Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia
Email: tengkuuzmafaqihah@gmail.com
Abstrak
Pendahuluan
Kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular menjadi masalah kesehatan masyarakat karena
dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar, menyerap anggaran biaya
yang besar dalam upaya penanggulangannya, berdampak pada sektor ekonomi, pariwisata serta
berpotensi menyebar luas lintas kabupaten/kota, propinsi bahkan internasional yang membutuhkan
koordinasi dalam penanggulangannya. Diare adalah penyakit yang pada umumnya memiliki
prognosis baik, namun jika tidak ditangani dengan baik dan dideteksi secara dini, kemungkinan
terjadinya KLB semakin besar. Dengan melakukan penyelidikan epidemiologi, kita dapat
mengumpulkan data, mengolah, menganalisis, melaporkan hasil data cakupan program pelayanan
kesehatan.1
Diare atau penyakit diare (Diarrheal disease) berasal dari bahasa Yunani yaitu “diarroi” yang
berarti mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang terlalu frekuen. 1
Terdapat beberapa pendapat tentang definisi penyakit diare. Menurut Hippocrates definisi
diare yaitu sebagai suatu keadaan abnormal dari frekuensi dan kepadatan tinja,
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, diare atau penyakit diare adalah bila tinja
mengandung air lebih banyak dari normal. Menurut WHO diare adalah berak cair lebih dari tiga kali
dalam 24 jam, dan lebih menitik beratkan pada konsistensi tinja dari pada menghitung frekuensi
berak. Ibu-ibu biasanya sudah tahu kapan anaknya menderita diare, mereka biasanya mengatakan
bahwa berak anaknya encer atau cair. Menurut Direktur Jenderal PPM dam PLP, diare adalah
penyakit dengan buang air besar lembek/ cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih
sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari).
Di Indonesia penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama, dimana insidens diare pada tahun 2000 yaitu sebesar 301 per 1000 penduduk, secara
proporsional 55 % dari kejadian diare terjadi pada golongan balita dengan episode diare balita
sebesar 1,0 – 1,5 kali per tahun.1
Secara operasional diare balita dapat dibagi 2 klasifikasi, yaitu yang pertama diare akut
adalah diare yang ditandai dengan buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang
frekuensinya lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih sehari) dan berlangsung kurang dari 14 hari,
dan yang kedua yaitu diare bermasalah yang terdiri dari disentri berat, diare persisten, diare dengan
kurang energi protein (KEP) berat dan diare dengan penyakit penyerta. 1
Beberapa hasil survei mendapatkan bahwa 76 % kematian diare terjadi pada balita, 15,5 %
kematian bayi dan 26,4 % kematian pada balita disebabkan karena penyakit diare murni. Menurut
hasil survei rumah tangga pada tahun 1995 didapatkan bahwa setiap tahun terdapat 112.000
kematian pada semua golongan umur, pada balita terjadi kematian 2,5 per 1000 balita. 1
Hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2002 mendapatkan prevalensi diare balita
di perkotaan sebesar 3,3 % dan di pedesaan sebesar 3,2 %, dengan angka kematian diare balita
sebesar 23/ 100.000 penduduk pada laki-laki dan 24/100.000 penduduk pada perempuan, dari data
tersebut kita dapat mengukur berapa kerugian yang ditimbulkan apabila pencegahan diare tidak
dilakukan dengan semaksimal mungkin dengan mengantisipasi faktor risiko apa yang mempengaruhi
terjadinya diare pada balita.1
Faktor risiko yang sangat berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita yaitu status
kesehatan lingkungan (penggunaan sarana air bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah,
pembuangan air limbah) dan perilaku hidup sehat dalam keluarga. Sedangkan secara klinis
penyebab diare dapat dikelompokkan dalam enam kelompok besar yaitu infeksi (yang meliputi
infeksi bakteri, virus dan parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan (keracunan bahan-bahan kimia,
keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi baik jasad renik, ikan, buah-buahan, sayur-
sayuran, algae dll), imunisasi, defisiensi dan sebab-sebab lain. 1
Upaya pemerintah dalam menanggulangi penyakit diare, terutama diare pada balita sudah
dilakukan melalui peningkatan kondisi lingkungan baik melalui program proyek desa tertinggal
maupun proyek lainnya, namun sampai saat ini belum mencapai tujuan yang diharapkan, karena
kejadian penyakit diare masih belum menurun. Apabila diare pada balita ini tidak ditangani secara
maksimal dari berbagai sektor dan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja tetapi
masyarakatpun diharapkan dapat ikut serta menanggulangi dan mencegah terjadinya diare pada
balita ini, karena apabila hal itu tidak dilaksanakan maka dapat menimbulkan kerugian baik itu
kehilangan biaya untuk pengobatan yang cukup besar ataupun dapat pula menimbulkan kematian
pada balita yang terkena diare.1
Berhubungan dengan perincian diatas telah diperoleh data-data di Desa K, yaitu pada bulan
Juni lalu Puskesmas K mendapatkan sekitar 50 orang penderita diare akut. Angka kejadian ini cukup
tinggi dibandingkan dengan bulan Mei lalu, dan hal ini menujukkan peningkatan kejadian diare di
desa K. Sebagian besar penderita diare akut ini adalah balita. Selain itu juga diketahui tentang
tingkat pendidikan penduduknya yang rendah serta Sumber air minum di desa K menggunakan air
PAM.
Untuk mengetahui apakah penyebab dari peningkatan kejadian diare di desa K ini, maka
dilakukan penelitian ini. Berdasarkan rumusan masalah diatas kami akan mencari faktor resiko apa
saja yang mempengaruhi terjadinya penyakit diare terutama balita di desa K. Apakah tingginya angka
kejadian diare di desa K berhubungan atau disebabkan dengan pengetahuan dan perilaku
masyarakat di desa K yang rendah, atau tidak.
Sebelum memasuki penjabaran mengenai KLB, kita perlu memahami mengenai penyebaran
penyakit. Penyebrana penyakit terdiri atas:
1. Sporadic : penyakit yang dalam kurun waktu 1 tahun tidak muncul, mendadak muncul
2. Endemic : penyakit yang muncul sepanjang tahun dengan angka kejadian menetap
3. Epidemic : penyakit yang pada suatu waktu mendadak mengalami peningkatan angka
kejadian yang bermakna (minimal 2 kali dari biasa)
a) KLB : terjadi di wilayah local
b) Wabah : meliputi seluruh negara
4. Pandemic : wabah yang terjadi di seluruh dunia
Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) mengacu pada Keputusan Dirjen PPM & PLP No. 451-
I/PD.03.04/1999 tentang Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan KLB. Menurut
aturan itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa bila terdapat unsur: 2
Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal.
Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-
turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka
rata-rata per bulan tahun sebelumnya.
Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila
dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan > 2 kali dibandingkan
angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.
CFR suatu penyakit dalam satu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50 % atau lebih
dibanding CFR periode sebelumnya.
Proporsional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan > 2 kali
dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun sebelumnya.
Beberapa penyakit khusus, seperti kolera dan DHF/DSS: 1) Setiap peningkatan kasus dari
periode sebelumnya (pada daerah endemis); 2) Terdapat satu atau lebih penderita baru
dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit
yang bersangkutan.
Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita, seperti keracunan makanan dan
keracunan pestisida.
KLB penyakit masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan
jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar sehingga perlu diantisipasi dan dicegah
penyebarannya dengan tepat dan cepat. Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini dan diikuti
tindakan yang cepat dan tepat, perlu diidentifikasi adanya ancaman KLB beserta kondisi rentan yang
memperbesar risiko terjadinya KLB agar dapat dilakukan peningkatan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB, dan oleh karena itu perlu diatur dalam pedoman
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB).
Penyelidikan Epidemiologi
Epidemiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari distribusi kejadian kesakitan dan
kematian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi kejadiannya pada kelompok dan
masyarakat.3 Penyelidikan epidemiologi (PE) adalah rangkaian kegiatan untuk mengetahui suatu
kejadian baik sedang berlangsung maupun yang telah terjadi, sifatnya penelitian, melalui
pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan dan analisa data, membuat kesimpulan dan
rekomendasi dalam bentuk laporan. Pengertian istilah-istilah dalam penyelidikan epidemiologi KLB,
antara lain:
1. Infektifitas
Adalah kemampuan unsur penyebab masuk dan berkembang biak, dapat dianggap
dengan menghitung jumlah minimal dari unsur penyebab untuk menimbulkan infeksi
terhadap 50% pejamu spesies sama. Dipengaruhi oleh sifat penyebab, cara penularan,
sumber penularan, serta faktor pejamu seperti umur, sex dll.
2. Patogenesitas
Adalah kemampuan yang dimiliki oleh bibit penyakit untuk membuat orang menjadi
sakit, atau untuk membuat sekelompok penduduk yang terinfeksi menjadi sakit. 4
Patogenesitas sangat dipengaruhi oleh infektivitas, sehingga penghitungannya mengunakan
formulasi yang sama dengan infektifitas (patogenesitas = infektifitas). Dengan tingkatan
penyakit berdasarkan gejala dibagi menjadi:
A = tanpa gejala
B = penyakit ringan
C = penyakit sedang
D = Penyakit Berat
E = Mati
3. Virulensi
Adalah nilai proporsi penderita dengan gejala klinis yang berat (D+E) terhadap
seluruh penderita dengan gejala klinis yang jelas (B+C+D+E). Virulensi dipengaruhi oleh
dosis, cara masuk/penularan, faktor pejamu.
4. Reservoir
Adalah organisme hidup atau mati (misalnya tanah) dimana penyebab infeksi
biasanya hidup dan berkembang biak. Reservoir dapat berupa manusia, binatang, tumbuhan
serta lingkungan lainnya. Reservoir merupakan pusat penyakit menular, karena merupakan
komponen utama dari lingkaran penularan dan sekaligus sebagai sumber penularan.
5. Bentuk KLB/Wabah didasarkan pada cara penularan dalam kelompok masyarakat.
Gambar 1. Betuk KLB/Wabah yang didasarkan pada cara penularan dalam kelompok masyarakat
Sumber: http://arali2008.wordpress.com/2012/05/13/pentingnya-penyelidikan-epidemiologi-klbwabah/
6. Kasus adalah mereka dimana suatu agen infektif telah masuk dan tinggal dalam tubuh
mereka dan telah ada gejala infeksi.
7. Karier adalah mereka yang menyimpan agen infektif di dalam tubuhnya. Menurut jenis
dibagi menjadi: tanpa gejala (misalnya polio, hepatitis), karier dalam penyembuhan (contoh:
diphteriae), dan karier kronik (contoh: tifus).
Epidemiologi observasional dibagi menjadi dua, yaitu untuk menjelaskan masalah kesehatan
digunakan pendekatan epidemiologi deskriptif, sedangkan untuk mencari faktor penyebab
digunakan pendekatan epidemiologi analitik. 3
Epidemiologi deskriptif adalah bagian dari ilmu epidemiologi yang mempelajari distribusi
penyakit atau masalah di dalam masyarakat berdasarkan orang (person), tempat kejadian (place),
dan waktu kejadiannya (time).3 Di dalam epidemiologi deskriptif dijelaskan suatu kejadian
berdasarkan karakteristik masyarakat yang terkena (who), daerah-daerah tempat kejadian (where),
kapan, berapa lama, atau bagaimana kecenderungan suatu kejadian ditinjau dari aspek waktu
timbulnya kejadian (when). Epidemiologi analitik berkaitan dengan upaya epidemiologi untuk
menganalisis faktor risiko dan faktor penyebab (determinan) masalah kesehatan.
Penyelidikan epidemiologi berkaitan dengan input, proses, output, dan efek. Input berkaitan
dengan jenis dan sumber data. Data yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi:
1. Data umum, meliputi jumlah penduduk, jumlah kelahiran, kesakitan, kematian, luas wilayah,
mata pencaharian, dan sebagainya. Pada kasus 1, data umum diperoleh dari monografi
Kecamatan Bojong Gede.
2. Data penduduk sasaran yang disesuaikan dengan program yang dibina. Pada kasus campak,
sasaran program imunisasi campak adalah balita. Pada kasus diare, sasaran program
kesehatan lingkungan adalah wilayah Kecamatan Bojong Gede.
3. Data sumber daya berupa sarana, dana, dan tenaga.
4. Data cakupan program adalah jumlah penduduk yang mendapat pelayanan di wilayah kerja
Puskesmas.
Setelah data dikumpulkan, data tersebut diolah dan dianalisa. Hal ini disebut proses. Di tingkat
pelaksana program (misalnya di Puskesmas), pengolahan data hanya dilakukan sampai dengan
analisis data sesuai dengan kegiatan program pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di tempat
tersebut. Untuk program pelayanan kesehatan terpadu, cakupan yang dihitung, antara lain:5
1. Cakupan KIA dianalisis melalui perhitungan jumlah kunjungan baru ibu hamil, ibu menyusui,
bayi, dan anak balita dibagi dengan jumlah ibu hamil, ibu menyusui, bayi, atau anak balita
sebagai penduduk sasaran.5
2. Cakupan gizi berupa hasil bagi antara jumlah balita yang datang dan ditimbang (D) dengan
jumlah semua balita yang ada di wilayah kerja posyandu (S). Selain perhitungan D/S
tersebut, masih ada perhitungan lain yang dapat dipakai untuk menghitung cakupan gizi.
Hasil D/S ini dipakai untuk menilai tingkat partisipasi masyarakat. Rumus perhitungan:
Cakupan Gizi = (Jumlah D : Jumlah S) x 100%.5
3. Cakupan imunisasi adalah hasil pencapaian kegiatan imunisasi (bagian program P2M),
dengan membandingkan jumlah penduduk yang telah diberikan imunisasi DPT1, polio 3,
campak, BCG, dan TT2 dengan jumlah masing-masing penduduk sasaran imunisasi.
Penduduk sasaran untuk imunisasi TT adalah ibu hamil atau wanita usia subur (WUS), dan
penduduk sasaran untuk imunisasi dasar adalah bayi yang berumur 3 – 12 bulan.
Berdasarkan kasus 1, hasil cakupan imunisasi Kecamatan Bojong Gede sebesar 45% masih
rendah apabila dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan dalam buku stratifikasi
Puskesmas 1987, yaitu 80%. Contoh analisis cakupan kegiatan imunisasi campak yang
didasarkan pada buku catatan imunisasi didistribusikan berdasarkan tempat (bagaimana
penyebaran cakupan imunisasi campak di tiap-tiap desa di wilayah kerja Puskesmas?), waktu
(bagaimana penilaian hasil cakupan setiap bulan, triwulan, atau enam bulan? kapan terjadi
penurunan hasil cakupan atau kapan cakupan yang terendah?), dan orang: (kelompok
penduduk yang mana cakupan imunisasinya terendah). Hal ini dapat dilihat dari latar
belakang pekerjaan, pendidikan penduduk (sosial ekonominya) di suatu wilayah atau yang
lainnya. Rumus perhitungan:5
a) Cakupan Imunisasi TT : (Jumlah bumil yang mendapat TT : Jumlah semua
bumil) x 100%
b) Cakupan Imunisasi Dasar : (Jumlah bayi yang diimunisasi : Jumlah semua bayi)
x 100%
c) Cakupan Imunisasi Campak : (Jumlah bayi yang diimunisasi campak : Jumlah
semua bayi) x 100%
4. Cakupan program penanggulangan diare dianalisis dengan menghitung jumlah balita yang
menderita diare atau mencret dan mendapat pengobatan garam oralit dibagi dengan semua
balita yang menderita diare. Jumlah balita yang menderita didapatkan dari laporan kader,
kunjungan balita di posyandu, atau puskesmas. Laporan kejadian diare memang leboh sukar
didapatkan karena tidak semua penderita berobat kepada petugas Puskesmas (provider),
sehingga sering dipakai angka perkiraan berdasarkan besarnya angka insiden diare di suatu
wilayah. Sedangkan kasus yang berobat atau yang memperoleh oralit dicatat dalam laporan
mingguan puskesmas atau laporan posyandu. Rumus perhitungan: Cakupan Diare = (Jumlah
balita diare yang diobati / Jumlah semua balita yang diare) x 100%.5
Epidemiologi Diare
Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dari biasanya atau lebih
dari tiga kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak
datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu. 6 Bila diare berlangsung 2-4
minggu disebut diare persisten, namun jika berlangsung lebih dari 4 minggu disebut sebagai diare
kronik.
Dalam bidang epidemiologi, terdapat tiga model yang dikenal, yaitu segitiga epidemiologi,
jaring-jaring sebab akibat, dan roda. Segitiga epidemiologi merupakan teori dasar yang terkenal
sejak disiplin ilmu epidemiologi mulai digunakan di dunia. Segitiga epidemiologi yang saling terkait
satu sama lain, yaitu:
1. Agent-Host-Environment (AHE)
Segitiga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para ahli dalam menjelaskan konsep
berbagai permasalahan kesehatan, termasuk terjadinya penyakit.
a) Agent
Agens (agent) adalah faktor yang menjadi penyebab suatu penyakit.
Penyebab penyakit dapat mencakup agent biologis, kimia, atau fisik. Dalam
kesehatan masyarakat, penyakit biasanya diklasifikasikan sebagai penyakit akut atau
kronis, atau sebagai penyakit menular (infeksius) atau tidak menular (non-infeksius).
Penyakit menular (infeksius) merupakan penyakit yang agent biologis atau
produknya menjadi penyebab dan yang dapat ditularkan dari satu individu ke
individu lain. Proses penyakit dimulai saat agens siap menetap dan tumbuh atau
bereproduksi dengan tubuh pejamu. Proses penetapan dan pertumbuhan
mikroorganisme atau virus di dalam tubuh pejamu adalah infeksi. Penyakit tidak
menular (non-infeksius) atau kesakitan merupakan penyakit yang tidak dapat
ditularkan dari orang yang terkena pada orang sehat yang rentan. Penetapan
penyebab penyakit tidak menular ini seringkali lebih sulit karena adanya beberapa
atau bahkan banyak faktor yang berkontribusi dalam perkembangan kondisi
kesehatan tidak menular.
b) Host
Pejamu (host) adalah manusia yang mudah terkena atau rentan (susceptible)
terinfeksi suatu bibit penyakit yang menyebabkan sakit. Faktor utama pada host
yang mempengaruhi mudah tidaknya ia terkena penyakit adalah sistem kekebalan
atau imunitas dan perilakunya sendiri. 2 Sistem kekebalan sendiri sangat dipengaruhi
oleh umur, jenis kelamin, status ekonomi, dan ras. Perilaku atau gaya hidup host
(seseorang) juga akan mempengaruhi timbulnya penyakit. Untuk mengetahui apa
yang diderita pasien, seorang dokter perlu melakukan anamnesis. Anamnesis
merupakan kumpulan informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang dipaparkan
oleh pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien mengadakan
kunjungan ke dokter.7 Anamnesis bisa langsung dilakukan kepada pasien (disebut
autoanamnesis) atau kepada pihak pengantar pasien (alloanamnesis). Komponen
anamnesis komprehensif akan menyusun informasi yang diperoleh dari pasien
menjadi lebih sistematis. Akan tetapi ulasan dibawah ini sebaiknya tidak mendikte
rangkaian anamnesis yang akan anda lakukan diklinik, karena biasanya wawancara
akan lebih bervariasi dan anamnesis harus lebih dinamis mengikuti kebutuhan
pasien. Komponen anamnesis komprehensif mencakup:
Mencantumkan tanggal pengambilan anamnesis
Mencantumkan waktu pengambilan sangat penting dan pertama kali
dilakukan pada saat mencatat hasil anamnesis yang dilakukan pada pasien,
terutama dalam keadaan darurat atau pada rumah sakit.
Faktor pejamu yang dapat menimbulkan diare akut terdiri atas faktor-faktor
daya tangkis dan lingkungan intern traktus intestinalis, seperti keasaman lambung,
motilitas usus, imunitas, dan juga mencakup lingkungan mikroflora usus, sekresi
mukosa, dan enzim percernaan.6 Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir
sama dengan anak perempuan. Penderita gizi buruk akan mengalami penurunan
produksi antibodi serta terjadinya atropi pada dinding usus yang menyebabkan
berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya bibit
penyakit ke dalam tubuh terutama penyakit diare. Pemberian makanan berupa ASI
sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan, akan memberikan kekebalan kepada bayi
terhadap berbagai macam penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat
kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri,
virus, jamur dan parasit. Oleh karena itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI,
maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.
c) Environment
Lingkungan (environment) adalah situasi atau kondisi di luar agens dan pejamu yang
memudahkan terjadinya sakit pada pejamu. Lingkungan dapat dibedakan menjadi
lingkungan biologis, fisik, kimia, dan sosial.3 Seperti pada kasus 4, lingkungan
terjadinya KLB diare adalah di Desa K. Penduduknya menggunakan air hujan dan
sungai sebagai sumber air, yang juga digunakan untuk mandi, cuci dan kakus, dan
sumber air minum. Dalam kasus ini, sungai dikatakan sebagai lingkungan biologis
yang memudahkan terjadinya sakit pada pejamu. Faktor lingkungan yang berkaitan
dengan penyebab terjadinya diare, meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi jamban,
saluran pembuangan air limbah (SPAL), kualitas bakteriologis air, dan kondisi rumah.
Sanitasi yang buruk dituding sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli
dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat.
2. Person-Place-Time (PPT)
Person (individu) adalah karakteristik dari individu yang mempengaruhi
keterpaparan yang mereka dapatkan, berupa faktor genetik, umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kebiasaan, dan status sosial ekonomi. Place (tempat) berkaitan dengan karakteristik
geografis. Time (waktu) dapat dinyatakan dalam jam, hari, bulan, atau tahun. Informasi
waktu dapat menjadi pedoman tentang kapan kejadian timbul dalam masyarakat.
3. Frekuensi –Distribusi-Determinan (FDD)
Frekuensi menunjuk pada besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada
sekelompok masyarakat. Distribusi menunjuk pada pengelompokan masalah kesehatan
berdasarkan suatu keadaan tertentu. Determinan menunjuk pada faktor penyebab dari
suatu penyakit atau masalah kesehatan, baik yang menjelaskan frekuensi, penyebaran,
ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah itu sendiri.
Model jaring-jaring sebab akibat ingin menunjukkan apabila terjadi perubahan dari
salah satu faktor akan mengubah keseimbangan antara mereka, yang berakibat bertambah
atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan. Menurut model ini, suatu penyakit tidak
bergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri tetapi sebagai akibat dari serangkaian
proses ‘sebab akibat’. Dengan demikian, timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan
dengan memotong rantai pada berbagai titik.
Seperti halnya model jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan identifikasi
dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu
menekankan pentingnya agens. Di sini dipentingkan hubungan antara manusia dengan
lingkungan hidupnya.
1. Isolasi Kasus
Diare akut karena infeksi bakteri yang mengandung atau memproduksi toksin akan
menyebabkan diare sekretorik dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai
atau tanpa nyeri (kejang perut), dengan feses lembek/cair. 6 Umumnya gejala diare
sekretorik timbul dalam beberapa jam setelah makan/minum yang terkontaminasi. Diare
sekretorik yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat
dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan
hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena
kehilangan cairan seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi
cekung, serta suara menjadi serak. Sedangkan kehilangan karbonas dan asam karbonas
berkurang yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul).
Gangguan kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi yang cepat (>120/menit), tekanan darah menurun sampai tak
terukur. Bakteri yang invasif akan menyebabkan diare yang disebut diare inflamasi dengan
gejala mual, muntah, dan demam yang tinggi, disertai nyeri perut, tenesmus, diare yang
disertai lendir dan darah.
2. Mengobati kasus
Pada kasus diare, ada tiga tahapan penatalaksanaan, yaitu:
a) Rehidrasi oral
Penggunaan terapi rehidrasi oral (TRO) telah semakin luas diterima di seluruh dunia
karena merupakan terapi yang cepat, aman, efektif, dan murah untuk diare. Larutan
rehidrasi yang optimal harus dapat mengganti air, natrium, kalium, dan bikarbonat,
dan larutan tersebut juga harus isotonik atau hipotonik. Penambahan glukosa ke
dalam larutan meningkatkan penyerapan natrium dengan memanfaatkan
kotransportasi natrium yang digabungkan dengan glukosa, yang maksimal apabila
konsentrasi glukosa tidak lebih daripada 110 sampai 140 mmol/L. Kontraindikasi
pemakaian TRO adalah syok, volume tinja lebih dari 10 mL/kg/jam, ileus, atau
intoleransi monosakarida.7,8
b) Pemulihan diet
Setelah rehidrasi yang adekuat tercapai, masalah berikutnya yang perlu diatasi
adalah pemulihan makanan yang normal sesuai usia. Pilihan makanan awal mungkin
mencakup makanan yang mudah diserap, misalnya nasi dan mi gandum serta
makanan komplementer, seperti pisang (yang banyak mengandung kalium). 7,8
c) Obat antidiare
Terdapat tiga kategori obat diare, yaitu obat intralumen, antimotilitas, dan
antisekretorik. Obat intralumen yang paling luas digunakan adalah suspensi tanah
liat atau silikat yang berfungsi sebagai adsorben (penyerap). Opiat, termasuk
paregorik serta obat sintetik, seperti kodein, difenoksilat, dan loperamid sering
digunakan sebagai obat antimotilitas untuk pengobatan diare ringan pada orang
dewasa sehingga karena efek sampingnya jangan digunakan pada anak-anak.
Okteotrid sangat efektif dalam menghambat diare sekretorik yang berkaitan dengan
tumor penghasil hormon dan dalam mengurangi volume diare akibat AIDS. 7,8
3. Pencegahan Kasus
Ada tingkat pelaksanaan tindakan pencegahan dalam pengendalian penyakit, yaitu:
a) Pencegahan primer, tujuannya untuk mencegah awitan suatu penyakit selama masa
prapatogenesis. Pencegahan primer meliputi health promotion dan spesific
protection. Health promotion merupakan suatu tindakan preventif yang dilakukan
pada saat masih sehat sehingga tidak menjadi sakit, seperti perilaku sehat (cuci
tangan sebelum makan), olahraga, kebersihan lingkungan, dll). Spesific protection
merupakan tindakan preventif yang dilakukan pada saat masih sehat sehingga tidak
sakit dengan menggunakan suatu alat pelindung khusus, seperti melakukan
vaksinasi terhadap penyakit tertentu.
b) Pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit
sebelum penyakit itu berkembang dan disabilitas menjadi parah. Salah satu tindakan
pencegahan sekunder yang paling penting adalah skrinning kesehatan. Tujuan
skrinning ini bukan untuk mencegah terjadinya tetapi lebih untuk mendeteksi
keberadaannya selama masa patogenesis awal, sehingga intervensi (pengobatan)
dini dan pembatasan disabilitas dapat dilakukan.
c) Pencegahan tersier bertujuan untuk melatih kembali, mendidik kembali, dan
merehabilitasi pasien yang mengalami disabilitas permanen. Tindakan pencegahan
tersier mencakup tindakan yang diterapkan setelah berlangsungnya masa
patogenesis.
4. Surveilans
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan serta kondisi yang
mempengaruhi risiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar
dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan, pengolahan data dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan. Tujuan surveilans adalah mengetahui perubahan
epidemiologi kasus, mengidentifikasi populasi risiko tinggi, memprediksi dan mencegah
terjadinya KLB, dan penyelidikan epidemiologi setiap KLB. Surveilans penyakit di tingkat desa
dilaksanakan oleh kelompok kerja surveilans tingkat desa, dengan melakukan kegiatan
pengamatan dan pemantauan situasi penyakit/kesehatan masyarakat desa dan
kemungkinan ancaman terjadinya KLB secara terus menerus. Pemantauan tidak hanya
sebatas penyakit tetapi juga dilakukan terhadap faktor risiko munculnya suatu penyakit.
Ada dua jenis surveilans, yaitu surveilens sindromik dan surveilens penyakit
menular. Surveilans sindromik merupakan awal dari sistem deteksi dini penyakit menular.
Surveilens sindromik itu penting karena dengan mencatat dan mendata secara rapi,
kemunculan penyakit menular dapat ditemukan sejak awal. Jika deteksi dini dapat dilakukan,
koordinasi dengan ahli pun dapat dilakukan dengan cepat, gangguan akibat meluasnya
wabah antara lain berupa penularan massal serta penularan sekunder dapat dikendalikan
sebelum meluas. Surveilans penyakit menular adalah pengamatan dan analisis tren
kemunculan penyakit menular dengan cara memahami kondisi munculnya penyakit
berdasarkan diagnose, peraturan perundang-undangan terkait pencegahan penyakit
menular dan pengobatan terhadap pasien penyakit menular. Jenis laporan surveilans
penyakit menular dapat berupa: W1 (KLB/Wabah), W2 dan EWARS (mingguan), STP
(bulanan). Strategi surveilans meliputi:
a) Surveilans Rutin
Surveilans rutin merupakan pengamatan epidemiologi kasus diare yang telah
dilakukan secara rutin selama ini berdasarkan sumber data rutin yang telah ada
serta sumber data lain yang mungkin dapat dijangkau pengumpulannnya.
b) SKD dan Respon KLB
Pelaksanaan SKD dan Respon KLB campak dilakukan setelah diketahui atau adanya
laporan 1 kasus pada suatu daerah serta pada daerah yang memiliki populasi rentan
lebih 5%.
c) Penyelidikan dan penanggulangan setiap KLB
Setiap KLB harus diselidiki dan dilakukan penanggulangan secepatnya yang meliputi
pengobatan simtomatis pada kasus, pengobatan dengan antibiotika bila terjadi
komplikasi, pemberian vitamin A dosis tinggi, perbaikan gizi dan meningkatkan
cakupan imunisasi campak/ring vaksinasi (program cepat,sweeping) pada desa-desa
risiko tinggi.
d) Pemeriksaan laboratorium pada kondisi tertentu
Contoh: pada tahap reduksi campak dengan pencegahan KLB, pemeriksaan
laboratorium dilakukan terhadap 10 – 15 kasus baru pada setiap KLB. Pada tahap
eliminasi/eradikasi, setiap kasus campak dilakukan pemeriksaan laboratorium.
e) Studi epidemiologi
Melakukan survei cepat, penelitian operasional atau operational research (OR)
sebagai tindak lanjut hasil analisis surveilans untuk melengkapi data/informasi
surveilans yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perbaikan
program (corrective action).
c) Pembuangan Sampah
Sampah adalah limbah yang bersifat padat, terdiri dari bahan yang bias
membusuk (organik) dan tidak membusuk (anorganik) yang dianggap sudah tidak
berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan
masyarakat. Sampah harus dikelola dengan baik dan benar, karena bila tidak akan
dapat menjadi tempat perindukan vektor bibit penyakit. Untuk pedesaan, pada
umumnya sampah biasanya ditangani dengan beberapa cara, yaitu dibakar, dibuang
ke lubang galian, atau dibuat kompos. Kegiatan pembuangan sampah dilaksanakan
bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat. Masyarakat digerakkan untuk
melakukan pembuangan sampah yang baik sehingga sampah tidak lagi mencemari
lingkungan pemukiman mereka.3
Namun dengan berkembangnya dunia usaha dan juga ilmu pengetahuan,
kini sampah dapat dikelola dengan lebih menguntungkan, yaitu yang dikenal dengan
istilah pendekatan 3R (reduce, reuse dan recycle). Reduce adalah upaya pengelolaan
sampah dengan cara mungurangi volume sampah itu sendiri. Cara ini sifatnya lebih
mengarah ke pendekatan pencegahan. Contoh: kalo beli sayuran pilihlah sayuran
yang sesedikit mungkin dibuang, kalo ambil makanan jangan berlebihan, sehingga
akan mengurangi makanan yang menjadi sampah. Reuse adalah suatu cara untuk
menggunakan kembali sampah yang ada, untuk keperluan yang sama atau fungsinya
yang sama. Contoh: botol sirop digunakan kembali untuk botol sirop, atau untuk
botol kecap. Tentunya proses ini harus dilakukan dengan baik, missal dengan dicuci
yang benar. Recycle adalah pemanfaatan limbah melalui pengolahan fisik atau kimia,
untuk menghasilkan produk yang sama atau produk yang lain. Contoh: sampah
organik diolah menjadi kompos, besi bekas diolah kembali menjadi barang-barang
seni dari besi, dll.
d) Pengawasan terhadap tempat-tempat umum
Pengawasan biasanya dilakukan di perusahaan-perusahaan penghasil limbah
cair, tempat pengolahan dan penjualan makanan, tempat-temapt umum, dan
sanitasi lingkungan. Kegiatan ini dikoordinasikan secara lintas sektoral terutama
dengan camat.3 Limbah cair rumah tangga dapat berasal dari kamar mandi,
peturasan, cucian barang/bahan dari dapur rumah tangga. Dalam pengertian ini
limbah cair ini tidak termasuk limbah cair yang berasal dari jamban keluarga. Limbah
cair dari kegiatan rumah tangga volumenya relatif sedikit dibanding dengan luas
lahan yang ada di desa tersebut. Namun demikian limbah cair tersebut tetap harus
dikelola, karena kalo dibuang sembarangan akan membuat lingkungan kotor,
berbau, dan mengurangi estetika dan kebersihan lingkungan. Limbah cair harus
dikelola dengan baik dan benar, karena bila tidak akan dapat menjadi tempat
perindukan vektor bibit penyakit penyakit.
Promosi Kesehatan
Dalam konteks kesehatan, promosi berarti upaya memperbaiki kesehatan dengan cara
memajukan, mendukung, dan menempatkan kesehatan lebih tinggi dari agenda, baik secara
perorangan maupun secara kelompok. Definisi WHO, berdasarkan piagam Ottawa/Ottawa Charter
(1986) mengenai promosi kesehatan sebagai hasil Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di
Ottawa Canada adalah sebagai berikut: Health promotion is the process of enabling people to control
over and improve their health. To reach a state of complete physical, mental, and social well-being,
an individual or group must be able to identify and realize aspiration, to satisfy needs, and to change
or cope with the environment.9 Berdasarkan definisi tersebut, WHO menekankan bahwa promosi
kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan memungkinkan individu meningkatkan kontrol
terhadap kesehatan dan meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai
pemberdayaan diri sendiri.
Kegiatan PKM dilaksanakan secara integratif dengan semua usaha pokok puskesmas karena
semua program memerlukan komponen kegiatan penyuluhan untuk kelompok-kelompok sasaran
program. Di tingkat kabupaten, disediakan tenaga koordinator PKM yang akan membantu petugas
PKM puskesmas mengembangkan usaha pokok kesehatan dalam rangka peningkatan peran serta
masyarakat. Bantuan tenaga PKM dari Dinkes tingkat II biasanya diberikan apabila di wilayah kerja
puskesmas timbul KLB penyakit menular. Karena kegiatan PKM adalah bagian integral dari semua
program pokok puskesmas, semua staf puskesmas harus mampu melaksanakannya, baik sasarannya
individu pasien maupun kelompok-kelompok masyarakat sasaran program. Tetapi kenyataannya di
puskesmas masih sulit mengembangkan kegiatan PKM karena berbagai kendala, kecuali terjadi
wabah (KLB). PKM sebaiknya merupakan kegiatan rutin dilakukan oleh staf, jangan hanya
dilaksanakan pada saat timbulnya KLB penyakit menular. 9
Kesimpulan
Dalam penyelidikan epidemiologi (PE), setiap kasus penyakit yang dinyatakan sebagai
KLB/wabah dapat diketahui penyebab, tahu cara terjadinya, tahu sumber terjadinya dan tahu faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya pada individu sebagai host dari kasus penyakit yang terjadi.
Dengan mengerti dan memahami ini semua maka upaya pencegahan dapat dilakukan, kasus
penyakit tidak akan muncul dengan penyebab yang sama.
Daftar Pustaka