Anda di halaman 1dari 8

CRITICAL REVIEW

The Glass Ceiling of Corporate Social Responsibility


Consequences of a Business Case Approach Towards CSR
International Journal of Sociology and Social Policy (2010) 30:618–631
Oleh: Andre´ H.J. Nijhof dan Ronald J.M. Jeurissen

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Seminar Akuntansi

Dosen Pengampu:

Drs. Subekti Djamaluddin, MSi., Ak, CA.

Disusun oleh Kelompok 1:

Abdu Rosulla Kusuma (F0312001)


Andika Dwi Sasmito (F0312010)
Echsan Nur Ridho (F0312142)
Rezinatun Chommufi (F0312101)
Ridho Dharul Fadli (F0312102)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SEMESTER GENAP (FEBRUARI-JULI) TA 2014/2015
A. Deskripsi Artikel
1. Judul Artikel
The glass ceiling of corporate social responsibility Consequences of a business case
approach towards CSR.
2. Penulis
Andre´ H.J. Nijhof dan Ronald J.M. Jeurissen
3. Publikasi
International Journal of Sociology and Social Policy (2010) 30:618–631
4. Masalah Pokok
Corporate Social Responsibility
5. Tujuan Penelitian
Untuk membuktikan dalam pengimplementasian CSR terdapat keterbatasan yaitu adanya
“glass ceiling”

B. Ringkasan Artikel
1. PENDAHULUAN

Pada tahun 2007, pimpinan bank besar di Eropa memutuskan untuk lebih mengintegrasikan
corporate social responsibility (CSR) sebagai inti proses organisasi mereka. Mereka telah lama
mengenal bakti sosial, kredit mikro, green funds dan transparansi laporan; namun CSR belum
menjadi kunci dalam aktivitas peminjaman dan investasi. Dan sejak saat itu mereka mulai untuk
menilai setiap aspek kliennya, tidak hanya dari sisi keuangan, tetapi juga aspek pertanggung
jawaban sosial. Untuk mengimplementasikan hal tersebut, manajer menuliskan peraturan ini ke
dalam kebijakan baru. Semua karyawan pada bagian analis keuangan harus mengikuti sesi kelas
CSR dan checklist CSR pun dibuat pada beberapa sektor perusahaan klien. Namun dalam
praktiknya, karyawan menganggap penilaian CSR tersebut sebagai proyek yang sia-sia, mereka
hanya sekedar mengisi checklist tanpa berusaha menyilidiki karakteristik CSR kliennya.
Ternyata mereka kurang mengerti mengenai analisis CSR. Manajer pun melakukan diskusi agar
mereka dapat membuat nilai tambah bagi bank dan kliennya. Hingga pada akhirnya mereka
mengerti bahwa bank memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana klien mengelola bisnisnya.
Setelah itu, mereka mulai semakin merasakan CSR sebagai bagian penting dari fungsi mereka,
dan mampu melakukan penilaian yang lebih substantif atas masalah-masalah CSR.
Kasus di atas menggambarkan bahwa CSR telah bergeser dari landasan moral, sebagai
keadaan mendesak untuk alas an kesuksesan bisnis. Selain itu, penulis berpendapat bahwa CSR
akan terasa tidak relevan dan dibatasi jika dia kehilangan makna etisnya; dan makna etis ini
terancam oleh pendekatan CSR dalam konteks bisnis.

2. PENDEKATAN KASUS BISNIS TERHADAP CSR


2.1 Pembentukan Konsep CSR

Istilah CSR mulai familiar di tahun 90-an. Industri mulai memperhatikan masalah sosial,
tidak hanya laba. Praktik tanggung jawab social bukan merupakan hal yang baru. Yang baru
adalah intensitas dan luasnya upaya perusahaan swasta dalam hal ini, serta tuntutan masyarakat
agar mereka semakin memiliki sikap yang bertanggung jawab pada sosial. Istilah CSR pun
berkembang, dari kegiatan dana social menjadi sebuah strategi perusahaan ke masyarakat.
Habisch dan Jonker dalam Nijhof dan Jeurissen (2010) menekankan perusahaan, NGO, dan
pemerintah adalah agen yang membentuk konsepCSR.

Berbeda dengan Amerika, Komisi Eropa menolak peran pemerintah sebagai agen yang
membentuk konsep CSR, mereka hanya menyusun interaksi antara perusahaan dan pemangku
kepentingannya. The EU Green Paper ‘‘Promoting a European Framework for Corporate Social
Responsibility’’ (dalam Nijhof & Jeurissen, 2010) mendefinisikan CSR sebagai konsep integrasi
perusahaan dengan social dan lingkungan di mana perusahaan beroperasi dan berinteraksi
dengan pemangku kepentingannya atas dasar pengorbanan. Definisi ini menekankan bahwa
perusahaan mempunyai tanggung jawab pada seluruh pemangku kepentingannya, tidak hanya
pemegang saham. Pandangan ini menekankan pada penyebaran teori stakeholder, bahwa bisnis
perlu member tanggung jawab pada kelompok sosial yang terpengaruh, dan mempengaruhi
bisnis (Freeman dalam Nijhof & Jeurissen, 2010).

Seluruh perspektif CSR tersebut dapat diterjemahkan ke dalam beberapa pendekatan CSR,
seperti tiga pendekatan yang dikenalkan Windsor (Nijhof & Jeurissen, 2010), yaitu pendekatan
etis untuk mengutamakan kepentingan orang lain (teoritis), pendekatan penciptaan kekayaan
(teori ekonomi), dan pendekatan hak dan kewajiban negara (teori politik). Berger et. al (Nijhof &
Jeurissen, 2010) member pandangan yang berbeda. Pertama, terdapat model dorongan nilai
sosial yang serupa dengan pendekatan etis Windsor. Kedua, model pelayanan pada komunitas,
yang hampir sama dengan teori politik Windsor. Dan, pendekatan kasus bisnis yang relevan
dengan artikel ini. Pendekatan bisnis ditandai dengan asumsi bahwa usaha CSR harus disahkan
dengan argumen peningkatan laba perusahaan. Dengan ini, CSR lebih tepat diterjemahkan
melalui perspektif cost-benefit (McWilliams et al, dalam Nijhof & Jeurissen, 2010).

2.2 Pendekatan Kasus Bisnis terhadap CSR

Pada pandangan pertama, pendekatan kasus bisnis terhadap CSR tampak seperti oxymoron.
Memecahkan masalah lingkungan dan berhadapan dengan masalah social akan melibatkan biaya.
Hal ini akan member kerugian, sehingga sulit untuk menerima bahwa CSR dapat meningkatkan
laba perusahaan (Van den Ven & Jeurissen, dalam Nijhof & Jeurissen, 2010). Weber dalam
Nijhof & Jeurissen (2010) memberikan lima poin kunci sisi positif CSR, yaitu:

a. Efek positif pada reputasi perusahaan.


b. Efek positif pada motivasi, rekruitmen, dan hak karyawan
c. Tabungan biaya
d. Peningkatan pendapatan atas peningkatan penjualan dan perluasan pasar
e. Pengurangan risiko

Beberapa penilitian empiris membuktikan hubungan positif antara CSR dan laba perusahaan,
dengan mengukur hubungan corporate social performance (CSP) dan corporate financial
performance (CFP). Dengan model Margolis & Walsh dan Orlitzky et al. (dalam Nijhof &
Jeurissen, 2010), hasil yang diperoleh pun bermacam-macam. Ada penelitian yang menunjukkan
hasil positif, negatif bahkan tak jarang yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang
signifikan. Oleh karenanya, penelitian ini akan menghasilkan refleksi apa yang sebenarnya
diukur. Tidak harus selalu mengukur hubungan CSR dan CFP, tetapi bisa juga melihat adanya
hubungan biaya CSR yang lebih sering dilakukan oleh perusahaan yang lebih profitable.

2.3 Model Fase yang Berhubungan dengan Pendekatan Kasus Bisnis terhadap CSR

Dunphy (dalam Nijhof & Jeurissen, 2010) membuat model yang menggambarkan fase-fase
kematangan CSR perusahaan. Model tersebut tidak menekankan masalah etika pada setiap
fasenya. Kecuali pada fase terakhir, yang mana etika mulai memegang peran yang besar. Lalu
akankah perusahaan dapat mencapai kematangan CSR, jika di awal fase etika tidak ditekankan?
Peneliti berpendapat bahwa etika sudah dulu dimulai sepanjang karir CSR perusahaan, dan
perusahaan akan semakin jelas perannya sebagai aktor etis di fase terakhir nanti. Tidak mungkin
perusahaan dapat melewati setiap fase tanpa pemahaman terhadap etika.

Argumen penting mengenai pendekatan bisnis datang dari pakar etika bisnis yang tidak
percaya akan perusahaan individual dapat memenuhi tanggung jawab sosial dengan baik
(Boatright; Homann and Blome-Drees; Homann & Lu¨tge, dalam Nijhof & Jeurissen, 2010).
Mereka berpendapat bahwa etika bisnis akan terorganisir dengan baik jika dilakukan oleh
institusi, daripada oleh aktor individual. Dalam hal ini, peneliti akan mendiskusikan bahwa
tanggung jawab sosial individual tidak bisa diganti dengan institusional, untuk alasan yang
berhubungan dengan ketidaksempurnaan institusi tersesbut.

3. TUJUAN PENDEKATAN BISNIS TERHADAP CSR

Terdapat beberapa pihak merasa keberatan mengenai adopsi pendekatan kasus bisnis
dalam membahas tanggung jawab sosial perusahaan. Ini bias disebut sebagai pendekatan
instrumental tanggung jawab sosial perusahaan yang menarik untuk dibahas dari peilaku bisnis
agar muncul pembenaran moral, tetapi terdapat resiko yaitu hanya mencari reputasi atau nama
baik tanggung jawab sosial saja bukan hasil akhir dari kesejahteraan sosial.

Sebelum membahas tentang mekanisme internal yang menghambat dampak potensial dari
pendekatan kasus bisnis untuk tanggung jawab sosial perusahaan, akan glass ceiling kaca dari
tanggung jawab sosial perusahaan. Sebenarnya kebanyakan dari tidak menyadari akan
keterbatasan yang merupakan hasil dari efek tidak langsung dari pendekatan kasus bisnis untuk
tanggung jawab sosial perusahaan.

A. Pendekatan kasus bisnis untuk tanggung jawab sosial perusahaan menghasilkan kesempatan

Bersandar pada teori ketergantungan sumber daya perusahaan akan mengupas glass
ceiling. Untuk itu perlu sumber daya dari berbagai pemangku kepentingan. Seperti stakeholder
yang dapat member penghargaan atau memberi hukuman dan pihak lain yang mendukung
dampak positif dari perusahaan kepada masyarakat. Jadi, perusahaan melakukan kebaikan maka
perusahaan mendapat kebaikan pula.

Dengan asumsi berbuat baik maka orang lain berbuat baik, menjadikan perusahaan agar
berperilaku lebih bertanggung jawab dan tanggung jawab sosial perusahaan selalu masuk akal
dalam bisnis. Sehingga etika yang baik akan menghasilkan bisnis yang baik. Sebab semua klien
mengharapkan perusahaan berperilaku secara bertanggung jawab.

B. Pendekatan kasus bisnis kepada blokade kelembagaan tanggung jawab sosial yang utuh

Karena perkembangan sosial di kalangan masyarakat memengaruhi suasana hidup dalam


perusahaan seperti globalisasi dan debat mengenai tanggung jawab sosial perusahaan
menyebabkan karyawan mengakui bahwa globalisasi serta tanggung jawab sosial perusahaan
atau CSR adalah penting untuk memasukkan tanggung jawab yang lebih luas dalam pengambilan
keputusan perusahaan. Terutama tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR bukan hanya
melakukan bisnis seperti bisnis tetapi bisnis secara bertanggung jawab dalam pasar yang dinamis
yang memiliki banyak resiko dan peluang. Untuk mengubah pola piker karyawan mengenai
tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR pola piker perusahaan harus berubah terlebih
dahulu. Dengan begitu dapat melihat peluang untuk bertindak lebih bertanggung jawab dan
bahkan menciptakan manfaat jangka panjang bagi organisasi.

C. Pendekatan kasus bisnis untuk mengusir motivasi intrinsic untuk tanggung jawab sosial
perusahaan

Karyawan yang menganggap dirinya otonom, kompeten dan mengerjakan sesuatu yang
lebih besar dari diri mereka sendiri akan cenderung menjadi seorang inisiator tindakan bukan
seorangpengikut. Hal ini sangat penting di dalam tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR.

Ketika orang-orang secara intrinsic termotivasi untuk tanggung jawab sosial perusahaan
atau CSR ini adalah sesuatu untuk menghargai dan membangun. Tapi berapa banyak orang yang
secara intrinsic termotivasi untuk tanggung jawab sosial atau perusahaan atau CSR? Hal ini sulit
untuk diperiksa dan sering berubah dari waktu ke waktu. Perdebatan tentang tanggung jawab
sosial perusahaan atau CSR dan meningkatnya kesadaran isu-isu sosial, baik dalam konteks local
maupun pada tingkat global, dimungkinkan menghasilkan dasar yang lebih luas dari karyawan
yang menganggap perawatan lingkungan dan memberikan kontribusi kepada masyarakat sebagai
bagian penting dari kehidupan kerja para karyawan.

4. KESIMPULAN
Dalam artikel ini kita dapat menyatakan bahwa pendekatan CSR harus digunakan agar
suatu perusahaan mampu berkembang dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini sejalan
dengan tujuan dari pembentukan perusahaan itu sendiri. Bahwa dengan pendekatan CSR itu
sendiri kita akan mampu menghadapi hambatan- hambatan apa saja yang menghadang.
Dalam konsep CSR itu sendiri kita ada dua pendekatan yang kita kenal, yaitu pendekatan
etikal dan pendekatan pelayanan. Dari dua pendekatan tersebut tentu kita harus memahami
makna dan konsepnya masing masing.Pendekatan etik sangan penting digunakan di dalam
pengembangan dan dalam proses bisnis, hal ini berkaitan dengan konsep CSR itu sendiri yang
menyatakan bahwa etika bisnis yang digunakan suatu perusahaan mempunyai pengaruh yang
besar dalam proses kemajuan bisnis atau dalam porsinya dapat memuluskan jalan dalam meraih
tujuan suatu perusahaan, profit orientation.
Kemudian pendekatan yang kedua ialah pendekatan pelayanan. Didalam pendekatan ini
kita harus mengimplementasikannya kedalam sistem perusahaan itu sendiri. Sehingga melalui
pendekatan ini kita akan mampu dan menciptakan suatu suasana yang lebih menitihberatkanpada
perbaikan dan pemberian hasil manfaat kepada masyarakat luas.

C. Literatur Lain
- The perversity of business case approaches to CSR Nuancing and extending the
critique of Nijhof & Jeurissen oleh Lars Moratis. Dipublikasikan di International
Journal of Sociology and Social Policy Vol. 34 No. 9/10, 2014 pp. 654-669
- Approaching corporate social responsibility from beyond the confines of the
business case oleh Jon Burchell, Joanne Cook. Dipublikasikan di International
Journal of Sociology and Social Policy Vol. 30, 2014 Iss: 11/12

D. Evaluasi
Artikel ini ingin mengklarifikasi implementasi CSR melalui pendekatan bisnis, namun
memiliki hambatan glass ceiling yang merupakan keterbatasan yang bersifat inheren dari CSR
itu sendiri. Dari sisi penyajian, penelitian ini didesain dengan studi pustaka, dimana terdapat
perbandingan dan pengkajian berbagai konsep dari bermacam-macam literatur sebagai bahan
analisis pemecahan masalah pada tujuan penelitian. Menurut kami, satu hal yang menarik dari
penelitian ini adalah penemuan dari evaluasi ini diilustrasikan dengan sebuah kasus nyata pada
Program Riset Nasional Belanda dalam hal CSR. Sehingga pembaca dapat memahami lebih jauh
bagaimana CSR ini diimplementasikan beserta hambatan apa saja yang dihadapi.
Penemuan dari hasil penelitian ini adalah perdebatan mengenai CSR dari sisi tanggung
jawab perusahaan. CSR selain menjadi aset perusahaan, di sisi lain pengambilan keputusan CSR
bergantung pada masalah sosial dan kesempatan pasar. Dengan menggunakan pendekatan bisnis,
kesepatan untuk meninggalkan halangan instutusional terbuka lebar, dan melaluinya dengan
motivasi intrinsik untuk terlibat dalam CSR. Namun menurut kami, hasil tersebut masih
memiliki keterbatasan akan kepastiannya. Pasalnya, penulis hanya mengkaji penelitian tersebut
berdasarkan studi pustaka yang memiliki pandangan yang berbeda-beda setiap penulisnya.
Sehingga menurut kami perlu dilakukan uji empiris yang lebih jauh lagi untuk menguji
kepastiannya.
Selain itu, didukung dari literatur lain yang berupaya untuk mengkritisi artikel ini
menyatakan bahwa dengan pendekatan bisnis yang dilakukan penulis tidak mencerminkan
keistimewaan konsep CSR. Dan juga metafora glass ceiling dianggap tidak tepat. Dalam
memperbaiki kredibilitas pandangan penulis pun perlu diubah dengan memisahkan konteks CSR
dengan penilaian etika. Dan yang terakhir, teori perspektif perusahaan pada CSR dapat
disesuaikan untuk menangkap realitas
hubungan pasar baru yang merintis perusahaan dengan model bisnis keberlanjutan
berkembang.
Sisi baiknya, penelitian ini dapat bermanfaat untuk memecahkan sekat batas yang
dilakukan oleh manajer dimana di satu sisi mereka tetap member konstribusi sosial dan di sisi
lain mereka tetap menjalankan bisnisnya seperti biasa. Sehingga manajer harus menunjukkan
komitmennya terhadap nilai-nilai sosial untuk mengatasi dilemma tanggung jawab ini.

Anda mungkin juga menyukai