-label (penggunaan diluar ketentuan izin yang diberikan) dari
CQ / HCQ. Penggunaan off-label CQ / HCQ terjadi secara global, termasuk di beberapa rumah
sakit di AS, akan tetapi obat ini harus diakses secara hati-hati, karena CQ dan HCQ memiliki
perbedaan indeks terapeutik dan dapat menyebabkan perpanjangan interval QT, torsade de
pointes (gangguan irama jantung ventrikuler taki-kardi tipe poliorfik), aritmia (12), penekanan
sumsum tulang, kejang, retinopati, dan miopati.

Mengingat kurangnya bukti yang ada, kami menghimbau kepada organisasi kesehatan
masyarakat untuk bekerja sama secara efektif dengan pemerintah daerah untuk mendukung uji
coba acak terkontrol (RCT) guna menguji potensi efek terapeutik CQ / HCQ terhadap COVID-
19. Jika penggunaan etis, keamanan, dan khasiat klinis lanjutan dari CQ / HCQ dapat dipastikan
oleh RCT, seperti apa yang dianjurkan oleh WHO, hal ini akan menjadi kemajuan yang
signifikan dalam pengobatan pasien COVID-19. RCT multicenter global akan menjadi
pendekatan yang paling efektif untuk mengumpulkan data yang akurat tentang keamanan dan
khasiat klinis CQ / HCQ untuk pengobatan COVID-19, dan strategi ini akan menghasilkan data
yang kuat di masa mendatang (13).

Azitromisin

Azitromisin merupakan bakteriostatik yang termasuk dalam golongan asrolida yang menghambat
sintesis protein bakteri dan mengganggu pertumbuhan bakteri. Selain sifat antibakterinya,
Azitromisin juga dikenal memiliki efek antivirus. Karena khasiatnya, Azitromisin telah
digunakan untuk mengobati infeksi virus pada pernapasan (14).

Dalam studi non-acak kecil yang dilakukan oleh Gautret dkk. azitromisin dengan kombinasi
HCQ telah menunjukkan aktivitas antivirus yang substansial melawan SARS-CoV-2 (10).
Literatur tentang azitromisin sebagai pilihan pengobatan untuk COVID-19 cukup sulit
ditemukan, dan tidak jelas apakah makrolida dapat digunakan sendiri atau harus dikombinasikan
dengan HCQ. Masashi dkk. percaya bahwa makrolida saja (tanpa dikombinasikan dengan
apapun), atau dalam kombinasi dengan obat lain efektif dalam melawan SARS-CoV-2 (15).

Beberapa uji klinis sedang berjalan untuk memeriksa kemanjuran HCQ-azitromisin untuk
melawan SARS-CoV-2. Intervensi uji klinis sedang dilakukan guna menentukan kemanjuran dan
keamanan HCQ-azitromisin (16).

Remdesivir

Remdesivir adalah analog adenosin yang menghambat sintesis RNA virus baru dengan rantai
penghenti. Walaupun Remdesivir dikembangkan untuk digunakan melawan virus Ebola dan
virus Marburg (17), Remdesivir menunjukkan aktivitas antivirus terhadap banyak Virus RNA
lainnya seperti virus Lassa, virus respirasi syncytial, dan virus korona seperti SARS-CoV dan
MERS-CoV. Karena aktivitas antivirusnya terhadap SARS-CoV dan MERS-CoV, Remdesivir
ternyata juga telah diuji untuk melawan SARS-CoV-2.

Remdesivir mencapai hasil yang memuaskan di Ces1c (-/-) pada model tikus SARS. Hal ini
secara signifikan mengurangi titer virus paru-paru dan meningkatkan fungsi paru bila diberikan
satu hari setelah timbulnya penyakit (p <0,0001). Titer virus berkurang secara signifikan, akan
tetapi tingkat kematian tikus (yang mana sebagai model percobaan) akan tinggi bila Remdesivir
baru diberikan 2 hari setelah timbulnya penyakit. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ketika
cedera paru mencapai puncaknya, hanya dengan mengurangi titer virus tidak akan bisa lagi
menekan respon kekebalan yang kuat pada tikus, tetapi remdesivir dapat secara signifikan
menyembuhkan gejala dan juga menurunkan tingkat kematian (p = 0,0037) pada tikus bila
diberikan pada tahap awal (18).

Sebuah kasus telah dilaporkan di mana seorang pasien dengan Infeksi SARS-CoV-2
dikonfirmasi oleh RT-PCR (dilakukan pada swab nasofaring) menunjukkan peningkatan secara
drastis pada salah satu hari di mana remdesivir diberikan kepadanya (19). Karena spektrum
aktivitas anti-CoV yang luas dari remdesivir, uji klinis ganda secara acak telah direncanakan dan
masih berlangsung (20). Penelitian ini melibatkan 308 peserta yang secara acak menggunakan
remdesivir atau plasebo. Pada fase 3 acak lainnya dalam percobaan ganda, placebo yang
dikontrol oleh penelitian berfokus pada keamanan dan kemanjuran remdesivir pada 452 orang
dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan gejala pernapasan parah karena SARS-CoV-2 (21).

Dalam penelitian in vitro, remdesivir menghambat pertumbuhan CoV pada kelelawar dan CoV
pada manusia (22). Penelitian lain mengungkapkan bahwa remdesivir dan chloroquine sangat
efektif dalam melawan in vitro SARS-CoV- 2 (23).

Hasil awal uji klinis acak ganda fase 3 di rumah sakit mengenai plasebo yang terkontrol dengan
pasien mengidap COVID-19 mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan plasebo, remdesivir
menghasilkan waktu pemulihan yang lebih singkat (11 vs. 15 hari) (24).

Lopinavir / Ritonavir

Lopinavir penghambat protease HIV tipe 1 (HIV-1), menghentikan pertumbuhan HIV-1 dan juga
infektivitasnya (25). Ritonavir, yang juga merupakan penghambat protease, diberikan dalam
kombinasi dengan lopinavir untuk meningkatkan bioavailabilitas dengan cara menghambat
inaktivasi metaboliknya (25). Kombinasi ini dianggap sebagai agen antiretroviral yang sangat
efektif, dan beberapa penelitian bahkan menganjurkan penggunaan monoterapi sebagai pilihan
terapeutik pada pasien yang terinfeksi virus HIV tertentu (26). Bersama dengan obat lainnya
(chloroquine, chlorpromazine, dan loperamide), lopinavir diklaim dapat menghambat in vitro
replikasi MERS-CoV dan SARS-CoV (27). Pada pasien yang mengidap SARS yang mana
berhubungan dengan infeksi SARS-CoV, kombinasi lopinavir/ritonavir dan ribavirin
menghasilkan tingkat sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) yang lebih rendah atau
kematian yang lebih sedikit pada hari ke 21 jika dibandingkan dengan kelompok pembanding
yang dirawat dengan ribavirin saja (2,4 vs. 28,8%, p <0,001) (28). Kombinasi lopinavir/ritonavir
dan ribavirin juga menurunkan dosis steroid dan mengakibatkan penurunan insiden infeksi
nosokomial (28). Lopinavir/ritonavir juga mengurangi kematian pada marmoset (monyet kecil)
dengan penyakit yang serupa dengan MERS. Tingkat kematian pada 36 jam pasca inokulasi
adalah 0-33% dengan pengobatan lopinavir/ritonavir vs. Tingkat kematin 67% yang tidak diobati
atau hewan yang diobati hanya dengan mikofenolat (29). Sebuah kasus dilaporkan di dimana
pasien dengan pneumonia MERS-CoV membaik dan menunjukkan pembersihan virus setelah 6
hari menjalani terapi tiga antivirus dengan lopinavir/ritonavir, ribavirin, dan interferon pegilasi
(IFN) -alpha 2a (30). Dalam kasus lain, pasien dengan pneumonia MERS-CoV yang kemudian
berkembang menjadi gagal ginjal, mulai menjalani terapi tiga antivirus (lopinavir/ritonavir,
ribavirin, dan pegylated interferon) dan menunjukkan resolusi viremia 2 hari setelah pengobatan
dimulai, meskipun pelepasan virus terus berlanjut, penting untuk melakukan pengobatan
ribavirin lebih awal (31).

Mengingat efektivitas lopinavir/ritonavir terhadap MERS-CoV dan SARS-CoV, hal ini


kemudian diuji untuk pengobatan SARS-CoV-2. Lopinavir, tetapi bukan ritonavir, menghambat
masuknya replikasi in vitro SARS-CoV-2 (32). Lopinavir/ritonavir direkomendasikan untuk
pengobatan pneumonia SARS-CoV-2 di Cina (33). Sebuah laporan kecil menunjukkan bahwa
dari empat pasien (dua dengan pneumonia SARS-CoV-2 ringan dan dua dengan pneumonia
berat) diobati dengan lopinavir / ritonavir, umifenovir, dan Shufeng Jiedu Capsule (obat
tradisional China), menunjukkan bahwa tiga pasien mengalami peningkatan yang signifikan dan
sembuh, sementara pasien lain (dengan pneumonia berat) menunjukkan tanda-tanda kesembuhan
(34). Pada pasien dengan pneumonia SARS-CoV-2 ringan, pemberian lopinavir/ritonavir
menyebabkan penurunan jumlah virus dari hari berikutnya, dan virus titer kemudian tidak
terdeteksi (35). Penulis menyoroti bahwa penurunan titer virus bisa terjadi karena faktor alami
dari penyakit; Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan efek
langsung antivirus lopinavir/ritonavir. Wanita muda lain yang diobati dengan lopinavir/ritonavir
untuk pneumonia SARS-CoV-2 menunjukkan kemajuan setelah 7 hari terapi pengobatan (36).
Favipiravir

Favipiravir menghambat RNA polimerase yang bergantung pada RNA (RdRp) dari Virus RNA
(tetapi bukan RNA seluler dan sintesis DNA) (37) dan menunjukkan spektrum aktivitas antivirus
yang luas melawan virus RNA (38). Favipiravir (T-705) dapat menyebabkan mutasi pada genom
virus influenza, yang mengurangi infektivitas in vitro virus. Mekanisme mutagenesis mematikan
ini diusulkan untuk menjadi mekanisme antivirus utama favipiravir (39). Favipiravir awalnya
dikembangkan melawan virus influenza (38) dan merupakan obat efektif yang pertama melawan
infeksi virus Ebola pada hewan percobaan (40). Favipiravir telah menunjukkan efektivitas in
vitro melawan virus rabies (RABV) tetapi tidak efektif secara in vivo, terutama setelah
neuroinvasion. Meskipun favipiravir menghentikan replikasi RABV di lokasi inokulasi pada
tikus, favipiravir tidak efektif di CNS, yang berarti metode penetrasi yang memadai ke dalam
CNS perlu dibuat (41). Uji klinis acak di China membandingkan kemanjuran favipiravir dan
umifenovir untuk gejala sedang dan menunjukkan bahwa favipiravir lebih unggul dibanding
umifenovir. Favipiravir memiliki tingkat pemulihan yang lebih tinggi (71,4 vs 55,9% untuk
masing-masing favipiravir dan umifenovir; p = 0,0199). Waktu untuk meredakan batuk dan
menurunkan demam dengan favipiravir juga lebih pendek dibandingkan dengan umifenovir (p
<0,0001) (42). Uji klinis lebih lanjut favipiravir pada pasien dewasa dengan pneumonia SARS-
CoV-2 telah disetujui di China (43), dan uji coba serupa sedang dilakukan di Universitas
Harvard dan juga di Jepang.

Ribavirin

Ribavirin adalah analog guanosin yang bertindak sebagai terminator rantai dengan menghambat
RNA polimerase (44). Potensi mekanisme alternatif dapat mencakup penggabungannya ke dalam
HCV genom, yang mana menyebabkan mutasi dan menghasilkan produksi keturunan virus yang
rusak dalam proses yang disebut "error catastrophe" (45), atau penghambatan inosine
monophosphate dehydrogenase (46). Ribavirin digunakan dalam kombinasi dengan interferon
pada pasien dengan hepatitis C kronis (47) dan menunjukkan hasil yang baik pada pasien dengan
virus sinsisial pernapasan (RSV), terutama pasien yang mengalami gangguan kekebalan (48).

Selain itu, penggunaan ribavirin kortikosteroid pada pasien dengan pneumonia SARS-CoV
menghasilkan penyembuhan demam dan kekeruhan paru dalam 2 minggu (49). Dalam penelitian
lain di Kanada, ribavirin diberikan pada pasien dengan kemajuan klinis, tetapi tidak ada manfaat
yang jelas ditemukan. Namun, penelitian ini menyoroti efek samping ribavirin, dikarenakan 49%
pasien menunjukkan penurunan kadar hemoglobin 2 g/dL, dan 76% pasien menunjukkan tanda-
tanda hemolisis, didiagnosis 1,5 kali peningkatan bilirubin atau penurunan tingkat haptoglobin
(50). Pada sekolompok 31 pasien dengan SARS, 1 pasien sembuh dengan antibiotik saja, 17
menunjukkan respon cepat terhadap kombinasi terapi (ribavirin dan methylprednisolone),
sedangkan sisanya dibutuhkan terapi step-up atau pulsed methylprednisolone. Hal ini menyoroti
pentingnya terapi ribavirin pada penyakit SARS (51). Ribavirin, bila digunakan dalam kombinasi
dengan interferon β, menghambat Replikasi virus korona terkait SARS secara in vitro. Pada
penelitian lain, hal ini menunjukkan aktivitas antivirus terhadap virus corona SARS saat
digunakan secara sinergis dengan interferon 1α dan interferon β (52, 53). Dalam penelitian lebih
lanjut, hal ini mampu menurunkan jumlah virus pada lima dari delapan pasien (54). Ribavirin
dan interferon α2a diberikan pada pasien MERS-CoV dan menghasilkan 14/20 (70%)
kelangsungan hidup dibandingkan dengan 7/24 (29%) kelangsungan hidup tanpa pengobatan
pada hari ke-14 (p = 0,04) tetapi hasil menunjukkan bahwa 6/20 (30%) kelangsungan hidup pada
kelompok yang diberikan pengobatan vs. 4/24 (17%) kelangsungan hidup pada pasien tanpa
pengobatan pada hari ke 28 (p = 0,54). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok
selanjutnya (55). Hal ini tidak menunjukkan manfaat apa pun bagi pasien SARS-CoV (56, 57).
Ribavirin digunakan dengan interferon α di MERS-CoV menghasilkan peningkatan dalam 4 hari
pada satu pasien dan 6 hari pada pasien lainnya (58). Tidak ada manfaat pengobatan terlihat
dengan ribavirin di MERS-CoV setelah meta-analisis (59, 60). Ribavirin menunjukkan efek
antivirus in vitro terhadap SARS-CoV-2 (24). Ribavirin dapat digunakan untuk COVID-19 (61),
dan juga direkomendasikan untuk digunakan pada COVID-19 melalui infus intravena (62),
karena ini terikat erat dengan SARS-CoV-2 RdRp dan menghentikan fungsi polimerase (63).
Namun, kami membutuhkan uji coba kontrol acak untuk menjelaskan potensi antivirus ribavirin.
Selain itu, ribavirin harus digunakan dalam kombinasi dengan interferon atau lopinavir/ritonavir
untuk meningkatkan aktivitas antivirusnya melawan SARS-CoV-2.

Ivermektin

Obat antiparasit yang telah disetujui FDA (Food and Drug Administration) ini terbukti
menghentikan replikasi in vitro SARS-CoV-2, yang ditunjukkan dengan penurunan beberapa
kali lipat dalam sampel yang diobati dengan virus RNA ivermectin (64). Akan tetapi, evaluasi
lebih lanjut diperlukan untuk menentukan kemanjurannya dalam melawan COVID-19 pada
manusia. Ivermectin juga menunjukkan spektrum aktivitas antivirus yang luas. Ivermectin
menghambat replikasi virus demam kuning, dan secara khusus menargetkan aktivitas helikase
NS3 (65). Ivermectin juga menghambat HIV-1 (66) dan replikasi virus Dengue (66, 67) dengan
menghambat importin alpha/beta yang memfasilitasi pengangkutan protein antara sitoplasma dan
nukleus karena virus-virus tersebut menggunakan protein ini untuk replikasi mereka.

Imunoglobulin

Antibodi IgG memiliki dua bagian fungsional: fragmen Fab, yang membantu dalam pengenalan
antigen, dan fragmen Fc, yang membantu dalam aktivasi sistem kekebalan (68). Intravena
imunoglobulin (IVIG) secara efektif digunakan untuk autoimun penyakit dan penyakit inflamasi
kronis seperti lupus, multiple sclerosis, penyakit Kawasaki, dan dermatomiositis (69, 70).
Imunoglobulin telah digunakan untuk pengobatan berbagai bakteri, virus, dan infeksi jamur pada
manusia dan dalam banyak model percobaan (71, 72).

Demikian pula, infeksi SARS-Cov-2 dapat diobati dengan menggunakan antibodi poliklonal dari
pasien COVID-19 yang telah sembuh (73). Namun, akan lebih baik mengekstrak imunoglobulin
dari pasien di kota atau area yang sama, dengan gaya hidup, diet, dan lingkungan yang terlibat
dalam pengembangan spesifik antibodi melawan virus. IgG imun yang dikumpulkan di China
mungkin berbeda dari yang dikumpulkan di Eropa atau Amerika Serikat (74).

Dalam rangkaian kasus yang tidak terkontrol, lima pasien COVID- 19 menggunakan ventilator
dan menerima metilprednisolon dan agen antivirus yang ditransfusikan dengan plasma
konvalesen yang mengandung antibodi spesifik SARS-CoV-2 (IgG) pada titer pengikatan> 1:
1.000 yang telah diperoleh dari lima pasien COVID- 19. Plasma konvalesen ditransfusikan
antara hari 10–22 setelah masuk ke rumah sakit. Dari lima pasien, tiga telah berhenti
menggunakan ventilator setelah 2 minggu, dan empat dari lima sembuh dari ARDS setelah 12
hari transfusi plasma konvalesen. Tiga pasien dipulangkan setelah 51-, 53-, dan 55-hari tinggal di
rumah sakit, dan dua sisanya dalam kondisi stabil setelah 37 hari transfusi plasma konvalesen
(75). Ada beberapa keterbatasan pada studi di atas. Pertama, studi ini adalah rangkaian kasus
kecil tanpa pasien pembanding, dan kedua, pasien-pasien ini sudah diberi agen antivirus dan
steroid.
Metode terapi antibodi pasif ini dapat memberikan pengobatan efektif melawan pandemi
COVID-19 yang sudah meningkat secara pesat (76). Walaupun antibodi serum telah digunakan
sebagai pengobatan untuk waktu yang relatif lama, uji klinis lebih lanjut dengan kelompok
pembanding diperlukan untuk mendukung gagasan penggunaan serum antibodi sebagai pilihan
pengobatan untuk COVID-19.

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah kelas hormon steroid yang berperan penting secara fisiologis dalam
inflamasi dan sistem kekebalan. Penggunaan kortikosteroid untuk COVID-19 telah menjadi
kontroversi sejak awal wabah penyakit ini (77). Dulu, kortikosteroid telah banyak digunakan
untuk pengobatan selama wabah SARS-CoV karena efeknya pada berbagai sitokin [IL-1, IL-6,
IL-8, IL- 12, dan nekrosis tumor factor-α (TNF-a)] (78, 79). Penelitian pada manusia telah
menunjukkan bahwa kortikosteroid efektif dalam mengurangi kerusakan patologis, akan tetapi,
perhatian utama terletak pada efek sampingnya, seperti sindrom pernapasan akut (79).

Sebuah penelitian dilakukan pada pengobatan pernafasan babi yang mengidap Coronavirus
dengan deksametason dan menunjukkan bahwa satu atau dua dosis pada tahap awal efektif
dalam mengurangi respon pro-inflamasi, akan tetapi penggunaan jangka panjang mungkin dapat
meningkatkan replikasi virus (80). Studi lain di Cina telah dilakukan di mana Pasien SARS-CoV
dibagi menjadi empat kelompok; dan ini menunjukkan bahwa steroid dosis awal dan tinggi
dengan kuinolon memiliki respon yang efektif (56).

Sebuah uji klinis acak akan dilakukan untuk menentukan efektivitas glukokortikoid sistemik
pada pasien dengan pneumonia berat virus novel corona (6). Penggunaan ortikosteroid pada
COVID-19 cukup kontroversial karena risikonya yang dapat menyebabkan sindrom pernapasan
akut dan peningkatan replikasi virus lebih lanjut (81).

Interferon

Interferon adalah protein alami yang diproduksi dan disekresikan oleh sel-sel sistem kekebalan,
misalnya, sel darah putih, sel epitel, dan fibroblas. Terdapat tiga kelas utama interferon (alfa,
beta, dan gamma). Setiap kelas memiliki perbedaan dan aksi yang beragam. Interferon
meningkatkan sistem kekebalan terhadap antigen penyerang, seperti virus dan bakteri, dan juga
mempengaruhi tidak hanya sel yang dirangsang tetapi juga sel tetangga (neighboring cells) (82).
Ulasan literatur menyoroti bahwa interferon telah digunakan selama bertahun-tahun melawan
virus yang muncul saat tidak ada pilihan pengobatan lain yang tersedia (83). Interferon juga telah
digunakan untuk SARS-CoV dan MERS-CoV di masa lalu dan telah menunjukkan hasil yang
signifikan, baik secara in vitro maupun in vivo dalam mengurangi replikasi virus (83-86).
Interferon sering digunakan dalam kombinasi dengan ribavirin atau lopinavir/ritonavir, tetapi
sebagian besar potensi manfaatnya tidak memenuhi harapan. Hal ini mungkin dikarenakan
pengololaan mereka di kemudian hari, pada pasca infeksi, dan pada tahapannya (59).

Pada penelitian sebelumnya, kita dapat berasumsi bahwa interferon mungkin merupakan pilihan
pengobatan yang efektif melawan SARS-CoV-2 (87). SARS-CoV dan MERS-CoV dapat
mengganggu jalur sinyal interferon dengan menghambat protein yang terlibat dalam ekspresi
interferon, seperti Orf6 dan Orf3b (88). Sensitivitas in vitro SARS-CoV-2 yang berlebihan
terhadap interferon dapat berpotensi terjadi karena SARS-CoV-2 mungkin telah kehilangan
tindakan anti-interferon karena terpotongnya protein Orf6 dan Orf3b mereka (89). Hal ini
menunjukkan bahwa interferon mungkin merupakan pilihan pengobatan potensial yang lebih
baik pada SARS-CoV-2 daripada SARS-CoV. Karena pengobatan interferon lebih efektif pada
tahap awal, interferon dapat digunakan sebagai profilaksis melawan SARS-CoV-2, dan ini
selanjutnya didukung oleh kemanjuran in vitro dari aksi awal interferon dalam melawan virus
(89). Shen dkk. menyatakan bahwa interferon-2α secara efektif dapat mengurangi tingkat infeksi
SARS-CoV-2, yang selanjutnya mendukung hipotesis di atas (90).

Pedoman yang direkomendasikan untuk pengobatan SARSCoV- 2 di Cina termasuk pemberian 5


juta unit interferon α melalui inhaler yang dikombinasikan dengan oral ribavirin dua kali sehari
(62). Keuntungan dari terapi inhalasi adalah mereka langsung bekerja di saluran pernapasan;
Namun, farmakokinetik dan farmakodinamik dari rute ini tidak diketahui secara pasti (87). Uji
klinis sedang dilakukan untuk menentukan keefektifan interferon α dengan ribavirin dan
lopinavir/ritonavir pada pasien COVID-19 (91).

Karena sensitivitas SARS-CoV-2 yang lebih besar terhadap interferon α dibandingkan dengan
anggota keluarganya (SARS-CoV dan MERSCoV), ini dapat digunakan sebagai pilihan
pengobatan yang efektif untuk pasien COVID- 19. Namun, kita perlu menunggu hasil dari uji
klinis yang saat ini sedang berlangsung untuk memahami khasiat interferon yang tepat (87).
Tocilizumab

Tocilizumab adalah recombinant anti-human interleukin (IL)-6 antibodi monoklonal reseptor. Ini
mengikat kedua ikatan membran dan reseptor IL-6 yang terlarut (IL-6R) dan mencegah kaskade
inflamasi lebih lanjut (92). Dapat kita lihat bahwa pasien SARSCoV-2 yang kritis mengalami
lonjakan sitokin inflamasi, yang mana dapat disebut dengan badai sitokin, seperti yang terlihat
sebelumnya pada SARS dan MERS. Penanda inflamasi ini (IL-1B, IL-1RA, IL-7, IL- 8, IL-9,
IL-10, faktor pertumbuhan fibroblast, faktor perangsang koloni makrofag granulosit, IFNγ,
faktor perangsang granulosit-koloni, protein yang diinduksi interferon-g, faktor pertumbuhan
yang diturunkan dari monosit, TNFα, dan faktor pertumbuhan endotel vaskular) cukup tinggi
pada pasien COVID-19, menyebabkan peradangan sistemik dan kegagalan banyak organ (93,
94). IL-6 dan IL-2 reseptor (IL-2R) dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan
COVID-19 yang terkait dengan pneumonia karena perbedaan yang signifikan antara tingkat IL-6
dan IL-2R yang terlihat di antara ketiga kelompok yang dibedakan secara klinis (p <0,05).
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin parah penyakitnya, semakin tinggi tingkat IL-6
dan IL-2R (95). Beberapa laporan lain menunjukkan peningkatan kadar IL-6 pada pasien
COVID-19 yang kritis (96). IL-6 adalah substansi kunci dalam sindrom pelepasan sitokin. Oleh
karena itu, memblokir IL-6R dengan tocilizumab dapat menyelamatkan pasien dengan COVID-
19 yang parah (97). Dalam uji klinis kecil di China, 21 pasien dengan COVID-19 yang parah
atau kritis diobati dengan tocilizumab. Dalam beberapa hari pengobatan, demam pada semua
pasien hilang, 15/20 (75%) hanya membutuhkan lebih sedikit oksigen (satu tidak membutuhkan
oksigen), dan CT scan menunjukkan resolusi lesi paru pada 19/21 (90,5%) pasien. Limfosit pada
10/19 (52,6%) pasien dan protein C-reaktif (CRP) pada 16/19 (84,2%) pasien juga kembali
normal (98). Dalam penelitian retrospektif lain, tocilizumab diberikan kepada 15 pasien dan
menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini terlihat pada Tingkat CRP yang mana turun
dari 126,9 (10,7–257,9) menjadi 11,2 (0,02–113,7) mg / L (p <0,01) (99). Banyak kasus
individual telah dilaporkan di mana penggunaan tocilizumab menghasilkan peningkatan yang
signifikan pada pasien. Seorang pasien berusia 60 tahun dengan riwayat multiple myeloma
sebelumnya mengalami sesak dada, dan CT dadanya menunjukkan beberapa bercak putih
(ground-glass Opacities). Dia dirawat dan diberi moxifloxacin selama 3 hari. Kemudian, dia
diberi umifenovir (arbidol), karena telah diagnosis COVID-19 oleh real-time RT-PCR yang
dijalankan melalui swab nasofaring.
Dua minggu kemudian, dia dipindahkan ke rumah sakit lain karena sesak dadanya semakin
memburuk dan saturasi oksigennya menjadi rendah. CT scan menunjukkan beberapa bercak
putih (ground-glass opacities) bilateral. Dia diberi metilprednisolon pada hari ke 2-6 untuk
menyembuhkan sesak dada dan dispneanya. Pasien tersebut masih memiliki beberapa bercak
putih (ground-glass opacities) bilateral pada CT dada yang dilakukan pada hari ke 8. Hasil
laboratoriumnya menunjukkan kadar IL-6 serum yang tinggi, lalu kemudian dia diberikan 8
mg/kg IV tocilizumab. Alhasil, tingkat IL-6-nya mulai menurun, sesak dadanya membaik, dan
CT-nya pada hari ke-19 menunjukkan penurunan bercak putih (ground-glass opacities) (100).

Pasien lainnya yang berusia 42 tahun dengan riwayat karsinoma sel ginjal muncul dengan
demam dan menerima ceftriaxone. Setelah 6 hari, ia menderita batuk dan demam, dan hasil real-
time PCR nya untuk SARS-CoV-2 positif. CT scan lebih lanjut menunjukkan bercak putih
bilateral, dan dia mulai diberi lopinavir/ritonavir (selama 5 hari) pada hari ke 7. Pada hari ke 8, ia
mengalami dispnea dengan penurunan saturasi oksigen dan diberikan suplementasi oksigen. Dia
diberi dua dosis tocilizumab, yang berjarak 8 jam, dan kondisinya mulai membaik. Pada hari ke
12, regresi parsial infiltrat paru dan bercak putih terlihat pada CT dada. CRP-nya (penanda badai
sitokin) menurun dari 225 mg/L menjadi 33 mg/L dalam 4 hari (101).

Seorang pasien pria 45 tahun dengan riwayat penyakit sel sabit dihadapkan dengan krisis vaso-
oklusif, tidak memiliki penyakit paru, tidak memiliki dispnea, tidak batuk, tidak demam, dan
saturasi oksigen 98%. Pada hari pertama, pasien mengalami demam, dan saturasi oksigennya
turun menjadi 91% dengan krepitasi auskultasi. Dia lalu diberi asam amoksisilin-klavulanat dan
hidroksikloroquin, sementara spesimen dikirim untuk pengujian RT-PCR untuk SARS-CoV- 2.
Pada hari ke 3, saturasinya turun menjadi 80% dan CT dadanya menunjukkan temuan abnormal
yang konsisten dengan SARS-CoV-2 terkait pneumonia dan sindrom dada akut. Setelah RT-PCR
menunjukkan SARS-CoV-2, tocilizumab dengan dosis tunggal disuntikkan dan pasien membaik
lalu dipulangkan setelah transfusi darah (hemoglobinnya rendah) (102).

Kasus-kasus ini menyoroti bahwa tocilizumab dapat digunakan dalam mengobati pasien
COVID-19 yang memiliki kerusakan saluran pernapasan dengan membatasi kerusakan paru
terkait sitokin.
VAKSIN

Vaksinasi dapat menjadi satu-satunya opsi pengobatan definitif dan preventif untuk COVID-19.
Sejumlah uji klinis vaksin sedang dilakukan. Uji klinis oleh Universitas Oxford saat ini dalam
fase 2/3 (103), dan uji coba fase 2 lainnya oleh Institut Bioteknologi, Akademi Medis Militer
Sains, PLA China sedang berlangsung. (104).

KESIMPULAN

Setelah meninjau sejumlah penelitian dan laporan kasus, kami menyimpulkan bahwa remdesivir
dan hydroxychloroquine/chloroquine dengan atau tanpa azitromisin merupakan pilihan
pengobatan yang menjanjikan untuk pasien dengan COVID-19 ringan maupun sedang. Namun,
terapi tocilizumab dan imunoglobulin tampaknya efektif dalam mengobati penyakit yang sudah
parah. Uji coba kontrol acak yang melibatkan seluruh dunia sangat dibutuhkan guna menentukan
kemanjuran dan opsi pengobatan potensial yang tersedia ini.

Anda mungkin juga menyukai