Anda di halaman 1dari 8

PERUBUAHAN PEKERJAAN DALAM

KONTRAK PEKERJAAN KONSTRUKSI


Oleh : Abu Sopian
(Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang)
081220018718
abusopian@ymail.com

Abstrak

Pasal 51 ayat (1) Peraturan Presiden nomot 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah berbinyi:
Kontrak Lump sum merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas penyelesaian seluruh
pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. jumlah harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan penyesuaian harga;
b. semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia Barang/Jasa;
c. pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai dengan
isi Kontrak;
d. sifat pekerjaan berorientasi kepada keluaran (output based);
e. total harga penawaran bersifat mengikat; dan
f. tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang.

Dalam pelaksanaan kontrak pekerjaan konstruksi seperti pembangunan gedung kantor


dan/atau rumah dinas, tidak jarang ditemukan adanya kesalahan perencanaan bangunan yang
menyebabkan perlunya penambahan/pengurangan pekerjaan. Penambahan/pengurangan
pekerjaan tersebut tidak dibolehkan jika kesepakatan tentang penyelesaian pekerjaan
tersebut dituangkan dalam kontrak lump sum. Padahal dalam keadaan tertentu akibat dari
tidak dibolehkan penambahan/pengurangan pekerjaan tersebut dapat menimbulkan kerugian
negara. Karena itu terdapat perdebatan apakah penambahan/pengurangan pekerjaan
demikian boleh dilakukan. Tulisan ini mencoba mencari jawaban atas perdebatan tersebut.

Kata Kunci : Kontrak lump sum, kontrak harga satuan, perubahan kontrak, penambahan
pekerjaan, dan pengurangan pekerjaan.

A. Jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


Di lihat dari cara pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, menurut pasal 50
ayat (3) Peraturan Presiden R.I nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, kontrak pengadaan barang/jasa dibedakan menjadi:
a. Kontrak Lump Sum;
b. Kontrak Harga Satuan;
c. Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan;
d. Kontrak Persentase; dan
e. Kontrak Terima Jadi (Turnkey Contract).

(1) Kontrak Lump Sum merupakan kontrak yang jumlah harga (nilai kontrak) sudah pasti
dan tetap bersifat mengikat, serta tidak dimungkinkan adanya penyesuaian harga.
Kontrak jenis ini diperuntukkan untuk pekerjaan yang volume atau kuantitas
pekerjaannya sudah dapat diperkirakan dengan pasti pada saat penandatanganan
kontrak. Contohnya kontrak untuk pekerjaan pembangunan gedung kantor pada
umumnya berisi kesepakatan tentang pembangunan satu unit gedung kantor dengan
harga yang sudah pasti misalnya Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Meskipun
perhitungan biaya pembangunan gedung tersebut terdiri dari penjumlahan banyak
komponen pekerjaan seperti pekerjaan pondasi, lantai, dinding, atap, dsb namun volume
atau kuantitas pekerjaan pondasi, lantai, dinding, atap, dsb sudah dapat diperkirakan
pada saat penandatanganan kontrak. Karena itu nilai kontrak yang nantinya dibayarkan
bersifat tetap dan mengikat.

(2) Kontrak harga satuan merupakan kontrak yang jumlah harga satuan untuk setiap satuan
atau unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu sudah tetap, namun volume atau
kuantitas pekerjaannya masih bersifat perkiraan. Pembayaran kontrak didasarkan pada
hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan.
Karena itu dimungkinkan adanya pekerjaan tambah/kurang berdasarkan hasil
pengukuran bersama atas pekerjaan yang diperlukan. Kontrak jenis ini diperuntukkan
untuk pekerjaan yang volume atau kuantitas pekerjaannya belum dapat diperkirakan
dengan pasti pada saat penandatanganan kontrak. Contohnya kontrak untuk pekerjaan
pengadaan bahan makanan narapidana berisi kesepakatan tentang pengadaan bahan
makanan untuk nara pidana selama waktu tertentu misalnya satu tahun dengan harga
yang sudah pasti untuk setiap spesifikasi teknis tertentu seperti harga telur per butir,
harga beras per kg, harga daging per kg, harga sayur per ikat dsb. Penyedia barang/jasa
melaksanakan pemasokan barang sesuai kesepakatan dalam kontrak, misalnya PPK
menyampaikan surat pesanan per hari/minggu/bulan berdasarkan jumlah narapidana.
Pembayaran kontrak didasarkan pada hasil pengukuran bersama terhadap pekerjaan
yang benar-benar telah dilaksanakan.

(3) Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah adalah Kontrak yang merupakan
gabungan Lump Sum dan Harga Satuan dalam 1 (satu) pekerjaan yang diperjanjikan.
Kontrak ini diperuntukkan untuk pekerjaan yang sebagian volumenya sudah dapat
pastikan dan sebagian lainnya masih bersifat perkiraan. Contoh pekerjaan yang sebagian
volumenya sudah pasti dan sebagian pekerjaan volumenya masih bersifat perkiraan
adalah pekerjaan pembangunan gedung dengan pondasi tiang pancang di atas tanah
yang labil. Kontrak untuk pekerjaan tersebut dapat diatur sebagai berikut:
a. Untuk porsi pekerjaan pembangunan gedung menggunakan cara pembayaran
kontrak lump sum, dan
b. Untuk porsi pekerjaan pondasi tiang pancang menggunakan cara pembayaran
kontrak harga satuan.

(4) Kontrak Persentase merupakan kontrak pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya, dengan
ketentuan imbalan yang diterima didasarkan pada persentase dari nilai pekerjaan
tertentu. Contoh kontrak ini adalah kontrak untuk pekerjaan konsultan pengawasan
pekerjaan pembangunan gedung. Dalam kontrak ini cara penyedia jasa konsultansi
menerima imbalan berdasarkan persentasi hasil pekerjaan pembangunan gedung yang
diawasinya.

(5) Kontrak Terima Jadi (Turnkey) merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan


Konstruksi/Jasa Lainnya atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh selesai dilaksanakan; dan
b. pembayaran dilakukan berdasarkan hasil penilaian bersama yang menunjukkan
bahwa pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria kinerja yang telah
ditetapkan.

B. Landasan Pemilihan Jenis Kontrak


Mengapa perlu jenis kontrak lump sum dan jenis kontrak harga satuan?
Perlunya ada kontrak lump sum dan ada kontrak harga satuan bukan dikarenakan ada
kontrak yang membolehkan ada kontrak yang tidak membolehkan penambahan/pengurangan
pekerjaan. Karena kalau hanya untuk membolehkan dan tidak membolehkan
penambahan/pengurangan pekerjaan tidak perlu adanya jenis kontrak lump sum. Bukankah
dengan dibolehkannya penambahan/pengurangan pekerjaan pada kontrak harga satuan,
berarti kontrak harga satuan dapat pula digunakan untuk pekerjaan yang tidak memerlukan
penambahan/pengurangan pekerjaan.

Perlunya ada kontrak lump sum dan ada kontrak harga satuan, sesungguhnya dikarenakan
memang ada jenis pekerjaan yang volume atau kuantitasnya sudah dapat dipastikan pada
saat perencaan dan ada jenis pekerjaan yang volume atau kuantitasnya tidak dapat
dipastikan pada saat perencanaan pekerjaan (masih bersifat perkiraan). Untuk pekerjaan
yang volume atau kuantitasnya sudah dapat dipastikan pada saat perencanaan harus
menggunakan kontrak lump sum, untuk pekerjaan yang volume atau kuantitasnya masih
bersifat perkiraan harus menggunakan kontrak harga satuan.

Contoh volume pekerjaan yang sudah harus dipastikan pada saat perencanaan adalah volume
pekerjaan konstruksi. Yang dimaksudkan dengan volume dalam hal ini adalah luas gedung,
rentang jembatan, panjang dan lebar jalan. Semua itu dapat dipastikan pada saat
perencanaan pekerjaan. Contoh volume pekerjaan yang belum dapat dipastikan pada saat
perencanaan pekerjaan adalah volume pekerjaan pengadaan bahan makanan untuk
narapidana. Pada saat penandatanganan kontrak jumlah narapidana yang harus diberi makan
belum diketahui.

Dalam dokumen anggaran volume pekerjaan konstruksi dapat dijumpai seperti


“pembangunan gedung kantor 300 m2” atau “pembangunan rumah dinas 2 unit”. Jika
pembangunan gedung direncanakan 300 m2 maka tidak mungkin dalam pelaksanaannya
terpaksa dirubah menjadi 350 m2. Pembangunan rumah dinas yang semula direncanakan 2
unit tidak mungkin terpaksa dirubah menjadi 3 unit. Pembangunan jalan yang dikontrak
awal sepanjang 2 km tidak mungkin terpaksa harus dirubah menjadi 3 km. Jika dalam
pelaksanaan kontrak dijumpai perubahan seperti itu dapat dipastikan bahwa perubahan itu
bukan disebabkan oleh kebutuhan (need) melainkan karena ada keinginan (want).

Dalam pekerjaan konstruksi seperti pembangunan gedung kantor memang terdapat


komponen pekerjaan seperti penggalian pondasi, pengurugan tanah, pemasangan pintu,
jendela, atap dll yang dijadikan dasar untuk menghitung biaya. Komponen pekerjaan
tersebut sudah harus diperhitungkan secara tepat sejak awal dan dan digambarkan dalam
disain bangunan. Apabila ada bagian pekerjajan yang memang belum dapat diperhitungkan
maka hanya untuk bagian pekerjaan tersebut saja dapat menggunakan kontrak harga satuan.

Yang dimaksud volume atau kuantitas pekerjaan dalam pengadaan bahan makanan untuk
narapidana adalah jumlah bahan makanan yang serahkan, atau makanan yang disajikan. Jika
penyedia hanya memasok bahan makanan maka volume pekerjaan dihitung berdasarkan
jumlah bahan makanan yang diserahkan oleh penyedia seperti beras, sayuran segar, telur
ayam, ikan asin dsb. Jika pemberian makan diberikan dalam bentuk makanan seperti nasi
kotak/bungkus valumenya adalah jumlah nasi kotak/bungkus yang disediakan. Jika
pemberian makanan disajikan dalam bentuk prasmanan volumenya adalah jumlah
narapidana.

C. Larangan Penambahan/Pengurangan Pekerjaan Konstruksi


Larangan adanya penambahan/pengurangan pekerjaan tercantum dalam pasal 51 ayat (1)
huruf f Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010. Pasal tersebut mengatur tentang ketentuan
pelaksanaan kontrak lump sum. Karena itu muncul pendapat agar dapat dilakukan
penambahan dan/atau pengurangan pekerjaan jangan gunakan kontrak lump sum (gunakan
saja kontrak harga satuan). Pendapat demikian antara lain dikemukakan oleh Khalik Nst
yang mengatakan:
Untuk pengadaan Pekerjaan Konstruksi, sebaiknya digunakan kontrak
harga satuan, walaupun perencanaan telah dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya dan sesempurna mungkin, karena yang namanya
pekerjaan konstruksi ada hal – hal tertentu yang memaksa akan
terjadinya pekerjaan tambah/kurang yang tidak kita kehendaki, agar
pekerjaan tersebut terlaksana sesuai dengan harapan dan tidak
merugikan uang negara, yang kita takutkan bila menggunakan kontrak
lumpsum pada pekerjaan konstruksi karena tidak diperbolehkan
adanya pekerjaan tambah/kurang, pekerjaan konstruksi yang berupa
bangunan, jembatan, jalan, bendungan, irigasi dan lain-lainnya tidak
berfungsi dengan baik.
(https://khaliknst.wordpress.com/2012/07/05/kontrak-harga-satuan-atau-kontrak-
lumpsum/ diakses Kamis 9 Desember 2015 pukul 06. 48 WIB).

Seperti diuraikan di atas bahwa pekerjaan konstrusi seharusnnya menggunakan kontrak


lump sum atau jika memang ada sebagian dari pekerjaan konstruksi tersebut yang masih
bersifat perkiraan dapat menggunakan kontrak gabungan (lump sum dan harga satuan).
Penggunaan kontrak harga satuan pada pekerjaan konstruksi tidak dibolehkan karena tidak
sesuai dengan maksud Pasal 51 ayat (2) Perpres nomor 54 tahun 2010. Antisipasi terhadap
kemungkinan perlunya pekerjaan tambah/kurang bukan merupakan alasan yang tepat untuk
memilih kontrak harga satuan.

Mengizinkan penggunaan kotrak harga satuan untuk pekerjaan konstruksi akan mengurangi
arti pentingnya disain perencanaan konstruksi. Padahal dalam pekerjaan konstruksi disain
detail bangunan merupakan gambaran dari sebuah bangunan yang diinginkan. Ketika
menyusun disain perencanaan sebuah gedung, konsultan perencana sudah membayangkan
bagaimana bentuk, model, dan ukuran dari bangunan tersebut. Gambaran sebuah gedung
yang sudah ada di dalam kepala konsultan perencana itulah yang dituangkannya secara
detail ke dalam disain perencanaan bangunan. Inilah yang disebut “start from the end” oleh
Steven R Copy dalam bukunya The Seven Habits of Highly Efective People.

Dalam pekerjaan konstruksi kemungkinan perlunya perubahan-perubahan pekerjaan setelah


kontrak ditandatangani bisa disebabkan oleh adanya sisa anggaran yang belum terserap atau
karena adanya perubahan selera pemilik pekerjaan. Kasusnya bisa terjadi ketika penawaran
dari penyedia jauh dibawah HPS sehingga terdapat sebagian anggaran yang tersisa.
Pemanfaatan sisa anggaran dengan cara menambah pekerjaan baru inilah yang sebenarnya
tidak dibolehkan.

D. Permasalahan pekerjaan konstruksi


Permasalahan sebenarnya dalam penyelesaian pekerjaan konstruksi bukan karena volume
pekerjaan atau bagian pekerjaan yang belum dapat dipatikan pada saat penambahan
kontrak, melainka karena perlunya penambahan/pengurangan pekerjaan yang disebabkan
kesalahan dalam perencanaan. Contohnya dalam perencanaan tertulis penimbunan tanah 30
m3 seharusnya 300 m3 atau sebaliknya jumlah timbunan yang seharusnya 300 m3 tertulis 30
m3 . Kesalahan tersebut jika tidak dilakukan penambahan/pengurangan pekerjaan akan
menyebabkan bangunan tidak sempurna bahkan bisa jadi tidak berfungsi.

Kesalahan perencanaan seperti tersebut di atas seharusnya tidak boleh dibiarkan meskipun
jenis kontrak yang digunakan adalah kontrak lump sum. Alasan mengapa
penambahan/pengurangan pekerjaan tersebut harus dilakukan, setidaknya dapat dikaitkan
dengan upaya menghindari kerugian negara dan untuk melaksanakan serah terima hasil
pekerjaan.
a. Upaya untuk menghindari kerugian negara jauh lebih penting dari pada sekedar
melaksanakan secara kaku pasal 51 ayat (1) huruf f. Menurut hemat penulis jika
benar-benar dibutuhkan tambahan pekerjaan yang kalau tidak dilaksanakan akan
menyebabkan kerugian negara karena hasil pekerjaan tidak berfungsi, maka
tambahan pekerjaan dapat dilakukan. Demikian juga jika diketahui bahwa terdapat
bagian pekerjaan dalam kontrak yang sebenarnya tidak perlu dilaksanakan karena
tidak bermanfaat sama sekali, maka pekerjaan tersebut tidak perlu dilaksanakan.
b. Untuk pelaksanaan serah terima hasil pekerjaan, Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
(PPHP) harus memeriksa seluruh hasil pekerjaan dan memastikan bahwa seluruh
komponen pekerjaan yang terdapat dalam kontrak telah diselesaikan. Dalam hal
terdapat bagian pekerjaan yang tidak dikerjakan, baik yang disebabkan karena
memang tidak bisa dikerjakan maupun yang disebabkan karena tidak diperlukan,
maka untuk dapat dilakukan serah terima hasil pekerjaan bagian pekerjaan yang
tidak dikerjakan tersebut harus dikeluarkan dulu dari dalam kontrak. Untuk itu perlu
dilakukan perubahan kontrak. Tanpa merubah kontrak maka PPHP tidak dapat
melakukan serah terima karena terdapat bagian pekerjaan yang belum dikerjakan.

E. Contoh Kasus
Kasus 1.
Dalam kontrak lump sum pekerjaan pembangunan gedung pertemuan yang dibiayai dari
dana APBD nilai kontrak Rp7.000.000.000,- terdapat bagian pekerjaan penimbunan lahan
halaman gedung pertemuan seluas 1000 m2 . Biaya penimbunan tersebut dalam surat
penawaran tercantum Rp600.000.000,-. Pada tahapan pelaksanaan pekerjaan ternyata
sebagian lahan halaman gedung pertemuan tersebut (seluas 300 m2 ) diklaim oleh masyarakat
pemilik lahan. Dalam menghadapi kenyataan tersebut PPK harus mengambil suatu
keputusan. Alternatif putusan yang dapat dipilih oleh PPK adalah:
1) Pembangunan gedung pertemuan dikerjakan sesuai kontrak awal tanpa perubahan
berupa pengurangan pekerjaan. Di atas lahan seluas 300 m2 yang diklaim oleh
masyarakat tetap dilakukan penimbunan meskipun pada akhirnya lahan tersebut tidak
dapat digunakan sebagai halaman gedung pertemuan karena dipasang pagar pembatas
oleh masyarakat pemilik lahan. Serah terima pekerjaan dapat dilaksanakan karena
seluruh pekerjaan yang ada dalam kontrak telah dilaksanakan dan kepada penyedia
pekerjaan dibayar penuh sebesar Rp7.000.000.000,-.
Keputusan tersebut akan menyebabkan kerugian negara karena PPK melakukan
penimbunan di atas lahan yang bukan milik pemerintah yang seharusnya tidak perlu
dilakukan penimbunan.
2) Pembangunan gedung pertemuan dikerjakan sesuai kontrak tanpa perubahan berupa
pengurangan pekerjaan. Secara formal pekerjaan seluruh pekerjaan dilakukan sesuai
kontrak. Namun pada kenyataannya pekerjaan penimbunan halaman gedung pertemuan
hanya dilakukan di atas lahan milik pemerintah seluas 700 m2 . Sedangkan di atas lahan
seluas 300 m2 yang diklaim oleh masyarakat tidak dilakukan penimbunan. Pada saat
serah terima hasil pekerjaan dinyatakan bahwa pekerjaan telah selesai dikerjakan 100%.
Berdasarkan Berita acara tersebut dilakukan pembayaran penuh Rp7.000.000.000,-.
Keputusan tersebut bukan saja menyebabkan kerugian negara tetapi juga menyeret
PPK dan PPHP ke dalam kasus korupsi karena melakukan pembayaran atas pekerjaan
yang tidak dilaksanakan (piktif).
3) PPK membuat keputusan yang isinya merubah jenis kontrak yang semula kontrak lump
sum menjadi kontrak harga satuan. Perubahan tersebut hanya perubahan nama jenis
kontrak saja dengan tujuan supaya dapat dilakukan pekerjaan tambah/kurang.
Selanjutnya setelah jenis kontrak dirubah menjadi kontrak harga satuan PPK dan
Penyedia pekerjaan sepakat melakukan perubahan isi kontrak dengan mengurangi
pekerjaan penimbunan halaman semula 1000 m2 menjadi 700 m2 .
Keputusan tersebut tidak sinkron dengan proses pelelangan yang telah dilakukan oleh
Pokja ULP karena pada saat melaksanakan proses pelelangan Pokja ULP telah
melaksanakan seluruh proses dengan cara yang ditentukan untuk kontrak lump sum.
Penetapan pemenang lelang dan nilai kontrak telah ditetapkan oleh Pokja ULP
berdasarkan hasil koreksi aritmatik yang telah dilaksanakan menurut cara koreksi
untuk kontrak lump sum. Seandainya sejak awal dilakukan pelelangan dengan cara
yang ditentukan untuk kontrak harga satuan bisa jadi pemenang lelang tersebut adalah
penyedia yang lain.

4) PPK membentuk tim pengendali pelaksanaan kontrak dan melakukan pengkajian


terhadapi kondisi yang dihadapi. Selanjutnya PPK dan penyedia sepakat melakukan
perubahan kontrak dengan mengurangi pekerjaan penimbunan halaman seluas 300 m2 .
Pelaksanaan pekerjaan disesuaikan dengan perubahan kontrak dan pembayaran atas
hasil pelaksanaan pekerjaan didasarkan pada pekerjaan yang benar-benar telah
dilaksanakan. Alternatif ini tidak sesuai dengan pasal 51 ayat (1) huruf f Perpres
nomor 54 tahun 2010. Namun inilah salah satu pilihan yang risikonya paling kecil dan
alasannya dapat diterima dalam rangka menghindari kerugian negara.

Kasus 2.
Dalam kontrak lump sum pekerjaan pembangunan rumah dinas yang dibiayai dari dana
APBD nilai kontrak Rp3.000.000.000,- terdapat bagian pekerjaan penimbunan lahan
sebanyak 55 m3 . Izin mendirikan bangunan (IMB) yang diajukan kepada Pemerintah Daerah
baru terbit setelah kontrak ditandatangani. Berdasarkan IMB pembangunan rumah dinas
harus bergeser 5 m ke arah belakang menjauhi jalan raya. Akibat dari pergeseran lokasi
tersebut posisi rumah dinas tersebut berada di atas lahan yang agak rendah dan selalu
digenangi air hujan. Berdasarkan perhitungan bersama antara PPK, tim teknis, dan penyedia
pekerjaan untuk menghindari ancaman banjir diperlukan tambahan pekerjaan penimbunan
tanah sebanyak 200 m3 . Jika tidak dilaksanakan penimbunan akan menyebabkan lantai
bangunan rumah tersebut akan terendam air setiap turun hujan. Biaya penimbunan tersebut
dapat diambil dari bagian pekerjaan pembuatan garasi. Penyedia mengusulkan agar
pembuatan garasi ditiadakan diganti dengan penambahan penimbunan.

Menghadapi situasi ini PPK harus mengambil keputusan. Alternatif putusan yang dapat
ditempuh antara lain:
1) Tetap memerintahkan penyedia membangun di atas lahan yang direncanakan tanpa
memperdulikan lokasi yang diizinkan dalam IMB. Pilihan tersebut tidak memerlukan
pekerjaan tambah/kurang. Risiko putusan tersebut adalah sewaktu-waktu proses
pembangunannya dapat dihentikan oleh pihak Pemerintah Daerah karena tidak sesuai
IMB. Jika terjadi pelebaran jalan yang mengharuskan rumah dinas tersebut dibongkar,
maka pembongkaran rumah tersebut tidak dapat mengajukan klaim ganti rugi kepada
Pemerintah Daerah.

2) Tetap memerintahkan penyedia membangun di atas lahan yang diizinkan dalam IMB
tetapi tidak melakukan perubahan pekerjaan. Pilihan tersebut memang tidak
memerlukan pekerjaan tambah/kurang. Namun setiap kali turun hujan rumah dinas yang
telah dibangun tersebut akan selalu direndami air karena letaknya lebih rendah dari
permukaan tanah di sekelilingnya.

3) Melakukan perubahan kontrak dengan mengurangi pekerjaan pembuatan garasi dan


menambahkan pekerjaan penimbunan sesuai hasil perhitungan bersama tim teknis dan
penyedia. Alternatif ini tidak sesuai dengan pasal 51 ayat (1) huruf f Perpres nomor 54
tahun 2010. Namun perlu dilakukan dalam rangka menghindari kerugian negara.

Kasus 3.
Dalam DIPA kantor X dialokasikan dana pembangunan gedung kantor dan 3 unit rumah
dinas sebesar Rp7.000.000.000,- Berdasarkan gambar disain dan engeener’s estimation
(EE) yang dibuat oleh konsultan perencana telah ditetapkan Harga Perkiraan Sendiri HPS
sebesar Rp6.900.000.000,-. Agar leluasa melakukan perubahan kontrak, PPK menetapkan
jenis kontrak yang akan digunakan adalah kontrak harga satuan. Dalam proses pelelangan
Pokja ULP telah menetapkan pemenang lelang PT. A dengan total penawaran
Rp6.250.000.000,- dan berdasarkan hasil lelang tersebut PPK dan PT. A telah
menandatangani kontrak pembangunan gedung dan 3 unit rumah dinas dengan nilai
Rp.6.250.000.000,-

Atas kontrak yang sudah ditandatangani tersebut, dengan alasan pemanfaatan sisa anggaran
maka PPK melakukan perubahan kontrak dengan cara:
1) Bersama-sama dengan PT. A menambah pekerjaan baru dalam kontrak yang telah
disepakati dengan PT.A berupa pembangunan sebuah rumah dinas senilai
Rp600.000.000,- sehingga rumah dinas yang harus dibangun oleh PT. A menjadi 4 unit
dan nilai kontrak seluruhnya menjadi Rp6.850.000.000,- atau
2) Bersama-sama dengan PT. A merubah disain, model, dan ukuran rumah dinas yang
telah dikontrakkan serta merubah nilai kontrak menjadi lebih besar dengan tujuan untuk
memanfaatkan sisa anggaran.

Jika jenis kontrak yang digunakan adalah kontrak harga satuan, maka perubahan kontrak
berupa penambahan pekerjaan seperti di atas seakan-akan dibolehkan. Akan tetapi
mengingat penetapan jenis kontrak harga satuan oleh PPK ditujukan untuk memungkinkan
dilakukan penambahan pekerjaan, maka perubahan seperti ini sebenarnya tidak dibolehkan
karena tidak sesuai dengan prinsip efisien dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Prinsip
efisiensi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menghendaki agar pencapaian sasaran
yang telah ditetapkan dapat menggunakan sumber dana seminim mungkin.

Dalam pembangunan gedung dan rumah dinas yang dicontohkan di atas, ternyata cukup
dengan dana Rp6.250.000.000,-. Karena itu tidak perlu dilakukan penambahan pekerjaan
dengan merubah kontrak.

F. Kesimpulan
1) Karena volume pekerjaan konstruksi sudah dapat dihitung sebelum penandatanganan
kontrak, maka pengadaan pekerjaan konstruksi tidak dibolehkan menggunakan kontrak
harga satuan.
2) Dalam hal terdapat bagian pekerjaan konstruksi yang volumenya masih bersifat
perkiraan, maka hanya untuk bagian pekerjaan tersebut dapat menggunakan kontrak
harga satuan. Sedangkan bagian pekerjaan lainnya harus menggunakan kontrak lump
sum. Karena itu kondisi demikian kontrak yang dapat digunakan adalah kontrak
gabungan.
3) Jika memang terdapat kebutuhan untuk melakukan penambahan dan/atau pengurangan
pekerjaan sepanjang hal tersebut memang urgen dan untuk menghindari kerugian
negara dapat dipertimbangkan untuk melakukan pekerjaan tambah/kurang sekalipun
jenis kontrak yang digunakan adalah kontrak lumpsum.

Daftar Pustaka:

Peraturan perundang-undangan:

1. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;


2. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
3. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Karya ilmiah:
1. Sopian Abu, Pentingnya Memahami Jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa,
http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/pelembang/attachment/
2. Yudiyatna Heldi, Pasal 51 Penjelasan Tentang Jenis Kontrak Pengadaan,
https://www.google.com/search?q=google&ie=utf-8&oe=utf-
8#q=kontrak+lump+sum+atau+harga+satuan

3. Khalid Nst, Kontrak Harga Satuan atau Kontrak Lumpsum,


(https://khaliknst.wordpress.com/2012/07/05/kontrak-harga-satuan-atau-kontrak-
lumpsum/

Anda mungkin juga menyukai