Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Teori

2.1.1. Pengertian Osteoporosis

Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan

porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang

yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya

rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan

kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang ( Tandra,

2009).

Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di

Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa

massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan

penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat

meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati,

2006).

Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah

kelainan kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan

dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang

merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang

(Junaidi, 2007).

Tulang adalah jaringan yang hidup dan terus bertumbuh. Tulang

mempunyai struktur, pertumbuhan dan fungsi yang unik. Bukan hanya memberi

kekuatan dan membuat kerangka tubuh menjadi stabil, tulang juga terus
mengalami perubahan karena berbagai stres mekanik dan terus mengalami

pembongkaran, perbaikan dan pergantian sel.

Untuk mempertahankan kekuatannya, tulang terus menerus mengalami

proses penghancuran dan pembentukan kembali. Tulang yang sudah tua akan

dirusak dan digantikan oleh tulang yang baru dan kuat. Proses ini merupakan

peremajaan tulang yang akan mengalami kemunduran ketika usia semakin tua.

Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akil balig atau pubertas,

ketika tulang menjadi makin besar, makin panjang, makin tebal, dan makin padat

yang akan mencapai puncaknya pada usia sekitar 25-30 tahun. Berkurangnya

massa tulang mulai terjadi setelah usia 30 tahun, yang akan makin bertambah

setelah diatas 40 tahun, dan akan berlangsung terus dengan bertambahnya usia,

sepanjang hidupnya. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan massa

tulang yang berakibat pada osteoporosis ( Tandra, 2009).

2.2.2. Klasifikasi Osteoporosis


Dalam terapi hal yang perlu diperhatikan adalah mengenali klasifikasi
osteoporosis dari penderita. Osteoporosis dibagi 2 , yaitu :
 Osteoporosis primer

Osteoporosis primer berhubungan dengan kelainan pada tulang, yang


menyebabkan peningkatan proses resorpsi di tulang trabekula sehingga
meningkatkan resiko fraktur vertebra dan Colles. Pada usia dekade awal pasca
menopause, wanita lebih sering terkena daripada pria dengan perbandingan 6-8: 1
pada usia rata-rata 53-57 tahun.
 Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit atau sebab lain di luar


tulang. Osteoporosis sekunder terutama disebabkan oleh penyakit-penyakit tulang
erosif misalnya mieloma multiple, hipertirodisme, hiperparatiroidisme dan akibat
obat-obatan yang toksik untuk tulang (misalnya ; glukokortikoid).
 Osteoporosis idiopatik

Osteoporosis idiopatik terjadi pada laki-laki yang lebih muda dan pemuda pra
menopause dengan faktor etiologik yang tidak diketahui.

2.2.3. Penyebab Osteoporosis

Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu:

1. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon estrogen

(hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium

kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara

5175 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen

produksinya mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus

berlangsung 3-4 tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya

massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah

menopause.

2. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium

yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan

hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis

berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya

terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering

menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan pasca

menopause.

3. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder

yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa

disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,

paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat,


antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang

berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini.

4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya

tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki

kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak

memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang ( Junaidi, 2007).

2.2.4. Stadium Osteoporosis

1. Pada stadium 1, tulang bertumbuh cepat, yang dibentuk masih lebih banyak dan

lebih cepat daripada tulang yang dihancurkan. Ini biasanya terjadi pada usia

3035 tahun.

2. Pada stadium 2, umumnya pada usia 35-45 tahun, kepadatan tulang mulai turun

(osteopenia).

3. Pada stadium 3, usia 45-55 tahun, fraktur bisa timbul sekalipun hanya dengan

sentuhan atau benturan ringan.

4. Pada stadium 4, biasanya diatas 55 tahun, rasa nyeri yang hebat akan timbul

akibat patah tulang. Anda tidak bisa bekerja, bergerak , bahkan mengalami stres

dan depresi (Waluyo, 2009).

2.2.5. Gejala Osteoporosis

Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai

puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga

tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang.

Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan keluhan

atau gejala sebagai berikut:

1. Tinggi badan berkurang


2. Bungkuk atau bentuk tubuh berubah

3. Patah tulang

4. Nyeri bila ada patah tulang (Tandra, 2009).

2.2.6. Faktor Risiko Osteoporosis

Osteoporosis dapat menyerang setiap orang dengan faktor risiko yang

berbeda. Faktor risiko Osteoporosis dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang tidak

dapat dikendalikan dan yang dapat dikendalikan. Berikut ini faktor risiko osteoporosis

yang tidak dapat dikendalikan:

1. Jenis kelamin

Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih besar

dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai

menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun.

2. Usia

Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena secara

alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya usia. Osteoporosis

pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan

menurunnya kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium.

3. Ras

Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis.

Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih

tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa

tulang lebih padat dibanding ras kulit putih Amerika. Mereka juga mempunyai otot

yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar. Ditambah dengan kadar

hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika.


4. Pigmentasi dan tempat tinggal

Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa, mempunyai

risiko terkena osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan dengan ras kulit putih

yang tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan Swedia.

5. Riwayat keluarga

Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai

massa tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung berisiko tinggi terkena

osteoporosis.

6. Sosok tubuh

Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena osteoporosis.

Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih berisiko terkena

osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.

7. Menopause

Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena tubuh

tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan untuk

pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya

hormon estrogen seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin berkurang

kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah.

Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa dilakukan

disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker, mioma dan lainnya.

Menopause dini juga berakibat meningkatnya risiko terkena osteoporosis.

Berikut ini faktor – faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan.


Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup.

1. Aktivitas fisik

Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak

terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya

kekuatan tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan melakukan olahraga teratur

minimal tiga kali dalam seminggu (lebih baik dengan beban untuk membentuk dan

memperkuat tulang).

2. Kurang kalsium

Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang maka

tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh

lain, termasuk yang ada di tulang. Kebutuhan akan kalsium harus disertai dengan

asupan vitamin D yang didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D kalsium

tidak mungkin diserap usus (Suryati, 2006).

3. Merokok

Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan

perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih

rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibanding wanita

bukan perokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok berpengaruh buruk pada tubuh

dalam hal penyerapan dan penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan

tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat.

4. Minuman keras/beralkohol

Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding

lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan

kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan pada

gilirannya menyebabkan osteoporosis.


5. Minuman soda

Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor

akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan kafein

meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin. Untuk menghindari bahaya

osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft drink harus dibarengi dengan minum susu

atau mengonsumsi kalsium ekstra (Tandra, 2009)

6. Stres

Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol yang

diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi akan

meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran darah dan akan menyebabkan

tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga meningkatkan terjadinya osteoporosis.

7. Bahan kimia

Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan makanan

(sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor, dan limbah

industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di sungai dan tanah, dapat

merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan

membuat pengeroposan tulang (Waluyo, 2009).

Diagnosis Osteoporosis
Dokter akan melakukan tanya jawab seputar keluhan yang dirasakan pasien, riwayat
kesehatan dan obat-obatan yang ia gunakan, serta riwayat penyakit dalam
keluarganya. Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, terutama pada
bagian tubuh pasien yang mengalami cedera atau keluhan.
Osteoporosis sering kali tidak menimbulkan gejala. Penderita osteoporosis biasanya
datang ke dokter dengan keluhan patah tulang akibat jatuh atau terbentur. Jika
seperti ini, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik pada bagian tulang yang patah
untuk mendapat gambaran mengenai tingkat keparahannya.
Untuk memastikan diagnosis, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang
berupa:

 Rontgen atau CT scan, untuk melihat dengan lebih jelas kondisi tulang yang
patah
 Tes darah, untuk mengetahui kadar sel-sel darah, kadar elektrolit, dan kadar
hormon, termasuk hormon tiroid, paratiroid, esterogen, dan testosteron
 Tes bone mass density (BMD), untuk melihat tingkat kepadatan tulang dan
menentukan risiko terjadinya patah tulang

Tes BMD dilakukan dengan dual energy X-Ray absorptiometryI (DXA) atau


dengan quantitative computed tomography (QCT).
Pemeriksaan DXA lebih sering dilakukan. Interpretasi dari hasil pemeriksaan ini
adalah sebagai berikut:

 Lebih dari -1 : Normal


 -1 sampai -2,5 : Kepadatan tulang rendah (osteopenia)
 Kurang dari -2,5 : Kemungkinan besar osteoporosis

Anda mungkin juga menyukai