Anda di halaman 1dari 13

Sekilas Tentang Sekularisme*

Oleh Arif Rahman Hakim**


Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin) yang memiliki arti
waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau lebih tepatnya menunjukkan kepada waktu sekarang
dan di sini, dunia ini. Sehingga, sungguh tepat jika saeculum disinonimkan dengan
kata wordly dalam bahasa inggrisnya.[1] Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai
faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an sich).
Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan
setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.
Oleh karena itu, sekularisme secara terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep
yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan
lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya
dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan
manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia
dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing
mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada pada
jalurnya sendiri-sendiri. Namun sebelum lebih jauh mengenal sekularisme secara terminologi
dan epistemologinya, ada hal penting yang harus diketahui dan difahami terlebih dahulu sebagai
“pintu masuk” untuk bisa menjawab pertanyaan yang mendasar, mengapa sekularisme itu
“terlahir” ke dunia ini. Pintu masuk tersebut tiada lain adalah sejarah dan latar belakang lahirnya
sekularisme.
Sejarah Sekularisme
Sejarah munculnya sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan (mosi tidak
percaya) masyarakat Eropa kepada agama kristen saat itu (abad 15 an). Di mana kristen beberapa
abad lamanya menenggelamkan dunia barat ke dalam periode yang kita kenal sebagai the dark
age. Padahal pada saat yang sama peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak
kejayaannya. Sehingga ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau
mereka mengalami kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya mereka mendapatkan sesuatu yang
berharga, yaitu inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah mereka “bergesekan” dengan umat
Islam di perang salib hal tersebut ternyata menjadi kawah candradimuka
lahirnya renaissance beberapa abad setelahnya di Eropa. Setelah mereka menerjemahkan buku-
buku filsafat yunani berbahasa arab dan karya-karya filosof Islam lainnya ke dalam bahasa latin.
Pada saat Eropa mengalami the dark age, kristen yang sudah melembaga (baca: Gereja) saat
itu menguasai semua ranah kehidupan masyarakat Eropa. Politik, ekonomi, pendidikan dan
semuanya tanpa terkecuali yang dikenal denga istilah ecclesiastical jurisdiction (hukum Gereja).
Semua hal yang berasal dari luar kitab suci Injil dianggap salah. Filsafat yang notabene
sebagai al-umm dari ilmu pengetahuan dengan ruang lingkupnya yang sangat luas, mereka
sempitkan dan dikungkung hanya untuk menguatkan keyakinan mereka tentang ketuhanan yang
trinitas itu. Mereka menggunakan filsafat hanya sekedar untuk menjadikan trinitas yang irasional
menjadi kelihatan rasional. Dengan demikian secara otomatis filsafat yang seharusnya menjadi
induk semang dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada menjadi mandul dan tidak berfungsi.[2]
Padahal sebenarnya apa yang dilakukan kristen saat itu sudah bertentangan dengan falsafah
kristen itu sendiri. Di mana dalam falsafah kristen mengenal adanya dua kerajaan. Kerajaan
dunia dan kerajaan langit (baca: kerajaan tuhan). Manusia hidup di dunia ini hanya sekedar
menjalani hukuman atas dosa warisan nenek moyang manusia, Adam.[3] Sehingga kerajaan
langit adalah satu-satunya tujuan manusia dengan cara membebaskan diri dari segala dosa.
Sampai akhirnya tuhan sendiri yang turun/menurunkan anaknya dan mengorbankannya sebagai
penebus dosa seluruh manusia.[4] Maka sesuai dengan sabda Yesus sendiri yang dikisahkan
Injil, “Berikan kepada kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan juga kepada tuhan apa yang
menjadi haknya”. Sabda ini secara gamblang menyatakan bahwa urusan kehidupan dunia diatur
oleh penguasa negara.
Tetapi pada tatanan praktis selanjutnya teori “two swords” yang menjadi bagian dari falsafah
agama kristen itu dilanggar, dengan menjadikannya “one sword” (satu kekuasaan saja,
kekuasaan kristen, ecclesiastical jurisdiction). Dua sisi ruh (spiritual) dan materi (keduniaan)
yang dimiliki manusia yang mana ruh dikuasai/diperintah oleh kekuasaan kristen (baca: Gereja)
dan materi diatur oleh kekuasaan raja/penguasa negara, dijadikan satu yaitu sisi ruh dan materi
manusia diatur oleh kekuasaan kristen saja. Padahal kristen itu sendiri adalah ajaran ruhi an
sich dan tidak memiliki ajaran materi (bagaimana mengatur urusan manusia dalam sisi materinya
seperti syari’ah di dalam Islam). Tentu hal tersebut mengakibatkan “kekacauan” pada tatanan
kehidupan manusia selanjutnya. Bagaimana tidak, sisi manusia yang bersifat materi yang identik
dengan rasionalitas, immanent, profan harus diatur dan diperintah oleh kekuasaan yang bersifat
ruhi an sich yang identik dengan irasionalitas, permanent, sakral. Yang pada akhirnya kekacauan
falsafah inilah yang menenggelamkan masyarakat Eropa ke dalam jurang the dark age berabad-
abad lamanya.[5]
Ilmu pengetahuan yang menopang majunya sebuah peradaban malah dimusuhi. Ketika ada
penemuan baru yang dianggap bertentangan dengan isi injil dianggap sebagai sebuah
pelanggaran yang harus ditebus dengan nyawa. Sebagaimana yaang dialami Copernicus yang
menyatakan teori heliosentrisnya yang notabene bertentangan dengan injil yang mengemukan
teori geosentris.
Sesuai dengan teori arus air, jika ia ditahan maka lama kelamaan akan menjadi tenaga yang
begitu dahsyat untuk mengahancurkan penahannya. Begitu juga yang terjadi di Eropa pada abad
15 dengan apa yang disebut renaissance sebagai lambang dari pembebasan masyarakat Eropa
dari kungkungan kristen. Gerakan renaissance ini mulai digerakkan di berbagai lini, seni,
gerakan pembaruan keagamaan yang melahirkan kristen protestan, humanisme dan penemuan
sains.[6] Yang selanjutnya diteruskan dengan masa enlightenment pada abad ke-18 satu abad
setelah lahirnya aliran Filsafat Moderen pada abad ke-17.
Tirani Gereja
Kristen—sebagaimana yang kita ketahui—merupakan agama yang cinta damai, welas asih
dan agama cinta kasih. Ini bisa dilihat dari perkataan Yesus yang memerintahkan murid-
muridnya untuk memberikan pipi kanan jika dipukul pipi yang kiri. Namun, pada kenyataannya
Gereja sebagai kristen yang melembaga justru menjadi tirani bagi bangsa Eropa pada abad
pertengahan, yang membuat Eropa terpuruk selama berabad-abad dalam masa yang disebut the
dark age. Maka timbulah pertanyaan, apa sebenarnya yang membuat Gereja menjadi tirani di
Eropa saat itu.
Hal tersebut sebenarnya kembali kepada masa-masa ketika kristen baru lahir atau semenjak
wafatnya Yesus di tiang salib—yang setelah tiga hari bangkit kembali, menurut keyakinan
mereka. Pada masa-masa awal lahirnya kristen, umat kristen harus terus bersembunyi (baca:
menyembunyikan iman mereka) dari pemerintahan Romawi. Terutama para murid Yesus yang
terus menyebarkan ajaran guru mereka dengan sembunyi-sembunyi. Dan pada periode yang
penuh tekanan inilah injil ditulis dengan gaya bahasa mereka (baca: murid-murid Yesus, baik
yang langsung ataupun tidak) masing-masing. Sehingga bercampurlah di sana antara firman
tuhan dan persepsi mereka sendiri tentang ajaran Yesus.
Kristen terus menyebar dengan cara seperti itu, di mana injil hanya dikuasai oleh para murid
Yesus saja dan terus turun temurun kepada murid-murid mereka. Sehingga akhirnya injil hanya
boleh dibaca oleh para pemuka agama kristen saja. Orang biasa tidak diperbolehkan untuk
langsung membaca injil dan memahaminya sendiri. Karena, di samping bahasa asli injil itu
sendiri yang tidak bisa dipahami oleh orang biasa, ditambah lagi dengan kondisi saat itu yang
masih di bawah tekanan Romawi, sehingga para penyebar kristen harus berhati-hati dalam
mengajarkan ajaran Yesus tersebut.
Monopoli pemahaman dan penafsiran injil itu oleh para pemuka kristen (rijâlu ad-dîn) terus
berlaku sampai akhirnya kristen mejadi agama resmi Romawi. Justru semenjak itu pula kristen
melembaga menjadi institusi Gereja. Monopoli kitab suci semakin menjadi. Yang mana
monopoli kitab suci tersebut berbuah kepada monopoli keberagamaan kristen. Monopoli itu pula
menjadikan umat kristen sangat bergantung kepada institusi Gereja. Dan justru ketergantungan
itu malah menambah keangkuhan para pemuka kristen sehingga menjadi tirani di Eropa.
Kekuasaan Gereja saat itu tidak hanya terbatas dalam bidang agama saja, lebih dari itu
seluruh aspek kehidupan dikuasai seluruhnya oleh Gereja.
v Aspek keagamaan
Dalam aspek keagamaan, kristen setelah menjadi sebuah agama resmi yang formal (baca:
melembaga) melalui counsil Nicea pada tahun 325 M. Di mana secara resmi para pemuka kristen
—terutama Gereja barat—menobatkan Yesus sebagai tuhan anak. Dan siapa saja yang melawan
keputusan counsil tersebut akan mendapatkan hukuman yang berat selain dicap sebagai seorang
heretic. Melalui counsil-counsil yang selanjutnya dilakukan secara rutin untuk membahas
permasalahan akidah dan syari’ah yang menurut mereka perlu disempurnakan itulah, Gereja
memonopoli keagamaan umat kristen. Melalui counsil-counsil itu pula Gereja dengan mudah
mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Contohnya saja tentang wajibnya khitan dirubah
menjadi haram, daging babi dan bangkai yang asalnya haram berubah menjadi halal, menyembah
patung yang asalnya syirik menjadi pengungkapan rasa ketakwaan kepada tuhan dan lain
sebagainya.
Ajaran Yesus (baca: Nabi Isa) yang asalnya berasakan tauhid berubah 180 derajat menjadi
ajaran yang tidak ada bedanya dengan agama Romawi kuno, paganisme.
Seseorang tidak akan bisa berkomunikasi dengan tuhan kecuali melalui lembaga Gereja (para
pendeta). Itulah anggapan mereka sehingga membuat mereka dianggap sebagai orang-orang
yang suci dan tidak akan pernah salah. Anggapan itulah yang terus melahirkan sikap angkuh dan
tirani para pendeta dan penguasa Gereja, selain adanya ketergantungan yang sangat dari umat
kristen kepada lembaga Gereja dalam menjalankan kegiatan keberagamaan mereka.
v Aspek politik
Ketika kehidupan keagamaan masyarakat berhasil dikuasai, maka secara otomatis kekuasaan
politik pun dikuasai pula. Raja-raja Eropa tidak bisa dengan sembarangan memberikan
keputusan ataupun kebijakannya tanpa meminta pertimbangan Gereja. Saking berkuasanya
Gereja, seorang uskup mempunyai wewenang untuk menurunkan seorang raja dari tahtanya.
Atau minimalnya memboikot kekuasaan mereka, sehingga mereka menjadi raja tanpa kekuasaan.
Father Nicola pertama mengatakan, bahwa anak tuhan (Yesus) telah membangun Gereja dan
menjadikan Petrus (muridnya) sebagai kepala Gereja tersebut. Dan para uskup Roma telah
mewarisi kekuasaan tersebut terus menerus secara turun-temurun. Seorang uskup adalah wakil
Allah di muka bumi ini, oleh karena itulah ia harus mempunyai kekuasaan yang mutlak atas para
umat nashrani baik mereka itu sebagai raja atau pun rakyat biasa.[7]
Father Grigorie ketujuh mengatakan, bahwa Gereja adalah undang-undang tuhan oleh karena
itu sudah menjadi hak dan kewajiban seorang father untuk mencopot kekuasaan seorang raja
yang tidak taat terhadap ajaran kristen, serta mengangkat seseorang menjadi raja sesuai dengan
tuntutan keadaan.[8]
v Aspek ekonomi
Kristen adalah agama yang banyak mengajarkan zuhud terhadap keduniaan. Namun anehnya
para uskup penguasa Gereja sungguh terbalik keadaannya dengan yang seharusnya. Ketika
mereka seolah mengharamkan bagi para pengikutnya untuk mencari harta duniawi, tetapi justru
mereka sendiri yang meraup harta sebanyak-banyaknya melalui denda untuk menebus dosa. Di
mana para pengikut kristen bisa terampuni dosanya jika telah mendapatkan pengampunan dari
pendeta dengan cara membayar denda berupa uang.
Ada beberapa fenomena yang menggambarkan tentang tirani Gereja dalam aspek ekonomi
ini:[9]
1. Kepemilikan tanah dengan sistem feodalisme
Will Durant mengatakan bahwa Gereja saat itu (midle age) merupakan tuan tanah terbesar di
Eropa. Misalnya saja Biarawan Velda yang memiliki 15000 istana kecil, seorang saint Jul
memiliki 2000 orang budak pekerja. Ada juga salah seorang pemuka Gereja yang memiliki
20.000 orang budak. Para raja dan para uskup saling membantu dalam menjaga kepemilikan dan
kekuasaan mereka. Mereka saling mengikat loyalitas satu sama lain. Demikianlah Gereja
menjadi bagian dari sistem feodalisme yang ada saat itu.[10]
2. Wakaf tanah
Gereja memiliki sebagain tanah yang ada di daratan Eropa sebagai wakaf dengan dalih untuk
kebutuhan pembangunan Gereja dan dan mempersiapkan perang salib. Seorang reformis kristen,
Weiklaf mengatakan bahwa Gereja menguasai tanah-tanah di Inggris dan memungut pajak-
pajak/upeti-upeti dari tanah-tanah yang bukan milik Gereja
3. Sepersepuluh dari penghasilan atau panen
Wales mengatakan bahwa Gereja selain memungut pajak juga memungut upeti sebesar
sepersepuluh dari penghasilan masyarakat. Upeti tersebut bukan hanya sekedar sedekah dari para
pengikut kristen tetapi juga merupakan hak Gereja yang menjadi kewajiban atas mereka.[11]
4. Pajak tahun pertama
Selain wakaf, dan upeti sepersepuluh dari pendapatan, Gereja juga memungut pajak baru
yang disebut pajak tahun pertama. Pajak ini pertama kali didakan oleh Father Hana ke-22. dalih
Gereja memungut pajak tersebut adalah untuk membiayai perang salib dan perayaan-perayaan
suci.
5. Hadiah
Para pemuka Gereja banyak menerima hadiah dari para tuan tanah dan orang-orang kaya.
Mereka banyak memberi harta kepada pihak Gereja dikarenakan takut Gereja tidak akan
memberikan ampunan ketika mereka akan mati.
6. Kerja secara Cuma-Cuma
Ketamakan Gereja tidak hanya sebatas memiliki ribuan budak pekerja saja, mereka pun
ternyata masih meminta masyarakat untuk bekerja secara Cuma-Cuma untuk Gereja. Di
antaranya untuk mengurusi ladang-ladang milik Gereja, terutama untuk membangun Gereja, dan
pekerjaan lainnya tanpa dibayar sepeser pun. Biasanya Gereja mewajibkan satu hari dalam
seminggu untuk masyarakat aga rbekerja untuk Gereja.
Pergumulan antara Gereja dan sains
Ada dua hal setidaknya yang dilakukan Gereja sehingga menghasilkan peperangan yang
tidak pernah berakhir antara Gereja dan sains. Pertama, Gereja telah banyak melakukan
penyimpangan terhadap wahyu yang sebenarnya pada kitab suci Injil. Kedua, mereka
memaksakan kehendak untuk berkecimpung dalam tatanan yang bukan bidangnya.
Dari kesalahan pertama yang mereka lakukan menghasilkan banyaknya khurafat dan
takhayul yang menghiasi ajaran agama kristen. Sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara ajaran
yang berupa wahyu sesungguhnya dengan ajaran yang hanya khurafat dan takhayul belaka.
Sedangkan dari kesalahan kedua yang mereka perbuat adalah adanya monopoli kebenaran
yang mereka klaim sediri dan menolak yang selain dari itu. Gereja secara paksa ingin
menyebarkan faham atau konsep yang mereka anut kepada akal seluruh masyarakat ketika itu.
Atau dengan kata lain mereka ingin memaksakan diri mengalahkan sains yang berlandaskan
kepada eksperimen dan observasi secara kongkrit dengan takhayul dan khurafat yang mereka
yakini kebenarannya sebagai ajaran kitab suci.
Britain mengatakan, bahwa pada abad pertengahan para ilmuwan terdiri dari orang-orang
yang masih bagian dari institusi Gereja. Di mana Gereja sudah berusaha untuk mengintervensi
setiap ruang gerak manusia dan mengarahkannya sesuai kehendaknya, terutama ruang gerak
akalnya; berupa pemikiran dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian para ilmuwan Gereja
tersebut berusah untuk memonopoli kehidupan pemikiran saat itu. Gereja saat itu merupakan
ceramah, surat kabar, percetakan, perpustakaan, sekolah, dan kuliah. Dan para ilmuwan Gereja
maupun para pelajar kristen biasa yang senang menggeluti dunia filasafat, saat itu sangat dan
banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani terutama filsafat Aristoteles dan Bathlemus. Mereka
dengan sekuat tenaga berusaha untuk mensikretiskan keyakinan agama mereka dengan
pemikiran-pemikiran filsafat tersebut. Sehingga lahirlah dari gabungan keduanya filsafat kristen,
yaitu percampuran antara filsafat Yunani dan ajaran yang terdapat dalam perjanjian lama dan
perjanjian baru, juga perkataan para saint terdahulu. Dalam frame filsafat mereka itulah, para
filosof kristen memiliki teori-teori tersendiri tentang alam semesta, geografi dan sejarah. Gereja
berpendapat dengan filsafat kristen yang mereka racik itu mereka bisa mempertahankan diri dari
para pengkritik ajaran kristen. Teori-teori yang mereka hasilkan itu untuk kemudian dianggap
sebagai bagian dari ajaran kristen yang terdapat dalam ajaran kitab suci.
Pada awal mulanya filsafat dan sains hanya dikenal di kalangan Gereja saja. Akan tetapi,
lama kelamaan orang-orang Eropa menemukan apa yang nantinya menjadi benih-benih
periode renaissance nantinya. Mereka menemukan sisa-sisa peninggalan umat Islam di pusat-
pusat peradaban di Eropa; Andalus, Sicilia, dan Italia selatan, berupa ilmu pengetahuan. Mereka
mengenal metodologi penelitian dan metodologi berpikir yang benar dari kaum muslimin di
tempat-tempat tersebut. Sehingga akhirnya muncullah para ilmuwan yang bukan dari kalangan
Gereja.
Sebut saja salah satu contohnya Copernicus. Ia menemukan teori heliosentris tentang tata
letak tata surya kita, bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi oleh
planet-planet, seperti bumi salah satunya. Tentu itu bertentangan dengan teori Gereja yang
dianggap sebagai keyakinan bagian dari ajaran kristen, bahwa bumilah yang menjadi pusat tata
surya dengan alasan karena di bumilah tempat anak tuhan turun dan mengorbankan nyawanya
sebagai tebusan atas dosa-dosa manusia, di mana matahari dan benda-benda langit lainnya
beredar mengitari bumi. Karena itulah, Gereja menjatuhkan hukuman mati kepadanya karena
telah berani menentang keyakinan kristen, ajaran tuhan.
Beberapa lama setelah itu, muncul Galileo Galilei yang memunculkan lagi teori heliosentri.
Bahwa bumi bergerak mengitari matahari. Dan ini bertentangan dengan apa yang disebutkn di
antaranya di dalam Perjanjian Lama, Psalm 104:5, “[the LORD] set the earth on its foundations;
it can never be moved.” Galileo pun dijatuhi hukuman yang sama, hukuman mati. Namun,
berbeda dengan Copernicus, Galileo ruju’ dari pendapatnya tersebut dan akhirnya dibebaskan.
Revolusi Perancis
Di atas sudah disebutkan bahwa Eropa saat itu bersistemkan Feodalisme yang membuat
rakyat Eropa yang sebagian besar petani menjadi sengsara. Tentu sudah menjadi sunnatullah,
bahwa orang-orang yang tersakiti lambat laun akan menyusun kekuatan untuk melepaskan diri
dari pihak yang telah menyakitinya secara terus menerus.
Bangsa Eropa justru baru menyadari akan kelemahan dan kebobrokan sistem Feodalisme
yang mereka pakai, seteleh bergesekan secara langsung dengan kaum muslimin di pusat
peradaban Islam di Eropa dan ketika di perang salib. Sehingga tidak aneh jika revolusi pertama
melawan sistem feodalisme terjadi di Perancis pada abad keempat belas di tangan para petani,
karena secara geografis Perancis dekat dengan Andalusia sebagai bekas pusat peradaban Islam di
samping jauhnya Perancis dari pusat kristen di Roma.
Wales mengatakan bahwa revolusi yang dilakukan melawan Gereja bukanlah penentangan
mereka terhadap kristen, melainkan perlawanan mereka terhadap kesewenang-wenangnan pihak
Gereja terhadap rakyat kecil yang suka menindas mereka seenaknya dengan dalih agama.
Mereka bukannya ingin terlepas dari pengawasan agama, justru yang mereka inginkan uskup
sebagai pengayom umat kristen bisa menjalankan tugasnya dengan sesungguhnya sebagai
pemimpin umat kristen dan bukannya menjadi para pengumpul harta kekayaan.[12]
Namun usaha pertama tersebut menemui kegagalan. Akan tetapi walaupun demikian upaya
itu ternyata menjadi benih bagi gerakan-gerakan revolusi selanjutnya dan menyebar ke seluruh
daratan Eropa. Dan akhirnya pada abad ke 18 perjuangan rakyat Perancis melawan para feodal
berhasil memetik buahnya. Sehingga lahirlah negera pertama di Eropa yang berbentuk Republik
yaitu sebuah bentuk negara yang tidak berdasarkan kepada ajaran agama (baca: kristen). Negara
yang mengatasnamakan kerakyatan dan bukannya ketuhanan, seperti sebelumnya.
Teori Evolusi
Setelah terjadinya revolusi Perancis, penemuan Newton tentang gaya tarik bumi, munculnya
teori mekanisme yang merubah cara pandang terhadap alam semesta dan tuhan membuat
masyarakat Eropa mempunyai pandangan yang berubah terhadap kristen. Mereka mulai menaruh
keraguan terhadap kristen sebagai ajaran yang benar. Namun walaupun demikian kristen masih
tetap memiliki pamornya sebagai agama bangsa Eropa kala itu.
Dalam kondisi Eropa yang seperti itu, muncullah Charles Darwin dengan teori evolusinya
yang secara tersirat tapi pasti menolak adanya tuhan dan penciptaan. Mulai dari sinilah kristen
digantikan perannya oleh agama naturalis yang diagung-agungkan oleh para filosof dan ilmuwan
yang atheis.
Teori evolusi ini sebenarnya adalah jawaban dari pertanyaan yang belum terjawab setelah
munculnya teori mekanisme, sebagai buah dari terori gravitasi yang ditemukan Newton. Teori
mekanisme mengemukakan bahwa semua yang ada di alam semesta ini bergerak secara otomatis
yang diikat oleh hukum sebab akibat. Sungguh bertentangan dengan kepercayaan kristen yang
menolak hukum sebab akibat, semua yang terjadi di alam semesta ini adalah karena kuasa tuhan.
Maka menurut teori mekanisme ini tuhan hanya bertugas menciptakan alam semesta ini dari
tiada menjadi ada dan membiarkannya bergerak dengan sendirinya secara otomatis. Tuhan
menurut teori ini bak seorang pembuat arloji yang setelah arloji itu terbentuk, ia berjalan dengan
sendirinya tanpa campur tangan si pembuatnya. Teori mekanisme ini adalah sebagai penafsiran
terhadap hukum alam yang berlaku bagi fenomena alam yang terjadi. Maka bagaimana dengan
makhluk hidup.
Lahirnya teori evolusi ini merupakan teori yang menjadi hukum bagi perkembangan makhluk
hidup yang berdasarkan kepada terori mekanisme di atas. Bahwa secara mekanisme lahirnya
makhluk hidup yang beraneka ragam ini muncul dari satu makhluk yang bersel satu. Lalu
kemudian lambat laun berubah menjadi makhluk yang bersel banyak. Lalu terus sedikit demi
sedikit secara gradual menjadi makhluk yang lebih kompleks dari sebelumnya. Yang mana teori
evolusi ini berdasarkan kepada teori seleksi alam, bahwa yang kuatlah yang akan terus hidup dan
mengalami evolusi sehingga menjadi makhluk yang terkuat dan sempurna.
Dengan munculnya teori ini, otomatis peran tuhan kristen yang didefinisikan sebagai sosok
yang pemarah—karena menghukum adam dan keturunannya hanya karena memakan buah
larangan—dan kejam—karena mengorbankan anaknya sendiri untuk dijadikan tumbal dosa-dosa
manusia—sudah bisa digantikan dengan nature. Bahwa, naturelah yang sudah berbaik hati
menciptakan makhluk hidup, terlebih khusus manusia.
Dari teori ini, muncullah pengaruh-pengaruh sebagai berikut:
1. Hancurnya keyakinan terhadap agama, khususnya kristen
2. Menafikan adanya tujuan dan maksud dari penciptaan
3. Menganggap manusia tak ubahnya sama dengan binatang dan hanya terdiri dari materi.
4. Mutlaknya relativisme
Sebab-Sebab Lahirnya Sekularisme Dari Rahim Kristen Barat
Jika di atas merupakan sekilas tentang pembahasan mengenai sebab-sebab lahirnya
sekularisme secara umum, maka di sini akan dibahas mengani sebab-sebab lahirnya sekularisme
dari rahim kristen barat, secara khususnya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab lahirnya sekularisme dari rahim kristen barat.
Diantaranya ialah:
Pertama, kristen barat berdasarkan kacamata Islam, sebenarnya adalah bukan lagi murni
agama samawi. Dan penamaan kristen sendiri justru bukan lahir saat agama itu diturunkan
kepada Nabi Isa (Yesus). Penamaan itu lahir setelahnya. Tidak seperti Islam yang penamaannya
sudah terpatri dan terukir dalam kitab sucinya Al-Qur’an. Sehingga penamaan Islam itu sendiri
ada sejak agama itu mulai ada.
Sejarah pun membuktikan, bahwa sepeninggal Nabi Isa as. ajaran yang beliau bawa sedikit
demi sedikit mengalami perubahan (baik yang bersifat reduksi, adopsi, maupun asimilasi). Dan
perubahan yang sangat mendasar terjadi ketika Paus pertama ada. Atas nama sebagai rasul yang
diutus Yesus guna menyebarkan ajaran kristen ke seluruh dunia, dia merubah syari’ah seperti
khitan, aqidah dengan trinitas dan juga melakukan sakralisasi politik yang tersurat dalam teori
two swordsnya yang akhirnya menjadi one sword dengan alasan guna mengejewantahkan
paradigma the kingdom of God.[13] Sehingga karena kristen sudah bukan orijinal ajaran Tuhan
lagi, maka tentu konsekuensinya sebagai ajaran budaya ia akan mengalami
perubahan hatta dalam pokok ajarannya (dogma) sesuai dengan semangat zaman. Sampai
akhirnya ajaran tersebut dianggap usang dan tidak perlu digunakan lagi. Sehingga di barat kristen
sebagai agama hanya dianggap sebagai salah satu proses manusia (barat) dalam menemukan jati
dirinya yang menurut mereka kini telah ditemukan. Dalam artian kristen sudah tidak diperlukan
lagi oleh mereka. Dan ini sesui dengan teori evolusi manusia. Ketika masa middle age manusia
masih dalam fase anak-anak yang memerlukan bimbingan dari “luar” (alam metafisis).
Sedangkan pada masa moderen (dimulai dari masa renaissance) manusia dianggap telah
mencapai fase kedewasaan dan kematangannya dalam berpikir sehingga tidak perlu lagi
mendapatkan bimbingan dari “orang lain”. Akal manusia saat itu sudah dianggap dewasa dan
tidak perlu lagi tuntunan tuhan (baca: agama) untuk hidup di dunia ini. Maka inilah mungkin
yang menjadi semangat sebuah buku yang berjudul “Secularism is The Will of God”, bahwa
sekularisme tiada lain merupakan suatu keniscayaan dan termasuk ke dalam sejarah manusia atau
bisa dikatakan sebagai pembentuk dari sejarah itu sendiri.
Kedua, ketika kristen bergeesekan dengan budaya Romawi dan filsafatnya yang notabene
berbaukan ajaran paganisme, secara lambat laun namun pasti kristen terpengaruh oleh ajaran
paganisme tersebut. Filsafa-filsafat Yunani (ketika itu Yunani sudah dikuasai Romawi) pun ikut
mempengaruhi pokok-pokok ajaran kristen. Hal tersebut bisa dilihat dari simbol-simbol yang
digunakan. Dan sebenarnya filsafat Yunani itulah yang mengandung benih-benih sekuler di
dalamnya. Sebagaimana yang kita ketahui setelah filsafat naturalisme menggeser mitologi di
Yunani, saat itu Yunani sudah beroirentasikan kepada meterialisme. Dalam artian, sudah tidak
terlalu peduli dengan hal-hal yang bersifat supranatural dan metafisis. Terbukti dengan
pemikiran-pemikiran para filosof saat itu yang memandang bahwa alam ini terbuat dari unsur-
unsur materi seperti air sebagaimana yang dikatakan Thales, tanpa memandang bahwa ada
kekuatan metafisis yang menciptakan alam semesta ini tanpa bahan sekalipun.
Maka, ketika kristen mengadopsi filsafat Ariostotelesianisme, alih-alih ingin menguatkan
dogma kristen dengan filsafat yang terjadi malah berujung dengan sekularisasi dalam ajaran
kristen tersebut. Bagaimana tidak, filsafat aristotelesianisme yang menjadi dasar filsafat
materialisme tentu akan bertentangan dengan inti falsafah kristen yang bersifat imateri, ruhi an
sich. Sehingga ketika masa renaissance tiba, filsafat Yunani menemukan jati diri asalnya yang
lebih condong kepada materialisme sebagai ruh dari paganisme. Karena literatur-literatur kuno
filsafat Yunani dihidupkan kembali apa adanya, dengan artian tanpa ada usaha untuk menjadikan
filsafat sebagai alat legitimasi dogma sebagaimana yang dilakukan oleh kristen (baca: Gereja)
pada masa-masa sebelumnya. Otomatis pemikiran-pemikiran yang bersifat nyeleneh pun hidup
kembali saat itu, seperti pemikiran-pemikiran kaum Sofis yang menjadikan relativisme sebagai
inti dari filsafat mereka. Yang mana relativisme ini jugalah yang menjadi salah satu inti dari
epistemologi sekularisme.
Ketiga, karena dalam kristen ada teori two swords yang menyatakan bahwa adanya dua
kekuasaan yaitu kekuasaan Tuhan yang diwakili oleh Gereja dan kekuasaan dunia yang diwakili
oleh raja atau penguasa, dan hal ini adalah apa yang disabdakan sendiri oleh Yesus sebagaimana
yang dikisahkan injil, ’’Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan berikanlah
kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan”. Pada teori two swords inilah sebenarnya sudah
mengandung benih-benih sekularisme[14]. Karena ternyata sekularisme sebagai konsep yang
berisikan memisahkan urusan agama dan dunia (negara) sudah—bisa dibilang—menjadi pokok
ajaran kristen itu sendiri. Maka tidak aneh ketika ada theolog-theolog kristen yang setuju dengan
sekularisme dengan alasan bahwa itu merupakan ajaran yang dinyatakan oleh injil itu sendiri.
[15]
Keempat, Kristen tidak mempunyai ajaran yang berbentuk syari’at.[16] Karena Nabi Isa
diutus oleh Allah untuk meluruskan syari’at Taurat yang telah diselewengkan dan bukan untuk
membawa syari’at yang baru. Oleh sebab itu, di dalam injil lebih banyak berisikan ajaran akhlak
dari pada ajaran aqidah atau syari’ah. Hal ini disadari oleh para penganut kristen beberapa abad
sepeninggal Nabi Isa bahwa kristen tidak memiliki aturan yang baku yang mengatur kehidupan
manusia di dunia ini. Maka oleh sebeb itulah munculnya council-council umat kristen sedunia
untuk membahas segala permasalahan-permasalahan yang muncul di antara mereka. Seperti
Council Nicea, Konstantinopel dan sebagainya.[17] Di sini semakin terlihat kristen tidak bisa
menjadi ajaran tuhan yang seharusnya mampu menjadi solusi dari setiap permasalahan yang
mengelilingi manusia setiap harinya. Sehingga masyarakat Eropa saat itu (abad ke-
15, renaissance disusul dengan enlightenment) menganggap bahwa ilmu pengetahuanlah yang
mampu membantu manusia untuk menyelesaikan segala problematika hidupnya dan sebaliknya
mengangap agama tidak mempunyai kemampuan sebagai solusi problematika hidup.
Dari empat sebab itulah (diantaranya) kristen mempunyai potensi besar untuk melahirkan
sekularisme.
Terminologi Sekularisme
Sebagaimana yang dibahas di atas bahwa sekularisme sering diartikan sebagai sebuah konsep
yang memisahkan antara negara dan agama atau dengan kata yang lain sekularisme sering
diartikan sebagai sebuah ideologi politik. Padahal sekularisme sebenarnya mempunyai arti yang
lebih dalam dan mengakar. Hal ini disadari oleh para pemikir Islam diantaranya :
a. Abdul Wahab Al-Masiri[18]
Dia membagi sekularisme pada dua macam; pertama, sekularisme parsial (‘almaniyah
juziyyah) dan sekularisme totalistik (‘almaniyah syamilah). Sekularisme parsial diartikan sebagai
paham yang memisahkan antara negara dan agama, sebagai definisi sekularisme yang sering
dipakai, padahal pemahaman ini hanyalah sebagian bentuk dari sekularisme yang
seseungguhnya, yaitu sekularisme totalistik. Sedangkan yang dimaksud dengan sekularisme
totalistik adalah melepaskan kehidupan ini dari nilai-nilai humanisme, moral dan agama. Inilah
sekularisme yang sebenarnya yang berimplikasi sangat berbahaya kepada cara pandang manusia
kepada kehidupan ini. Kehidupan ini hanya dianggap sebagai materi yang jauh dari hal-hal yang
berbau metafisis dan spiritual. Yang nanti pada ujungnya akan menyeret kepada pemahaman
atheisme dan agnotisisme.
Sedangkan sekularisme parsial, menurut Abdul Wahab Al-Masiri adalah suatu keharusan dan
tidak bertentangan dengan Islam. Karena sekularisme parsial (atau lebih dikenal dengan
istilah fashl al-din ‘an al-daulah) tidak lebih hanya sekedar membedakan mana yang menjadi
urusan negara yang notabena bersifat duniawi dan urusan agama yang bersifat ukhrawi. Selain
itu, karena pada tatanan praktisnya Rasulullah dan para sahabat sering mencontohkan masalah
ini. Sebagai salah satu contoh yang digunakan argumen oleh Abdul Wahab Al-Masiri adalah
ijtihad sahabat yang diusulkan kepada Rasulullah ketika perang Badar. Di dalam contoh tersebut
—menurutnya—secara gamblang menjelaskan bahwa urusan yang bersifat dunawi seperti
peperangan tidak memerlukan petunjuk wahyu tetapi cukup hanya dengan ijtihad manusia saja.
Karenanya Abdul Wahab Al-Masiri bisa dikatakan setuju dengan konsep sekularisme Islam
dalam arti yang sempit.
b. Jamal Al-Bana
Jamal Al-Bana pun membagi makna sekularisme kepada dua macam; pertama sekularisme
sebagai sebuah konsep pemisahan antara agama dan negara yang disebut dengan sekularisme
parsial (‘almaniyah juziyyah) persis seperti istilah yang dipakai oleh Abdul Wahab Al-Masiri.
Sedangkan yang kedua, sekularisme yang diartikan sebagai konsep sakralisasi manusia dan
menolak adanya Tuhan, mengakui kehidupan dunia ini saja dan menolak adanya akhirat. Tidak
jauh berbeda dengan yang dipaparkan oleh Abdul Wahab Al-Masiri di atas sebagai arti dari
sekularismne totalistik (‘almaniyah syamilah).
Demikian juga dengan Jamal Al-Bana ia setuju dengan konsep sekularisme Islam yang
membedakan antara urusan yang menjadi garapan negara dan urusan yang menjadi garapan
agama. Karena menurutnya secara potensial Islam itu sendiri sudah memiliki konsep sekularisme
parsial (dalam artian mekanisme teknis) tersebut, seperti konsep kebebasan berpikir di dalam
Islam, konsep bahwa Islam adalah agama dan umat, bukan agama dan negara, bahwa Islam
adalah agama dan bukan lembaga agama, dan lain sebagainya yang pada intinya semuanya
mengantarkan kepada legitimasi sekularisme Islam (‘almaniyatul Islam).
c. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas
Berdasarkan pembacaannya Al-Attas membedakan antara arti sekularisme dan sekularisasi.
[19] Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia pertama-tama dari agama dan
kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya. Itu berarti terlepasnya dunia dari
pengertian-pengertian religius, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dunia ada di tanganya
sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atas apa yang ia perbuat oleh tanganya sendiri,
yang pada akhirnya hal tersebut menggiring kepada defatalisasi sejarah, bahwa sejarah tidak
diciptakan oleh Tuhan melainkan perencanaan dan perbuatan manusia secara murni. Sekularisasi
menyiratkan suatu proses historis dimana masyarakat dan budaya terbebas dari pengendalian
religius dan pandangan metafisis yang tertutup. Sekularisasi dianggap sebagai perkembangan
pembebasan yang mana hasil akhirnya adalah berupa relativisme historis. Sehingga sekularisasi
dianggap sebagai proses pembentukan sejarah itu sendiri (menurut para sekularis). Dari sini bisa
terlihat bahwa apa yang disebut sekularisasi adalah apa yang disebut dengan sekularisme
totalistik sebegaimana istilah yang dipakai Abdul Wahab Al-Masiri.
Sedangkan sekularisme tidak jauh maknanya dengan sekularisasi hanya saja ia bersifat
ideologi final artinya ia telah membentuk nilai-nilai sendiri yang bersifat sekularisme. Sedangkan
sekularisasi tidak seperti itu, karena sekularisasi mengharuskan adanya dekonsekrasi nilai,
sehingga tidak ada istilah nilai yang mutlak menurut sekularisasi. Berbeda dengan sekularisme
yang pada akirnya memiliki nilai-niai sendiri yang bersifat sekularisme. Oleh karena itulah
sekularisme dianggap sebagai sebuah ideologi negara.
Berbeda dengan dua pemikir Islam di atas. Al-Attas menganggap bahwa baik itu sekularisasi
(sekularisme totalistik) maupun sekularisme (sekularisme parsial) sama sekali tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Karena keduanya mengandung nilai-nilai yang tidak sesuai dengan
Islam. Hatta sekularisme persial sekalipun bukan hanya sekedar mekanisme teknis belaka,
namun di dalamnya sekaligus mengandung nilai-nilai yang bersifat ideologis. Dan tentu Islam
sebagai sebuah agama, peradaban dan bahkan kehidupan itu sendiri tidak bisa disandingkan
atau malahan diganti dengan ideologi lain.[20]
c. Muhammad Imarah
Tidak jauh berbeda dengan para pemikir di atas, dia pun membagi terminologi sekularisme
menjadi dua bagian, yang dia membahasakannya dengan istilah dua fase munculnya sekularisme.
Pertama sekularisme yang bersifat parsial hanya sebuah konsep yang membedakan antara negara
dan agama, tanpa menghilangkan pengakuan para sekularis dalam terminlogi ini terhadap adanya
Tuhan (baca: kebenaran agama). Ini adalah fase pertama munculnya sekularisme di barat. Kedua,
sekularisme yang bersifat atheis materialis yang mengingingkan agar kehidupan ini terlepas dari
keimanan terhadap agama. Untuk fase pertama bisa disamakan dengan istilah sekularisme
parsial, sedangkan untuk fase yang kedua sama halnya dengan makna sekularisme totalistik.
Sama halnya dengan Al-Attas, Muhammad Imarah pun menolak sekularisme dalam bentuk
apapun di dalam Islam termasuk sekularisme dalam artian sempit (faslu ad-din ‘ani al-daulah).
Karena menurutnya Islam bukan hanya sekedar agama tapi Islam adalah sebuah peradaban
karenanya Islam tidak perlu lagi mengadopsi nillai-nilai dari luar. Adapun yang beliau usulkan
adalah proposionalisme di dalam Islam sehingga Islam tidak berubah menjadi sekularisme Islam
juga tidak menjadi teokrasi Islam.[21]
Ta’qib
Wacana tentang sekularisme Islam. Penulis berpendapat jika yang dimaksud dengan
sekularisme Islam tidak lebih hanya sekedar mekanisme teknis agar Islam tidak terjebak ke
dalam teokrasi Islam yang menyakralkan kekuasaan—sehingga sang penguasa dianggap sebagai
“orang suci” yang harus selalu ditaati—maka sebenanrnya istilah sekularisme ini tidak cocok
dengan esensi dari wacana tersebut. Karena alih-alih ingin menjaga kemurnian Islam dari
teokrasi Islam—yang sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam, tapi justru berasal dari ajaran
paganisme Persia dan paganisme timur lainnya—justru Islam akan terjebak ke jurang yang sama
berbahayanya dengan teokrasi yaitu sekularisme. Tidak berubah menjadi teokrasi, islam justru
berubah menjadi sekuler. Karena sekularisme hakekatnya bukan sekedar mekanisme teknis
melainkan mengandung nilai-nilai yang dianggap final dan mutlak. Dan tentu itu bertentangan
dengan Islam yang telah memiliki nilai-nilai yang sudah final dan mulak pula—dari sejak
lahirnya Islam tersebut.
Selain itu sekularisme walaupun dalam bentuknya yang parsial, ia tetap memiliki esensi
materialisme yang sama sekali bertentangan dengan Islam. Karena sekularisme parsial pada
hakekatnya merupakan bagian dari sekularisme totalistik, dan itu sama sekali tidak bisa
dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Keduanya bersifat ‘umum wal khusush
muthlaq. Maka ketika menolak yang umum otomatis menolak yang khusus. Karena hubungan
antara umum merupakan lazim bagi khusus dan khusus adalah malzum. Maka ketika
mengaffirmasi yang khusus otomatis yang umum akan terbawa karena mengaffirmasi malzum
mengharuskan pula affirmasi lazim. Tetapi ketika menegasikan yang umum maka otomatis
menegasikan pula yang khusus, karena menegasikan yang lazim mengharuskan negasinya yang
lazim tadi.
Maka istilah yang tepat untuk mekanisme teknis dalam bernegara—agar Islam tidak terjatuh
ke dalam dua jurang sekularisme islam dan teokrasi islam—maka istilah proporsionalisme
adalah tepat. Karena dari kata proporsional itu sendiri mengandung makna mekanisme teknis.
Adapun ijtihad para sahabat ataupun Rasulullah Saw. sendiri dalam menyelesaikan
permasalahan yang kebetulan bersifat duniawi yang dijadikan argumen bahwa Islam mempunyai
potensi sekularisme dalam artian sempit, tentu tidaklah benar. Karena sebenarnya ijtihad para
sahabat dan Rasulullah itu bukan bermaksud ingin menerangkan bahwa di dalam Islam ada
pemilahan antara duniawi dan ukhrawi sebagai mekanisme teknis. Tetapi sebenarnya itu adalah
contoh dari cara menyelesaikan permasalahan yang tidak terdapat nashnya. Sebab ada beberapa
permasalahan yang sebenarnya bersifat duniawi namun ternyata Allah menurunkan ayat tentang
itu. Salah satu contohnya adalah ketika Zaid mencari jodoh lalu kemudian ia terpikat dengan
seorang gadis bernama Zainab. Namun Zainab seolah menolak karena melihat Zaid yang
berstatuskan maula Rasulullah Saw. Akhirnya turun ayat yang secara tersirat memerintahkan
Zainab untuk menerima Zaid sebagai suaminya.[22] Hal ini menunjukkan, jika nash sudah
berbicara maka ijtihad tidak bisa digunakan, terlebih lagi dengan nash yang qathi’iyu al-dilalah,
tanpa melihat ini urusan dunia atau akhirat. Intinya adalah adakah nash dalam masalah tersebut,
jika ada maka tidak ada ijtihad. Sehingga ijtihad berlaku jika tidak ada nash atau nash tersebut
masih zhanniyu al-dilalah.
Epistimologi sekularisme
Untuk saat ini penulis akan meminjam istilah Abdul Wahab Al-Masiri yang membagi istilah
sekularisme kepada sekularisme totalistik dan parsial, karena secara esensi sekularisme totalistik
identik dengan sekularisasi versi istilah Al-Attas. Sedangkan sekularisme parsial sebagai
ideologi negara identik dengan sekularisme (an sich) menurut Al-Attas.
Menurut pembacaan Al-Attas, sekularisme totalistik memiliki tiga komponen integral,
diantaranya: Penidak-keramatan alam, desakralisasi politik dan dekonsekrasi nilai-nilai.
Penidak-keramatan alam[23]
Yang dimaksud dengan penidak-keramatan alam adalah pembebasan alam dari nada-nada
keagamaan, memisahkannya dari Tuhan dan membedakan manusia dari alam itu. Sehingga
sekularisme totalistik menganggap alam (baca: dunia) sebagai milik manusia sepenuhnya yang
bisa digunakan semaunya, yang dengan demikian membolehkannya untuk berbuat bebas
terhadap alam memanfaatkan menurut kebutuhan dan rencananya. Alam menurut paham ini
sama sekali tidak mempunyai nilai-nilai sakral bahwa alam sebenarnya adalah ciptaan Tuhan
yang selanjutnya manusia ditugaskan sebagai penjaga untuk melestarikannya.
Dari penidak-keramatan alam ini sebenarnya mendorong terlahirnya faham atheisme atau
yang sedikit lebih halus dari atheisme, yaitu agonitisisme. Bagaimana tidak, ketika alam
dilepaskan dari sifatnya yang supernatural, metafisis secara halus itu berarti menolak
kepercayaan bahwa alam ini diciptakan oleh Tuhan yang akhirnya mendorong kepada keyakinan
bahwa Tuhan tidak ada. Karena secara agonitisisme, ketika Tuhan sebagai esensi dan eksistensi
yang tidak mungkin dibuktikan keberadaannya baik secara akal maupun secara empiris, maka
tidak ada bedanya meyakini apakah Tuhan itu ada atau tidak. Itulah istilah halus dari atheisme,
agnotisisme.
Desakralisasi Politik[24]
Yang dimaksud dengan desakralisasi politik adalah penghapusan legitimasi sakral kekuasaan
politik, sebagaimana yang dipraktekan oleh kristen barat di masa lalu yang menganggap
kekuasaan politik sebagai warisan Tuhan sehingga ada dogma yang menyatakan bahwa
menghianati penguasa berarti menghianati Tuhan.[25] Hal itulah yang mendorong lahirnya
sekularisme dengan desakralisasi politik sebagai salah satu komponennya.
Sekularisme memerlukan komponen ini untuk menghapus legitimasi sakral politik sebagai
prasyarat untuk terjadinya perubahan politik yang selanjutnya akan mendorong terjadinya
perubahan sosial lalu kemudian diakhiri dengan perubahan sejarah. Karena sejarh menurut
sekularisme adalah rekayasa dan perencanaan manusia tanpa adanya campur tangan Tuhan di
dalamnya. Maka tentu yang namnya rekayasa perlu kepada skenario yang matang, dan
desakralisasi politik ini adalah salah satu dari skenario pembentukan sejarah versi manusia.
Dekonsekrasi Nilai[26]
Yang dimaksud dengan dekonsekrasi nilai adalah pemberian makna sementara dan relatif
kepada semua karya-karya budaya dan setiap sistem nilai termasuk agama serta pandangan hidup
yang bermakna mutlak dan final. Sehingga dengan demikian nilai menurut sekularisme totalistik
adalah relatif atau nisbi, sehingga dengan kata lain sekularisme totalistik menganut paham
relativisme di dalam nilai. Bahwa tidak ada nilai absolut yang bisa dijadikan satu-satunya
rujukan atau standar oleh manusia. Sehingga etika dan moral menurut sekularisme totalistik akan
berbeda sesuai dengan tempat dan waktu yang berbeda pula. Satu-satunya yang bisa dijadikan
standar menurut sekularisme totalistik adalah manusia itu sendiri.
Dekonsekrasi nilai inilah yang menurut Al-Attas yang menjadi pembeda antara sekularisme
totalistik dan parsial, di mana sekularisme parsial membentuk sistem nilainya sendiri yang
dipandang sebagai mutlak dan final, karenanya sekularisme ini menjadi ideologi negara berbeda
dengan sekularisme totalistik yang lebih tepat untuk disebut sebagai sebuah filsafat.
Dengan dekonsekrasi nilai ini, maka sekularisme (dalam artian totalistik) bukan sebuah
ideologi yang bersifat tertutup, karena ia tidak mengiginkan adanya nilai yang bersifat final dan
mutlak. Karena secara materi manusia selalu berubah, maka begitu pula dengan nilai-nilai yang
ada akan sesuai sifat materi manusia yang imanent dan profan.
Sebenarnya jika dirunut sejarahnya, adanya dekonsekrasi nillai sebagai kompponen integral
dari sekularisme ini adalah disebabkan oleh kristenyang saat itu sebagai ajaran tuhan yang
seharusnya mampu mendekonsekrasi nilainilai yang bertentangan dengan ajaran tuhan, yang
terjadi malah sebaliknya, nilai-nilai paganisme yang terdapat pada peradaban-peradaban lain
yang sempat besinggungan dengan kristen malah diadopsi dan diasimilasikan dengan ajaran
kristen. Akhirnya kristen tidak lebih dari sekedar ajaran gado-gado yang mencampurkan semua
nilai yang ada.[27] Akhirnya dunia berhasil menduniakan kristen dan bukan seharusnya, yaitu
kristen yang mengkristenkan dunia.
Kesimpulan
Secara garis besarnya sekularisme secara terminologi terbagi menjadi dua. Sekularisme
totalistik (‘almaniyah syamilah) dan sekularisme parsial (‘almaniyah juz’iyah), walaupun
nantinya ada beberapa pemikir yang menggunakan istilah yang berbeda-beda seperti sekularisasi,
sekularisme materialis atheis, sekularisme sakralisasi manusia, toh pada esensinya sama saja
faham ini menolak agama (baca: Tuhan).
Sedangkan yang kedua adalah sekularisme parsial yang oleh para pemikir yang lain
diistilahkan berbeda pula, seperti sekularisme an sich, sekularisme religius, dan lain sebagainya
yang pada intinya memiliki arti sebuah faham fashlu al-din ‘an al-daulah.
Sedangkan secara epistemologi sudah jelas bertentangan dengan Islam. Karena walaupun
Islam mempunyai epistemologi yang bisa dikatakan sama dengan ketiga komponen integral
di atas.namun Islam mempunyaiesendi yang berbeda.
Di dalam Islam ada penidak-keramatan alam. Maksdunya tentu tidak sama dengan
sekularisme. Penidak-keramatan alam menurut Islam adalah menghilangkan unsur-unsur mistis,
khurafat, takhayul dari alam. Bahwa alam adalah ciptaan Allah semata dari tiada menjadi ada.
Dan bukan terlahir dari proses emanasi sebagaimana yang diyakini sebagian para filosof Islam.
Kemudian alam ini Allah amanatkan kepada manusia untuk memelihara dan menjaganya agar
tidak dirusak dengan mempergunakannya semena-mena.
Islam pun memiliki ajaran desakralisasi politik. Bahwa seorang penguasa di dalam Islam
sama sekali adalah seorang manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Sehingga ia tidak
dianggap suci. Maka, ketaatan kepada penguasa/pemimpin adalah dibatasi selama ada dalam
koridor syari’ah yang telah Allah tetapkan yaitu, la tha’ata fi ma’shiyati khaliq.
Dekonsekrasi nilai juga ada di dalam Islam, namun bedanya sekularisme medekonsekrasi
nilai tanpa batas. Artinya menganggap semua nilai itu relatif dan tidak mutlak sama sekali.
Sedangkan Islam mendekonsekrasi semua nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang
berintikan pada ajaran tauhid. Maka Islam menganggap bahwa nilai-nilai yang bersifat mutlak
dan final itu memang ada yaitu yang bersumberkan dari yang menciptakan manusia itu sendiri
yaitu Allah. Maka Islam mempunyai cita-cita mengislamkan dunia dan bukannya menduniakan
Islam. Dan kemutlakan nilai-nilai yang dikandung Islam sudah mutlak ketika pertama kali Islam
itu lahir dan tidak tunduk kepada proses perkembangan. Wal-Lahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai