Oleh:
Nama Kelompok 5 :
PENDIDIKAN BISNIS
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam
jangka panjang menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu dan dapat
dikaitkan juga sebagai keadaan kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian
yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan
ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam analisis makro
pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh satu negara diukur dari perimbangan
pendapatan nasional rill yang dicapai satu negara. Pada kenyataannya, pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan yang masih relatif rendah tersebut ditopang oleh konsumsi
masyarakat (Mudrajad Kuncoro: 2004). Secara teori, pertumbuhan ekonomi yang
ditopang oleh konsumsi tidak akan menjadi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan adalah pertumbuhan yang ditopang
oleh investasi. Pertumbuhan yang ditopang oleh investasi dianggap akan dapat
meningkatkan produktivitas sehingga membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Krisis ekonomi global yang melanda sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia,
memperlihatkan bahwa keseimbangan dalam perekonomian suatu negara tidak bisa dengan
hanya mengandalkan sektor swasta. Kontribusi sektor pemerintah juga sangat dihandalkan.
Terutama faktor pengeluaran pemerintah, investasi pemerintah yang dapat menciptakan
lapangan pekerjaan dan net ekspor yang dapat meningkatkan pendapatan nasional.
Keberhasilan suatu negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya diukur
melalui tingkat pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan stabil dari tahun ke tahun berarti kesejahteraan ekonomi meningkat, sedangkan
pertumbuhan ekonomi dengan nilai negatif berarti tingkat kesejahteraan disuatu negara juga
menurun. Tinggi rendah laju pertumbuhan ekonomi di suatu negara menunjukkan tingkat
perubahan kesejahteraaan ekonomi masyarakatnya (Boediono, 2013).
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas sumberdaya
Indonesia yang mempunyai daya saing yang tangguh dan unggul sebagai bangsa, Disisi lain
masalah kerawanan pangan masih merupakan isu penting yang harus segera ditangani. Pada
skala dunia, FAO (2010) memperkirakan lebih dari 900 juta penduduk dunia masih akan
terancam kelaparan dan rawan pangan. Hal ini dikarenakan saat ini pangan tidak hanya
berfungsi sebagai pangan tetapi juga bahan baku industri biofuel sehingga terjadi persaingan
di dalam penggunaannya
Menurut Sumaryanto (2009) mengemukakan kendala yang dihadapi dalam peningkatan
ketersediaan produksi pangan per kapita terutama adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat
terbatas karena (i) laju perluasan lahan pertanian baru sangat rendah dan (ii) konversi lahan
pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, (iii) degradasi sumberdaya air dan kinerja
irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian; dan (2) adanya gejala
kemandegan dalam pertumbuhan produktivitas. Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka
pemanfaatkan sumberdaya pertanian dan pangan harus dilakukan secara efisien dan optimal
agar pangan yang dibutuhkan dapat dipenuhi. Jika tidak, maka ketergantungan impor masih
akan tinggi. Karena itu perlu dirumuskan kebijakan pangan yang mendukung ketahanan
pangan dan bersifat proaktif.
Menurut USDA dan Goldman Sachs Commodities Research (2014), sejak tahun 2000
hasil pertanian tidak hanya dibutuhkan untuk kebutuhan pangan dan pakan, tetapi juga untuk
energi. Tetapi sampai 10 tahun ke depan, kebutuhan hasil pertanian untuk pangan dan pakan
masih akan tetap dominan. Hasil penelitian Puska PDN (2013) juga menunjukkan bahwa
antara permintaan dan penawaran beberapa pangan sampai dengan 2050 gap-nya semakin
besar dimana tingkat permintaan lebih besar daripada penawaran. Kondisi tersebut
memungkinkan ketergantungan impor semakin tinggi. Artinya, dinamika pangan di dalam
negeri akan sangat dipengaruhi oleh dinamika pangan di luar negeri.
BAB II
KAJIAN TEORI
a. Pertumbuhan perekonomian
Menurut Sukirno (2004), “pertumbuhan ekonomi (economic growth)
adalah suatu perkembangan dan peningkatan kegiatan ekonomi dari waktu ke
waktu sehingga menyebabkan berubahnya pendapatan nasional riil”. Tingkat
pertumbuhan ekonomi menunjukan presentase kenaikan pendapatan nasional
riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil
tahun sebelumnya. Sedangkan menurut Jhingan (2004), “pertumbuhan
ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu Negara
untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada
kepada penduduknya”. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan
teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan ekonomi Menurut
ekonom klasik faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, “(1)
jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang dan modal, (3) luas tanah dan
kekayaan alam, (4) tingkat teknologi yang digunakan” (kuncoro, 2004).
Sedangkan menurut pandangan Sukirno (1994), faktorfaktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu, “(1) Tanah dan kekayaan alam
lain, (2) Jumlah dan mutu penduduk dan tenaga kerja, (3) barang-barang
modal dan tingkat energi, (4) Sistem sosial dan sikap masyarakat, (5) Luas
pasar sebagai sistem pertumbuhan”. Menurut Kuncoro (2004).
Pengukuran Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan BPS (2017),
pertumbuhan ekonomi diukur menggunakan indikator Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh sluruh unit ekonomi. dimana agregat tersebut
disajikan dalam dua bentuk, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar
harga konstan suatu tahun dasar. Penyajian atas harga berlaku artinya
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa dihitung menggunakan harga
berlaku setiap tahun. Sedangkan penyajian atas dasar harga konstan
menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan tahun
dasar. Perhitungan atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk
menghitung pergeseran ekonomi sedangkan atas dasar harga berlaku
digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi dari tahun ketahun
(BPS, 2017). Menurut Kuncoro (2004), pertumbuhan ekonomi suatu daerah
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Untuk menghitung besarnya pendapatan nasional atau regional, maka ada tiga
pendekatan yang dipakai:
a) Pendekatan Produksi (Production Approach)
Metode ini dihitung menggunakan nilai produksi yang diciptakan sektor
ekonomi produktif dalam wilayah suatu Negara. secara matematis
(Rahardja, 2004):
NI = P1Q1+P2Q2+…+PnQn
Dimana :
NI : PDB (Produk Domestik Bruto).
P1,P2,…Pn : Harga satuan produk pada satuan masing” sektor ekonomi.
Q1,Q2,...Qn : jumlah produk satuan masing-masing sektor ekonomi
b) Pendekatan pendapatan (Income Approach)
Metode ini dihitung dengan menjumlah besarnya total pendapatan atau
balas jasa setiap faktor-faktor produksi. Secara matemastis (Rahardja,
2004) :
Y= Yw + Yr + Yi + Yp
Dimana :
Y : Pendapatan nasional atau PDB
Yw : Pendapatan upah/gaji
Yr : Pendapatan sewa
Yi : Pendapatan bunga Yp : Pendapatan laba
b. Konsumsi
Menurut Partadireja (1990), “konsumsi dapat diartikan sebagai bagian
pendapatan rumah tangga yang dialokasikan untuk pembiayaan jasa dan
kebutuhan lain. Besarnya konsumsi rumah tangga selalu berubah-ubah
disesuaikan dengan pendapatan, apabila terdapat kenaikan pendapatan
konsumsi akan meningkat. Sebaliknya, apabila pendapatan turun maka
konsumsi akan turun”. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga merupakan
pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga guna menjaga dan menunjang
kelangsungan hidup yang meliputi pengeluaran barang dan jasa.
Cakupan seluruh pengeluaran barang dan jasa dikelompokan menjadi
tujuh COICOP (Classification of Individual Consumtion by Purpose)
meliputi : “(1) Makanan, Minuman Dan Rokok, (2) Pakaian dan Alas Kaki,
(3) Perumahan, Perkakas, Perlenkapan dan Penyelengaraan Rumah Tangga,
(4) Kesehatan dan Pendidikan, (5) Transportasi, Komunikasi, Rekreasi dan
Budaya, (6) Hotel dan Restoran, (7) dan Lainya” (BPS, 2017).
1. Fungsi Konsumsi
Fungsi konsumsi adalah suatu fungsi yang menggambarkan hubungan
antara tingkat konsumsi rumah tangga dengan pendapatan nasional dalam
suatu perekonomian.
C = a + bY
Keterangan :
C = tingkat konsumsi
a = konsumsi rumah tangga secara nasional pada saat pendapatan
nasional 0
b = kecondongan konsumsi marginal
Y = tingkat pendapatan nasional
2. Kecenderungan Mengkonsumsi (Propensity to Consume)
Kecenderungan mengonsumsi dibedakan menjadi dua yaitu :
– Kecenderungan mengonsumsi marginal
– Kecenderungan mengonsumsi rata-rata
Kecenderungan mengonsumsi marginal yaitu perbandingan antara
pertambagan (AC) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan
disporsabel (AY).
MPC= ∆C/∆Yd
Keterangan
MPC = Marginal Propensity to concume (kecondongan mengosumsi
marginal)
∆C = pertambahan konsumsi
∆Yd = pertambahan pendapatan
BAB III
PEMBAHASAN
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONSUMSI (2005-2008)
Dari sisi lapangan usaha pertumbuhan didukung oleh semua lapangan usaha,
dengan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Informasi dan komunikasi yang sebesar
9,2 persen (YoY).
Dari sisi lapangan usaha pertumbuhan ekonomi didorong oleh semua lapangan
usaha, dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor Informasi dan Komunikasi
sebesar
9,2 persen (YoY). Pertumbuhan sektor Informasi dan Komunikasi tersebut lebih
rendah, baik dibandingkan dengan triwulan III tahun 2015 maupun triwulan II tahun
2016 yang masing-masing sebesar 10,7 persen (YoY) dan 9,8 persen.
Tabel 19. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I Tahun 2014 –
Triwulan III Tahun 2016 Menurut
Lapangan
Usaha (YoY)
201 201 2016
Uraia Q1 Q24 Q3 Q4 Q1 Q25 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3
Pertanian, Kehutanan, dan
5,2 4,9 3,6 3,3 4,0 6,9 3,3 1,6 1,8 3,4 2,8
Pertambangan dan -1,0 1,1 1,2 1,5 -1,3 -5,2 -5,7 -7,9 -0,8 -0,1 0,1
Penggalian
Industri Pengolahan 4,5 4,8 5,0 4,2 4,0 4,1 4,5 4,4 4,6 4,6 4,6
Pengadaan Listrik dan Gas 3,3 6,5 6,0 6,5 1,7 0,8 0,6 1,8 7,5 6,2 4,9
Pengadaan Air, Pengelolaan
4,9 5,8 5,9 6,9 5,4 7,8 8,7 6,8 4,8 3,3 1,7
Konstruksi 7,2 6,5 6,5 7,7 6,0 5,4 6,8 8,2 7,9 6,2 5,7
Perdagangan Besar dan
Eceran; Reparasi Mobil 6,1 5,0 5,2 4,5 4,1 1,7 1,4 2,8 4,1 4,1 3,7
dan Sepeda Motor
Transportasi dan 7,0 7,6 7,7 7,2 5,8 5,9 7,3 7,7 7,9 6,9 8,2
Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan
6,4 6,4 5,8 4,6 3,4 3,8 4,5 5,8 5,6 4,9 4,6
Informasi dan Komunikasi 9,8 10,5 9,8 10,3 10,1 9,7 10,7 9,7 8,1 9,8 9,2
Jasa Keuangan dan 3,6 5,5 1,9 7,9 8,6 2,6 10,4 12,5 9,3 13,6 8,8
Real Estate 4,7 4,9 5,1 5,3 5,3 5,0 4,8 4,3 4,9 4,5 3,7
Jasa Perusahaan 10,3 10,0 9,3 9,7 7,4 7,6 7,6 8,1 8,1 7,6 7,0
Administrasi Pemerintahan,
Pertahanan dan Jaminan 2,7 -2,5 2,4 6,8 4,7 6,3 1,3 6,7 4,5 4,4 3,8
Sosial
Jasa Pendidikan 4,6 4,5 6,3 6,6 5,0 11,7 8,1 5,3 5,4 5,1 1,9
Jasa Kesehatan dan
Kegiatan 7,6 8,7 9,6 6,0 7,1 7,5 6,3 7,4 8,6 6,5 4,2
Jasa lainnya 8,4 9,5 9,5 8,4 8,0 8,1 8,1 8,2 7,9 7,9 7,7
PRODUK DOMESTIK 5,1 5,0 5,0 5,0 4,7 4,7 4,7 5,0 4,9 5,2 5,0
BRUTO
Tabel 20. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I Tahun 2014 –
Triwulan III Tahun 2016 (Persen) Menurut
Jenis Pengeluaran (YoY)
201 201 201
JENIS Q1 Q24 Q3 Q4 Q1 Q25 Q3 Q4 Q1 6
Q2 Q3
Pengeluaran Konsumsi
Pengeluaran Konsumsi 23, 22, 5,8 -0,5 -8,1 -8,0 6,6 8,3 6,4 6,7 6,7
LNPRT
Pengeluaran Konsumsi 2 4
Pembentukan Modal Tetap
Ekspor Barang dan Jasa 3,2 1,4 4,8 -4,6 -0,6 0,0 -0,6 -6,4 -3,5 -2,4 -6,0
Dikurangi Impor Barang 5,0 0,4 0,3 3,2 -2,2 -7,0 -5,9 -8,1 -5,0 -2,9 -3,9
dan Jasa
PRODUK DOMESTIK 5,1 5,0 5,0 5,0 4,7 4,7 4,7 5,0 4,9 5,2 5,0
BRUTO
Salah satu indikator peningkatan kesejahteraan adalah perubahan pola konsumsi
penduduk. Menurut hukum ekonomi bila selera tidak berbeda maka persentase
pengeluaran untuk makanan akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Hal ini juga terjadi di Indonesia, selama 70 tahun sejak kemerdekaan terjadi
pergeseran pola konsumsi penduduk dari makanan ke nonmakanan. Persentase
pengeluaran rumah tangga untuk makanan menunjukkan penurunan, dari 69,3 persen
dari total pengeluaran pada tahun 1980, menjadi 49,96 persen pada tahun 2014.
Secara umum angka ketersediaan kalori dan protein per kapita per hari dari tahun
1998 sampai dengan tahun 2003 masih di bawah tingkat ketersediaan pangan nasional
yang disyaratkan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X (2012). Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi X (Jakarta 2012) mensyaratkan angka kecukupan energi
rata-rata pada tingkat ketersediaan sebesar 2.150 kkal/orang/hari dan kecukupan
protein sebesar 57 gr/orang/hari. Selama kurun waktu tersebut, angka ketersediaan
kalori baru mencapai sekitar 1.859,30 kkal dan ketersediaan protein mencapai 53,91
gram per kapita per hari.
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Data pengeluaran (dalam rupiah) yang
dibedakan menurut kelompok makanan dan bukan makanan dapat digunakan untuk
melihat pola pengeluaran penduduk. Pada kondisi pendapatan terbatas, pemenuhan
kebutuhan makanan akan menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, pada kelompok
masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya
digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka
lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran. Pergeseran tersebut yaitu
terjadinya penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan
peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan. Pola
pengeluaran dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menilai tingkat
kesejahteraan (ekonomi) penduduk, dimana semakin rendah persentase pengeluaran
untuk makanan terhadap total pengeluaran maka semakin baik tingkat perekonomian
penduduk. Seperti hukum yang dikemukakan oleh Ernst Engel (1857) bahwa bila
selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan menurun seiring
dengan meningkatnya pendapatan. Hukum ini ditemukan Engel dari perangkat data
survei pendapatan dan pengeluaran.
Catatan:
Sektor Primer: (1) Pertanian Kehutanan dan Perikanan; (2) Pertambangan dan
Penggalian
Sektor Jasa: (1) Pengadaan Listrik dan Gas; (2) Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah dan Daur Ulang; (3) Konstruksi; (4) Perdagangan Besar dan
Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; (5) Transportasi dan Pergudangan; (6)
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; (7) Informasi dan Komunikasi; (8) Jasa
Keuangan dan Asuransi; (9) Real Estat; (10) Jasa Perusahaan; (11) Administrasi
Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib; (12) Jasa Pendidikan; (13) Jasa
Kesehatan dan Kegiatan Sosial; (14) Jasa Lainnya.
Dan pada tahun 2019 pertumbuhan ekonomi, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis
data pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2019 tumbuh di angka
5,02%. Meski masih mampu tumbuh di kisaran 5%, namun realiasi itu melambat dari
pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 yang sebesar 5,17%. Penurunan angka
pertumbuhan juga terjadi di beberapa pulau. Berbagai komoditas pun ikut andil dalam
penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 turun 0,15% dari tahun
sebelumnya
Indonesia masih mampu mempertahankan pertumbuhan di kisaran 5% , yakni dengan
tumbuh mencapai angka 5,02% di 2019. Namun angka ini lebih rendah 0,15% bila
dibandingkan periode tahun sebelumnya yang tumbuh hingga 5,17%. Pertumbuhan
ekonomi di tahun 2019 sebesar 5,02%, lebih lambat dari tahun-tahun sebelumnya, dan
mendekati ke posisi tahun 2016 yang tumbuh 5,03%, Meski demikian, Suhariyanto
menilai untuk bertahan di angka 5% pada situasi global yang cenderung mengalami
penurunan ini, tidaklah mudah. Menurutnya, angka ini sudah cukup baik untuk
pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2019.
2. Pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 di bawah angka 5%
Sementara itu, penurunan juga terjadi jika dilihat dari periode pertumbuhan ekonomi
di kuartal IV-2019 yang hanya sebesar 4,97%. Lebih rendah dari pertumbuhan kuartal
IV-2018 yang sebesar 5,17%, begitupula dari pertumbuhan di kuartal III-2019 yang
sebesar 5,02%. Menurut Center of Macroeconomics and Finance Institute for
Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan, turunnya
pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 di bawah 5%, menggambarkan semakin
beratnya permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia.
3. Perlambatan 4 negara mitra dagang jadi faktor penurunan pertumbuhan
ekonomi
BPS juga mencatat, penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tak terlepas dari
empat negara mitra dagang utama yang perekonomiannya melambat di sepanjang
2019, yaitu Singapura, China, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. "Jadi banyak
negara yang alami perlambatan ekonomi.
Dan Konsumsi diindonesia tahun 2019 BPS Sebut Konsumsi Domestik
2019 Melambat 5,04 Persen, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah
tangga sepanjang 2019 sebesar 5,04 persen. Realisasi itu melambat dibandingkan
dengan posisi 2018 lalu yang sebesar 5,05 persen. Kepala BPS Suhariyanto
mengatakan tingkat konsumsi rumah tangga khusus kuartal IV 2019 hanya 4,97
persen. Angkanya jauh lebih lambat ketimbang pertumbuhan konsumsi rumah tangga
pada kuartal IV 2018 yang masih tembus 5 persen, tepatnya 5,08 persen. Dengan
realisasi itu, Suhariyanto menyatakan pihaknya mewaspadai penurunan daya beli
masyarakat beberapa waktu terakhir. Masalahnya, pertumbuhannya memang tak
sekuat sebelum-sebelumnya.
beberapa pertumbuhan beberapa komponen memang melambat sepanjang
2019. Hal itu terlihat pada tingkat konsumsi di industri makanan dan minuman yang
hanya tumbuh 5,16 persen sepanjang 2019, sedangkan pada 2018 mencapai 5,22
persen. Kemudian, konsumsi pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya tumbuh 4,27
persen atau melambat dibandingkan sebelumnya 4,3 persen, ada kemungkinan
perubahan pola pembelian pakaian oleh masyarakat. Lalu, konsumsi transportasi dan
komunikasi naik 4,78 persen atau melambat dari sebelumnya 5,47 persen.
Suhariyanto bilang perlambatan konsumsi di sektor transportasi salah satunya karena
penjualan wholesale sepeda motor dan mobil penumpang masing-masing minus
sebesar 5,6 persen dan 7,24 persen.
Sementara, untuk konsumsi di sektor perumahan dan perlengkapan rumah
tangga tumbuhnya tercatat 4,66 persen atau lebih tinggi dari sebelumnya yang sebesar
4,63 persen. Kemudian, konsumsi kesehatan dan pendidikan juga lebih tinggi menjadi
6,6 persen dari 5 persen. Konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh terbesar dalam
pertumbuhan ekonomi 2019. Kontribusinya mencapai 56,62 persen.
Kontribusi kedua berasal dari tingkat investasi sebesar 32,33 persen dengan
pertumbuhan 4,45 persen. Lalu, ekspor sebesar 18,41 persen dengan pertumbuhan
yang minus sebesar 0,87 persen. Penyumbang ekonomi domestik lainnya berasal dari
konsumsi pemerintah sebesar 8,75 persen dengan tingkat pertumbuhan 3,25 persen,
konsumsi lembaga non profit rumah tangga (LNPRT) yang memiliki andil 1,3 persen
dengan pertumbuhan 10,62 persen dan impor yang mengurangi pertumbuhan ekonomi
22,03 persen dengan pertumbuhan yang minus 7,69 persen. Secara keseluruhan, laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 hanya 5,02 persen. Realisasi
tersebut melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,17 persen.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah perkembangan ekonomi sering dicampurbaurkan dengan pertumbuhan
ekonomi, dan pemakaiannnya selalu berganti-ganti, sehingga kelihatan pengertian
antara keduanya dianggap sama. Akan tetapi beberapa ahli ekonomi, seperti
Schumpeter (1911) dan Ursula Hicks (1957) telah menarik perbedaan yang lazim
antara istilah perkembangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi (jhingan, 1993).
Menurut kedua pakar tersebut perkembangan ekonomi mengacu kepada masalah-
masalah Negara terbelakang, sedangkan pertumbuhan ekonomi mengacu kepada
masalah-masalah Negara maju. Demikian juga menurut Maddison (1970), ia
mengatakan bahwa di Negara-negara maju kenaikan dalam tingkat pendapatan
biasanya disebut pertumbuhan ekonomi, sedang di Negara miskin ia disebut
perkembangan ekonomi. Namun ada juga pakar ekonomi lainnya yang beranggapan
bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan ekonomi merupakan
sinonim, misalnya pendapat dari Arthur Lewis (1954), serta Meir dan Baldwin
sedangkan,
Pola konsumsi masyarakat dapat dikenali berdasarkan alokasi penggunaannya.
Untuk keperluan analisis, secara garis besar alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat
digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu, pengeluaran untuk makanan dan
pengeluaran untuk non-makanan. Pengeluaran masyarakat Indonesia banyak pada
makanan. Akan tetapi terdapat ketimpangan dalam hal pengeluaran konsumsi antara
penduduk pedesaan dan penduduk perkotaan, misalkan dari besarnya pengeluaran dan
juga pola konsumsinya. Perbandingan besar pengeluaran antara penduduk pedesaan
dan penduduk perkotaan cenderung konstan tahun demi tahun. Melalui perbandingan
perilaku dan pola konsumsi, terdapat kesenjangan antara masyarakat pedesaan dan
masyarkat perkotaan. Pengeluaran konsumsi dapat pula difungsikan untuk mendeteksi
ketimpangan kemakmuran antar lapisan masyarakat, yang dapat diukur baik dengan
pendekatan pendapatan maupun pendekatan pengeluaran. Bagian dari pendapatan
yang dapat dibelanjakan tapi tidak dikeluarkan untuk konsumsi merupakan tabungan
masyarakat. Penggabungan antara tabungan masyarakat dan tabungan pemerintah
dapat membentuk tabungan nasional yang merupakan sumber dana investasi. Untuk
mendapatkan gambaran fungsional tabungan dan konsumsi digunakan suatu fungsi
yaitu fungsi konsumsi dan fungsi tabungan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.neliti.com/id/publications/7108/analisis-pertumbuhan-ekonomi-investasi-dan-
konsumsi-di-indonesia
https://economy.okezone.com/read/2020/02/09/20/2165794/fakta-fakta-pertumbuhan-
ekonomi-indonesia-tahun-2019
https://www.bps.go.id/subject/5/konsumsi-dan-pengeluaran.html
https://ekonomi.kompas.com/read/2010/02/10/13085158/bps.pertumbuhan.ekonomi.2009.cap
ai.45.persen